RSS

Senin, 04 April 2016

IRISH (무지개) Chp 5



CHAPTER 5
Matahari terbit dengan tergesa di Seongnam-gil. Seorang gadis bersembunyi dibalik selapis selimut tebal dengan tubuh yang bergerak enggan, diam pun jadi beban. Nampaknya tidak tertarik menikmati indahnya pesona matahari pagi di musim semi. Tubuhnya panas, seperti mau melepuh. Denyut di kepala menambah pemahaman yang disimpulkannya. Ia sakit.
Terdengar suara pintu yang dibuka. Gadis itu mengintip dua detik, lalu kembali menarik selimutnya keseluruh badan. Hanya Eomma. Pikirnya.
Meski dari balik selimut, ia tahu bahwa cahaya matahari menyapa malu-malu dibalik jendela kamar setelah Eomma menyibak gorden. Akhirnya, walaupun dengan sakit yang dirasakan, ia berusaha untuk duduk.
“Eomma, sepertinya aku mendadak sakit. Jeongmal andwaessda.[1]” A rin, gadis itu dengan susah payah berbicara kepada Eomma-nya. Bahkan suaranya nyaris habis.
Al-ayo[2]. Semalam kau mengigil sekali. Eomma sudah buatkan bubur. Kau sarapan saja dulu.”
A rin menyentuh keningnya. “Kenapa aku ini? Diajak bermain-main di Pantai malah berujung sakit. Memalukan sekali,”
“Kau makan saja dulu. Eomma akan siapkan obat untukmu. Oh ya, Appa bilang kau tidak perlu pulang ke Gwanak besok. Istirahat dulu saja di Rumah,”
“Bagaimana dengan kuliahku Eomma?” A rin bertanya sembari menyendok bubur.
“Izin beberapa hari tidak masalah, bukan? Kabari saja teman-teman atau dosenmu.”
A rin mengangguk paham, ia mengambil ponselnya di meja kecil tempat lampu duduk.
“Ah, kenapa mati? Aku lupa membawa charger lagi. Eotteohge?[3]
Ia memandangi ponselnya dengan wajah iba.
“Ya sudah, terpaksa harus menghubungi Ha Na pakai telepon rumah saja.”
**
Sesekali Alfa memandangi ponselnya diam-diam dengan wajah gusar. Jo Hyuk yang duduk disebelahnya sampai bingung apa yang melanda sahabatnya sampai-sampai tertarik memandangi ponsel yang tidak berbunyi sama sekali. Alfa tidak biasanya membagi fokusnya pada hal lain ketika sedang di kelas. Tapi kali ini, entah kenapa ada perasaan aneh yang membuatnya terus khawatir tanpa tahu sama sekali apa yang ia khawatirkan.
Apa ia sedang menunggu kabar dari A rin? Alfa ingin mengenyahkan kemungkinan itu. Tidak mungkin. Kenapa pula ia harus ingin A rin memberi kabar kepadanya. Pasti gadis itu juga sedang belajar. Akhirnya, Alfa memutuskan untuk mematikan ponselnya, berharap saat dinyalakan nanti, ada satu pesan terselip. Hmmm… dan diam-diam berharap pesan itu datang dari A rin.
**
Harapan Alfa tidak berujung kenyataan. Satu jam sudah berlalu sejak kelasnya bubar. Tidak ada satu pesan masuk yang menunjukan tanda-tanda A rin. Ia jadi uring-uringan sendiri. Masalahnya, Alfa sudah menyalin nomornya di ponsel A rin kemarin, tapi bodohnya ia tidak menyimpan balik nomor A rin. Niat awalnya, ia hanya ingin A rin yang menghubunginya lebih dulu, tapi sampai sekarang gadis itu tidak menelepon atau sekedar memberi pesan.
“Kenapa gua jadi cengeng begini?” Ia bergumam dalam bahasa Indonesia sambil terus memandangi ponselnya.
Alfa semakin bermuram durja karena kenyataan lain. A rin yang tidak berkeliaran disekitar Fakultasnya. Biasanya, gadis itu akan muncul tiba-tiba dari berbagai arah yang tidak terduga. Dengan alasan menemui temannya.
