RSS

Kamis, 22 November 2018

Gema Aksara dan Sebongkah Harapan #DearPapa

Gema Aksara dan Sebongkah Harapan

Dear Papa,
Terhitung mulai detik ini, aku memasuki babak baru dalam hidupku.
Dan, pada hari ini, terhitung aku melewati hari bahagia ke satu dasawarsa, tanpa hadirnya kamu.
Banyak hal telah terjadi, berbagai fase hidup yang pada akhirnya aku jalani sendiri, tanpa kamu.

Seperti saat aku mengenakan toga, mungkin rasanya sempurna jika ada kamu dalam hadapan kami, ataupun kamu yang pasti mengomel saat bagaimana pertama kali aku mengeluh memasuki kehidupan pekerjaan yang biasa orang sebut dengan fase hidup sesungguhnya. Aku bersyukur telah meraih sebagian mimpiku, meski tak sempurna karena tidak hadirmu secara nyata.

Dua puluh dua tahun.
Orang bilang, pada usia ini segala mimpi yang dicapai dengan tangannya sendiri telah usai.
Orang bilang, pada saat ini, sudah saatnya aku dipertemukan dengan seseorang. tulang rusukku.
Tetapi, faktanya, segala mimpi yang menjadi anganku, masih ada dalam tempat yang sama.
Naskah yang aku kirim, masih juga belum menemui kabar, sedang aku masih berjuang melawan ribuan naskah, untuk naskah lain yang sedang aku lombakan.
Nyatanya, aku masih belum dipertemukan dengan siapapun, entitas dari laki-laki yang selama ini aku doakan.

Pa, terkadang ada banyak kenangan kita yang mulai terkikis waktu.
Maka, aku memilih menulisnya dengan rangkaian aksara.
Ada alasan tersendiri, kenapa aku lumayan sering menggunakan pegawai PLN sebagai latar profesi setiap tokohku. Alasan pertama, aku ingin mengkristalkan setiap momen yang mulai terkikis oleh ingatan. Alasan kedua, untuk mengingat janjiku yang tidak akan pernah terwujud, untuk menjadi penerus Papa sebagai Pegawai PLN.
Alasan ketiga, untuk mengingat janji Papa yang sampai selamanya tidak akan terwujud, Papa yang akan campur tangan dalam kisah cintaku, Papa yang pernah berkata, "Belajar yang benar, Mbak. jadi perempuan sukses. Nggak usah pacar-pacaran. Nanti kalau sudah besar, Papa yang seleksi. Atau, nanti Papa carikan junior Papa." namun semua hanya angan ya Pa?

Bukan, aku sama sekali tidak ingin menagih janji itu, bukankah kita impas? karena pada akhirnya aku menjadi petugas farmasi yang siap memberikan obat pada pasien. Dan, jika Papa tahu, aku selalu senang jika berhadapan dengan pasien yang berasal dari kantor akbar Papa. Aku tidak sungkan mengajak mereka sharing. Memang sedikit menyakitkan ketika mengingat perjuangan Papa untuk sembuh, tetapi melihat mereka yang semangat berjuang untuk sembuh, aku menjadi teringat Papa. Itu lebih baik daripada setiap momen yang kita lakukan mulai terkikis dalam ingatanku.


Satu babak baru, mulai kembali aku taklukan. Dua puluh dua tahun, bukan waktunya lagi untuk bermain-main. Meskipun terkadang iri dan rindu melihat seorang ayah dan anak bercengkerama secara bebas, aku bersyukur kondisi Papa sekarang adalah yang terbaik, Papa sudah tidak merasakan sakit itu. Pa, kamu pasti tahu, bagian-bagian dari mimpiku, dan apa yang menjadi penantianku selama ini. Aku ingin menjadi penulis yang sukses. Aku ingin menjadi petugas farmasi yang kompeten, dan aku ingin dipertemukan dengan laki-laki yang seperti Papa, yang mencintai Tuhan Yesus dengan setulus hati. Terlalu muluk dan idealis ya Pa? tetapi faktanya ini yang aku doakan tiap malam.Meskipun aku sebenarnya tidak mematenkan bagaimana kelak, laki-laki yang dikirimkan Tuhan untukku. Aku tidak pernah menyesal memantapkan diri untuk menunggu cinta sejati, menjaga sebuah komitmen yang dinamakan True Love Wait. Tuhan berulang kali pernah menggenapi apa yang terlihat begitu mustahil bagiku, dan aku yakin pada saat yang tepat, Tuhan akan menggenapinya lagi. Seperti Papa yang dulu pernah memberi perumpamaan tentang cinta lewat listrik statis dan listrik dinamis. Sayangnya aku masih terlalu dini untuk mengerti, dan aku menganggap kata-kata Papa seperti angin lalu, sedang aku menyesal karena baru mengerti sekarang.


