You’re My Destiny
Saat perbedaan cinta, dan benci
hanya selarik benang tipis.
*
Bandara
Coolangatta, Gold Coast. Begitu ramai siang itu, seorang gadis berambut hitam
lebat, terlihat terburu-buru menyeret koper merah jambunya, menuju taksi yang
sudah ia pesan. Pesawat delay dua
jam, membuat rencana awalnya berantakan.
Dengan
satu tangan, gadis itu berupaya mengirimkan pesan singkat kepada sahabatnya
yang telah singgah di Vibe Hotel Gold Coast. Tanpa terlalu memperhatikan jalan,
gadis itu terantuk bahu seseorang.
“Hei, perhatikan jalanmu, bodoh!”
Umpatan
dari suara baritone itu benar-benar mengganggu indera pendengarannya. Hei gadis
itu tahu dia salah, tetapi tidak perlu dibilang ‘bodoh’ kan?
“I’m sorry Mister.Tetapi tolong jaga bicara
anda. I’m not stupid. You know?”
Lawan
bicaranya menyeringai. “Tidak bodoh katamu? Bukankah kau sama sekali tidak
melihat jalan? Itu yang kau sebut pintar?”
Cassandra,
nama gadis itu. Ia mengerutkan kening. Mendengar seseorang yang baru saja di
tubruknya berbicara dengan bahasa Indonesia. “Kau menyebalkan!” hardiknya.
Lagi-lagi
pemuda itu hanya menyeringai. Merasa ia bisa meledak kapan saja, Cassandra
memilih membalikan badan, meninggalkan Pemuda itu, yang masih terpaku di
tempatnya.
Cassandra
merasa ada langkah kaki besar mengikutinya, tak lama setelah itu bahunya
dipaksa berbalik memutar, hingga dia merasa puncak hidungnya terantuk dada
bidang seseorang.
“Aku
minta ganti rugi.”
Gadis
itu mendengus kesal. Laki-laki gila,pikirnya.
Dengan sekali hentakan dia melepaskan cengkeraman erat tangan kokoh itu dari
bahunya. “Aku tidak punya banyak waktu, Tuan Menyebalkan!”
Setelahnya,
gadis itu memasuki taksi dengan tergesa, tenpa mengerti seseorang tersenyum
penuh arti memandangnya.
“Gadis
yang menarik.”
*
Renald
tersenyum tipis, menyadari punggung kecil yang mulai menjauh dari hadapannya.
Baru kali ini ada gadis yang menolak pesonanya. Semua harus tahu, dia ini cassanova. Memberi harapan pada banyak
gadis lalu ditinggalkan itu sudah biasa.
Dengan
santai, dia memasuki Taksi yang sudah dipesan. Seringai tipis yang nyaris tak
terlihat itu tidak pernah pudar. Begitu dia menyadari Taksi yang tidak asing di
depannya juga memasuki pelataran Vibe Hotel.
Dengan
perlahan dia menarik kopernya menuju bagian receptionist,
tetapi melihat seorang gadis yang kepayahan menarik koper, membuatnya
menghentikan langkah sejenak.
“Perlu
bantuan Nona?” katanya, dengan bahasa Indonesia yang fasih.
Gadis
itu mendongak, netra coklatnya berserobok dengan netra obsidian miliknya. “Kau?!
Tidak perlu. Aku bisa sendiri.”
Renald
menaikan alis, “Tetapi bahasa tubuhmu mengatakan sebaliknya Nona.” Tanpa
menunggu persetujuan dari Gadis manis dihadapannya, Renald menarik satu koper
dari tangan kecil Gadis itu.
“Sisanya
kau yang bawa,”
Gadis
itu mendengus, meski akhirnya dia mengikuti Renald juga. Wajahnya manis sekali,
membuat Renald selalu menyunggingkan senyum tipisnya di Gold Coast.
“Excusme sir, saya ingin memesan satu
kamar untukku, dan satu kamar lagi untuk gadisku
ini.” Katanya sambil melirik gadis yang berada disampingnya.
Iris
coklat Gadis itu membulat, gadisku,
katanya? Laki-laki ini benar-benar gila. Pikirnya.
“Maaf
Tuan, tetapi temanku sudah memesan kamar untukku, jadi kau tidak perlu repot.
Aku hanya perlu chek in! Dan
apa-apaan tadi itu! Aku bukan gadismu!”
Renald
memicingkan mata, tangannya terulur menepuk puncak kepala gadis itu. “Kenapa
kau cerewet sekali, huh?”
Seorang
gadis berambut coklat, terlihat melambaikan tangan kearah keduanya. “Cassandra!