Alfa melirik arloji ditangannya. Sudah pukul dua siang, dan ia yakin A rin tidak akan datang kesini karena jam makan siang pun sudah hampir selesai.
“Kau mau soda?” Jo Hyuk muncul disebelahnya.
Alfa menggeleng.
“Jika aku boleh tahu, apa yang membuat wajahmu murung seharian ini, chingu[4]?”
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya sedang bosan. Seharian ini tidak melihat pemandangan indah,” Alfa menjawab asal.
“Kau sedang menunggu kabar dari seseorang?” Pertanyaan Jo Hyuk spontan membuat Alfa menoleh dan mengernyit bingung.
“Aku benar. Kau sedang menunggu seseorang. Siapa dia? Seorang yeoja?[5]
Alfa mendengus. “Kau lama-lama semakin menakutkan tahu tidak?”
“Kenapa? Karena prediksiku selalu benar?” Jo Hyuk tertawa mencibir.
“Sudahlah. Aku harus bertemu seseorang di Fakultas ini. Kau kenal dengan banyak junior, bukan?”
**
Ha Na sempat bingung ketika temannya memberitahu bahwa ada senior yang sedang menunggunya di dekat mading. Ia bertambah bingung ketika tahu senior itu adalah Alfa dan Jo Hyuk, dua senior yang sangat terkenal di Fakultasnya. Ha Na ragu untuk menghampiri, tapi teman-temannya terus mendesaknya, mengatakan jika Ha Na akan menyesal jika tidak menemui seniornya itu.
Alfa dan Jo Hyuk menghentikan obrolannya, ketika seorang gadis berambut panjang menghampirinya dengan perpaduan wajah malu dan takut-takut.
Sunbae… mencariku?” Ha Na yakin suaranya terdengar sangat bodoh. Tapi ia benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana.
“Oh, Ha Na ssi[6]?
Ha Na mengangguk kecil ketika mendengar suara bariton Alfa bertanya kepadanya.
“Perkenalkan, namaku Alfa dan ini temanku, Lee Jo Hyuk.”
Ha Na menjabat kedua tangan kokoh seniornya dengan ragu.
“Kau temannya A rin, kan?”
Ha Na yang bertubuh kecil seperti A rin harus mendongak menatap Alfa yang menjulang tinggi, demi meyakinkan apa yang ditanyakan pemuda itu.
Sunbae kenal A rin?” Ha Na justru balik bertanya dengan nada bingung.
“Bukan sekedar mengenalnya. Tapi temanku ini menyukai temanmu, Ha Na ssi. Sampai-sampai seharian ini murung terus karena tidak bertemu.” Jo Hyuk menimpali dengan cepat, yang kemudian dihadiahi pelototan dari Alfa.
Ha Na semakin bingung. Banyak pertanyaan yang berlarian dibenaknya. Tapi ia tahu saat ini tidak mungkin bertanya banyak pada Alfa atau temannya.
“Alfa sunbae tidak tahu? A rin sedang sakit. Tadi pagi dia meneleponku dan bilang tidak akan kuliah.”
Alfa tertohok. Sakit? Pantas saja A rin tidak mengubunginya sama sekali sepanjang hari ini. Gadis itu sedang sakit dan jangan-jangan A rin sakit setelah bermain air di Pantai seharian bersamanya. Alfa merutuk dirinya sendiri. Ada sedikit rasa penyesalan dan khawatir yang timbul dalam dirinya. Tapi Alfa berusaha untuk tidak menunjukannya secara kasat mata.
“Kalau boleh tahu, dia dimana sekarang?”
Ha Na menggigit bibirnya. Apakah ia harus memberitahu Alfa begitu saja? Tapi melihat seniornya terlihat khawatir, sepertinya memang ada sesuatu yang sangat serius diantara mereka.
“Di Seongnam-gil. Sunbae mau alamatnya?”
**
Alfa membaca alamat yang diberikan Ha Na berkali-kali. Ia lalu mengetik alamat tersebut di GPS. Sementara Jo Hyuk yang berada dibelakang kemudi.
