RSS

Rabu, 28 Januari 2015

You Are My Destiny



You’re My Destiny


Saat perbedaan cinta, dan benci hanya selarik benang tipis.
*
Bandara Coolangatta, Gold Coast. Begitu ramai siang itu, seorang gadis berambut hitam lebat, terlihat terburu-buru menyeret koper merah jambunya, menuju taksi yang sudah ia pesan. Pesawat delay dua jam, membuat rencana awalnya berantakan.
Dengan satu tangan, gadis itu berupaya mengirimkan pesan singkat kepada sahabatnya yang telah singgah di Vibe Hotel Gold Coast. Tanpa terlalu memperhatikan jalan, gadis itu terantuk bahu seseorang.
Hei, perhatikan jalanmu, bodoh!”
Umpatan dari suara baritone itu benar-benar mengganggu indera pendengarannya. Hei gadis itu tahu dia salah, tetapi tidak perlu dibilang ‘bodoh’ kan?
I’m sorry Mister.Tetapi tolong jaga bicara anda. I’m not stupid. You know?
Lawan bicaranya menyeringai. “Tidak bodoh katamu? Bukankah kau sama sekali tidak melihat jalan? Itu yang kau sebut pintar?”
Cassandra, nama gadis itu. Ia mengerutkan kening. Mendengar seseorang yang baru saja di tubruknya berbicara dengan bahasa Indonesia. “Kau menyebalkan!” hardiknya.
Lagi-lagi pemuda itu hanya menyeringai. Merasa ia bisa meledak kapan saja, Cassandra memilih membalikan badan, meninggalkan Pemuda itu, yang masih terpaku di tempatnya.
Cassandra merasa ada langkah kaki besar mengikutinya, tak lama setelah itu bahunya dipaksa berbalik memutar, hingga dia merasa puncak hidungnya terantuk dada bidang seseorang.
“Aku minta ganti rugi.”
Gadis itu mendengus kesal. Laki-laki gila,pikirnya. Dengan sekali hentakan dia melepaskan cengkeraman erat tangan kokoh itu dari bahunya. “Aku tidak punya banyak waktu, Tuan Menyebalkan!”
Setelahnya, gadis itu memasuki taksi dengan tergesa, tenpa mengerti seseorang tersenyum penuh arti memandangnya.
“Gadis yang menarik.”
*
Renald tersenyum tipis, menyadari punggung kecil yang mulai menjauh dari hadapannya. Baru kali ini ada gadis yang menolak pesonanya. Semua harus tahu, dia ini cassanova. Memberi harapan pada banyak gadis lalu ditinggalkan itu sudah biasa.
Dengan santai, dia memasuki Taksi yang sudah dipesan. Seringai tipis yang nyaris tak terlihat itu tidak pernah pudar. Begitu dia menyadari Taksi yang tidak asing di depannya juga memasuki pelataran Vibe Hotel.
Dengan perlahan dia menarik kopernya menuju bagian receptionist, tetapi melihat seorang gadis yang kepayahan menarik koper, membuatnya menghentikan langkah sejenak.
“Perlu bantuan Nona?” katanya, dengan bahasa Indonesia yang fasih.
Gadis itu mendongak, netra coklatnya berserobok dengan netra obsidian miliknya. “Kau?! Tidak perlu. Aku bisa sendiri.”
Renald menaikan alis, “Tetapi bahasa tubuhmu mengatakan sebaliknya Nona.” Tanpa menunggu persetujuan dari Gadis manis dihadapannya, Renald menarik satu koper dari tangan kecil Gadis itu.
“Sisanya kau yang bawa,”
Gadis itu mendengus, meski akhirnya dia mengikuti Renald juga. Wajahnya manis sekali, membuat Renald selalu menyunggingkan senyum tipisnya di Gold Coast.
Excusme sir, saya ingin memesan satu kamar untukku, dan satu kamar lagi untuk gadisku ini.” Katanya sambil melirik gadis yang berada disampingnya.
Iris coklat Gadis itu membulat, gadisku, katanya? Laki-laki ini benar-benar gila. Pikirnya.
“Maaf Tuan, tetapi temanku sudah memesan kamar untukku, jadi kau tidak perlu repot. Aku hanya perlu chek in! Dan apa-apaan tadi itu! Aku bukan gadismu!
Renald memicingkan mata, tangannya terulur menepuk puncak kepala gadis itu. “Kenapa kau cerewet sekali, huh?”
Seorang gadis berambut coklat, terlihat melambaikan tangan kearah keduanya. “Cassandra! Akhirnya kau dating juga. Dan… Renald? Kalian sudah saling kenal? Atau… kalian sebenarnya sepasang kekasih? Mesra sekali.”
Renald tersadar, tangan kanannya masih berada di puncak kepala gadis itu. Jadi namanya Cassandra? Manis sekali. Lihatlah! Rona merah yang terlihat di kedua pipi gadis itu. Dan senyum malu-malu dari sang gadis membuat hatinya berdesir, membuatnya ingin selalu dekat dengan gadis itu.
Eh apa?
Selalu dekat?
Renald menggelengkan kepalanya perlahan, jika dia hanya tertarik pada seorang gadis, dia tidak mungkin merasakan perasaan yang membuat hatinya berdesir seperti ini.
“Mana mungkin aku mau jadi kekasih seorang pria menyebalkan seperti dia! Dan apa-apaan kau Aline? Kau mengenal laki-laki seperti dia?” kata gadis itu sembari menunjuk-nunjuk Renald.
Aline, nama gadis berambut coklat tadi, menggeleng tak habis pikir. “Cassandra, jangan seperti itu, nanti kamu bisa jatuh cinta dengan Re. tentu saja aku mengenalnya, dia sahabat Bobi, kekasihku.”
Cassandra memutar bola matanya bosan, menyambar kunci yang dipegang Aline, kemudian berjalan menjauhi Renald yang sedari tadi menatapnya dalam.
