**
Lautan
manusia berlalu-lalang di sekitar Vania, gadis berambut sebahu yang sibuk
menyeret koper juga sesekali membenahkan posisi ranselnya yang selalu merosot.
Bising suara manusia yang saling bersahutan tidak juga membuatnya berhenti
mengoceh sepanjang perjalanan menuju konter check
in. Membuat Vatra, laki-laki di sebelahnya yang nampak tenang kini berubah
menjadi sibuk mengamati, takut-takut gadis itu bisa saja tersandung.
Setelah
menunjukan paspor pada petugas di bagian konter check in, Vania dan Vatra menuju ruang tunggu karena pesawat tujuan
mereka akan boarding setengah jam
lagi. Vania sibuk bermain gadget, tanpa memperhatikan jalan, ransel yang
dikenakan gadis itu tidak luput dari pandangan Vatra. Akhirnya, karena gemas
melihat gelagat gadis di depannya yang kesusahan, Vatra menarik ransel Vania
dengan gerakan cepat, membuat gadis itu memekik spontan.
“Aku
kira copet!” serunya.
Vatra
tersenyum, melempar pandangan meminta maaf. “Habis kamu kelihatan ribet banget
main gadget, ranselnya daritadi merosot terus,”
Vania
melirik ransel biru yang kini tersampir di satu bahu Vatra. “Awas jagain ransel
aku, banyak barang berharganya.”
Vatra
menoyor Vania gemas. “Bukannya bilang terima kasih,” komentarnya.
Vania
hanya tertawa. Ia melirik lagi layar gadget yang kini sudah tersambung dengan
applikasi video call, lalu mengarahkan layar gadget nya lurus di depan wajah,
wajah yang familiar muncul dibaliknya.
“Hai
Voda!” seru Vania berapi-api, membuat Vatra menoleh ke arahnya dengan pandangan
bertanya.
“Kita
sebentar lagi boarding. Ini di sebelahku Vatra mukanya bete terus, coba kamu
kasih nasihat. Straight face man,
ngomong nih,” Vania memberikan gadgetnya pada Vatra.
“Wei
sob, itu muka apa papan seluncur? Datar amat,” Voda bergurau, membuat Vania
tertawa mencibir.
Vatra
melotot geram. “Vod, kalau habis ini lo gak putusin sambungan, gue bersumpah
gak akan pernah nemuin lo di Venice,”
Voda
kembali tertawa di balik layar. “Bahasa Jakartanya keluar deh, ok, gue matiin,
yang penting kalian gak video call
sama gue pas di pesawat. Heboh amat,”
Vatra
tidak menjawab lagi, ia justru memutuskan sambungan tanpa izin, lalu memilih
opsi turn off. Vania mengerucutkan bibir kesal.
“Jangan
macam-macam, ini aku sita dulu. Bahaya kalau diam-diam di pesawat nanti kamu
bikin vlog,”
Vania
diam. Suara peringatan keberangkatan pesawat tujuan mereka terdengar dari
speaker pengumuman. Vatra menarik tangan Vania, tidak sadar menenggelamkan
tangan gadis itu dalam genggamannya.
**
Venice,
Italia.
Setelah
mendapat pesan dari Vania saat gadis itu transit. Voda sering mematut diri di
cermin. Entah kenapa rasa-rasanya ia seperti sangat ingin memperhatikan
penampilannya. Enam bulan tidak bertemu dua sahabatnya, membuatnya menjadi
tidak karuan, terlebih karena ia akan bertemu Vania…. Ah bahkan gadis itu masih
merenggut seluruh atensinya. Teman-teman wanita di kampusnya bisa dibilang
banyak yang lebih cantik daripada Vania, tapi bagi Voda tidak ada yang bisa
menggetarkan hatinya selain Vania. Tentu, bukan dalam hubungan pertemanan, tapi
lebih dari itu.
Bahkan,
sejujurnya ia menyesali keputusannya melanjutkan kuliah S2 di kota kelahiran
Ayahnya, karena justru hal itu merenggut kesempatan terbaiknya untuk terus
berada di samping Vania.