“Pastikan alamat yang kau tulis benar. Aku tidak ingin menyetir jauh-jauh tapi justru tersasar,”
Alfa memutar bola matanya. “Kau lebih cerewet daripada A rin,”
Ya! Kau bahkan sekarang membandingkanku dengan seorang gadis.” Jo Hyuk berkomentar dengan sebal.
“Ayo jalan. Aku pusing mendengarmu berceloteh terus.”
Jo Hyuk mulai menancap gas. “Oh aku melupakan sesuatu,”
Alfa memandang temannya itu dengan bingung.
“Teman pacarmu itu, Ha Na ssi, aku boleh minta nomor ponselnya? Hitung-hitung kau membayar hutang karena aku selalu membantumu.”
“Silahkan saja kalau Ha Na ssi mau dekat denganmu, aku tidak yakin. Ah! Satu lagi, A rin bukan pacarku. Jangan bicara yang aneh-aneh,”
Jo Hyuk menatap temannya itu sekilas. Lalu menggeleng-geleng. Tidak mengerti jalan pikiran Alfa.
**
 Setelah berputar-putar di Seongnam-gil mereka berhenti didepan rumah minimalis. Alfa kembali memasukan ponselnya kedalam saku. "Sudah sampai." katanya.
Jo Hyuk hanya mengangkat bahu, lantas bergegegas berdiri di depan rumah minimalis itu, membiarkan Alfa berjalan di depannya dengan raut khawatir, dan juga sorot mata yang Jo Hyuk yakini sebagai seorang pria yang jatuh cinta.
Sekali lagi, Jo Hyuk tidak mengerti jalan pikiran Alfa. Bagaimana mungkin pria itu tidak menyadari perasaannya sendiri?
Alfa perlahan mengetuk pintu, hingga sosok wanita paruh baya yang memiliki kulit hampir mirip dengan miliknya tersenyum kepada mereka.
"Annyeong, mencari siapa?"
Alfa membungkuk memberi hormat, diikuti dengan Jo Hyuk.
"Annyeong, apa benar ini rumah Kim A Rin?"
Wanita itu mengangguk. "Arin sedang sakit. Ayo masuk ke dalam. Kalian temannya ya?"
Alfa mengangguk ragu. "O, kami sunbaenya. Saya Alfa, dan dia Jo Hyuk teman saya."
Wanita yang Alfa yakini adalah ibu A rin, tersenyum kearahnya, membuat Alfa menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.
"Jadi ini yang bernama Alfa? Kamu dari Indonesia kan? A rin bercerita  banyak tentangmu. Jika ia tahu kamu ada disini, ia pasti sangat senang."
Jo Hyuk menyeringai. Lantas berbisik pada Alfa, "Lihat bung, bahkan ibunya menganggapmu sebagai calon mantu, bagaimana mungkin kau bisa mengatakan bahwa kau dan gadis itu tidak mempunyai ikatan apapun selain sunbae dan honbae?"
Alfa mendengus kesal. Ia memang belum berniat menyelami hatinya sendiri. Ia membiarkan semua mengalir apa adanya. Baginya, A rin terlihat pada pandangan matanya itu sudah cukup.
"Ini kamar A rin. Tidak usah sungkan. Bibi ambilkan kalian minuman dulu di dapur."
Alfa tersentak setelah pintu kayu itu terbuka. Seorang gadis terbaring dibawah gundukan selimut. Wajahnya pucat, sedang sebuah kompres menempel di dahinya.
Tanpa bisa menahan diri lebih lama, Alfa mendekat. Tangannya terulur, menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah gadis itu. Badan A rin masih hangat. Dan Alfa semakin yakin, siapa penyebab semua ini.
Gadis itu melenguh begitu menyadari tangan kokoh mengelus pelan surai coklat tua miliknya. "Appa, pelan-pelan, bukankah seharusnya  hari ini Appa bekerja?"
Alfa tidak bisa menahan senyumnya. Jadi, gadis ini mengira ia adalah Ayahnya?
"Aku bukan Ayahmu."
Refleks, Arin membuka mata, meski pusing masih melanda kepalanya.
"Kak Alfa? Tidak mungkin, aku pasti berhalusinasi."
Lantas Alfa menggenggam dua tangan A rin yang masih terkulai lemas. "Apa halusinasi bisa menggenggam tangan seseorang seperti ini?"

