Yang Terdalam, Apa Yang Salah?
Melepas semua
yang ku inginkan,
Tak akan ku
ulangi,
Maafkan jika kau
ku sayangi,
Dan bila ku
menanti.
*
Kenangan itu
berarak, meninggalkan serpihan masa lalu yang akhirnya berputar di benakku,
lagi, satu nama itu masih bergulir dengan sejuta kenangan aneh yang terukir
manis. Dia sahabat kecilku. Yang tak pernah lagi kutemui sejak sepuluh tahun
terakhir. Aku tak pernah tahu apa yang terjadi setelah kami berpisah. Bukan,
bukan berpisah. Lebih tepatnya, dia yang meninggalkanku dan berjanji akan
kembali menemuiku suatu saat nanti.
Aku memandang
bunga eddelweis dihadapanku, tanganku menggenggamnya erat. Bunga itu masih saja
indah, walaupun sudah sepuluh tahun berlalu. Ya, ini pemberian terakhir
darinya. Sebelum dia pergi, menuinggalkanku yang masih mematung disana.
Akhirnya, kusadari,
perasaan itu berserak, menjalar, dan hangatnya terasa. Bukan hanya sekedar
ikatan persahabatan, dan kurasa lebih dari itu. Dia cinta pertamaku
Perasaan tak
selalu mudah di tebak, dan itu yang ku hadapi sekarang, semakin lama, semakin
menguat, aku menantinya, selalu merindukan senyum manis yang terukir dari
bibirnya.
Pintu berdecit,
aku masih bergeming, hanyut dengan pikiranku, melamunkan seseorang yang rasanya
begitu berarti bagi diriku. Dia, dan satu nama yang ku rasa sama.
“Amanda!” seru
seorang gadis yang suaranya begitu ku kenal.
Aku hanya
melempar senyum ke arahnya. Dia Nata, Natasha, sahabat baikku, kami bertemu
dengan cara yang sulit, berawal dari jejaring sosial, dan akhirnya kami benar-
benar bertemu dan menjadi sahabat seutuhnya. Dia sedang berlibur ke tempatku,
sekaligus, tempat pertemuan pertama kami secara nyata.
Mata beningnya,
memandang bunga eddelweis yang sedari tadi ku genggam.
“Aldito lagi?”
tanyanya dengan dahi berkerut.
Aku hanya
menghela napas.
“Sampai kapan
kamu mau nunggu dia? Kamu tahu? Bahkan kamu sampai membuang secuil cita – cita mu
hanya dengan menantinya.” Ucap Nata, kemudian mendekatiku.
“Sampai dia
benar – benar datang padaku Nat.” aku menunduk. Menggenggam bunga itu semakin
kuat.
“Kamu ingat? Sebelum
kita bertemu secara nyata, kamu selalu bercerita akan selalu menunggunya kan? Namun
lihat Man, lihat waktumu yang terbuang sia – sia hanya karena sebuah penantian
yang kamu tak pernah tahu ujungnya.” Jelas Nata panjang lebar.
Aku balas
memandangnya, “Kamu juga menanti seseorang kan? Apa kamu sudah melupakannya? Melupakan
seorang calon ahli ilmu bahasa di salah satu universitas ternama di Indonesia?”
Nata tersentak,
kemudian menunduk, “Aku tak tahu, kamu tahu? Ku rasa aku lelah, mungkin?”
Kami berdua
terdiam, dan terhanyut dalam pikiran kami masing – masing.
*
Pernahkah engkau
coba mengerti,
Lihatlah ku
disini,
Mungkinkah jika,
aku bermimpi,
Salahkah ku
menanti.
*
Aku tak pernah
tahu apa yang di rasakannya, bagaimana dia sekarang? Sedang apa? Pertanyaan remeh
itu masih saja terguling di benakku.
Aku mungkin aneh,
masih saja memendam rasa pada seseorang yang tidak pernah ku jumpai, semakin
aku ingin melupakannya, perasaan itu semakin kuat. Apa yang salah? Lalu bagaimana
seharusnya? Aku tak tahu.
Lagu Yang
Terdalam dari Paterpan, masih mengalun lembut di kedua telingaku, aku memandang
langit biru tanpa cacat cela, rasanya, ingin sekali aku berteriak pada awan
yang berarak di atas sana, sepertinya mustahil.
“Amanda! Katanya
mau jadi tour guide? Eh malah ngelamun, peserta tournya di tinggal sendiri.” Ucap
Nata sambil mengerucutkan bibirnya.
Aku hanya
melempar senyum ke arahnya, lalu menghampirinya.
“Manda, kamu
tahu? Aku telah membuat keputusan. Aku pernah berjanji padamu kan? Jika aku
akan mengejarnya? Dan setelah aku pikirkan, perasaan itu masih ada, tumbuh dan
menghangat.” ucapnya sambil membidik salah satu bunga krisan yang bergoyang.
Angin sore
menerpa kami nyalang, meniup rambut panjang kami yang tergerai.
“Kalau begitu,
ayo sama – sama kita berusaha dan raih. Namun jika tak berbalas, aku yakin
nantinya akan ada seseorang yang lebih baik.” Ucapku sambil tersenyum.
*
Takkan lelah,
aku menanti.
Takkan hilang,
cintaku ini,
Hingga saat kau
tak kembali,
Kan ku pendam di
hati saja.
*
Bunga eddelweis
itu masih saja abadi keindahannya, aku bergeming, mengusap kelopak demi kelopak
bunga abadi itu. Lagi kenangan itu muncul, disaat pertama kali kami bertemu,
dia mengatakan, bahwa dia adalah mahluk dari planet neptunus yang tak
membutuhkan sesosok teman. Aku bersih keras mengajaknya bermain bersama, hingga
akhirnya kami dekat dan menjadi seorang sahabat.