Akhirnya kau dating juga. Dan… Renald? Kalian sudah saling kenal? Atau… kalian
sebenarnya sepasang kekasih? Mesra sekali.”
Renald
tersadar, tangan kanannya masih berada di puncak kepala gadis itu. Jadi namanya
Cassandra? Manis sekali. Lihatlah! Rona merah yang terlihat di kedua pipi gadis
itu. Dan senyum malu-malu dari sang gadis membuat hatinya berdesir, membuatnya
ingin selalu dekat dengan gadis itu.
Eh
apa?
Selalu
dekat?
Renald
menggelengkan kepalanya perlahan, jika dia hanya tertarik pada seorang gadis,
dia tidak mungkin merasakan perasaan yang membuat hatinya berdesir seperti ini.
“Mana
mungkin aku mau jadi kekasih seorang pria menyebalkan seperti dia! Dan
apa-apaan kau Aline? Kau mengenal laki-laki seperti dia?” kata gadis itu
sembari menunjuk-nunjuk Renald.
Aline,
nama gadis berambut coklat tadi, menggeleng tak habis pikir. “Cassandra, jangan
seperti itu, nanti kamu bisa jatuh cinta dengan Re. tentu saja aku mengenalnya,
dia sahabat Bobi, kekasihku.”
Cassandra
memutar bola matanya bosan, menyambar kunci yang dipegang Aline, kemudian
berjalan menjauhi Renald yang sedari tadi menatapnya dalam.
Aline
memutar arah pandangnya pada Renald, “Re, sepertinya kau tertarik dengan
Cassandra? Jika kau bersungguh-sungguh, aku dan Bobi akan mendukungmu, tetapi
jika kau menyamakannya dengan gadis-gadismu dulu, aku tidak akan segan
mematahkan lehermu.”
Renald
menaikan sebelah alisnya, “Gadis-gadisku katamu? Aku bahkan belum pernah
berpacaran.”
Aline
menatap Renald tajam, “Demi Tuhan Renald! Kau bahkan tidak pernah mengikat
mereka dalam hubungan serius! Dan jangan samakan Cassandra dengan mereka, dia
terlalu berharga untuk kau mainkan!”
Renald
hanya menaikan bahu tak acuh, kemudian menarik kopernya menuju kamar inapnya
selama di Gold Coast.
*
Cassandra
menghirup dalam-dalam udara Gold Coast di sore hari, sepertinya menarik jika singgah
ke Surfers Paradise untuk melihat matahari terbenam. Tanpa menunggu banyak
waktu, dia bergegas menuju Surfers Paradise yang jaraknya tergolong dekat
dengan Vibe Hotel. Meski perjalanan Indonesia – Australia begitu melelahkan,
tetapi dia tidak mau kehilangan senja pertamanya di sini.
Langkah
kaki jenjangnya mulai menyusuri pasir putih milik Surfers Paradise, gurat merah
kecoklatan di langit, dan gradasi biru milik langit, membuatnya terpana di
tempat. Betapa Tuhan begitu apik menggoreskan karya indahnya disini.
Merasa
tidak ada kegiatan lain yang dia lakukan, gadis itu mendudukan diri pada bibir
pantai, duduk sambil memeluk lutut, menatap senja yang tersisa. Entah kenapa,
raut mukanya terlihat sendu.
*
Tidak
jauh dari sana, Seorang pemuda baru saja selesai mencoba papan surfing-nya yang baru. Senyum angkuhnya
terus mengembang, membuat decak kagum para gadis yang sedang menghabiskan senja
di sana. Tetapi, entah kenapa teriakan kagum gadis-gadis malah membuatnya repot
sekarang. Satu hal, dia tidak suka lagi tebar pesona.
Dia
terus melangkah, tanpa mempedulikan gadis-gadis yang sekarang tengah menatapnya
sebal. “Hei tampan! Kau tidak mau bermain dengan kami?” kata salah satu dari
mereka dengan nada bicara sensual.
“Tidak.”
Sahutnya singkat.
Pemuda
itu, menyusuri bibir pantai dengan papan surfing-nya.
Hingga dia menangkap bayangan seorang gadis yang tengah menatap langit senja,
begitu cantik. Pipi pualamnya hamper serupa jingga karena ternoda bias senja,
rambut hitamnya melambai karena tertiup angin pantai. Tetapi, sayangnya raut
mukanya terlihat menyedihkan. Entah kenapa, membuat dada kiri pemuda itu sesak.
Pemuda
itu tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya, yang dia tahu, dia hanya
ingin dilihat oleh seorang gadis. Dia hanya ingin berada dekat dengan satu
gadis. Dia hanya ingin mengubah kesesakan di raut muka gadis itu menjadi suka
cita.