Wajah A rin memanas, dan ia yakin ini bukan karena demamnya semakin tinggi. "Bagaimana bisa kau berada disini?"
"Tidak penting bagaimana bisa aku berada disini. Aku minta maaf karena membuat bajumu basah, dan kedinginan, hingga membuatmu seperti ini."
"Itu bukan salahmu."
"Tentu saja ini salahku."
Jo Hyuk berdeham, karena Ibu A rin memasuki kamar A rin dengan nampan berisi jus jeruk dan beberapa cemilan.
"Bibi, bisakah beritahu aku dimana letak toilet?"
Rayna, ibu A rin tersenyum, lantas menjawab, "Ayo bibi antarkan."
Melihat Eomma dan sunbaenya pergi, hingga meninggalkan ia dan Alfa sendiri, A rin kembali berkata, "Itu bukan salahmu. Saat itu aku sudah sedikit flu, jadi wajar saja aku menjadi semakin sakit."
Alfa menghela napas, menatap A rin tepat dikedua bola mata gadis itu. "Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, ini semua memang salahku. Bagaimana mungkin aku tidak bisa menyadari keadaan gadis yang kehadirannya begitu berarti untukku? Harusnya aku tahu bagaimana keadaanmu saat itu."
Mata A rin berkaca-kaca, dan lagi, ini bukan karena demam. Tidak mempedulikan kompresnya yang telah terjatuh entah dimana, gadis itu memeluk erat pemuda dihadapannya, seakan ia tidak mau ditinggalkan.
Mendengar isak tangis yang teredam dibahunya, Alfa balas memeluk gadis itu, dan sesekali mengusap pelan rambut A rin dengan sayang.
"Apa yang kau katakan tadi benar?"
"Menurutmu?"
A rin melepaskan pelukannya, matanya masih sembab, namun tidak ragu memandang iris elang milik pemuda dihadapannya.
Alfa tersenyum tulus, lantas kembali berkata, "Bagaimana mungkin seorang gadis aneh, seorang k-pop freak tidak menarik perhatianku padanya?"
A rin memukul pelan bahu Alfa, dibalas dengan pelukan singkat disertai kekehan pemuda itu.
"Sekarang kau harus minum obat, aku tidak mau hari-hariku semakin aneh karena kau tidak ada di kampus."
**
Hari semakin larut. Alfa dan Jo Hyuk memutuskan untuk segera pulang.
"Terimakasih Alfa Oppa, juga Jo Hyuk sunbae karena telah jauh-jauh menjengukku disini."
"Aku sebenarnya  hanya mengantar Alfa, A rin. Bisakah aku meminta nomor Ha Na sebagai ucapan terimakasih?"
"Idiot." gumam Alfa.
A rin lantas menyerahkan secarik kertas pada Jo Hyuk, membuat laki-laki itu begitu girang.
"Baboth. Yes, you are." Alfa kembali bergumam, dibalas dengusan Jo Hyuk.
"Setidaknya aku akan bergerak cepat, dan tidak suka menggantungkan hubungan begitu lama." bisik Jo Hyuk, membuat Alfa menyikut pelan perut pemuda itu.
Rayna datang membawa beberapa kotak makanan. "Kalian terlalu terburu-buru, aku berencana mengajak kalian makan malam. Ayah A rin akan pulang sebentar lagi."
"Mungkin lain kali, ketika kami mampir kesini lagi bibi." Jawab Jo Hyuk.
"Ini ada beberapa  makanan yang bisa kalian bawa pulang. Beberapa adalah masakan Indonesia. Bibi harap kalian akan suka."
Alfa menunduk, "Terimakasih bibi, kami sangat menyukainya." Lantas netranya bergulir pada A rin yang berada disamping ibunya.
"A rin tidak perlu mengantar kami hingga depan. Istirahatlah. Angin malam tidak baik untukmu."
Arin mendengus, lantas berbalik menuju kamar, membuat ibunya terkekeh geli.
"Alfa, bisakah menjaga A rin selama di Seoul?"
Alfa mengangguk dan tersenyum kaku.
**
"Kau benar-benar gila sunbae." ucap Jo Hyuk yang sedang menyetir.
Alfa mengrenyit tidak mengerti.
