CHAPTER 5
Matahari
terbit dengan tergesa di Seongnam-gil. Seorang gadis bersembunyi dibalik
selapis selimut tebal dengan tubuh yang bergerak enggan, diam pun jadi beban.
Nampaknya tidak tertarik menikmati indahnya pesona matahari pagi di musim semi.
Tubuhnya panas, seperti mau melepuh. Denyut di kepala menambah pemahaman yang
disimpulkannya. Ia sakit.
Terdengar
suara pintu yang dibuka. Gadis itu mengintip dua detik, lalu kembali menarik
selimutnya keseluruh badan. Hanya Eomma.
Pikirnya.
Meski
dari balik selimut, ia tahu bahwa cahaya matahari menyapa malu-malu dibalik
jendela kamar setelah Eomma menyibak gorden. Akhirnya, walaupun dengan sakit
yang dirasakan, ia berusaha untuk duduk.
“Eomma,
sepertinya aku mendadak sakit. Jeongmal
andwaessda.[1]”
A rin, gadis itu dengan susah payah berbicara kepada Eomma-nya. Bahkan suaranya
nyaris habis.
“Al-ayo[2].
Semalam kau mengigil sekali. Eomma sudah buatkan bubur. Kau sarapan saja dulu.”
A
rin menyentuh keningnya. “Kenapa aku ini? Diajak bermain-main di Pantai malah
berujung sakit. Memalukan sekali,”
“Kau
makan saja dulu. Eomma akan siapkan obat untukmu. Oh ya, Appa bilang kau tidak
perlu pulang ke Gwanak besok. Istirahat dulu saja di Rumah,”
“Bagaimana
dengan kuliahku Eomma?” A rin bertanya sembari menyendok bubur.
“Izin
beberapa hari tidak masalah, bukan? Kabari saja teman-teman atau dosenmu.”
A
rin mengangguk paham, ia mengambil ponselnya di meja kecil tempat lampu duduk.
“Ah,
kenapa mati? Aku lupa membawa charger
lagi. Eotteohge?[3]”
Ia
memandangi ponselnya dengan wajah iba.
“Ya
sudah, terpaksa harus menghubungi Ha Na pakai telepon rumah saja.”
**
Sesekali
Alfa memandangi ponselnya diam-diam dengan wajah gusar. Jo Hyuk yang duduk
disebelahnya sampai bingung apa yang melanda sahabatnya sampai-sampai tertarik
memandangi ponsel yang tidak berbunyi sama sekali. Alfa tidak biasanya membagi
fokusnya pada hal lain ketika sedang di kelas. Tapi kali ini, entah kenapa ada
perasaan aneh yang membuatnya terus khawatir tanpa tahu sama sekali apa yang ia
khawatirkan.
Apa
ia sedang menunggu kabar dari A rin? Alfa ingin mengenyahkan kemungkinan itu.
Tidak mungkin. Kenapa pula ia harus ingin A rin memberi kabar kepadanya. Pasti
gadis itu juga sedang belajar. Akhirnya, Alfa memutuskan untuk mematikan
ponselnya, berharap saat dinyalakan nanti, ada satu pesan terselip. Hmmm… dan
diam-diam berharap pesan itu datang dari A rin.
**
Harapan
Alfa tidak berujung kenyataan. Satu jam sudah berlalu sejak kelasnya bubar.
Tidak ada satu pesan masuk yang menunjukan tanda-tanda A rin. Ia jadi
uring-uringan sendiri. Masalahnya, Alfa sudah menyalin nomornya di ponsel A rin
kemarin, tapi bodohnya ia tidak menyimpan balik nomor A rin. Niat awalnya, ia
hanya ingin A rin yang menghubunginya lebih dulu, tapi sampai sekarang gadis
itu tidak menelepon atau sekedar memberi pesan.
“Kenapa
gua jadi cengeng begini?” Ia bergumam dalam bahasa Indonesia sambil terus
memandangi ponselnya.
Alfa
semakin bermuram durja karena kenyataan lain. A rin yang tidak berkeliaran
disekitar Fakultasnya. Biasanya, gadis itu akan muncul tiba-tiba dari berbagai
arah yang tidak terduga. Dengan alasan menemui temannya.
Alfa
melirik arloji ditangannya. Sudah pukul dua siang, dan ia yakin A rin tidak
akan datang kesini karena jam makan siang pun sudah hampir selesai.
“Kau
mau soda?” Jo Hyuk muncul disebelahnya.
Alfa
menggeleng.
“Jika
aku boleh tahu, apa yang membuat wajahmu murung seharian ini, chingu[4]?”