Voda
merasakan debaran gila di jantungnya. Ia sudah berjanji dalam hati, jika
bertemu Vania nanti, tidak peduli apa jawaban dan tanggapan gadis itu, Voda
akan mengutarakan perasaannya.
**
Setelah
melakukan perjalan panjang yang memakan waktu hampir satu setengah hari,
akhirnya Vania dan Vatra sampai di kota Venice. Mereka memutuskan berjanji
bertemu dengan Voda di Canal Grande, karena mereka tidak berani ambil resiko,
menyadari Venice adalah kota yang paling memungkinkan membuat mereka tersesat
dengan minimnya informasi.
“Kampus
Voda gak jauh dari sini,” Vania menunjukan letak Universitas Ca’ Foscari dipeta
yang dibawanya.
Vatra
mengangguk. “Enaknya si Voda tinggal di kota seindah ini. Aku juga bakal betah
kalau begitu,”
Vania
mendelik. “Aku nggak,” membuat Vatra menunggu alasan gadis itu.
“Soalnya
aku gak bakal sering ketemu kamu sama Voda. Aku gak suka jauh-jauhan sama
kalian,”
Vatra
tidak berkomentar. Hanya tertegun melihat Vania yang kini tersenyum.
Tidak
lama, Vania merasa tubuhnya terengkuh penuh oleh seseorang dari belakang. Gadis
itu menjerit, membuat Vatra spontan mendorong seseorang yang memeluk Vania,
yang tidak lain adalah Voda.
Voda
terbahak melihat sikap dua sahabatnya yang sangat paranoid. “Sumpah! Emang
kalian kira aku kriminal?”
Voda
tersenyum lebar, hendak memeluk kembali Vania yang sudah sempurna berhadapan
dengannya, namun tiba-tiba saja Vatra menggeser tubuhnya sendiri hingga berdiri
di antara Vania dan Voda.
Vatra
berdeham. “Jangan meluk-meluk, dia bau. Perjalanan kita hampir dua hari tanpa
mandi.” Katanya, mencari-cari alasan.
Vania
mengerucutkan bibir kesal. “Bilang aja kamu iri gak dipeluk rindu sama Voda!
Sini kaliaaaaan!” Vania berjinjit, merangkul dua sahabatnya yang tinggi. Hanya
jika ia peka sedikit aja, detak jantung kedua laki-laki itu berpacu sama
kencangnya.
Voda
berusaha menahan keinginannya untuk menarik Vania dalam rengkuhannya seorang.
Terlalu dini jika ia secara gamblang menunjukan perasaannya sekarang. Sementara
Vatra sibuk menetralisir degup jantungnya sendiri, yang akhir-akhir ini selalu
tidak mau di ajak berkomproni jika ia berada dekat-dekat dengan Vania.
Sebuah
gondola yang berlayar menuju tepian Canal Grande, menepis tiga petualangan hati
berbeda disana. Vania melepas rangkulannya, lalu berlari menuju pinggir
jembatan, takjub dengan apa yang dilihatnya.
Vania
membuka mulutnya lebar. “Vod, kapan kita bisa naik itu?”
Voda
balas berseru, “Nanti,” jika saatnya
sudah tepat bersamaan dengan perasaan ini. Tambahnya dalam hati.
Sementara
Vatra hanya memandang Vania dan Voda secara bergantian. Tahu betul Vania adalah
gadis drama yang menginginkan hal-hal romantis dalam hidupnya. Salah satunya
adalah berlayar di sepanjang Canal Grande dengan gondola. Tiba-tiba saja
sesuatu terbayang dalam pikirannya. Bagaimana jika….
“Vat,
besok kasih gue waktu sama Vania berdua ya? Ada sesuatu yang harus gue bilang ke
dia,” Vatra tersadar dari khayalannya, beralih menatap Voda yang juga serius
menatapnya.
“Mau
ngomong apa?” Vatra bertanya ingin tahu. Merasa sesuatu yang tidak diinginkan
akan terjadi.