Tiba – tiba saja
dia pergi, meninggalkanku yang bergeming, meratapi punggungnya yang kian
menjauh. Dan bungga eddelweis ini, menjadi janji, bahwa dia akan kembali suatu
saat nanti.
Ku dengar
bisikan angin yang menyeru, seakan mendengar kerisauan hatiku sekarang. Bagaimana
akhirnya? Apa yang seharusnya terjadi? Apa yang harus kulakukan?
Tak selamanya
peraasaan itu dapat di atur, getar sayap kupu-kupu itu masih saja menyergap
halus, ombak itu masih saja bergemuruh dalam hati kecil ini. Aneh. Namun itulah
yang terjadi.
Adiksi itu kian
terasa, bukan berasal dari heroin, bukan juga dari morfin, bukan juga opium,
candu itu alami, ketika perasaan itu harus diam, dan tinggal. Tak mau untuk di
lepaskan.
Aku selalu
menantikan pertemuan berikutnya. Berharap yang maha Kuasa mempertemukan, ingin
aku melihat sebuah pelangi sehabis hujan yang terukir nyata, dia, yang berdiri
di hadapanku dengan senyuman manis yang terbayang pada angan.
Aku mendapatkan
sebuah surat, dan aku mengharapkan surat ini darinya. Ku lihat sekilas nama pengirim
yang tertera disana, bukan dia, bukan Aldito Napoleon. Hanya pemberitahuan
tentang terbitnya novel pertamaku, “A little Friend’s From Neptune”
Aku tersenyum
miris, bagaimana mungkin? Aku mencurahkan segala asa dan pikiranku menjadi
sebuah alur cerita? Lagi – lagi aku tidak tahu. Semua terjadi begitu saja.
Aku buka lembar
pertama ucapan terimakasih dari buku itu, “terimakasih
yang tak terhingga, untuk seorang sahabat kecil dari neptunus, jangan lupa
berkunjung ke bumi lagi! Karena kamu masih mempunyai janji untuk menemuinya
lagi! Ingatlah bunga eddelweis yang menjadi saksi!”
Begitulah yang
aku tulis di sana, berharap seseorang akan membacanya, berharap dia ingat, dan
akhirnya kami bertemu.
Kenapa? Kenapa aneh?
Kenapa aku tak lelah menantinya? Kenapa sepercik rasa ini selalu ada?
Aku selalu ingin
melupakannya, tetapi kenapa? Semakin aku ingin melupakan, semakin sulit,
rasanya seperti terkena larutan asam sulfat pekat, perih. Panas dan membekas.
Satu hal yang ku
percayai. Perasaan tak bisa di paksakan.
*
Kau, telah
tinggalkan hati yang terdalam,
Hingga tiada
cinta yang tersisa dijiwa.
*
Raja cahaya
telah sampai pada tengah – tengah langit. Aku sedang berjalan di koridor sebuah
toko buku ternama di kota ini.
Aku sedikit
penasaran dengan pernyataan penerbit yang mengatakan bahwa novel pertamaku
menjadi salah satu penjualan terbaik selama seminggu ini.
Aku segera
mungkin menuju rak best seller di
toko buku ini, dan benar saja, “A little Friends from Neptune” ada disana,
tinggal satu buah.
Aku
mengambilnya, namun ada sebuah tangan kokoh lain yang juga ingin mengambilnya.
“Maaf, Ambil
saja, aku sudah punya.” Ucapku, kemudian menoleh kepada seseorang pembeli
terakhir novelku hari ini.
Aku
tersentak, kaki ku melemas, aku melihatnya lagi, setelah sepuluh tahun
berselang. Dia lebih tinggi, dan senyumnya masih tetap sama, menawan.
“Thanks,
kalau sudah punya kenapa beli?” tanya-nya kemudian.
Aku
tidak tahu, apa yang terjadi, aku bersyukur, aku kembali bertemu dengannya
dengan cara yang aneh. Namun sepertinya dia tak lagi mengenalku.
“Aku
hanya senang, ternyata novel yang aku beli, menjadi salah satu buku terlaris
disini.” Ucapku bohong.
Dia
menghadap kepadaku, kemudian memandangku lekat. Aku tidak tahu apa yang
terjadi, tapi rasanya aneh.
“Kenapa
sepertinya kita pernah bertemu?” tanya pemuda itu dengan dahi berkerut.
Aku
hanya diam, kenapa ulu hatiku rasanya sakit?
“Oh
maaf, mungkin hanya perasaanku saja, hmm, penulis novel ini sepertinya juga
familiar denganku.” Katanya lagi.
“Mungkin
saja, kamu kenal dengan penulis itu, mungkin saja dia sahabat kecilmu, atau..
memang kamu pernah bertemu dengannya.” Ucapku mencoba mengingatkannya.
“Tidak,
sepertinya tidak.”
Ku
rasakan genggaman tanganku mengeras, apa lagi yang dia katakan setelah ini? Kenapa
rasanya begitu sakit? Apa yang salah dengan perasaan ini? Apa ada yang tidak
wajar dengan penantian ini? Lalu apakah ini ujungnya?
“Apa
kamu tidak ingat? Ada seseorang yang selalu menunggumu dalam sepi,
mengharapkanmu dalam diam, salalu menantimu dengan janji kecil dan serpihan bunga eddelweis
yang mulai berguguran selama sepuluh tahun terakhir ini?"
Kata
itu terlontar, aku meninggalkannya yang masih mematung. Aku menjauh semakin
menjauh dengan air mata yang mengalir deras.
“Amanda!”