Pa, pada detik ini, aku kembali berharap. Saat aku kembali menutup mata untuk tidur singkatku lagi, kamu datang dalam mimpiku, dengan seragam kebanggaan kamu seperti sebelum-sebelumnya. Papa membuatku yakin, bahwa segala pekerjaan yang dikerjakan dengan senang hati dan rasa bangga akan selalu berbuah baik. Kadang aku berpikir, kekagumanku pada Papa dan profesi Papa akan membawaku dalam sebuah obsesi? tidak. Aku hanya sebatas kagum, dan ini adalah salah satu upayaku, akan sebuah rindu yang tidak pernah bisa bermuara dan aku rasakan pada Papa.

Pa, terimakasih selalu menjadi Hero-ku, cinta pertamaku, dan Papa terbaik meski hanya dua belas tahun aku merasakan kasih sayangmu. Bahagia bersama Tuhan Yesus di Surga. I Love You.

pict from google


Sabtu, 24 Februari 2018

INTENSI

Intensi
Sebuah janji yang tak ubahnya jadi mimpi.


            Pertama kali kubuka mata, yang kulihat adalah senyum diwajah Papa yang telah menggunakan seragam dinas kebanggaannya. Papa mendekat kearahku, lantas tangannya terulur, mengusap pelan puncak kepalaku. “Mbak Lala, bangun, katanya hari ini masuk pagi? Mau bolos kerja?”
            Mengumpulkan nyawa, aku tersadar, bahwa aku bukanlah anak kecil lagi. Aku yang baru saja wisuda, telah diterima menjadi pegawai salah satu Rumah Sakit swasta di kota Surakarta. Segera mungkin aku bergegas bergabung dengan keluarga kecilku. Adik laki-lakiku telah menginjak masa SMK, tingginya telah melebihi Papa, dan tentu saja lebih tinggi dariku.
            “Nanti antar Orion dulu baru antar Mbak Pelangi ya.” ucap Papa usai kami sarapan pagi.
            “Nggak kerasa ya, kalian udah besar. Mbak Lala udah bisa cari duit sendiri, Mas Rion dua tahun lagi juga kuliah.” kata Mama yang sedang merapikan keperluan Papa.
Jangan bayangkan ada adegan Mama yang membetulkan dasi Papa atau memakaikan jas padanya. Papaku bukan pegawai kantoran, Papa juga bukan pelindung negara yang memiliki badan kekar ataupun pahlawan tanpa tanda jasa, mendidik ratusan penerus bangsa. Papa adalah salah satu pegawai di Perusahaan Listrik Negara. Oknum yang pertama disalahkan ketika listrik padam, namun bekerja demi terang bangsa.
Rion mengambil tasnya dan menggenggam kunci mobil Papa. “Yuk berangkat, nanti Mama baper lagi ditinggal sendiri tiap pagi.” Kami bertiga serempak menggeleng melihat perlakuan anggota paling muda keluarga Arsana. Setelahnya, aku dan Papa menyusulnya yang telah duduk dalam mobil.
 “Rion langsung pulang naik bus nanti? Nggak bablas sampai kantor Papa kayak Mbak Lala?” tanya Papa tanpa mengalihkan pandang dari kursi kemudi.
Rion hanya melirik sebentar, dia masih terpaku pada game online yang ada di smartphone-nya. “Nggak, kurang kerjaan banget ke kantor Papa, udah beda provinsi, aku juga nggak tahu mesti ngapain di sana.”
Ya, kantor Papa berada di Kalasan, Yogyakarta. Jarak yang cukup jauh dari Sekolah Rion  dan Rumah Sakit tempatku berkerja. Saat lampu menunjukan warna merah, Papa menyempatkan diri menoleh pada anak laki-laki kesayangannya. “Hitung-hitung belajar, kan kamu ambil jurusan listrik, katanya mau jadi penerus Papa?”