Gadis
yang sedari tadi ia pandangi dalam diam.
Cassandra.
Entah
apa yang mendorongnya mendekat, dia mendudukan dirinya tepat di samping gadis
itu. Memandangnya lebih dekat, hingga dia menyadari, gadis itu tengah menangis
dalam diam.
Dadanya
benar-benar sesak, ketika melihat buliran air mata itu membasahi kedua pipi
gadis itu. Demi apapun, dia bahkan tidak merasakan apapun ketika mencampakan
banyak gadis di luar sana, tetapi kenapa ia sangat ingin menghapus tangis
kesedihan gadis ini?
Pandangan
gadis itu kosong, dan dia sadar. Gadis itu tidak menyadari kehadiranya. Bahu
gadis itu mulai naik turun, bergetar seperti menahan amarah. Merasa tidak bisa
menahan gejolak itu lebih lama, tangannya terulur, menghapus tangis gadis itu
dengan jarinya, lalu membawa gadis itu dalam dekapannya.
“Menangislah
selama itu membuatmu lebih lega.” Bisiknya, sambil mengusap pelan surai hitam
milik gadis itu.
*
Cassandra
merasakan kesadarannya menghilang. Kenangan pahit terus berputar, ia baru
mengetahui sakit hati karena cinta seperti ini, cintanya sedang berpetualang,
tetapi dia tidak mau membohongi diri, bahwa dia tidak mau menjadi tempat untuk
pulang.
Sudah
cukup, diberi harapan tanpa kepastian, itu sudah membuatnya seperti
terombang-ambing dalam lautan dalam. Dia sudah menyerah, tetapi terlalu sulit
untuk melupakan.
Dia
terlalu lelah dengan yang namanya cinta.
Hingga
riuh ombak kembali menyadarkannya, dan kenapa dia seakan bersentuhan langsung
dengan kulit polos seseorang? Belum lagi usapan lembut pada rambutnya. Siapa
yang berani mendekapnya posesif seperti ini?
Dia
mendongak, mendapati rahang tegas seseorang. Pemuda menyebalkan yang baru saja
ia kenal. Dengan hati-hati, ia mencoba melepaskan pelukan pemuda yang sedang
menatap sisa langit senja. “Apa yang kau lakukan?” katanya dengan nada
bergetar.
“Apa
kau sudah merasa lebih baik?” kata suara baritone itu.
“Memang
apa yang terjadi padaku?”
Pemuda
itu mengrenyit. Apa Cassandra tidak sadar jika menangis? Dengan perlahan ia
bangkit, menepuk puncak kepala gadis itu lagi. “Kau menangis bodoh! Dan kau
berhutang padaku, karena membuatku menahan dingin seperti ini.”
Cassandra
menyadari, Pemuda itu bertelanjang dada, seperti sehabis berenang. Kenapa dia
bisa bodoh sekali menangis dalam dekapan pria yang baru di kenalnya? Telebih
orang itu… menyebalkan.
*
Pagi
begitu cerah, Cassandra sudah memantapkan diri, menghabiskan hari ini di
Surfers Paradise. Tetapi entah kenapa dia menjadi ragu, jika bertemu Pemuda
bernama Renald disana, kejadian kemarin membuatnya malu untuk bertatap muka
dengan pemuda itu. Sungguh!
“Cassandra!
Tunggu apalagi, aku tidak mau Bobi menunggu lama kali ini.”
“Iya
Aline! Kau cerewet sekali.”
Setelah
sampai, Cassandra benar-benar merasa seperti kambing congek, teman macam apa
Aline, ketemu pacar, sahabat ditinggal, dasar. Merasa tidak nyaman berada di
dekat Aline dan Kekasihnya, dia berjalan menuju bibir pantai. Netra coklatnya
memandang sekitar, menangkap siluet pemuda yang sedang dikerubungi gadis-gadis
berambut pirang.
“Dasar
Playboy! Hampir saja aku kemarin luluh dengan sikapnya.”
Cassandra
mendudukan dirinya pada bibir pantai, membiarkan sesekali riak air membasahi
ujung kakinya. Tanpa menyadari, seorang pemuda mendudukan diri disampingnya.
“Sendirian?”
sapa pemuda itu.
Cassandra
hanya menoleh tak acuh. “Mau apa kau disini? Tidak berkencan dengan
gadis-gadismu?”
Pemuda
itu terkekeh. “Kau cemburu?”
Gadis
itu memicing. “Tidak, aku tidak peduli.”
“Hei,
Cassandra. Lihat aku. Kenapa dari awal hubungan kita tidak pernah berjalan
baik?”
Cassandra
mendengus, menatap lurus ke depan. “Karena kau menyebalkan, bodoh!”