“Tidak
ada apa-apa. Aku hanya sedang bosan. Seharian ini tidak melihat pemandangan
indah,” Alfa menjawab asal.
“Kau
sedang menunggu kabar dari seseorang?” Pertanyaan Jo Hyuk spontan membuat Alfa
menoleh dan mengernyit bingung.
“Aku
benar. Kau sedang menunggu seseorang. Siapa dia? Seorang yeoja?[5]”
Alfa
mendengus. “Kau lama-lama semakin menakutkan tahu tidak?”
“Kenapa?
Karena prediksiku selalu benar?” Jo Hyuk tertawa mencibir.
“Sudahlah.
Aku harus bertemu seseorang di Fakultas ini. Kau kenal dengan banyak junior,
bukan?”
**
Ha
Na sempat bingung ketika temannya memberitahu bahwa ada senior yang sedang
menunggunya di dekat mading. Ia bertambah bingung ketika tahu senior itu adalah
Alfa dan Jo Hyuk, dua senior yang sangat terkenal di Fakultasnya. Ha Na ragu
untuk menghampiri, tapi teman-temannya terus mendesaknya, mengatakan jika Ha Na
akan menyesal jika tidak menemui seniornya itu.
Alfa
dan Jo Hyuk menghentikan obrolannya, ketika seorang gadis berambut panjang
menghampirinya dengan perpaduan wajah malu dan takut-takut.
“Sunbae… mencariku?” Ha Na yakin suaranya
terdengar sangat bodoh. Tapi ia benar-benar tidak tahu harus bersikap
bagaimana.
“Oh,
Ha Na ssi[6]?
Ha
Na mengangguk kecil ketika mendengar suara bariton Alfa bertanya kepadanya.
“Perkenalkan,
namaku Alfa dan ini temanku, Lee Jo Hyuk.”
Ha
Na menjabat kedua tangan kokoh seniornya dengan ragu.
“Kau
temannya A rin, kan?”
Ha
Na yang bertubuh kecil seperti A rin harus mendongak menatap Alfa yang
menjulang tinggi, demi meyakinkan apa yang ditanyakan pemuda itu.
“Sunbae kenal A rin?” Ha Na justru balik
bertanya dengan nada bingung.
“Bukan
sekedar mengenalnya. Tapi temanku ini menyukai temanmu, Ha Na ssi. Sampai-sampai seharian ini murung
terus karena tidak bertemu.” Jo Hyuk menimpali dengan cepat, yang kemudian
dihadiahi pelototan dari Alfa.
Ha
Na semakin bingung. Banyak pertanyaan yang berlarian dibenaknya. Tapi ia tahu
saat ini tidak mungkin bertanya banyak pada Alfa atau temannya.
“Alfa
sunbae tidak tahu? A rin sedang
sakit. Tadi pagi dia meneleponku dan bilang tidak akan kuliah.”
Alfa
tertohok. Sakit? Pantas saja A rin tidak mengubunginya sama sekali sepanjang
hari ini. Gadis itu sedang sakit dan jangan-jangan A rin sakit setelah bermain
air di Pantai seharian bersamanya. Alfa merutuk dirinya sendiri. Ada sedikit
rasa penyesalan dan khawatir yang timbul dalam dirinya. Tapi Alfa berusaha
untuk tidak menunjukannya secara kasat mata.
“Kalau
boleh tahu, dia dimana sekarang?”
Ha
Na menggigit bibirnya. Apakah ia harus memberitahu Alfa begitu saja? Tapi
melihat seniornya terlihat khawatir, sepertinya memang ada sesuatu yang sangat
serius diantara mereka.
“Di
Seongnam-gil. Sunbae mau alamatnya?”
**
Alfa
membaca alamat yang diberikan Ha Na berkali-kali. Ia lalu mengetik alamat
tersebut di GPS. Sementara Jo Hyuk yang berada dibelakang kemudi.
“Pastikan
alamat yang kau tulis benar. Aku tidak ingin menyetir jauh-jauh tapi justru
tersasar,”
Alfa
memutar bola matanya. “Kau lebih cerewet daripada A rin,”
“Ya! Kau bahkan sekarang membandingkanku
dengan seorang gadis.” Jo Hyuk berkomentar dengan sebal.
“Ayo
jalan. Aku pusing mendengarmu berceloteh terus.”
Jo
Hyuk mulai menancap gas. “Oh aku melupakan sesuatu,”
Alfa
memandang temannya itu dengan bingung.
“Teman
pacarmu itu, Ha Na ssi, aku boleh
minta nomor ponselnya? Hitung-hitung kau membayar hutang karena aku selalu
membantumu.”