“Iya sih, tapi kalau nanti, aku nggak yakin free buat besoknya. Hari minggu aja, tanggal satu, Papa jadwal keliling Kalasan ‘kan? Aku bantu nanti. Lagi pula, Mbak Lala ngapain juga ke Kantor Papa? Naik bus aja bisa turun depan rumah.”
Aku melirik Papa yang terlihat santai. “Tanya Papa tuh! Papa yang maksa Mbak ke Kantornya.”
“Mumpung Mbak Pelangi masuk pagi, kapan bisa main ke Kantor Papa lagi? Papa tuh iri sama teman-teman Papa yang anaknya kadang pada jemput di Kantor.”
Rion mencibir, “Aku mencium ada hal terselubung Mbak, hati-hati! Kayaknya ada yang nggak beres dikantor Papa.”
Papa tertawa, tangannya menepuk kepala Rion yang duduk disamping kemudi. “Rion mau kuota sepuluh giga dari pelanggan Papa yang naik daya kemarin nggak?”
Wajah Rion berubah sumringah, dan aku mencium hal tidak beres. “Ya maulah Pa! bisa battle Mobile Legend sampai puas!” katanya, kemudian menoleh kearahku. “Mbakku yang cantik! Ingat perintah baginda raja, pulang kerja ke kantor baginda raja. Jangan mlipir ke Mall, atau malah langsung pulang ke Rumah! Oke oke?”
Aku memutar bola mata bosan, sedang Papa mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya, aku yakin itu adalah kartu perdana berisi kuota yang Papa janjikan. Lantas, tangan Papa terulur, diberikannya pada Rion. “Nih! Belajar yang bener, malu Papa kalau bapaknya pegawai PLN tapi anaknya remidi dasar listik elektronika!”
“Yes!” ucap Rion girang, lantas diciumnya tangan Papa, dan bergegas keluar dari mobil begitu mobil Papa menepi di depan gerbang sekolahnya. “Anak ganteng belajar dulu ya!”
“Manjain aja Rion terus Pa. Dia tuh lagi kecanduan game online malah Papa kasih kuota gratisan, kalau Mama marah, Lala nggak bakal belain Papa ya!” ucapku tak terima.
Lagi-lagi Papa tertawa. “Sekali-kali, daripada adikmu minta motor baru, atau malah ngrokok-ngrokok nggak jelas?”
Aku mengangkat bahu, tanda menyerah dengan argumen Papa. Memang pergaulan sekarang mengerikan, rokok adalah hal lumrah, balapan liar jadi ajang kehebatan, dan main cewek adalah wajar. Mental penerus bangsa akan semakin jongkok jika begini.
Mobil Papa menepi ketika kami tiba di Rumah Sakit tempatku bekerja. “Kerja yang benar, ingat tanggung jawab moral kamu melayani pasien. Kesembuhan pasien juga ditangan kamu Mbak, selain ditangan dokter, kamu yang kasih obatnya. Pasien nggak tahu maksud dokter pasti juga tanya ke kamu. Jadi kerjanya harus pakai hati.”
“Siap bos!” kataku, lalu mengecup punggung tangan Papa. Ya! Aku bukan dokter, aku farmasis. Penerjemah surat cinta dokter untuk pasiennya. Pemberi obat untuk kesembuhan mereka.
“Jangan lupa mampir ke Kantor Papa!” ucap Papa lagi, yang aku balas dengan tanda hormat seiring kaca mobil yang menutup.
**
Pekerjaanku hari ini telah usai. Resep tak menumpuk sebanyak tadi. Aku bergegas mencari bus yang searah dengan kantor Papa. Jalanan yang tak begitu lenggang membuat perjalanan tak begitu lama.
Aku menyebrang menuju kantor Papa, tak jarang berberapa mobil dengan logo tiga gelombang air dan petir ditengahnya berlalu-lalang. Memasuki gedung, aku menuju bagian informasi dan layanan masyarakat, bermaksud menanyakan keberadaan Papa.