“Baik-baik,
aku minta maaf. Bisakah kita menjadi teman? Kau bisa memangilku Re.”
Cassandra
menaikan bahu, kemudian membalas uluran tangan Renald. “Terserah kau saja.”
“Kenapa
kemarin kau menangis?” Tanya pemuda itu.
“Bukan
urusanmu.” Jawab Cassandra singkat.
Renald
tertawa, membuat Cassandra menoleh ke arahnya. “Tentu saja urusanku, kau
menangis dalam pelukanku.”
Sorot
mata Cassandra berubah dingin. “Aku tidak minta kau memelukku, dan jangan
mengurusiku. Urusi saja gadis-gadismu itu!”
Gadis
itu bangkit, meninggalkan Renald yang masih terpaku. Tersadar Cassandra
meninggalkannya, Renald segera menyusul gadis itu, kemudian menggenggam tangan
kecil gadis itu.
“Cassandra,
ijinkan aku menghapus wajah menyedihkanmu itu disini. Ayo kita
bersenang-senang!”
Tanpa
menunggu persetujuan Cassandra, pemuda itu menarik Cassandra menuju bibir
pantai. “Kau harus bersenang-senang di tempat seindah ini. Dan kau berhutang
cerita kepadaku.”
Cassandra
menampilkan senyum tipisnya, Pemuda di sampingnya terus saja membuatnya
tersenyum hari ini. Entah kenapa hatinya mulai luluh. Dia rasa, dia mulai
membuka hati.
Renald
menyeringai, menyadari Cassa yang telah menampilkan senyum tipisnya, melihat
gadis itu tengah menatap langit, ide jahil muncul di kepala Renald, Pria itu
melingkarkan satu lengannya pada bahu gadis itu, dan menyusupkan tangannya yang
lain pada perpotongan lutut sang gadis, menggendongnya memutar, membuat sang
gadis memekik tidak percaya.
Mengingat
matahari yang mulai berada tepat diatas mereka, Renald kembali menarik tangan
Cassandra, menuju salah satu Restaurant di dekat sana, pemilihan view Renald begitu menarik, karena
tempat mereka kini langsung berhadapan dengan keindahan pantai milik Gold
Coast.
“Re…”
panggilan Cassandra membuat Renald memberikan senyum terbaik pada gadis itu.
“Terimakasih.”
Renald
tahu, ini terlalu cepat. Tetapi dia tidak bisa menahan gejolak itu lebih lama,
dia tahu… Cassandra telah menggenggam hatinya. Dia benar-benar jatuh cinta
kepada gadis yang ada dihadapannya ini.
Tangan
kokoh itu terulur, menggenggam kedua tangan kecil yang terasa pas ditangannya.
Membawanya menuju dada kirinya, berupaya membiarkan gadis itu mengerti, betapa
dalam perasaannya untuk gadis itu.
“Cassandra,
aku ingin membuat pengakuan. Bahwa aku belum pernah mengikat hubungan dengan
siapapun.”
Renald
kembali mengumpulkan keberaniannya. “Aku tahu ini terlalu cepat untuk kita,
tetapi aku ingin kau mengerti bahwa aku… mencintaimu.”
Pemuda
itu tersadar, gadis dihadapannya menatap tanpa kedip. “Aku tidak mengerti
seberapa kelam masa lalumu, tetapi seberapa hebat masa lalu itu mengganggumu,
aku ingin menghadapinya bersamamu. Aku ingin mengikat hubungan yang tidak
main-main denganmu.”
Tangan
kanan Renald terlepas, beralih menangkup wajah Cassandra yang berada di
depannya. “Aku ingin menjalani masa kini, dan masa depan bersamamu. Aku
benar-benar mencintaimu.”
Merasa
tidak ada pergerakan dari Cassandra, Renald ingin memberikan satu kecupan yang
benar-benar mewakili perasaan terdalam dari hatinya. Ia mendekatkan wajahnya
pada gadis itu, hingga ia merasa napas keduanya mulai berbaur.
Tetapi,
sedetik kemudian, tamparan telak dia dapatkan pada pipi kirinya. “Jangan
samakan aku dengan gadis-gadismu! Jangan pernah mengumbar kata manis kepadaku!
Jangan membuat ikatan, jika pada akhirnya nanti ikatan itu akan diputus. Jangan
cium aku! Aku bertaruh banyak gadis telah mengecap rasa bibirmu. Dan yang
terakhir, jangan jadikan aku sebagai tempat untuk kau berpetualang!”
Mata
Cassandra terlihat berkaca-kaca menahan tangis. Setelah kata-kata menyakitkan
bagi Renald terlontar, gadis itu segera berbalik, berlalu meninggalkan Renald
yang mencoba mengejarnya.