Aline memutar arah pandangnya pada Renald, “Re, sepertinya kau tertarik dengan Cassandra? Jika kau bersungguh-sungguh, aku dan Bobi akan mendukungmu, tetapi jika kau menyamakannya dengan gadis-gadismu dulu, aku tidak akan segan mematahkan lehermu.”
Renald menaikan sebelah alisnya, “Gadis-gadisku katamu? Aku bahkan belum pernah berpacaran.”
Aline menatap Renald tajam, “Demi Tuhan Renald! Kau bahkan tidak pernah mengikat mereka dalam hubungan serius! Dan jangan samakan Cassandra dengan mereka, dia terlalu berharga untuk kau mainkan!”
Renald hanya menaikan bahu tak acuh, kemudian menarik kopernya menuju kamar inapnya selama di Gold Coast.
*
Cassandra menghirup dalam-dalam udara Gold Coast di sore hari, sepertinya menarik jika singgah ke Surfers Paradise untuk melihat matahari terbenam. Tanpa menunggu banyak waktu, dia bergegas menuju Surfers Paradise yang jaraknya tergolong dekat dengan Vibe Hotel. Meski perjalanan Indonesia – Australia begitu melelahkan, tetapi dia tidak mau kehilangan senja pertamanya di sini.
Langkah kaki jenjangnya mulai menyusuri pasir putih milik Surfers Paradise, gurat merah kecoklatan di langit, dan gradasi biru milik langit, membuatnya terpana di tempat. Betapa Tuhan begitu apik menggoreskan karya indahnya disini.
Merasa tidak ada kegiatan lain yang dia lakukan, gadis itu mendudukan diri pada bibir pantai, duduk sambil memeluk lutut, menatap senja yang tersisa. Entah kenapa, raut mukanya terlihat sendu.
*
Tidak jauh dari sana, Seorang pemuda baru saja selesai mencoba papan surfing-nya yang baru. Senyum angkuhnya terus mengembang, membuat decak kagum para gadis yang sedang menghabiskan senja di sana. Tetapi, entah kenapa teriakan kagum gadis-gadis malah membuatnya repot sekarang. Satu hal, dia tidak suka lagi tebar pesona.
Dia terus melangkah, tanpa mempedulikan gadis-gadis yang sekarang tengah menatapnya sebal. “Hei tampan! Kau tidak mau bermain dengan kami?” kata salah satu dari mereka dengan nada bicara sensual.
“Tidak.” Sahutnya singkat.
Pemuda itu, menyusuri bibir pantai dengan papan surfing-nya. Hingga dia menangkap bayangan seorang gadis yang tengah menatap langit senja, begitu cantik. Pipi pualamnya hamper serupa jingga karena ternoda bias senja, rambut hitamnya melambai karena tertiup angin pantai. Tetapi, sayangnya raut mukanya terlihat menyedihkan. Entah kenapa, membuat dada kiri pemuda itu sesak.
Pemuda itu tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya, yang dia tahu, dia hanya ingin dilihat oleh seorang gadis. Dia hanya ingin berada dekat dengan satu gadis. Dia hanya ingin mengubah kesesakan di raut muka gadis itu menjadi suka cita.
Gadis yang sedari tadi ia pandangi dalam diam.
Cassandra.
Entah apa yang mendorongnya mendekat, dia mendudukan dirinya tepat di samping gadis itu. Memandangnya lebih dekat, hingga dia menyadari, gadis itu tengah menangis dalam diam.
Dadanya benar-benar sesak, ketika melihat buliran air mata itu membasahi kedua pipi gadis itu. Demi apapun, dia bahkan tidak merasakan apapun ketika mencampakan banyak gadis di luar sana, tetapi kenapa ia sangat ingin menghapus tangis kesedihan gadis ini?
Pandangan gadis itu kosong, dan dia sadar. Gadis itu tidak menyadari kehadiranya. Bahu gadis itu mulai naik turun, bergetar seperti menahan amarah. Merasa tidak bisa menahan gejolak itu lebih lama, tangannya terulur, menghapus tangis gadis itu dengan jarinya, lalu membawa gadis itu dalam dekapannya.
“Menangislah selama itu membuatmu lebih lega.” Bisiknya, sambil mengusap pelan surai hitam milik gadis itu.
*
Cassandra merasakan kesadarannya menghilang. Kenangan pahit terus berputar, ia baru mengetahui sakit hati karena cinta seperti ini, cintanya sedang berpetualang, tetapi dia tidak mau membohongi diri, bahwa dia tidak mau menjadi tempat untuk pulang.
Sudah cukup, diberi harapan tanpa kepastian, itu sudah membuatnya seperti terombang-ambing dalam lautan dalam. Dia sudah menyerah, tetapi terlalu sulit untuk melupakan.
Dia terlalu lelah dengan yang namanya cinta.
Hingga riuh ombak kembali menyadarkannya, dan kenapa dia seakan bersentuhan langsung dengan kulit polos seseorang? Belum lagi usapan lembut pada rambutnya. Siapa yang berani mendekapnya posesif seperti ini?
Dia mendongak, mendapati rahang tegas seseorang. Pemuda menyebalkan yang baru saja ia kenal. Dengan hati-hati, ia mencoba melepaskan pelukan pemuda yang sedang menatap sisa langit senja. “Apa yang kau lakukan?” katanya dengan nada bergetar.
“Apa kau sudah merasa lebih baik?” kata suara baritone itu.
“Memang apa yang terjadi padaku?”
Pemuda itu mengrenyit. Apa Cassandra tidak sadar jika menangis? Dengan perlahan ia bangkit, menepuk puncak kepala gadis itu lagi. “Kau menangis bodoh! Dan kau berhutang padaku, karena membuatku menahan dingin seperti ini.”