“Permisi bu, Pak Arsana ada?” tanyaku pada wanita paruh baya berkacamata.
“Siapanya ya?” ia balik bertanya.
“Anaknya, mau ketemu.” Sahutku dengan senyuman kecil.
Wanita itu tiba-tiba memelukku, meski meja masih membatasi kami. “Oalah! Mbak Pelangi toh! Udah gedhe, tambah cantik, pangling* aku. Pak Arsa ki yo punya anak wedok ayu* nggak pernah dibawa kesini, eh tapi, nek sering dibawa kesini, malah nggo rebutan deng!*Untung Mbak Pelangi kesini pas jam mau pulang, jadi junior baru yang pada masih single nggak rebutan kenalan.” katanya dengan logat jawa yang kental, membuatku tertawa tertahan.
“Duduk dulu sana, Papamu lagi jalan-jalan sama Mas Bos ganteng, bentar lagi pasti datang, tak pesenin minum dulu ya! Kalau ada apa-apa cari Budhe Santi!” ujarnya, sambil berlalu pergi.
Dan, benar saja, berberapa waktu kemudian, segerombolan pemuda yang mungkin berusia 2-5tahun lebih tua dariku, menatapku heran, membuatku sedikit risih.
“Cari siapa mbak?” tanya salah satu dari mereka.
“Pak Arsa.” Jawabku singkat.
“Siapanya? Bukan simpanan toh?” tanya seorang lagi.
Membuatku spontan menjawab dan berdiri. “Papa saya nggak begitu ya! Mulutnya dijaga.”
Ia menunduk dengan raut bersalah. “Maaf-maaf Mbak, nggak bermaksud. Saya juga percaya kok Pak Arsa nggak begitu, orang baik banget. Cuma kemarin baru ada kejadian begitu Mbak, sama salah satu pegawai disini, pelakornya dibawa ngantor, ya langsung kick lah dari sini.”
Aku menggeleng tak habis pikir. Moral manusia semakin hancur, dan napsu sering di salah artikan menjadi cinta. “Saya maafkan, tetapi lebih berhati-hatilah dalam berbicara.”
“Pelangi!” suara baritone yang sangat aku kenal memanggilku.
“Papa!” sahutku, kemudian menghampirinya, meninggalkan gerombolan pemuda yang masih mematung.
Papa langsung memenjaraku dalam rangkulannya. “Kamu ini, Papa belum dateng aja junior Papa sudah pada antri kenalan sama kamu!”
Aku mencibir. “Siapa juga yang kenalan, malah aku disangka pelakor! Emang aku nggak ada mirip-miripnya gitu ya sama Papa?”
Pemuda yang datang bersama Papa tertawa, sedang Papa mengerutkan alis. “Pelakor itu apa?”
“Ih Papa! Aku disangka selingkuhan Papa tahu!”
Diluar dugaanku, Papa malah tertawa, sedang pemuda dengan mulut tanpa penyaring itu mendekat pada Papa dengan raut bersalah. “Pak Arsa ngapunten* Pak, mulut saya ini emang sukanya nyeblak, nggak disaring, saya nggak maksud kok Pak, beneran.” Katanya memelas. Kemudian, netranya bergulir pada Pemuda disamping Papa. “Bos, jangan SP ya! Kasihan pacar saya yang nunggu saya lamar tapi belum ada duit.”
“Santai saja Joni kalau sama saya. Nggak usah diambil hati, anak saya ini cantik, tapi bisa jadi singa kalau Papanya dinilai buruk.” Papa berkata sambil menepuk pelan punggung pemuda yang baru aku ketahui bernama Joni.
“Pak Arsa memang senior favorit! Sekali lagi maaf ya Pak, Mbak cantik, saya tadi khilaf.” ucap Joni, sambil berlalu pergi, di ikuti gerombolan pemuda yang bersamanya tadi.
“Maklum ya Mbak Pelangi, disini itu yang namanya perempuan jarang. Jadi begitu ada yang bening sedikit pada cari perhatian, tapi aslinya mereka asik kok.” Kata pemuda disamping Papa, yang aku balas dengan anggukan singkat.
