RSS

Kamis, 19 September 2013

Yang Terdalam, Apa yang Salah? *cerpen*



Yang Terdalam, Apa Yang Salah?

Melepas semua yang ku inginkan,
Tak akan ku ulangi,
Maafkan jika kau ku sayangi,
Dan bila ku menanti.
*
Kenangan itu berarak, meninggalkan serpihan masa lalu yang akhirnya berputar di benakku, lagi, satu nama itu masih bergulir dengan sejuta kenangan aneh yang terukir manis. Dia sahabat kecilku. Yang tak pernah lagi kutemui sejak sepuluh tahun terakhir. Aku tak pernah tahu apa yang terjadi setelah kami berpisah. Bukan, bukan berpisah. Lebih tepatnya, dia yang meninggalkanku dan berjanji akan kembali menemuiku suatu saat nanti.
Aku memandang bunga eddelweis dihadapanku, tanganku menggenggamnya erat. Bunga itu masih saja indah, walaupun sudah sepuluh tahun berlalu. Ya, ini pemberian terakhir darinya. Sebelum dia pergi, menuinggalkanku yang masih mematung disana.
Akhirnya, kusadari, perasaan itu berserak, menjalar, dan hangatnya terasa. Bukan hanya sekedar ikatan persahabatan, dan kurasa lebih dari itu. Dia cinta pertamaku
Perasaan tak selalu mudah di tebak, dan itu yang ku hadapi sekarang, semakin lama, semakin menguat, aku menantinya, selalu merindukan senyum manis yang terukir dari bibirnya.
Pintu berdecit, aku masih bergeming, hanyut dengan pikiranku, melamunkan seseorang yang rasanya begitu berarti bagi diriku. Dia, dan satu nama yang ku rasa sama.
“Amanda!” seru seorang gadis yang suaranya begitu ku kenal.
Aku hanya melempar senyum ke arahnya. Dia Nata, Natasha, sahabat baikku, kami bertemu dengan cara yang sulit, berawal dari jejaring sosial, dan akhirnya kami benar- benar bertemu dan menjadi sahabat seutuhnya. Dia sedang berlibur ke tempatku, sekaligus, tempat pertemuan pertama kami secara nyata.
Mata beningnya, memandang bunga eddelweis yang sedari tadi ku genggam.
“Aldito lagi?” tanyanya dengan dahi berkerut.
Aku hanya menghela napas.
“Sampai kapan kamu mau nunggu dia? Kamu tahu? Bahkan kamu sampai membuang secuil cita – cita mu hanya dengan menantinya.” Ucap Nata, kemudian mendekatiku.
“Sampai dia benar – benar datang padaku Nat.” aku menunduk. Menggenggam bunga itu semakin kuat.
“Kamu ingat? Sebelum kita bertemu secara nyata, kamu selalu bercerita akan selalu menunggunya kan? Namun lihat Man, lihat waktumu yang terbuang sia – sia hanya karena sebuah penantian yang kamu tak pernah tahu ujungnya.” Jelas Nata panjang lebar.
Aku balas memandangnya, “Kamu juga menanti seseorang kan? Apa kamu sudah melupakannya? Melupakan seorang calon ahli ilmu bahasa di salah satu universitas ternama di Indonesia?”
Nata tersentak, kemudian menunduk, “Aku tak tahu, kamu tahu? Ku rasa aku lelah, mungkin?”
Kami berdua terdiam, dan terhanyut dalam pikiran kami masing – masing.
*
Pernahkah engkau coba mengerti,
Lihatlah ku disini,
Mungkinkah jika, aku bermimpi,
Salahkah ku menanti.
*
Aku tak pernah tahu apa yang di rasakannya, bagaimana dia sekarang? Sedang apa? Pertanyaan remeh itu masih saja terguling di benakku.
Aku mungkin aneh, masih saja memendam rasa pada seseorang yang tidak pernah ku jumpai, semakin aku ingin melupakannya, perasaan itu semakin kuat. Apa yang salah? Lalu bagaimana seharusnya? Aku tak tahu.
Lagu Yang Terdalam dari Paterpan, masih mengalun lembut di kedua telingaku, aku memandang langit biru tanpa cacat cela, rasanya, ingin sekali aku berteriak pada awan yang berarak di atas sana, sepertinya mustahil.
“Amanda! Katanya mau jadi tour guide? Eh malah ngelamun, peserta tournya di tinggal sendiri.” Ucap Nata sambil mengerucutkan bibirnya.
Aku hanya melempar senyum ke arahnya, lalu menghampirinya.
“Manda, kamu tahu? Aku telah membuat keputusan. Aku pernah berjanji padamu kan? Jika aku akan mengejarnya? Dan setelah aku pikirkan, perasaan itu masih ada, tumbuh dan menghangat.” ucapnya sambil membidik salah satu bunga krisan yang bergoyang.
Angin sore menerpa kami nyalang, meniup rambut panjang kami yang tergerai.
“Kalau begitu, ayo sama – sama kita berusaha dan raih. Namun jika tak berbalas, aku yakin nantinya akan ada seseorang yang lebih baik.” Ucapku sambil tersenyum.
*
Takkan lelah, aku menanti.
Takkan hilang, cintaku ini,
Hingga saat kau tak kembali,
Kan ku pendam di hati saja.
*
Bunga eddelweis itu masih saja abadi keindahannya, aku bergeming, mengusap kelopak demi kelopak bunga abadi itu. Lagi kenangan itu muncul, disaat pertama kali kami bertemu, dia mengatakan, bahwa dia adalah mahluk dari planet neptunus yang tak membutuhkan sesosok teman. Aku bersih keras mengajaknya bermain bersama, hingga akhirnya kami dekat dan menjadi seorang sahabat.