Cassandra menyadari, Pemuda itu bertelanjang dada, seperti sehabis berenang. Kenapa dia bisa bodoh sekali menangis dalam dekapan pria yang baru di kenalnya? Telebih orang itu… menyebalkan.
*
Pagi begitu cerah, Cassandra sudah memantapkan diri, menghabiskan hari ini di Surfers Paradise. Tetapi entah kenapa dia menjadi ragu, jika bertemu Pemuda bernama Renald disana, kejadian kemarin membuatnya malu untuk bertatap muka dengan pemuda itu. Sungguh!
“Cassandra! Tunggu apalagi, aku tidak mau Bobi menunggu lama kali ini.”
“Iya Aline! Kau cerewet sekali.”
Setelah sampai, Cassandra benar-benar merasa seperti kambing congek, teman macam apa Aline, ketemu pacar, sahabat ditinggal, dasar. Merasa tidak nyaman berada di dekat Aline dan Kekasihnya, dia berjalan menuju bibir pantai. Netra coklatnya memandang sekitar, menangkap siluet pemuda yang sedang dikerubungi gadis-gadis berambut pirang.
“Dasar Playboy! Hampir saja aku kemarin luluh dengan sikapnya.”
Cassandra mendudukan dirinya pada bibir pantai, membiarkan sesekali riak air membasahi ujung kakinya. Tanpa menyadari, seorang pemuda mendudukan diri disampingnya.
“Sendirian?” sapa pemuda itu.
Cassandra hanya menoleh tak acuh. “Mau apa kau disini? Tidak berkencan dengan gadis-gadismu?”
Pemuda itu terkekeh. “Kau cemburu?”
Gadis itu memicing. “Tidak, aku tidak peduli.”
“Hei, Cassandra. Lihat aku. Kenapa dari awal hubungan kita tidak pernah berjalan baik?”
Cassandra mendengus, menatap lurus ke depan. “Karena kau menyebalkan, bodoh!”
“Baik-baik, aku minta maaf. Bisakah kita menjadi teman? Kau bisa memangilku Re.”
Cassandra menaikan bahu, kemudian membalas uluran tangan Renald. “Terserah kau saja.”
“Kenapa kemarin kau menangis?” Tanya pemuda itu.
“Bukan urusanmu.” Jawab Cassandra singkat.
Renald tertawa, membuat Cassandra menoleh ke arahnya. “Tentu saja urusanku, kau menangis dalam pelukanku.”
Sorot mata Cassandra berubah dingin. “Aku tidak minta kau memelukku, dan jangan mengurusiku. Urusi saja gadis-gadismu itu!”
Gadis itu bangkit, meninggalkan Renald yang masih terpaku. Tersadar Cassandra meninggalkannya, Renald segera menyusul gadis itu, kemudian menggenggam tangan kecil gadis itu.
“Cassandra, ijinkan aku menghapus wajah menyedihkanmu itu disini. Ayo kita bersenang-senang!”
Tanpa menunggu persetujuan Cassandra, pemuda itu menarik Cassandra menuju bibir pantai. “Kau harus bersenang-senang di tempat seindah ini. Dan kau berhutang cerita kepadaku.”
Cassandra menampilkan senyum tipisnya, Pemuda di sampingnya terus saja membuatnya tersenyum hari ini. Entah kenapa hatinya mulai luluh. Dia rasa, dia mulai membuka hati.
Renald menyeringai, menyadari Cassa yang telah menampilkan senyum tipisnya, melihat gadis itu tengah menatap langit, ide jahil muncul di kepala Renald, Pria itu melingkarkan satu lengannya pada bahu gadis itu, dan menyusupkan tangannya yang lain pada perpotongan lutut sang gadis, menggendongnya memutar, membuat sang gadis memekik tidak percaya.
Mengingat matahari yang mulai berada tepat diatas mereka, Renald kembali menarik tangan Cassandra, menuju salah satu Restaurant di dekat sana, pemilihan view Renald begitu menarik, karena tempat mereka kini langsung berhadapan dengan keindahan pantai milik Gold Coast.
“Re…” panggilan Cassandra membuat Renald memberikan senyum terbaik pada gadis itu. “Terimakasih.”
Renald tahu, ini terlalu cepat. Tetapi dia tidak bisa menahan gejolak itu lebih lama, dia tahu… Cassandra telah menggenggam hatinya. Dia benar-benar jatuh cinta kepada gadis yang ada dihadapannya ini.
Tangan kokoh itu terulur, menggenggam kedua tangan kecil yang terasa pas ditangannya. Membawanya menuju dada kirinya, berupaya membiarkan gadis itu mengerti, betapa dalam perasaannya untuk gadis itu.
“Cassandra, aku ingin membuat pengakuan. Bahwa aku belum pernah mengikat hubungan dengan siapapun.”
Renald kembali mengumpulkan keberaniannya. “Aku tahu ini terlalu cepat untuk kita, tetapi aku ingin kau mengerti bahwa aku… mencintaimu.”
Pemuda itu tersadar, gadis dihadapannya menatap tanpa kedip. “Aku tidak mengerti seberapa kelam masa lalumu, tetapi seberapa hebat masa lalu itu mengganggumu, aku ingin menghadapinya bersamamu. Aku ingin mengikat hubungan yang tidak main-main denganmu.”
Tangan kanan Renald terlepas, beralih menangkup wajah Cassandra yang berada di depannya. “Aku ingin menjalani masa kini, dan masa depan bersamamu. Aku benar-benar mencintaimu.”
Merasa tidak ada pergerakan dari Cassandra, Renald ingin memberikan satu kecupan yang benar-benar mewakili perasaan terdalam dari hatinya. Ia mendekatkan wajahnya pada gadis itu, hingga ia merasa napas keduanya mulai berbaur.
Tetapi, sedetik kemudian, tamparan telak dia dapatkan pada pipi kirinya. “Jangan samakan aku dengan gadis-gadismu! Jangan pernah mengumbar kata manis kepadaku! Jangan membuat ikatan, jika pada akhirnya nanti ikatan itu akan diputus. Jangan cium aku! Aku bertaruh banyak gadis telah mengecap rasa bibirmu. Dan yang terakhir, jangan jadikan aku sebagai tempat untuk kau berpetualang!”