*
Hari-hari
setelah itu, terasa memilukan bagi Renald. Gadis itu terang-terangan
menjauhinya. Ya mungkin ini karma baginya, karena di hari-hari yang lalu, dia
sudah banyak mencampakan banyak gadis. Ternyata, begitu sakit rasanya
dicampakan.
Dia
tidak mau menyerah, dia benar-benar ingin menjadikan Cassandra sebagai Ibu dari
anak-anaknya kelak. Dia tidak mau bermain-main lagi, dia tidak bisa membohongi
perasaannya, bahwa dia, benar-benar ingin membangun cinta dengan gadis bernama
Cassandra.
Melihat
Aline yang sedang berjalan kearahnya, ia berinisiatif menghentikan langkah
gadis itu, menanyakan sesuatu yang mengganjal dihatinya, sesuatu yang membuat
luka baru yang menganga pada hatinya.
“Aline,
kita perlu bicara.”
Re
menghela napasnya. “Ini tentang Cassandra.”
Gadis
berambut coklat itu mengerutkan keningnya. “Apa kau bersungguh-sungguh
dengannya Re?”
Renald
mengangguk mantap. “Kau harus tahu, dia yang jadi Ibu bagi anak-anakku kelak.”
“Apa
yang ingin kau ketahui dari Cassa?”
Mata
Renald membulat, menyadari Cassa yang berada di belakang Aline, melengos pergi
begitu saja, begitu menyadari ada dirinya di sana.
“Masa
lalunya Aline, aku ingin tahu masa lalunya.”
Aline
menghela napas berat, ia mulai bercerita, “Cassa pernah jatuh cinta, ia diberi
harapan, tetapi kemudian laki-laki itu datang kepadanya dengan seorang gadis
yang disebut-sebut sebagai isterinya.
Sejak itu Cassa selalu menutup diri tentang cinta, dan kau harus tahu, kau
gambaran nyata dari masa lalu Cassa. Mungkin karena itulah dia menolakmu.”
Re
menaikan alis. “Kau tahu aku mengungkapkan perasaanku padanya?”
Aline
menjawab, “Cassa cerita semuanya. Jika kau bersungguh-sungguh kejarlah dia,
besok dia akan bekerja, entah dimana. Aku harap kau bisa memberikannya
kepastian. Dia terlalu takut dengan harapan. Jangan sampai kau tidak bertemu
dengannya sebelum ia menghilang.”
*
Renald
mengejar punggung kecil yang terus berlari tanpa menoleh kearahnya, hingga
akhirnya dia berhasil menarik tangan gadis itu, dan membuat mereka berhadapan.
“Cassa,
kita perlu bicara.”
Gadis
itu mendengus, membuang muka. “Tidak ada yang perlu dibicarakan, urusi saja
gadis-gadismu itu.”
Renald
mendesah kecewa, “Cassandra, apa yang harus aku lakukan supaya kau percaya
bahwa aku mencintaimu?”
Belum
lagi Cassa menjawab, seorang gadis berambut pirang berjalan kearah mereka,
sambil mengerlingkan sebelah matanya. Cassa benci mengakui ini, tetapi Renald
benar-benar tampan, dan penuh pesona.
“Aku
hanya melihat kearahmu Cassa, mereka yang datang sendiri kepadaku!” ucap Renald
frustasi.
Cassa
tersenyum miring, “Iya, mereka yang datang kearahmu, dan kau mau-mau saja ‘kan
bermain dengan mereka? Aku bertaruh bahwa kau sering melakukan one night stand! Jangan samakan aku
dengan mereka Re, jangan pernah ganggu hidupku lagi. Aku membencimu.” Katanya,
kemudian berlalu dari hadapan Renald.
Re
menggeram kesal, sebelum punggung itu terlanjur pergi menjauh, dia berteriak,
“Demi Tuhan Cassa, aku hanya mencintaimu! aku tidak ada niat sedikitpun
mempermainkanmu! Dan jangan samakan aku dengan pria hidung belang atau
seseorang dari masa lalumu! Aku bahkan tidak pernah mencium gadis manapun!”
Mendengar
teriakan frustasi dari Renald, membuat langkah Cassa tertahan, tetapi gadis itu
masih belum mengerti dengan hatinya, sehingga ia lebih memilih melanjutkan
langkahnya, meninggalkan Renald yang masih mematung.
*
Setahun kemudian, Gold Coast, Australia.
Re, menarik segelas palm
wine dari meja bar lalu menegaknya dengan cepat. Kegiatan itu dilakukannya
hingga berkali-kali, tidak terhitung berapa gelas yang ia habiskan malam ini.