“Gue
yakin lo tahu, man.” Voda tersenyum
tipis, lalu melanjutkan. “gue tahu, friendzone kecil kemungkinan buat jadi
seperti yang diharapkan, tapi gue cuman mau berusaha gentle dengan gak cuman mendem perasaan doang.”
Vatra
terdiam beberapa lama. Voda melempar senyum simpul, lalu menepuk bahu Vatra,
mengambil langkah menuju Vania yang jauh di depannya. Belum genap langkah
keduanya, Voda merasakan lengannya ditahan, laki-laki itu menoleh dibalik bahu.
“Then, let’s do it together. Do the same in
our way. Karena kalau cuman lo yang ungkapin, rasanya gak adil. Gue juga akan
merasa gak gentleman,” Rahang Vatra
mengeras setelah mengutarakan kalimatnya.
Voda
mematung, menatap Vatra dengan berjuta tanda tanya. “Lo…”
“I love her too.” Gumam Vatra. Voda
memekik tertahan.
“Voda,
Vatra! Kalian ngapain berdiri disitu terus? Cepet sini, kita susun list to do selama di Venice!” Vania
berseru lantang di depan mereka. Tidak tahu bahwa ada dua laki-laki yang mulai
mengambil langkah untuk saling merebut perasaannya. Vania tidak tahu, mulai
detik itu mungkin semuanya nyaris tidak akan sama lagi. Vania juga tidak tahu,
bahwa salah satu laki-laki disana yang juga sama dicintainya sudah memberikan
jawaban atas pertanyaan hatinya selama ini.
**
Piazza San Marco, menjadi
tempat tujuan Voda, Vania, dan Vatra kali ini. Setelah singgah sebentar pada Apartement
milik Voda yang terletak dijantung Kota Venesia, satu-satunya manusia yang ber-gender wanita, yang tidak lain, tidak
bukan adalah Vania, menyeret paksa lengan milik kedua sahabatnya, tanpa tahu,
kedua jantung kedua laki-laki itu berdetak sama kencang.
Piazza San Marco, merupakan
salah satu alun-alun utama di kota Venesia, tidak heran, baik turis lokal,
mancanegara, bahkan penduduk asli sekitar, begitu beramai-ramai mengunjungi
tempat ini.
Vania
tidak berhenti berdecak kagum, Venesia benar-benar melebihi batas
ekspektasinya! Sungguh indah, dan meski ia tidak mau mengakui ini, tetapi…
Venesia benar-benar romantis!
Gadis
itu terkesiap ketika sebuah tangan kokoh menggenggam tangannya erat. Dia
mendongak, mencari tahu, siapa pemilik tangan itu. Tanpa diduga, kedua pipi
gadis itu menghangat, setelah ia tahu, Voda yang menggenggam tangannya.
“Jangan
jauh-jauh dariku. Aku tidak mau kamu tersesat. Venice dibulan Maret terlalu banyak turis. Aku tidak mau kamu
hilang.”
Gadis
itu mengrenyit, ketika menyadari perbendaharaan kata Voda yang terkesan lebih
lembut dari terakhir mereka bertemu. Perasaan ini? Bolehkah?
Gadis
itu hanya mengangguk ragu. Membiarkan Voda membimbingnya, kemanapun ia
melangkah, tanpa mengerti, ada sosok lain di belakangnya yang sedang menatap ke
arah mereka, dengan begitu terluka.
**
Vatra
menghela napas lega, ketika Vania begitu kelelahan, dan segera beranjak ke
kamarnya, untuk segera tidur. Ia harus segera menyelesaikan urusannya dengan
Voda. Secepatnya. Mana yang ia pilih, persahabatan, atau cinta?
“Gue
mau ngomong.” ucapnya, ketika melihat Voda yang sedang menuang kopi dalam
cangkir berwarna coklat.
Voda
hanya menyeringai, sebuah tanda sebenarnya laki-laki itu tidak terlalu berminat
dalam perbincangan ini.
“Perasaan
gue ke Vania, itu bukan suatu hal yang main-main.” Ujarnya kemudian.