Mata Cassandra terlihat berkaca-kaca menahan tangis. Setelah kata-kata menyakitkan bagi Renald terlontar, gadis itu segera berbalik, berlalu meninggalkan Renald yang mencoba mengejarnya.
*
Hari-hari setelah itu, terasa memilukan bagi Renald. Gadis itu terang-terangan menjauhinya. Ya mungkin ini karma baginya, karena di hari-hari yang lalu, dia sudah banyak mencampakan banyak gadis. Ternyata, begitu sakit rasanya dicampakan.
Dia tidak mau menyerah, dia benar-benar ingin menjadikan Cassandra sebagai Ibu dari anak-anaknya kelak. Dia tidak mau bermain-main lagi, dia tidak bisa membohongi perasaannya, bahwa dia, benar-benar ingin membangun cinta dengan gadis bernama Cassandra.
Melihat Aline yang sedang berjalan kearahnya, ia berinisiatif menghentikan langkah gadis itu, menanyakan sesuatu yang mengganjal dihatinya, sesuatu yang membuat luka baru yang menganga pada hatinya.
“Aline, kita perlu bicara.”
Re menghela napasnya. “Ini tentang Cassandra.”
Gadis berambut coklat itu mengerutkan keningnya. “Apa kau bersungguh-sungguh dengannya Re?”
Renald mengangguk mantap. “Kau harus tahu, dia yang jadi Ibu bagi anak-anakku kelak.”
“Apa yang ingin kau ketahui dari Cassa?”
Mata Renald membulat, menyadari Cassa yang berada di belakang Aline, melengos pergi begitu saja, begitu menyadari ada dirinya di sana.
“Masa lalunya Aline, aku ingin tahu masa lalunya.”
Aline menghela napas berat, ia mulai bercerita, “Cassa pernah jatuh cinta, ia diberi harapan, tetapi kemudian laki-laki itu datang kepadanya dengan seorang gadis yang disebut-sebut  sebagai isterinya. Sejak itu Cassa selalu menutup diri tentang cinta, dan kau harus tahu, kau gambaran nyata dari masa lalu Cassa. Mungkin karena itulah dia menolakmu.”
Re menaikan alis. “Kau tahu aku mengungkapkan perasaanku padanya?”
Aline menjawab, “Cassa cerita semuanya. Jika kau bersungguh-sungguh kejarlah dia, besok dia akan bekerja, entah dimana. Aku harap kau bisa memberikannya kepastian. Dia terlalu takut dengan harapan. Jangan sampai kau tidak bertemu dengannya sebelum ia menghilang.”
*
Renald mengejar punggung kecil yang terus berlari tanpa menoleh kearahnya, hingga akhirnya dia berhasil menarik tangan gadis itu, dan membuat mereka berhadapan.
“Cassa, kita perlu bicara.”
Gadis itu mendengus, membuang muka. “Tidak ada yang perlu dibicarakan, urusi saja gadis-gadismu itu.”
Renald mendesah kecewa, “Cassandra, apa yang harus aku lakukan supaya kau percaya bahwa aku mencintaimu?”
Belum lagi Cassa menjawab, seorang gadis berambut pirang berjalan kearah mereka, sambil mengerlingkan sebelah matanya. Cassa benci mengakui ini, tetapi Renald benar-benar tampan, dan penuh pesona.
“Aku hanya melihat kearahmu Cassa, mereka yang datang sendiri kepadaku!” ucap Renald frustasi.
Cassa tersenyum miring, “Iya, mereka yang datang kearahmu, dan kau mau-mau saja ‘kan bermain dengan mereka? Aku bertaruh bahwa kau sering melakukan one night stand! Jangan samakan aku dengan mereka Re, jangan pernah ganggu hidupku lagi. Aku membencimu.” Katanya, kemudian berlalu dari hadapan Renald.
Re menggeram kesal, sebelum punggung itu terlanjur pergi menjauh, dia berteriak, “Demi Tuhan Cassa, aku hanya mencintaimu! aku tidak ada niat sedikitpun mempermainkanmu! Dan jangan samakan aku dengan pria hidung belang atau seseorang dari masa lalumu! Aku bahkan tidak pernah mencium gadis manapun!”
Mendengar teriakan frustasi dari Renald, membuat langkah Cassa tertahan, tetapi gadis itu masih belum mengerti dengan hatinya, sehingga ia lebih memilih melanjutkan langkahnya, meninggalkan Renald yang masih mematung.
*
Setahun kemudian, Gold Coast, Australia.
Re, menarik segelas palm wine dari meja bar lalu menegaknya dengan cepat. Kegiatan itu dilakukannya hingga berkali-kali, tidak terhitung berapa gelas yang ia habiskan malam ini. Dua gadis bule yang bergelayut disampingnya seolah sudah tidak kerasan berada disana, memilih enyah, meninggalkan Re yang nyaris kehilangan kesadaran.
Seorang barista, menggeleng kecil melihat kelakuan Re, hingga ketika Re meminta gelas selanjutnya untuk diisi, seorang gadis mencegah barista itu, membuat Re menyipitkan mata, menyiratkan seribu pertanyaan.
“Kau belum berubah rupanya, Re.” Kata gadis itu miris.
Re melirik ke arahnya, wajah gadis itu tidak begitu jelas karena Re sudah dimabuk wine secara berlebihan, yang ia sadari, gadis itu berdiri bersama seorang laki-laki disampingnya.
“Kau siapa? Apa pedulimu? Uruskan saja weird guy disampingmu. Dia sudah terlalu lama berkacak pinggang seperti itu. Aku jijik melihatnya.” Jawab Re sekenanya.
Aline, gadis itu, menyipit ke arah Re dan ke arah Bobbi, kekasihnya secara bergantian. Bobbi nyaris mengamuk jika Aline tidak mencegahnya.