“Silahkan
saja kalau Ha Na ssi mau dekat
denganmu, aku tidak yakin. Ah! Satu lagi, A rin bukan pacarku. Jangan bicara
yang aneh-aneh,”
Jo
Hyuk menatap temannya itu sekilas. Lalu menggeleng-geleng. Tidak mengerti jalan
pikiran Alfa.
**
Setelah berputar-putar di Seongnam-gil mereka
berhenti didepan rumah minimalis. Alfa kembali memasukan ponselnya kedalam
saku. "Sudah sampai." katanya.
Jo
Hyuk hanya mengangkat bahu, lantas bergegegas berdiri di depan rumah minimalis
itu, membiarkan Alfa berjalan di depannya dengan raut khawatir, dan juga sorot
mata yang Jo Hyuk yakini sebagai seorang pria yang jatuh cinta.
Sekali
lagi, Jo Hyuk tidak mengerti jalan pikiran Alfa. Bagaimana mungkin pria itu
tidak menyadari perasaannya sendiri?
Alfa
perlahan mengetuk pintu, hingga sosok wanita paruh baya yang memiliki kulit
hampir mirip dengan miliknya tersenyum kepada mereka.
"Annyeong,
mencari siapa?"
Alfa
membungkuk memberi hormat, diikuti dengan Jo Hyuk.
"Annyeong,
apa benar ini rumah Kim A Rin?"
Wanita
itu mengangguk. "Arin sedang sakit. Ayo masuk ke dalam. Kalian temannya
ya?"
Alfa
mengangguk ragu. "O, kami sunbaenya. Saya Alfa, dan dia Jo Hyuk teman
saya."
Wanita
yang Alfa yakini adalah ibu A rin, tersenyum kearahnya, membuat Alfa menggaruk
tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.
"Jadi
ini yang bernama Alfa? Kamu dari Indonesia kan? A rin bercerita banyak tentangmu. Jika ia tahu kamu ada
disini, ia pasti sangat senang."
Jo
Hyuk menyeringai. Lantas berbisik pada Alfa, "Lihat bung, bahkan ibunya
menganggapmu sebagai calon mantu, bagaimana mungkin kau bisa mengatakan bahwa
kau dan gadis itu tidak mempunyai ikatan apapun selain sunbae dan honbae?"
Alfa
mendengus kesal. Ia memang belum berniat menyelami hatinya sendiri. Ia
membiarkan semua mengalir apa adanya. Baginya, A rin terlihat pada pandangan
matanya itu sudah cukup.
"Ini
kamar A rin. Tidak usah sungkan. Bibi ambilkan kalian minuman dulu di
dapur."
Alfa
tersentak setelah pintu kayu itu terbuka. Seorang gadis terbaring dibawah
gundukan selimut. Wajahnya pucat, sedang sebuah kompres menempel di dahinya.
Tanpa
bisa menahan diri lebih lama, Alfa mendekat. Tangannya terulur, menyingkirkan
anak rambut yang menghalangi wajah gadis itu. Badan A rin masih hangat. Dan
Alfa semakin yakin, siapa penyebab semua ini.
Gadis
itu melenguh begitu menyadari tangan kokoh mengelus pelan surai coklat tua
miliknya. "Appa, pelan-pelan, bukankah seharusnya hari ini Appa bekerja?"
Alfa
tidak bisa menahan senyumnya. Jadi, gadis ini mengira ia adalah Ayahnya?
"Aku
bukan Ayahmu."
Refleks,
Arin membuka mata, meski pusing masih melanda kepalanya.
"Kak
Alfa? Tidak mungkin, aku pasti berhalusinasi."
Lantas
Alfa menggenggam dua tangan A rin yang masih terkulai lemas. "Apa
halusinasi bisa menggenggam tangan seseorang seperti ini?"
Wajah
A rin memanas, dan ia yakin ini bukan karena demamnya semakin tinggi.
"Bagaimana bisa kau berada disini?"
"Tidak
penting bagaimana bisa aku berada disini. Aku minta maaf karena membuat bajumu
basah, dan kedinginan, hingga membuatmu seperti ini."
"Itu
bukan salahmu."
"Tentu
saja ini salahku."
Jo
Hyuk berdeham, karena Ibu A rin memasuki kamar A rin dengan nampan berisi jus
jeruk dan beberapa cemilan.
"Bibi,
bisakah beritahu aku dimana letak toilet?"
Rayna,
ibu A rin tersenyum, lantas menjawab, "Ayo bibi antarkan."