"Interaksimu dengan A rin tidak sebatas seorang teman, tidak sebatas kakak pada adiknya, apalagi sunbae pada hoobaenya. Kau kemanakan pikiran logismu selama ini?"
"Aku hanya membiarkan semuanya mengalir apa adanya."
Jo Hyuk memukul kepala Alfa, membuat pemuda itu mengaduh kesakitan. "Bahkan Ibunya menganggapmu seperti anaknya sendiri. Ibunya telah menaruh harapan besar padamu. Apa salahnya mempertegas hubungan kalian?"
"Aku... aku hanya tidak mau terluka lagi."
"Bahkan kau lebih idiot dariku. Tanpa sadar, kau telah menyakitinya dengan perlahan sekarang. Terserah padamu, aku tidak tahu bagaimana cara agar otakmu kembali berpikir logis. Satu pesanku, jangan menyesal jika nantinya berlian yang seharusnya kau genggam, hanyut pada aliran air yang kau buat sendiri."


[1] Sungguh menyebalkan.
[2] Iya, Eomma tahu.
[3] Bagaimana ini?
[4] Teman.
[5] Gadis.
[6] Panggilan formal untuk Nona, atau Tuan di Korea Selatan.

muupkeun untuk ketelatan update, enjoy read ya!

IRISH (무지개) chapter 4




A rin masih memegangi kedua pipinya yang terasa panas bahkan ketika ia sudah sampai di depan Goshiwon[1] yang disewanya bersama Ha na. Ia yakin tubuhnya masih berada di bumi, namun mengapa jika ia mengingat kejadian tadi siang, seolah raganya dibawa melayang-layang?
A rin menggeleng kecil, menepis bayang-bayang itu. Ia membubuhkan password pintu, lalu masuk.
Ha na yang melihat teman satu atapnya sudah pulang kini menatap heran. Ada apa dengan A rin? Kenapa baru saja masuk lantas tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila?
“Sudah pulang? Aku sedang memasak ramen, kau mau tidak?” Ha na memutuskan menginterupsi daripada melihat A rin menjadi orang gila sungguhan.
Bukannya menjawab pertanyaan sahabatnya, A rin justru berjalan menghampiri dengan langkah ceria, lalu menggenggam tangan Ha na yang bebas.
Mianhae, Ha na.” Ucap A rin.
Sebelah alis Ha na terangkat. “Ne?”
A rin menatap Ha na dengan serius. “Sepertinya aku akan mulai pensiun menjadi fan girl,” Ia menggantung kalimatnya, tersenyum-senyum, lalu melanjutkan, “dan sepertinya kau harus mulai membantuku memilih baju terbaik untuk aku kenakan setiap kencan.”
Ha na tambah bingung dengan ucapan A rin, gadis itu bahkan melupakan ramen yang sudah hampir matang.
“Apa yang sedang kau bicarakan? Kau tidak bergurau tentang berkencan dengan Minho oppa atau sebagainya, bukan?”
A rin mengerucutkan bibirnya. Ia tahu, kadang-kadang, sehabis menonton drama atau menonton grup idol tampil, khayalan tingkat tingginya akan muncul. Namun kali ini ia serius, tapi Ha na tidak menghiraukannya.
“Ha na-ya, menurutmu, apa sebuah sikap itu lebih meyakinkan daripada sebuah ungkapan?” A rin bertanya.
Ha na mengangguk kecil, meski belum mengerti arah pembicaraan A rin yang sebenarnya.
“Kalau begitu, aku yakin sekarang. Tidak percuma aku memutus urat malu demi mengejarnya belakangan ini. Sepertinya perasaanku terbalas.”
Ha na baru sadar kalau teman di sampingnya tidak sedang bergurau.
“Hei, jadi kau sekarang berkencan? Whoa, daebak! Siapa pria tidak beruntung itu?”
A rin melempar pelototan kepada Ha na. Ia sungguh ingin bercerita, namun ia yakin Ha na akan kaget setengah mati jika mendengar ceritanya saat ini. Ia berjanji, akan mengatakanya suatu hari. Lagipula, ia sendiri belum yakin apa yang sudah dialaminya hari ini. Benarkah ia dan Alfa sudah…?