Tiba – tiba saja dia pergi, meninggalkanku yang bergeming, meratapi punggungnya yang kian menjauh. Dan bungga eddelweis ini, menjadi janji, bahwa dia akan kembali suatu saat nanti.
Ku dengar bisikan angin yang menyeru, seakan mendengar kerisauan hatiku sekarang. Bagaimana akhirnya? Apa yang seharusnya terjadi? Apa yang harus kulakukan?
Tak selamanya peraasaan itu dapat di atur, getar sayap kupu-kupu itu masih saja menyergap halus, ombak itu masih saja bergemuruh dalam hati kecil ini. Aneh. Namun itulah yang terjadi.
Adiksi itu kian terasa, bukan berasal dari heroin, bukan juga dari morfin, bukan juga opium, candu itu alami, ketika perasaan itu harus diam, dan tinggal. Tak mau untuk di lepaskan.
Aku selalu menantikan pertemuan berikutnya. Berharap yang maha Kuasa mempertemukan, ingin aku melihat sebuah pelangi sehabis hujan yang terukir nyata, dia, yang berdiri di hadapanku dengan senyuman manis yang terbayang pada angan.
Aku mendapatkan sebuah surat, dan aku mengharapkan surat ini darinya. Ku lihat sekilas nama pengirim yang tertera disana, bukan dia, bukan Aldito Napoleon. Hanya pemberitahuan tentang terbitnya novel pertamaku, “A little Friend’s From Neptune”
Aku tersenyum miris, bagaimana mungkin? Aku mencurahkan segala asa dan pikiranku menjadi sebuah alur cerita? Lagi – lagi aku tidak tahu. Semua terjadi begitu saja.
Aku buka lembar pertama ucapan terimakasih dari buku itu, “terimakasih yang tak terhingga, untuk seorang sahabat kecil dari neptunus, jangan lupa berkunjung ke bumi lagi! Karena kamu masih mempunyai janji untuk menemuinya lagi! Ingatlah bunga eddelweis yang menjadi saksi!”
Begitulah yang aku tulis di sana, berharap seseorang akan membacanya, berharap dia ingat, dan akhirnya kami bertemu.
Kenapa? Kenapa aneh? Kenapa aku tak lelah menantinya? Kenapa sepercik rasa ini selalu ada?
Aku selalu ingin melupakannya, tetapi kenapa? Semakin aku ingin melupakan, semakin sulit, rasanya seperti terkena larutan asam sulfat pekat, perih. Panas dan membekas.
Satu hal yang ku percayai. Perasaan tak bisa di paksakan.
*
Kau, telah tinggalkan hati yang terdalam,
Hingga tiada cinta yang tersisa dijiwa.
*
Raja cahaya telah sampai pada tengah – tengah langit. Aku sedang berjalan di koridor sebuah toko buku ternama di kota ini.
Aku sedikit penasaran dengan pernyataan penerbit yang mengatakan bahwa novel pertamaku menjadi salah satu penjualan terbaik selama seminggu ini.
Aku segera mungkin menuju rak best seller di toko buku ini, dan benar saja, “A little Friends from Neptune” ada disana, tinggal satu buah.
Aku mengambilnya, namun ada sebuah tangan kokoh lain yang juga ingin mengambilnya.
“Maaf, Ambil saja, aku sudah punya.” Ucapku, kemudian menoleh kepada seseorang pembeli terakhir novelku hari ini.
            Aku tersentak, kaki ku melemas, aku melihatnya lagi, setelah sepuluh tahun berselang. Dia lebih tinggi, dan senyumnya masih tetap sama, menawan.
            “Thanks, kalau sudah punya kenapa beli?” tanya-nya kemudian.
            Aku tidak tahu, apa yang terjadi, aku bersyukur, aku kembali bertemu dengannya dengan cara yang aneh. Namun sepertinya dia tak lagi mengenalku.
            “Aku hanya senang, ternyata novel yang aku beli, menjadi salah satu buku terlaris disini.” Ucapku bohong.
            Dia menghadap kepadaku, kemudian memandangku lekat. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi rasanya aneh.
            “Kenapa sepertinya kita pernah bertemu?” tanya pemuda itu dengan dahi berkerut.
            Aku hanya diam, kenapa ulu hatiku rasanya sakit?
            “Oh maaf, mungkin hanya perasaanku saja, hmm, penulis novel ini sepertinya juga familiar denganku.” Katanya lagi.
            “Mungkin saja, kamu kenal dengan penulis itu, mungkin saja dia sahabat kecilmu, atau.. memang kamu pernah bertemu dengannya.” Ucapku mencoba mengingatkannya.
            “Tidak, sepertinya tidak.”
            Ku rasakan genggaman tanganku mengeras, apa lagi yang dia katakan setelah ini? Kenapa rasanya begitu sakit? Apa yang salah dengan perasaan ini? Apa ada yang tidak wajar dengan penantian ini? Lalu apakah ini ujungnya?
            “Apa kamu tidak ingat? Ada seseorang yang selalu menunggumu dalam sepi, mengharapkanmu dalam diam, salalu menantimu dengan janji kecil dan serpihan bunga eddelweis yang mulai berguguran selama sepuluh tahun terakhir ini?"
            Kata itu terlontar, aku meninggalkannya yang masih mematung. Aku menjauh semakin menjauh dengan air mata yang mengalir deras.
            “Amanda!”
Lagi, kudengar dia terus memanggilku, dan aku tak peduli itu, cukup sudah sakit ini terasa, biarlah, semua terpendam dengan sendirinya. Berlalu bersama angin kecil yang berbisik lembut di sela – sela ruang bumi.