“Dia sedang mabuk, honey. Tahan emosimu!”
Bobbi meringis, menatapi temannya menjadi lebih urakan setahun belakangan ini.
“Sebaiknya kita bawa dia pulang. Sebentar lagi Vanity Nightclub akan penuh dengan para gay. Kita tidak bisa membiarkan Re disini jika tidak ingin dia di apa-apakan oleh makhluk-makhluk itu.” Ujar Bobbi.
Aline mengangguk setuju, keduanya lalu membawa Re keluar dari club menuju pelataran parkir.
“Dia mabuk sekali. Pakai mobilnya saja. Aku tidak ingin mobilku terkena muntahan.” Bobbi lalu merogoh saku celana Re, mencari-cari kunci mobil laki-laki itu. Setelahnya, mereka mulai menjauh pergi dari vanity club, membelah jalanan Surfers paradise.
Aline yang berada di bangku penumpang depan, menatap miris Re yang tertidur di bangku belakang. Rambutnya sedikit urakan, pun juga pakaiannya. Sebenarnya Aline ingin sekali memberitahu Cassandra perihal Re, namun ia selalu mengurungkan niatnya, mengingat Cassa selalu menghindar jika Aline mulai membahas Re. Namun, Aline sangat yakin, Re menjadi sangat kacau satu tahun terakhir ini semenjak Cassa menolaknya.
“Cassa harus tahu ini.” kata Bobbi disela-sela keheningan mereka.
Aline mengangkat bahu, “Aku tidak yakin Cassa mau mendengarnya. Kau tahu, mereka sudah tidak pernah bertemu sejak malam itu.”
“Tapi kita tidak bisa berpura-pura tidak ada apa-apa diantara mereka selama ini. Re menjadi sangat kacau dan Cassa, aku sangat yakin dia menyibukkan diri hanya karena tidak ingin mengingat Re.”
Aline bergeming. Benar kata Bobbi, Aline juga sangat yakin bahwa sebenarnya Re dan Cassa saling mencintai satu sama lain, hanya ego mereka terlalu tinggi, menyalahi aturan yang seharusnya tidak terjadi.
“Kita ke Caffe tempat Cassa bekerja sekarang juga.”
Aline melotot, “Kau yakin, honey?”
Bobbi menoleh kebelakang, menatap temannya, lantas mengangguk penuh.
**
Cassa masih mengelap beberapa meja, ketika kemudian matanya bertumpu pada sepasang kekasih yang berjalan ke arahnya. Cassa menghentikkan aktivitasnya, lantas melempar senyum lebar.
“Astaga lihat siapa yang berkunjung! Apa kabar Aline dan kau Bobbi!” Cassa memeluk sahabatnya juga tidak lupa menjabat tangan Bobbi.
“Aku sangat senang kalian berkunjung. Tapi, maaf sekali caffe ini akan tutup sepuluh menit lagi.” lanjut Cassa menyesal.
Aline menggeleng kecil, “That’s nothing, Cass. Umm we just..” ia ganti melirik Bobbi.
Ah ya! We just..” sela Bobbi, yang juga ikut menggantung kalimatnya.
Cassa menautkan kedua alisnya heran.
You both are just? What?” tanya Cassa.
DID EVERYONE HAVE SOME WINE?!”
Mereka bertiga lantas melirik ke sumber suara, saling membelalakkan mata melihat siapa yang berdiri terhuyung-huyung di pintu masuk sambil berteriak-teriak.
“Astaga, Re!” teriak Aline, kemudian berlari diikuti Bobbi. Sementara Cassa mematung ditempatnya, dengan sejuta perasaan aneh yang berkombinasi tak tahu diri.
“Ah dia pingsan! Cassa tolong kami!” Aline berteriak histeris.
Cassa masih diam mematung, hingga para waitress disana ikut berlari, menuju Re yang terjatuh dipangkuan Bobbi.
“Cassa! Kenapa kau diam saja? Ayo bantu kami! Bawa dia ke apartemenmu, rumah sakit jauh dari sini.” Teriak salah satu waitress, rekan kerjanya.
“Tapi aku–”
“Sudahlah! Ayo cepat!”
**
Tiga pasang mata itu menatap Re yang terbaring tidak sadarkan diri di apartemen milik Cassa, tidak jauh dari kafe tempat gadis itu bekerja.
Nafas Re tidak teratur, laki-laki itu terkadang menggeliat kecil, membuat beberapa igauan tidak masuk akal. Dan kalimat yang paling sering Re ucapkan adalah, “Kau dimana, Cassa.”
Aline, Bobi, bahkan Cassa memandang miris penampilan Re malam itu. Cassa sebenarnya terenyuh hati melihat betapa buruknya Re, laki-laki itu seolah sudah kehilangan semangat hidup. Cassa, sebenarnya mewanti-wati perkembangan Re satu tahun ini, diam-diam Cassa selalu menunggu informasi-informasi yang Aline bawa tentang laki-laki itu. Tapi bagaimana, Cassa masih merasa satu tahun ini hatinya masih sulit untuk terbuka, meski sebenarnya, ia ingin jujur, rasa bernama cinta untuk Re sangat jelas ada.
Masa lalu telah menorehkan luka yang sangat menganga bagi hati Cassa. Luka dari cinta telah membuatnya buta, bahwa ketulusan itu sebenarnya ada. Seseorang dimasa lalu itu telah membuat Cassa terlalu takut untuk memulai suatu hubungan lagi. Cassa tidak ingin menjadi nomor dua lagi.
Cassa ingat betul, ketika kali pertama ia bertemu Re. Laki-laki itu seperti gambaran lain seseorang dimasa lalunya. Senang bermain dengan wanita. Maka karena itu, Cassa tidak ingin masuk ke lubang yang sama.
Tapi malam ini, melihat Re terpuruk seperti itu, terlebih karena dirinya, membuat Cassa memiliki satu keyakinan baru, bahwa Re benar-benar tidak pernah ragu. Re tidak pernah ragu mencintainya.