**
Alfa mengetukan kepalanya ke meja perpustakaan berkali-kali. Ia bahkan tidak memedulikan tatapan heran dari mahasiswa-mahasiswa yang duduk disekitarnya. Alfa terus mengingat tindakannya siang tadi. Mendadak, ia merasa sangat bodoh.
Alfa mengangkat wajahnya dari meja, lalu melirik Jo Hyuk yang sibuk dengan laptopnya.
“Hei, aku boleh bertanya sesuatu?” Alfa berbisik-bisik, karena tidak ingin mengganggu.
“Apapun,” Jo Hyuk menjawab tanpa beralih dari laptop.
Alfa tidak pernah bercerita masalah pribadinya kepada siapapun, termasuk Jo Hyuk, yang sudah berteman lama dengannya. Namun, Alfa butuh komentar atau bahkan solusi jika perlu.
“Menurutmu, apa mencium seorang perempuan adalah tindakan yang buruk? Maksudku, kau bahkan baru mengenalnya,” Alfa terdengar gugup.
Jo Hyuk melirik temannya itu dengan ringan. “For God’s sake, Alfa, bukankah hal seperti itu lumrah? Bagimu yang bahkan pernah tinggal di Amerika. Menurutku, kau tidak perlu bertanya hal-hal seperti itu di Korea,”
Masalahnya aku belum pernah mencium dan dicium perempuan lain selain Mami, Eyang dan sanak keluarga. Alfa membatin. Jo Hyuk mungkin tidak tahu, betapa dirinya dulu sangat sulit beradaptasi dengan pergaulan Amerika, dan untungnya ia cukup kuat menganut adat negara asalnya. Jadi, ia bisa menahan diri selama tinggal disana.
“Ini seperti… kau merasa bersalah kepadanya. Perasaan seperti itu.” Alfa teringat siang tadi, sehabis mencium pipi A rin dengan secepat kilat, mereka jadi saling membisu. Bahkan, rasa enak masakan Indonesia yang dibawakan A rin mendadak jadi hambar. Alfa baru berbicara lagi dengan A rin ketika gadis itu meminta izin untuk pulang lebih dulu.
Jo Hyuk terlihat geram. “Man, look at yourself. You’re so damn good looking, smart, from a rich family, and many more. Everybody loves you.” Jo Hyuk berbicara bahasa Inggris dengan aksen Korea, yang membuat Alfa justru meragukan keseriusan ucapan temannya itu.
 Jo Hyuk menambahkan, “Jika aku jadi kau, aku tidak akan menyia-nyiakan kelebihanku. Menurutku, sudah saatnya kau berkencan. Kurangi beban pikiranmu dengan tugas-tugas kampus, kau bahkan belum lulus tapi sudah terlibat urusan bisnis disana-sini. Aku yakin Ayahmu terlalu pusing mengurus kekayaannya, jadi beliau membagi bebannya denganmu.”
Alfa terkekeh pelan mendengar ucapan Jo Hyuk yang mulai tidak nyambung. “Look, Dude. Tidak seserius itu. Begini saja, jika kau merasa bersalah karena sudah bersikap lancang kepada seorang perempuan, apa yang akan kau lakukan? Mmm, minta maaf tapi tidak secara langsung?”
Alfa menunggu jawaban temannya itu. Terlihat, Jo Hyuk sibuk memikirkan sebuah jawaban.
“Kau cukup ajak dia dinner atau… menonton film?”
Alfa kurang setuju dengan solusi itu. “Ada yang lain?”
“Kau mau meminta maaf atau bagaimana sih? Ya sudah, begitu saja. Perempuan akan melupakan hal yang dianggap menyebalkan jika dia diajak bersenang-senang.” Jo Hyuk memantapkan sarannya.
Alfa menyisir rambutnya dengan kelima jari. Kenapa terdengar seperti mengajak berkencan? Ia berpikir keras. Ah terserah! Hanya perlu mengajak makan malam atau menonton film, bukan? Ia merogoh saku jinsnya, berniat mengirim pesan kepada A rin. Namun ia teringat sesuatu, bahkan ia tidak menyimpan nomor ponsel gadis itu. Jadi… apa ia harus mengajak A rin secara langsung? Kemana harga diri Alfa yang selama ini berusaha dijaganya mati-matian? Ia menolak banyak ajakan kencan dari teman-teman perempuannya di Kampus dan justru akan menawarkan ajakan berkencan kepada perempuan lain? Ia merasa sedikit tidak rela, tapi ia juga tidak berpikir untuk membatalkan saran Jo Hyuk.