Melihat
Eomma dan sunbaenya pergi, hingga meninggalkan ia dan Alfa sendiri, A rin
kembali berkata, "Itu bukan salahmu. Saat itu aku sudah sedikit flu, jadi
wajar saja aku menjadi semakin sakit."
Alfa
menghela napas, menatap A rin tepat dikedua bola mata gadis itu. "Berhenti
menyalahkan dirimu sendiri, ini semua memang salahku. Bagaimana mungkin aku
tidak bisa menyadari keadaan gadis yang kehadirannya begitu berarti untukku?
Harusnya aku tahu bagaimana keadaanmu saat itu."
Mata
A rin berkaca-kaca, dan lagi, ini bukan karena demam. Tidak mempedulikan
kompresnya yang telah terjatuh entah dimana, gadis itu memeluk erat pemuda
dihadapannya, seakan ia tidak mau ditinggalkan.
Mendengar
isak tangis yang teredam dibahunya, Alfa balas memeluk gadis itu, dan sesekali
mengusap pelan rambut A rin dengan sayang.
"Apa
yang kau katakan tadi benar?"
"Menurutmu?"
A
rin melepaskan pelukannya, matanya masih sembab, namun tidak ragu memandang
iris elang milik pemuda dihadapannya.
Alfa
tersenyum tulus, lantas kembali berkata, "Bagaimana mungkin seorang gadis
aneh, seorang k-pop freak tidak menarik perhatianku padanya?"
A
rin memukul pelan bahu Alfa, dibalas dengan pelukan singkat disertai kekehan
pemuda itu.
"Sekarang
kau harus minum obat, aku tidak mau hari-hariku semakin aneh karena kau tidak
ada di kampus."
**
Hari
semakin larut. Alfa dan Jo Hyuk memutuskan untuk segera pulang.
"Terimakasih
Alfa Oppa, juga Jo Hyuk sunbae karena telah jauh-jauh menjengukku disini."
"Aku
sebenarnya hanya mengantar Alfa, A rin.
Bisakah aku meminta nomor Ha Na sebagai ucapan terimakasih?"
"Idiot."
gumam Alfa.
A
rin lantas menyerahkan secarik kertas pada Jo Hyuk, membuat laki-laki itu
begitu girang.
"Baboth.
Yes, you are." Alfa kembali bergumam, dibalas dengusan Jo Hyuk.
"Setidaknya
aku akan bergerak cepat, dan tidak suka menggantungkan hubungan begitu
lama." bisik Jo Hyuk, membuat Alfa menyikut pelan perut pemuda itu.
Rayna
datang membawa beberapa kotak makanan. "Kalian terlalu terburu-buru, aku
berencana mengajak kalian makan malam. Ayah A rin akan pulang sebentar
lagi."
"Mungkin
lain kali, ketika kami mampir kesini lagi bibi." Jawab Jo Hyuk.
"Ini
ada beberapa makanan yang bisa kalian
bawa pulang. Beberapa adalah masakan Indonesia. Bibi harap kalian akan
suka."
Alfa
menunduk, "Terimakasih bibi, kami sangat menyukainya." Lantas
netranya bergulir pada A rin yang berada disamping ibunya.
"A
rin tidak perlu mengantar kami hingga depan. Istirahatlah. Angin malam tidak
baik untukmu."
Arin
mendengus, lantas berbalik menuju kamar, membuat ibunya terkekeh geli.
"Alfa,
bisakah menjaga A rin selama di Seoul?"
Alfa
mengangguk dan tersenyum kaku.
**
"Kau
benar-benar gila sunbae." ucap Jo Hyuk yang sedang menyetir.
Alfa
mengrenyit tidak mengerti.
"Interaksimu
dengan A rin tidak sebatas seorang teman, tidak sebatas kakak pada adiknya,
apalagi sunbae pada hoobaenya. Kau kemanakan pikiran logismu selama ini?"
"Aku
hanya membiarkan semuanya mengalir apa adanya."
Jo
Hyuk memukul kepala Alfa, membuat pemuda itu mengaduh kesakitan. "Bahkan
Ibunya menganggapmu seperti anaknya sendiri. Ibunya telah menaruh harapan besar
padamu. Apa salahnya mempertegas hubungan kalian?"
"Aku...
aku hanya tidak mau terluka lagi."
"Bahkan
kau lebih idiot dariku. Tanpa sadar, kau telah menyakitinya dengan perlahan
sekarang. Terserah padamu, aku tidak tahu bagaimana cara agar otakmu kembali
berpikir logis. Satu pesanku, jangan menyesal jika nantinya berlian yang
seharusnya kau genggam, hanyut pada aliran air yang kau buat sendiri."