Dua gadis bule yang bergelayut disampingnya seolah sudah tidak kerasan berada
disana, memilih enyah, meninggalkan Re yang nyaris kehilangan kesadaran.
Seorang barista, menggeleng kecil melihat kelakuan Re,
hingga ketika Re meminta gelas selanjutnya untuk diisi, seorang gadis mencegah
barista itu, membuat Re menyipitkan mata, menyiratkan seribu pertanyaan.
“Kau belum berubah rupanya, Re.” Kata gadis itu miris.
Re melirik ke arahnya, wajah gadis itu tidak begitu jelas
karena Re sudah dimabuk wine secara
berlebihan, yang ia sadari, gadis itu berdiri bersama seorang laki-laki
disampingnya.
“Kau siapa? Apa pedulimu? Uruskan saja weird guy disampingmu. Dia sudah terlalu
lama berkacak pinggang seperti itu. Aku jijik melihatnya.” Jawab Re sekenanya.
Aline, gadis itu, menyipit ke arah Re dan ke arah Bobbi,
kekasihnya secara bergantian. Bobbi nyaris mengamuk jika Aline tidak
mencegahnya.
“Dia sedang mabuk, honey.
Tahan emosimu!”
Bobbi meringis, menatapi temannya menjadi lebih urakan
setahun belakangan ini.
“Sebaiknya kita bawa dia pulang. Sebentar lagi Vanity Nightclub akan penuh dengan para gay. Kita tidak bisa membiarkan Re
disini jika tidak ingin dia di apa-apakan oleh makhluk-makhluk itu.” Ujar
Bobbi.
Aline mengangguk setuju, keduanya lalu membawa Re keluar
dari club menuju pelataran parkir.
“Dia mabuk sekali. Pakai mobilnya saja. Aku tidak ingin
mobilku terkena muntahan.” Bobbi lalu merogoh saku celana Re, mencari-cari
kunci mobil laki-laki itu. Setelahnya, mereka mulai menjauh pergi dari vanity club, membelah jalanan Surfers
paradise.
Aline yang berada di bangku penumpang depan, menatap
miris Re yang tertidur di bangku belakang. Rambutnya sedikit urakan, pun juga
pakaiannya. Sebenarnya Aline ingin sekali memberitahu Cassandra perihal Re,
namun ia selalu mengurungkan niatnya, mengingat Cassa selalu menghindar jika
Aline mulai membahas Re. Namun, Aline sangat yakin, Re menjadi sangat kacau
satu tahun terakhir ini semenjak Cassa menolaknya.
“Cassa harus tahu ini.” kata Bobbi disela-sela keheningan
mereka.
Aline mengangkat bahu, “Aku tidak yakin Cassa mau
mendengarnya. Kau tahu, mereka sudah tidak pernah bertemu sejak malam itu.”
“Tapi kita tidak bisa berpura-pura tidak ada apa-apa
diantara mereka selama ini. Re menjadi sangat kacau dan Cassa, aku sangat yakin
dia menyibukkan diri hanya karena tidak ingin mengingat Re.”
Aline bergeming. Benar kata Bobbi, Aline juga sangat
yakin bahwa sebenarnya Re dan Cassa saling mencintai satu sama lain, hanya ego
mereka terlalu tinggi, menyalahi aturan yang seharusnya tidak terjadi.
“Kita ke Caffe tempat Cassa bekerja sekarang juga.”
Aline melotot, “Kau yakin, honey?”
Bobbi menoleh kebelakang, menatap temannya, lantas
mengangguk penuh.
**
Cassa masih mengelap beberapa meja, ketika kemudian
matanya bertumpu pada sepasang kekasih yang berjalan ke arahnya. Cassa
menghentikkan aktivitasnya, lantas melempar senyum lebar.
“Astaga lihat siapa yang berkunjung! Apa kabar Aline dan
kau Bobbi!” Cassa memeluk sahabatnya juga tidak lupa menjabat tangan Bobbi.
“Aku sangat senang kalian berkunjung. Tapi, maaf sekali
caffe ini akan tutup sepuluh menit lagi.” lanjut Cassa menyesal.
Aline menggeleng kecil, “That’s nothing, Cass. Umm we
just..” ia ganti melirik Bobbi.
“Ah ya! We just..” sela Bobbi, yang juga ikut
menggantung kalimatnya.
Cassa menautkan kedua alisnya heran.
“You both are just?
What?” tanya Cassa.
“DID EVERYONE HAVE
SOME WINE?!”
Mereka bertiga lantas melirik ke sumber suara, saling
membelalakkan mata melihat siapa yang berdiri terhuyung-huyung di pintu masuk
sambil berteriak-teriak.