Sebuah getar menyapa dinding hati Cassa. Laki-laki yang terbaring di atas ranjangnya membuat dirinya tersadar dari tidur panjangnya selama ini.
Re kembali menggeliat, suaranya yang cukup serak tiba-tiba terdengar dikeheningan apartemen Cassa.
I want her. Cassandra, give me a chance.. I love you. Do you? WHERE ARE U, I MISS U SO DAMN. DO YOU?!!”
“Aku tidak pernah melihatnya begitu kacau seperti malam ini. Dia benar-benar serius padamu, Cass. Give him a chance.” Ujar Bobi.
Cassa berjalan kecil menuju ranjangnya, Re masih mengigau tidak jelas. Tangan Cassa terulur, mengenggam tangan Re yang lebih besar darinya. Gadis itu membawa lengan Re menuju hatinya, meski Re sedang tidak sadar, Cassa ingin memberikan jawaban hatinya sekarang juga.
“Feel this, Re. I’m here.”
Re berhenti menggeliat, laki-laki itu balas menggenggam tangan mungil milik Cassa. Ia tidak meracau lagi. Re mengatup rapat bibirnya.
“Tidurlah. Aku disini.”
Aline dan Bobi saling berpandangan. Mereka melempar senyum. Sepertinya esok hari, akan menjadi hari yang terbaik bagi Re.
**
Re membuka matanya perlahan. Ia merasakan seluruh badannya nyeri tidak keruan. Untuk membuka mata saja, seakan energinya hilang.
Sesuatu menindih tangannya. Itu adalah sebuah tangan lain. Re sesegera mungkin bangkit, tidak ingin sesuatu yang aneh terjadi. Ia tidak ingin tiba-tiba saja one night stand  bersama gadis-gadis Australia yang menggelayutinya di Club malam.
Re harus bernafas lega karena ia melihat pakaiannya masih lengkap, ia masih mengenakkan kaus dan celana jeans. Yang hilang dari tubuhnya hanya jas coklat yang semalam ia kenakan. Re kembali melirik tangannya lagi, digenggam erat oleh sebuah tangan mungil. Hati Re tiba-tiba berdesir hangat.
Ia melihat begitu jelas wajah Cassandra yang bersandar di bibir ranjang yang sedang tertidur pulas. Re diam-diam ingin memotret wajah damai gadis itu diingatannya, agar tidak lagi hilang.
Sedangkan, matanya menemukan Aline tertidur di sofa. Sementara temannya, Bobi tertidur begitu saja dilantai dengan posisi tidak karuan. Re kembali tersenyum, berusaha mengingat apa yang terjadi padanya semalam, hingga ketika ia bangun, ia seperti berada di alam mimpi.
Tiba-tiba Cassandra terjaga, ia menguap kecil merasakan perubahan posisi. Tangan Re yang kini balik menggenggamnya.
Cassandra hampir melotot kaget. Ia lantas mendongkak, menemukan Re yang kini sudah tersenyum penuh arti.
“Kau sudah bangun?” tanya Re.
Cassandra bergegas berdiri, menyentakkan tangannya dengan kasar.
“Kau belum berubah. Masih seperti itu.” Re kemudian terkekeh di ujung kalimatnya.
“Kau sudah bangun? Kalau begitu aku permisi membuat sarapan untuk kalian bertiga.” Jawab Cassa cepat.
Re tertawa, “Are you shy?”
 Cassandra memandang Re tajam, “Jangan mulai. Aku sedang malas bertengkar denganmu.”
“Siapa yang ingin bertengkar denganmu? Aku sudah pasti kalah. Melihat wajahmu saja tubuhku sudah selumer mentega.” Kata Re, berusaha serius.
Playboy memang pintar menggoda.” Cela Cassandra.
“Aku tidak sedang menggoda. Aku sedang berkata jujur.” Re membela diri.
“Sudahlah! Aku akan buatkan sarapan untuk–” Ucapan Cassandra terpotong ketika Re menarik lengan gadis itu dengan cepat.
“Kau mau mati?!” teriak Cassa, ketika menyadari posisi mereka yang tidak seperti seharusnya. Cassa menindih tubuh Re, sedangkan laki-laki itu hanya tertawa lebar.
Cassandra segera bangkit, merapikan bajunya. “Kau! Dasar playboy! Pervert! Sudah bagus aku mau menampungmu di apartemen setelah kau semalam mabuk berat dan mengigau tidak jelas!”
Re membelalakkan matanya lebar, “Aku mengigau seperti apa?”
“Tidak penting.” Jawab Cassa cepat.
“Kalau bagimu itu tidak penting. Sekarang aku akan memberikan pertanyaan yang sangat penting.”
Cassa melipatkan kedua tangannya di depan dada, menunggu Re memberikan pertanyaannya.
“Will you?” tanya Re.
Cassa menautkan kedua alisnya tidak mengerti, “What will?”
“You didn’t get the meaning?” tanya Re frustasi.
“Jangan bermain teka-teki denganku. Aku tidak suka lelucon.”
Re akhirnya memilih berdiri, menghampiri Cassandra yang kini mematung ditempatnya.
Re meraih kedua tangan  Cassa, ia merapatkan tubuhnya, Cassa tidak melakukan penolakkan apa-apa. Untuk menghindar saja, rasanya cukup berat. Re mendekatkan wajahnya, menyisakan jarak beberapa senti tepat diwajah Cassandra.
Re lantas berbisik pelan, “Will you?”
Try to love me?”
Cassandra diam mematung, tetapi bibirnya mengulas senyum manis. Senyum yang hanya dia berikan untuk laki-laki dihadapannya.
Ia tidak perlu menjawab, hatinya telah terlebih dulu berkata iya.
Mengerti arti dari senyum Cassa, Re lebih merapatkan dirinya, tangannya telah memeluk gadis dihadapannya, untuk tidak menyisakan jarak diantara mereka.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” tanya Aline yang tiba-tiba terjaga.