Alfa memijit pelipisnya. Ia memang sudah gila. Dan A rin adalah penyebabnya.
**
Alfa terseyum jika mengingat apa yang akan dia lakukan hari ini. Pemuda itu berpikir bahwa dia sudah tidak waras. Hari ini ia akan mengajak A rin untuk pergi ke suatu tempat sebagai tanda permintaan maafnya.
Sejujurnya, Alfa masih ragu dengan apa yang sedang ia rasakan. Perasaan itu nyaris sama, dengan suatu rasa yang sudah sejak lama ia tinggalkan. Sekarang yang ia lakukan hanya mengikuti alur, kemana takdir akan pergi.
Sesungguhnya Alfa benci menunggu. Tapi, A rin sama sekali tidak menampakan diri hari ini. Meski fakultas  farmasi  cukup  ramai, tetapi penglihatan Alfa masih jeli. A rin tidak dapat ia temukan di sudut manapun.
Menghela napas resah, pemuda itu mendudukan diri disalah satu bangku. Membunuh bosan, ia mengeluarkan buku. Selang berberapa menit setelah itu, pandangan Alfa memburam, ia merasakan tangan mungil melingkupi kedua matanya. Pemuda itu bersumpah, jika itu salah satu fansgirlnya ia akan memaki gadis itu, tidak peduli bahwa ia akan mempermalukan dirinya sendiri di fakultas tetangga.
"Nugu? Aku tidak peduli jika kamu wanita. Kamu perlu belajar sopan santun."
Tangan itu tak kunjung melepas kedua netranya. Membuat Alfa kesal setengah mati, lantas dilepasnya secara paksa kemudian menoleh.
"A rin?"
Dan sang gadis hanya menampilkan cengiran lucu. "Kak Alfa lagi pms? Galak sekali."
Alfa mendengus kesal. Tetapi diam-diam hatinya menyimpan lega. A rin sudah  disini, ia tak perlu menunggu lagi.
"Ayo!" Ajaknya sambil menarik lengan A rin untuk keluar dari kampus.
A rin hanya melongo. "Kemana? Alfa Sunbae tidak akan menculikku kan?"
Alfa menyeringai, "Kalau kau anggap aku sedang menculikku boleh saja."
Sontak Arin melepaskan genggaman  erat pemuda itu. "Yaa! Jangan  seenaknya! Ayahku adalah seorang polisi. Jika ia tahu anak gadisnya diculik oleh sunbae pintar berotak psiko, ia pasti akan membunuhmu!"
Alfa menahan tawanya. "Aku hanya bercanda bodoh! Kenapa kau begitu mudah percaya?"
A rin mendengus kesal, merasa dia sedang dibodohi. Sedangkan Alfa hanya menggeleng pelan, sembari menuntun gadis itu memasuki mobilnya.
Satu jam berlalu. Yang terdengar hanya gumaman A rin menyanyikan lagu yang Alfa sendiri tak yakin pernah mendengar itu.
"Neomu areumdaun-daun-daun-daun View, neomu areumdaun-daun-daun-daun View."
"Lagu siapa?"
A rin terkikik. Oppa seperti tidak kenal aku saja, tentu saja lagu Shinee! Minho Oppa selalu terlihat begitu tampan!"
"Apa bagusnya dia?"
Alfa mendengus, mengalihkan  pandangan pada badan jalan. Sepertinya gadis itu tidak merasa sakit hati atau hal-hal lain yang Alfa khawatirkan setelah insiden itu. Mendadak ia badmood. Tahu begitu tidak usah mengajak A rin jalan-jalan.
A rin ciut dibangkunya. Sepertinya ia salah bicara. Mendadak ia mengingat  perkataan Ha Na. Bahwa laki-laki yang mencintaimu tidak akan suka jika kau mengatakan  tentang kebaikan laki-laki lain dihadapannya. Gadis itu ingin minta maaf. Tetapi ia terlanjur tidak punya nyali.