“Astaga, Re!” teriak Aline, kemudian berlari diikuti
Bobbi. Sementara Cassa mematung ditempatnya, dengan sejuta perasaan aneh yang
berkombinasi tak tahu diri.
“Ah dia pingsan! Cassa tolong kami!” Aline berteriak
histeris.
Cassa masih diam mematung, hingga para waitress disana
ikut berlari, menuju Re yang terjatuh dipangkuan Bobbi.
“Cassa! Kenapa kau diam saja? Ayo bantu kami! Bawa dia ke
apartemenmu, rumah sakit jauh dari sini.” Teriak salah satu waitress, rekan kerjanya.
“Tapi aku–”
“Sudahlah! Ayo cepat!”
**
Tiga pasang mata itu menatap Re yang terbaring tidak
sadarkan diri di apartemen milik Cassa, tidak jauh dari kafe tempat gadis itu
bekerja.
Nafas Re tidak teratur, laki-laki itu terkadang
menggeliat kecil, membuat beberapa igauan tidak masuk akal. Dan kalimat yang
paling sering Re ucapkan adalah, “Kau dimana, Cassa.”
Aline, Bobi, bahkan Cassa memandang miris penampilan Re
malam itu. Cassa sebenarnya terenyuh hati melihat betapa buruknya Re, laki-laki
itu seolah sudah kehilangan semangat hidup. Cassa, sebenarnya mewanti-wati
perkembangan Re satu tahun ini, diam-diam Cassa selalu menunggu
informasi-informasi yang Aline bawa tentang laki-laki itu. Tapi bagaimana,
Cassa masih merasa satu tahun ini hatinya masih sulit untuk terbuka, meski
sebenarnya, ia ingin jujur, rasa bernama cinta untuk Re sangat jelas ada.
Masa lalu telah menorehkan luka yang sangat menganga bagi
hati Cassa. Luka dari cinta telah membuatnya buta, bahwa ketulusan itu
sebenarnya ada. Seseorang dimasa lalu itu telah membuat Cassa terlalu takut
untuk memulai suatu hubungan lagi. Cassa tidak ingin menjadi nomor dua lagi.
Cassa ingat betul, ketika kali pertama ia bertemu Re.
Laki-laki itu seperti gambaran lain seseorang dimasa lalunya. Senang bermain
dengan wanita. Maka karena itu, Cassa tidak ingin masuk ke lubang yang sama.
Tapi malam ini, melihat Re terpuruk seperti itu, terlebih
karena dirinya, membuat Cassa memiliki satu keyakinan baru, bahwa Re
benar-benar tidak pernah ragu. Re tidak pernah ragu mencintainya.
Sebuah getar menyapa dinding hati Cassa. Laki-laki yang
terbaring di atas ranjangnya membuat dirinya tersadar dari tidur panjangnya
selama ini.
Re kembali menggeliat, suaranya yang cukup serak
tiba-tiba terdengar dikeheningan apartemen Cassa.
“I want her.
Cassandra, give me a chance.. I love you. Do you? WHERE ARE U, I MISS U SO DAMN. DO YOU?!!”
“Aku tidak pernah melihatnya begitu kacau seperti malam
ini. Dia benar-benar serius padamu, Cass. Give
him a chance.” Ujar Bobi.
Cassa berjalan kecil menuju ranjangnya, Re masih mengigau
tidak jelas. Tangan Cassa terulur, mengenggam tangan Re yang lebih besar
darinya. Gadis itu membawa lengan Re menuju hatinya, meski Re sedang tidak
sadar, Cassa ingin memberikan jawaban hatinya sekarang juga.
“Feel
this, Re. I’m here.”
Re berhenti menggeliat, laki-laki itu balas menggenggam
tangan mungil milik Cassa. Ia tidak meracau lagi. Re mengatup rapat bibirnya.
“Tidurlah. Aku disini.”
Aline dan Bobi saling berpandangan. Mereka melempar
senyum. Sepertinya esok hari, akan menjadi hari yang terbaik bagi Re.
**
Re membuka matanya perlahan. Ia merasakan seluruh
badannya nyeri tidak keruan. Untuk membuka mata saja, seakan energinya hilang.
Sesuatu menindih tangannya. Itu adalah sebuah tangan
lain. Re sesegera mungkin bangkit, tidak ingin sesuatu yang aneh terjadi. Ia
tidak ingin tiba-tiba saja one night
stand bersama gadis-gadis Australia
yang menggelayutinya di Club malam.