 --The End--

*
seperti yang kita bilang sebelumnya, ini collab kami dengan tema 'yang penting jadi' hehehe maaf jika tidak sesuai dengan yang diharapkan, kami bener-bener pengen karya yang berbeda, kami biasanya yang selalu membuat tokoh laki-laki yang perfect ingin mencoba sosok yang berbeda disini, sekian cuap-cuapnyaa sampai berjumpa di lain cerita.
salam bintang dandelion, dan hakunanitata~
regards,
Nita & Ruth ^^

Jumat, 23 Januari 2015

Agape *cerpen*



Agape


Satu titik dimana cinta dimulai…

*
Aku adalah sebuah planet, tubuhku bulat, kalian pasti tahu itu. Dan pasti aku tidak perlu mendefinisikan bagaimana bentuk wajahku bukan? Karena kalian tidak akan mengenaliku. Aku sendiri tidak mengerti bagaimana bentuk pasti wajahku. Kau tahu, di luar angkasa tidak ada cermin. Tidak mau bernarsis diri, kalian harus tahu aku memang tampan.

Meski terkadang aku kalah saing dengan si tua Jupiter, atau tidak wibawa seperti Neptunus atau Saturnus, aku cukup bangga pada diriku, aku bisa memikat wanita. Tetapi tidak ada satupun yang bisa menarik hatiku, entah karena bawaan hatiku, atau demi kulitku yang berwarna biru.

Saat ini angkasa begitu bebas, kami para penghuni angkasa diberi kebebasan untuk melayang sesuka kami dimanapun. Bahkan Matahari sedang tertawa-tawa dengan Bellatrix. Hah, aku rasa mereka sedang jatuh cinta.

Merasa sendiri karena bosan, aku berjalan-jalan mengarungi angkasa bebas di Bima Sakti. Hingga akhirnya si kecil Merkurius menyapaku, “Hei Kak Beku!” begitu katanya.

“Apa maksudmu dengan memanggilku begitu?” tanyaku padanya.

Dia tertawa kecil, membuatku naik pitam. “Hei-hei sabar Kak, aku hanya berkata sebenarnya, heran deh. Kakak dingin, tetapi banyak sekali yang naksir.”

Aku menyeringai sambil menatapnya. “This is me.” Sahutku singkat.

Merkurius tersenyum mengejek, “Percuma, kau punya pesona tetapi tidak ada satupun yang menarik hatimu. Lebih baik aku, Venus telah menantiku di barat daya Bima Sakti.”

Aku hanya mendengus kesal, sial aku kalah dengan anak kecil. Mungkin memang saatnya aku membuka hati. Mungkin.

Berkeliling Bima Sakti membuatku jengah, bagaimana tidak? Sahabat-sahabatku sedang berbincang dengan pasangannya masing-masing. Bahkan, Si Tua Jupiter sedang berdansa dengan Hera (Jangan bertanya bagaimana planet berdansa. Bayangkan saja.)

“Permisi,” Oh, demi warna merah yang dimiliki Mars, sekarang apalagi? Aku mendengar suara lembut dibelakangku.

“Permisi,” aku berbalik badan, kemudian terperangah. Demi Saturnus yang tidak pernah melepaskan cincin, akhirnya Tuhan mengirimkan bidadarinya untukku!

“Ada apa?” sahutku datar. Kau tahu, aku adalah tipe laki-laki yang sedikit jual mahal.

“Aku dari Galaksi Andromeda, sepertinya Black Hole membawaku kesini, aku tersesat.”

“Siapa namamu?”

“Aranea.”

Aranea, namanya begitu manis. Seperti dirinya, kalian tahu? Warna Violetnya membuatku enggan beralih menatapnya.

“Um… Tuan Planet Biru, bisakah anda membantuku?”

Aku menghela napas, “Aranea berhenti memanggilku dengan Tuan-Planet-Biru. Panggil saja aku Uranus. Ayo ikut aku, mungkin Matahari bisa membantumu.”

Aku membawanya pada Matahari, tetapi aku tidak berani dekat-dekat, bangsa bintang bisa membakarmu perlahan.

“Hei Uranus, lama tidak berjumpa. Sepertinya kau sudah menemukan calon isterimu ya?” kata Matahari kepadaku.

Aku menyeringai, melirik Aranea yang menunduk malu-malu.

“Dia dari Andromeda, dan dia ingin kembali ke tempat asalnya.” Ujarku kemudian.

“Sayang sekali, aku rasa wanitamu harus menetap disini, kita sama-sama tahu jarak Bima Sakti dan Andromeda cukup jauh, ribuan juta cahaya.”

Aku melirik Aranea yang menunduk, sepertinya dia sangat sedih. Setelah membawanya ke sisi Tenggara Bima Sakti, aku bergumam lembut, “Menangislah, tidak apa-apa menangislah. Aku tahu ini pasti berat bagimu.”

Aranea mendongak, menatapku lekat. Hingga tak lama kemudian yang aku dengar isak tangisnya yang tidak kunjung reda. Aku memang belum lama mengenalnya. Tetapi aku merasa sesak jika dia terus menangis seperti ini.

“Aranea, apa yang ada di Andromeda sehingga membuatmu sebegini sedih?”
“Kau tahu, Andromeda punya banyak sosok yang aku sayang. Disana banyak kenangan. Disana membuatku merasa terjaga.”

Entah mendapat dorongan dari mana aku bertanya, “Apa kau telah memiliki kekasih?”

Dia menggeleng singkat, membuatku menyunggingkan senyum.

“Kamu tidak perlu khawatir. Ada aku disini, aku akan menjagamu.”

Dia hanya tersenyum, aku tidak mengerti makna dibalik senyumnya. Semoga saja pertanda baik.
*
Setelahnya, hubungan kami semakin dekat. Dia… wanita yang bisa mengertiku sepenuhnya, dan aku akan menyatakan perasaanku saat ini, diantara nebula yang berbaris indah.