"Sebentar lagi sampai. Bersiaplah."
Arin mengangguk. Takut-takut ia melirik Alfa. "Apa ini adalah bagian dari kencan?"
"Terserah kau anggap apa."
**

Pantai Eurwangni. Pantai yang lumayan berdekatan dengan Seoul menjadi pilihan Alfa. Ia memang sedikit mengabaikan usulan Jo Hyuk. Entah, apa yang membuatnya memilih pantai dari pada dinner atau nonton film. Pemuda itu tidak bisa menahan senyum ketika melihat wajah berbinar gadis disampingnya.
"Kenapa tidak bilang membawaku ke pantai?"
"Kau tidak tanya."
Gadis itu mendengus. Meninggalkan  Alfa seorang diri, mulai bermain pasir dsn ombak yang menggulung kakinya. Terlihat seperti anak kecil yang baru pertama kali ke pantai.
Alfa hanya duduk di tepi pantai, tanpa berniat menghampiri A rin. Membunuh bosan, ia kembali mengeluarkan buku.
"Hujan bulan juni?"
Suara nyaring itu membuatnya mendongak. "Sejak kapan kamu disampingku?"
"Kau terlalu asik dengan duniamu. Memang bukunya bagus ya? Menyebalkan, mengajakku ke pantai, tetapi aku yang bersenang-senang sendiri."
Alfa tidak tahan untuk mengacak rambut  A rin. "Kau harus membaca ini. Karya sastrawan senior di indonesia."

"Akan aku baca, setelah Kak Alfa mengajariku bahasa indonesia dengan sangat lengkap. Eomma hanya memberitahuku beberapa kata. Bacanya nanti lagi saja, sekarang temani aku bersenang-senang!"
"Aku disini saja."
A rin mendengus mendengar jawaban Alfa. Diambilnya buku itu dari genggaman Alfa. "Ayolah sunbae, menyebalkan sekali membiarkanku bersenang-senang sendiri."
Alfa menyerah, sedangkan A rin bersorak girang. Pemuda itu kembali memasukan bukunya dalam tas, lantas mengikuti langkah A rin. "Tetapi aku tidak mau terkena air. Meskipun hanya dikaki."
A rin mengerucutkan bibir. "Tidak asik."
Selintas ide jahil kembali A rin dapatkan. Ia menggulung celana panjang berbahan jeans yang ia kenakan, sedikit lebih ke tengah pantai, lantas ia menyipakkan air, hingga membuat Alfa sedikit basah.
"Hei!"
Kemeja Alfa sudah basah di beberapa bagian. Percuma saja ia berlindung dibibir pantai. Tanpa peduli seberapa basah ia nanti, pemuda itu mendekati Arin, lantas menyusupkan tangan dibawah kaki gadis itu. Mengangkatnya, bertepatan  dengan ombak yang lumayan besar mengguyur  tubuh  mereka.
"Bajuku basah semua, gara-gara Kak Alfa mengangkatku tadi! Aku tidak sempat menghindar dari ombak yang datang."
"Kau pikir siapa yang mulai? membuat kemejaku terkena air diberberapa bagian?"
A rin hanya diam. Giginya bergemeletuk menahan dingin. Alfa yang menyadari itu, lantas meninggalkan A rin. Membuat gadis itu semakin kesal tidak tahu apa yang dilakukan seniornya itu.
Kekesalan A rin berkurang ketika melihat sunset yang begitu indah dimatanya. Bertepatan dengan itu, ia menyadari tubuhnya sedikit hangat,  ketika jaket dengan aroma mint yang akhir - akhir ini familiar baginya, sedang melingkupi tubuhnya.
"Daebak! Indah sekali!" Katanya, meski ia merasa bibirnya masih bergetar karena menahan dingin.
"Tentu saja, semua ciptaan Tuhan selalu indah."
Dan setelah itu, kehangatan tak kasat mata kembali A rin rasakan ketika sebuah tangan, menggenggam tangannya dengan begitu erat.


[1] Istilah yang ditujukan sebagai rumas kos.

next to be chp 5 :))