Voda
menaikan alis. “Lo pikir perasaaan gue juga main-main? Gue tahu, gue memang
bukan pemuda yang baik untuk Vania. Tetapi… baru kali ini gue punya perasaan
yang begini dalam pada wanita. Dan gue mau jadi yang terbaik untuk dia.”
Vatra
mencibir, “Apa lo masih punya muka buat mengungkapkan apa yang lo rasa ke Vania
sekarang, setelah lo tiba-tiba pindah ke Venice? Dan gue jamin, lo pasti main wanita disini.”
Voda
menghela napas, mencoba mengontrol emosinya. “Vania cinta pertama gue. Sahabat
pertama gue, sahabat kecil gue satu-satunya. Bahkan sebelum lo hadir dan jadi
sahabat kami.”
Meletakan
cangkirnya diatas meja, Pemuda itu kembali berkata, “-meski gue akui, gue brengsek. Gue playboy. Tetapi… itu semata-mata agar gue dapat perhatian dia. Dan
harusnya lo inget, lo nggak ada bedanya sama gue. Atau mungkin… malah lebih
buruk?”
Vatra
merasa emosinya memuncak, ditariknya kerah pemuda dihadapannya, kemudian
ditatapnya dengan sengit. “I love her!”
Iris
coklat tua Voda memicing. “And I love her
too!” bentaknya.
“A-apa…
Voda? Vatra? Kalian?”
Suara
lembut itu menginterupsi mereka. Vania, gadis yang telah singgah dalam hati
mereka, menatap dua sahabat itu dengan terkejut.
“Apa
maksudnya? Bisakah kalian jelaskan? Bukankah kita harusnya bersahabat dengan
baik?”
Vatra
melepaskan kerah baju milik Voda, kemudian berkata, “Vania, lihat kami sebagai
laki-laki. Bukan hanya sebatas sahabatmu. Pilihlah salah satu dari antara kami.
Kamu pasti tahu, apa yang sedang kami debatkan tadi.”
Gadis
itu melipat tangannya di depan dada. “Apa bedanya, jika aku memilih, ataupun
tidak memilih salah satu dari antara kalian? Apakah persahabatan kita tetap
bisa kembali seperti dulu?”
Vatra
menyeletuk, “Jangan harap. Kami bukan sahabat lagi, semenjak kami sama-sama
tahu, perasaan kami padamu, lebih dari sekedar sahabat.”
Voda
menghela napas. “Kita akan bersahabat, apapun yang terjadi.” Irisnya bergulir
pada Vatra, “lo jangan egois!” tandasnya kemudian.
Vatra
mencibir, “Lo yang bikin gue egois!” ucapnya, kemudian bangkit dan meninggalkan
kedua sahabatnya.
Vania
menunduk, tangannya terkepal erat, hingga tanpa sadar dia menangis, menangisi
persahabatannya untuk pertama kali.
Melihat
itu, Voda mendekati gadis yang begitu dia sayangi, kemudian direngkuhnya erat
dalam pelukan. “Kita akan baik-baik saja, persahabatan kita tidak akan serendah
itu. Tetapi Vania, kamu harus tetap memilih, apapun yang terjadi. Pada
akhirnya, harus ada yang terluka, karena kita tidak bisa hidup dalam
kebohongan.”
Setelahnya,
Voda mengacak pelan rambut Vania, suatu kebiasaan yang sudah lama tidak ia
lakukan. “Be happy, Cherry.” Kemudian melangkah meninggalkan Vania yang masih
setengah terisak.
**
Vania mengeratkan sweater-nya dari dingin Venesia di malam hari, gadis itu tidak bisa
berbohong, bahwa ia sedang tidak baik-baik saja sekarang. Persahabatan yang
telah ia bangun dengan dua lelaki berbeda itu, terancam kandas, meski tidak ada
yang dinamakan mantan sahabat.
Pikirannya
beralih pada dua lelaki yang sedang memenangkan hatinya, Vatra adalah sosok
yang tegas dan temperamental, seperti namanya yang berarti Api, dalam bahasa
Kroat, Vania masih ingat betul, pada masa mudanya, Vatra mempunyai banyak
daftar hitam, sering berganti pacar, tak
segan memamerkan kemesraannya pada Vania dulu, meski begitu, pemuda itu selalu
ada kapanpun ia inginkan, bahkan ketika Voda pergi.