Aranea adalah wanita yang tangguh, dia juga pribadi yang mudah bersahabat. Meski baru sebentar tinggal di Bima Sakti, dia sudah berbincang akrab dengan para planet, bahkan pada Bangsa Bintang.

Melihatnya sedang berbincang dengan Venus, aku berinisiatif memanggilnya. Dia tersenyum menatapku, senyum yang hangat, senyum yang hanya dia tunjukan untukku. membuatku mencintainya lebih dari apapun.

“Aranea.” Panggilku.

“Ya, ada apa?”

S’ agapau.

Dia tersenyum, “Memangnya kamu tahu apa definisi cinta?”

Belum sempat aku menjawab, Bima Sakti menjadi riuh tak terkira, Bangsa Meteor kembali, akan mencoba menghancurkan Galaksi sebentar lagi.

“Semua! Lindungi orang-orang yang kalian sayangi!” sahut Matahari dengan lantangnya.

“Aku dan Bangsa Bintang akan mencoba melindungi Bangsa Planet sebisa kami.”

Aku berjanji, akan melindungi Aranea. Apapun yang terjadi.

Matahari dan Para Bintang berada pada jajaran paling depan, sedangkan aku mencoba melindungi Aranea yang berada dibelakangku. Aku berbisik kepadanya, “Kita akan hidup bahagia setelah ini. Berjanjilah padaku.”

Bangsa Bintang sedang berjuang mati-matian, tetapi otak licik Meteor selalu tidak bisa ditebak, entah bagaimana itu terjadi, Meteor berukuran raksasa berjalan ke arahku dengan kekuatan penuh. Bisa dipastikan aku hancur sebentar lagi.

Meteor itu terus mengeliminasi jarak yang ada, hingga aku tersadar tubuh violet Aranea berada di depanku. Dia menatapku lembut.

“Apa yang kau lakukan? Biarkan aku mati karena melindungimu Aranea! Ini definisi cintaku, Cinta adalah saat dimana kamu bisa hidup!” teriakku frustasi.

Aku ingin membalikan keadaan, tetapi jarak untuk berputar sudah tidak memungkinkan. “Uranus, bagiku cinta adalah pengorbanan. Terimakasih untuk cintamu. Aku juga mencintaimu.”

Aku tetap melakukan gerakan berputar sebisaku, bisa aku rasakan meteor itu telah menghantam kami, aku merasakan ledakan yang begitu dahsyat. Hingga aku merasa, aku pasti sudah mati.

*
Entah apa yang terjadi, aku merasakan tubuhku berputar berkeliling, ini terasa aneh, karena aku merasa sumbu porosku bergeser. Mengerjapkan mata aku melihat sekeliling.

“Kau sudah sadar Nak?” Neptunus bertanya kepadaku.

“Apa yang terjadi? Dimana Aranea?”

Aku lihat raut muka Neptunus berubah sendu. Apa yang terjadi sebenarnya? Dan kenapa aku jadi mengelilingi Matahari bersama Bangsa Planet?

“Aranea meledak. Karena menyelamatkanmu. Aku rasa dia benar-benar mencintaimu Nak.”

Aku terperangah, kenapa aku tahu dia mencintaiku, tepat dimana dia harus meninggalkanku pergi untuk selamanya?

“Setelah pertempuran itu, berberapa planet terhisap black hole, kita yang tersisa jadi mengorbit pada Matahari. Sedangkan Bangsa Meteor dilatakan pada tempat yang jauh. Mungkin Sang Pencipta ingin kita berhenti berkelahi.”

“Tapi kenapa Aranea yang harus menjadi korban? Kenapa bukan aku saja?”

Kini, Saturnus yang angkat bicara. “Kau juga korban bodoh! Lihat, sumbu porosmu yang miring hampir seratus derajat. Itu juga karena usahamu menyelamatkan Aranea.”

Aku menangis, dan untuk pertama kalinya Uranus menangis. Bagaimana perasaanmu, ketika melihat orang yang kau cintai kehilangan nyawa karenamu? Bukankah rasanya kau sama sekali tidak berguna?

“Uranus, hargailah pengorbanan Aranea. Jangan biarkan ledakannya berujung sia-sia. Berhentilah terpuruk!” Si Tua Jupiter juga mulai menasehatiku.

“Kalian berhentilah bicara. Kalian tidak tahu rasanya.”

“Kami tahu! Lihatlah sekelilingmu! Bukan hanya kau yang kehilangan! Banyak planet yang terhisap black hole. Berhentilah menangis seperti bayi! Jangan buat Aranea menyesal karena mencintaimu.” Jerit Venus.

Aku hanya menghela napas kasar. Hatiku terlalu kacau untuk menerima ini semua. Aku tersenyum miris mengingat definisi cintanya, sebelum maut memisahkan kami. Cinta adalah pengorbanan. Begitu katanya.

Dan memang benar, sekarang. Jika para manusia penghuni Bumi menyebutku unik karena sumbu porosku yang miring, itu semua salah. Karena ini adalah tanda pengorbanan. Tanda pengorbanan dari seseorang yang begitu aku cintai. Bukti cinta dari Aranea untukku.

 -END-

*
kyaaaaa ancur ancurr -_- pengen coba yang beda tapi jadinya kayak gini huhuhu :( maaf jika mengecewakan, aku sedang tidak suka happy end, dan gatau kenapa ide ini ngalir ajaa..
dan aku juga mau berterimakasih untuk para pembaca tampan tak tergenggam yang sampai menitikan air mata waktu baca. meski uthe gatau ada apanyaa sampai pada nangis hehehe
maaf jika fict ini jauh dr sempurna, maklum setengah semester ga nulis kan *sok sibuk* *ditabok* jujur ini cuman bikin 2 jam ckckck
sampai berjumpa di cerita lain, salam bintang dandelion!

warm regard,
@ruthenirmalaa