Re harus bernafas lega karena ia melihat pakaiannya masih
lengkap, ia masih mengenakkan kaus dan celana jeans. Yang hilang dari tubuhnya
hanya jas coklat yang semalam ia kenakan. Re kembali melirik tangannya lagi, digenggam
erat oleh sebuah tangan mungil. Hati Re tiba-tiba berdesir hangat.
Ia melihat begitu jelas wajah Cassandra yang bersandar di
bibir ranjang yang sedang tertidur pulas. Re diam-diam ingin memotret wajah
damai gadis itu diingatannya, agar tidak lagi hilang.
Sedangkan, matanya menemukan Aline tertidur di sofa.
Sementara temannya, Bobi tertidur begitu saja dilantai dengan posisi tidak
karuan. Re kembali tersenyum, berusaha mengingat apa yang terjadi padanya
semalam, hingga ketika ia bangun, ia seperti berada di alam mimpi.
Tiba-tiba Cassandra terjaga, ia menguap kecil merasakan
perubahan posisi. Tangan Re yang kini balik menggenggamnya.
Cassandra hampir melotot kaget. Ia lantas mendongkak,
menemukan Re yang kini sudah tersenyum penuh arti.
“Kau sudah bangun?” tanya Re.
Cassandra bergegas berdiri, menyentakkan tangannya dengan
kasar.
“Kau belum berubah. Masih seperti itu.” Re kemudian
terkekeh di ujung kalimatnya.
“Kau sudah bangun? Kalau begitu aku permisi membuat
sarapan untuk kalian bertiga.” Jawab Cassa cepat.
Re tertawa, “Are
you shy?”
Cassandra
memandang Re tajam, “Jangan mulai. Aku sedang malas bertengkar denganmu.”
“Siapa yang ingin bertengkar denganmu? Aku sudah pasti
kalah. Melihat wajahmu saja tubuhku sudah selumer mentega.” Kata Re, berusaha
serius.
“Playboy memang
pintar menggoda.” Cela Cassandra.
“Aku tidak sedang menggoda. Aku sedang berkata jujur.” Re
membela diri.
“Sudahlah! Aku akan buatkan sarapan untuk–” Ucapan
Cassandra terpotong ketika Re menarik lengan gadis itu dengan cepat.
“Kau mau mati?!” teriak Cassa, ketika menyadari posisi
mereka yang tidak seperti seharusnya. Cassa menindih tubuh Re, sedangkan laki-laki itu
hanya tertawa lebar.
Cassandra segera bangkit, merapikan bajunya. “Kau! Dasar
playboy!
Pervert! Sudah bagus aku mau menampungmu di apartemen setelah kau
semalam mabuk berat dan mengigau tidak jelas!”
Re membelalakkan matanya lebar, “Aku mengigau seperti
apa?”
“Tidak penting.” Jawab Cassa cepat.
“Kalau bagimu itu tidak penting. Sekarang aku akan
memberikan pertanyaan yang sangat penting.”
Cassa melipatkan kedua tangannya di depan dada, menunggu
Re memberikan pertanyaannya.
“Will
you?” tanya Re.
Cassa menautkan kedua alisnya tidak mengerti, “What will?”
“You
didn’t get the meaning?”
tanya Re frustasi.
“Jangan bermain teka-teki denganku. Aku tidak suka
lelucon.”
Re akhirnya memilih berdiri, menghampiri Cassandra yang
kini mematung ditempatnya.
Re meraih kedua tangan
Cassa, ia merapatkan tubuhnya, Cassa tidak melakukan penolakkan apa-apa.
Untuk menghindar saja, rasanya cukup berat. Re mendekatkan wajahnya, menyisakan
jarak beberapa senti tepat diwajah Cassandra.
Re lantas berbisik pelan, “Will you?”
“Try to love me?”
Cassandra diam mematung, tetapi
bibirnya mengulas senyum manis. Senyum yang hanya dia berikan untuk laki-laki dihadapannya.
Ia tidak perlu menjawab, hatinya telah terlebih dulu
berkata iya.
Mengerti
arti dari senyum Cassa, Re lebih merapatkan dirinya, tangannya telah memeluk
gadis dihadapannya, untuk tidak menyisakan jarak diantara mereka.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” tanya Aline yang
tiba-tiba terjaga.
--The End--
*
seperti yang kita bilang sebelumnya, ini collab kami dengan tema 'yang penting jadi' hehehe maaf jika tidak sesuai dengan yang diharapkan, kami bener-bener pengen karya yang berbeda, kami biasanya yang selalu membuat tokoh laki-laki yang perfect ingin mencoba sosok yang berbeda disini, sekian cuap-cuapnyaa sampai berjumpa di lain cerita.
salam bintang dandelion, dan hakunanitata~
regards,
Nita & Ruth ^^