Sedangkan
Voda, pemuda itu cenderung pendiam, dan tenang. Seperti namanya yang berarti
Air. Voda adalah sahabat pertamanya, laki-laki itu memanggilnya Cherry diawal bertemu, saat usia mereka
masih lima tahun, kata Voda, pipi Vania seperti Cherry, maka anak laki-laki itu menyebutnya Cherry. Dan ia tidak bisa berbohong, semenjak bertemu Voda,
hidupnya bergantung pada lelaki itu, meski laki-laki itu pernah mempunyai kekasih,
tetapi Vania tetap menjadi prioritasnya. Bahkan laki-laki itu sering bersikap
dingin pada kekasihnya sendiri. Meski ia tidak bisa memungkiri, bahwa ia kecewa
ketika Voda menetap di Venice.
Ini
semua membuatnya bingung, kedua laki-laki itu mempunyai tempat yang sama
dihatinya, masih sulit baginya untuk memilih. Tetapi benar apa yang dikatakan
Voda, ia juga tidak bisa terus-terusan berbohong pada dirinya sendiri, atau
bahkan pada kedua laki-laki itu, karena ia tersadar, salah satu dari mereka
telah memenangkan hatinya dari awal.
Ia
tahu, jika dia tidak segera memberi keputusan, pasti kedua laki-laki itu akan
berseteru lebih hebat dari ini, ia tahu, jika ia harus benar-benar memilih,
meski sama saja ia akan menyakiti salah satu dari mereka. Pada akhirnya harus
ada seseorang yang terluka. Bukan— Vania lebih suka menyebutnya, seseorang yang
harus mencari kebahagiaannya sendiri. Ia tidak mau menyakiti siapapun.
Semuanya
sudah bulat, hatinya sudah mantap sekarang.
**
Dengan
langkah ringan, Vania dengan paksa menyeret Vatra hingga ke ruang tengah.
Ruangan yang begitu dihindari oleh Vatra, karena ada Voda disana. Meski dia
suka, tangannya ditarik Vania seperti ini.
Gadis
itu berdeham sejenak, ketika menyadari kedua sahabatnya yang saling melempar
pandangan sengit. “Aku tahu perasaan kalian padaku, dan pada akhirnya aku harus
memilih. Meski terasa sulit.”
“Jika
terasa sulit, tidak usah memilih. Biarkan saja seperti ini.” ungkap Vatra
kemudian.
Vania
menghela napas. “Aku harus memilih, karena tidak selamanya kita harus hidup
dalam kebohongan. Tidak selamanya kita berada dalam sketsa abu-abu. Bukan
maksudku untuk menyakiti salah satu dari kalian. Kita semua sudah dewasa, aku
tidak mau persahabatan kita hancur hanya cinta.”
“Pada
akhirnya akan ada yang terluka, dan aku tidak mau itu terjadi, persahabatan
kita… akan sulit untuk kembali.” ucap Vatra lagi.
Vania
tersenyum tipis, “Vatra, mana yang akan kamu pilih? Hidup dalam kebohongan yang
menyenangkan, atau dalam kebenaran yang menyakitkan?”
Vatra
hanya membuang mukanya, membiarkan gadis itu kembali berbicara. Sedangkan Voda,
sedari tadi hanya terdiam.
Tangan
gadis itu terulur, menyatukan tangan kedua sahabatnya. “Hey, setelah
bertahun-tahun, apa perasahabatan kita serendah itu? Umur kita tidak lagi muda.
Aku akan memilih sekarang, dan aku harap kalian terima.”
Iris
coklat madu milik gadis itu bergulir kearah Voda. “Voda, te amo. Aku tidak bisa berbohong pada diriku sendiri.”
Raut
wajah Voda menjadi terkejut, sedangkan Vatra, menatap gadis itu dengan
pandangan terluka.
“Vatra,
maaf. Aku menghargai perasaanmu, tetapi kebahagiaanmu bukan aku. Carilah
kebahagiaanmu sendiri.”
Vatra
menyentak genggaman tangan Vania. “Aku mau bukti bahwa kalian saling mencintai.
Sakiti aku lebih dari ini, agar semua lebih mudah untuk dilupakan.”
Vania
menatap Vatra dengan pandangan tidak percaya. Sedangkan Voda menatap Vatra
sengit.
“Sebulan
lagi kami bertunangan, dan gue harap…ini lebih dari cukup dijadikan bukti,
bahwa kami saling mencintai.” ujar Voda kemudian.
Vatra
menghela napasnya. Ia tahu ia sudah kalah dari awal, dia kalah semenjak dia
terlambat masuk dalam kehidupan Vania, meski Voda pergi, itu tidak akan
mengubah apapun.
Kemudian,
laki-laki itu melangkah menjauhi kedua sahabatnya itu. “Lakukan sesuka kalian.”
ucapnya.
“Vatra!”
Suara
Voda, kembali membuat langkah kakinya tertahan.
“Lo,
ikut pertandingan Polo yang diadain
bokapnya Vania lusa ‘kan?” tanya Voda.
Tanpa
menoleh dibalik bahu, Vatra menjawab, “Tentu saja, tanpa aku, team-mu akan kalah.” Katanya, lalu
kembali melangkah meninggalkan kedua sahabatnya.
Jawaban
dari Vatra, membuat Voda dan Vania tersenyum lega, pasti sahabat mereka itu
akan mendapat kebahagiaannya sendiri.
**
Menaiki
gondola di senja hari, bersama sang pemilik hati, terasa menakjubkan bagi
Vania, hampir melewati jembatan Rialto diiringi nyanyian lembut dari Gondolier,
membuat waktu terasa melambat.
Gondolier
itu berkata dalam bahasa itali pada Voda, “Konon katanya, jika sepasang kekasih
berciuman di bawah jembatan ini sewaktu senja, mereka akan mendapat hadiah yang
menakjubkan.”
Voda
tersenyum kikuk, ia tidak mau melakukan hal berlebihan, sebelum Vania
menyandang namanya juga. “Apa ciuman di kening, memiliki efek yang sama?”
Gondolier
itu mengangguk. “Saya rasa sama, Tuan.”
Saat
Gondolier kembali menyanyikan lagunya, Voda mengambil kedua tangan Vania lantas
menggenggamnya erat, “Cherry, te amo.” ucapnya lirih. Kemudian
dikecupnya kening gadis itu dengan penuh perasaan.
**
Vatra
berjalan tak tentu arah, sambil mengacak rambutnya frustasi, meski sulit
baginya untuk menerima semua ini, ia harus terima. Vania benar, usianya tak
lagi muda. Dan mungkin saatnya dia mencari kebahagiaannya sendiri.
Hingga
tanpa sengaja ia menyenggol bahu seorang gadis, dan tanpa sadar menjatuhkan
semua barang yang dibawa gadis itu.
“Oh my God! Apa lagi kali ini? Oh no! kamu menghancurkan barang yang
saya bawa untuk Ibu saya! Kamu harus menggantinya!” bentak gadis itu.
Vatra
hanya memutar bola mata bosan. “I’m
sorry. Tapi tidak bisa hari ini, saya butuh waktu untuk sendiri.”
Gadis
itu mengacak rambutnya frustasi. “Anda patah hati? Harusnya anda bersyukur,
meski ditolak, anda masih bisa melihat wajahnya.” ucap gadis itu, kemudian raut
wajahnya berubah sendu.
Gadis
berambut hitam itu, lantas merogoh tasnya, kamudian memberikan selembar kartu
nama. “Aku tidak mau tahu, kamu harus ganti rugi.” Kata gadis itu, kemudian
berlalu begitu saja.
Vatra
mengrenyit heran, lantas terkejut. “Althea? Orang Indonesia? Pantas saja.”
End
next to Milan :)
enjoy reading, salam bintang dandelion dan hakunanitata!
kalian bisa menemukan cerita ini disini juga Collaborate with Nita thankyou! see you in next story!