Papa kembali tertawa, “Kamu tuh jangan judes-judes sama laki, sekarang udah kerja lho Mbak, Papa juga pengin punya mantu. Kalau gitu, siapa yang mau sama kamu.” membuatku cemberut.
Kemudian, tatapan Papa beralih ke pemuda itu. “Pak Arain panggil Pelangi, dek aja, kan lebih tua empat tahun dari Pelangi.”
Pemuda yang baru aku tahu bernama Arain itu tersenyum tipis, “Nggak enak Pa, belum kenal udah panggil dek. Kalau lagi nggak ada pegawai lain panggilnya Arain aja Pa, nggak usah pakai Pak. Rasanya aneh kalau yang bilang Papa.”
Tunggu-tunggu! Pemuda ini memanggil Papaku, Papa?
“Nggak enak, masih di tempat kerja, harus professional dong kita! Ah iya, Ini tuh Pak Arain, Manager Area Papa yang baru Mbak Lala. Dulunya, dia itu junior Papa yang paling patuh dan ganteng. Ayo kalian salim* dulu.” kata Papa sambil menyatukan tangan kanan kami.
Arain tersenyum, dan aku balas dengan senyum seadanya. Lagi-lagi aku mencium hal yang tidak beres dari Papa. “Kita makan dulu ya Mbak, udah laper belum? Pasiennya tadi banyak nggak?”
“Ayo deh! Ya banyaklah, kan Rumah Sakit aku, Rumah Sakit paling rame satu Solo.” kataku sambil mengamit lengan Papa.
“Bentar, Papa ambil tas dulu. Pak Arain mau ikut?” dia bertanya pada pemuda yang berdiri disampingku.
Arain memandangku ragu, “Boleh?” mungkin dia merasa canggung padaku.
“Kalau Pak Arain mau ikut boleh kok, biar aku nggak disangka pelakor lagi. Masih bete tahu! Sekarang kalau jalan sama Papa kok bukan disangka anak.”
Arain tertawa, sedang Papa telah berlalu pergi menuju ruangannya. “Terus, kalau ada saya, saya nanti disangka apa? Pacar kamu? Atau malah suami?”
Irisku membulat, spontan aku memukul pelan bahunya. “Ya nggak gitu juga lah Pak, bercandanya garing.”
Dia kembali tertawa. Selanjutnya, hal yang tidak aku duga terjadi, dengan pelan, dia mengusap pelan rambutku, seperti yang biasa Papa lakukan. “Jangan panggil Pak, saya ‘kan bukan atasan kamu.”
Mataku mengerjap bingung, sedangkan tangan miliknya masih berada di puncak kepalaku.
“Ah kalian cepat banget akrabnya. Bagus deh, makin mulus jalan Papa.”
Refleks, Arain menarik tangannya, terlihat canggung pada Papa. “Saya ambil tas dulu di ruangan saya.”
“Arain itu pernah main lho ke Rumah, Orion saja udah kenal.” ucap Papa tiba-tiba.
Aku mengerutkan alis. “Apa iya?”
Papa mengangguk. “Iya, kamunya aja yang molor kalau dia datang. Pernah kamu nengok sekali ke ruang tamu. Tapi habis itu balik molor lagi. Anak gadis Papa nih, bener-bener, gimana mau dapet mantu kalau gini.”
Malu juga kalau atasan Papa itu melihatku bergelung di kasur. Mana kalau tidur pasti di ruang santai yang transparan terlihat dari ruang tamu. “Ya aku kan realistis Pa, badan capek ya tidur. Aku mau menikmati masa sendiriku dulu.”
“Untung, Arain itu low profile banget, dia cuma ketawa pas Papa tunjukin kamu lelap banget di ruang santai. Mau Papa bangunin buat kenalan, katanya jangan, kasian kamunya. Paket lengkap banget anak satu itu.”
Aku merasa pipiku memanas. Papa kadang kelewat polos pada orang yang ia anggap dekat. Nggak tahu kayaknya, kalau harga diri anaknya mengikis dengar cerita Papa itu. “Papa! kok baru cerita sih! Malu tahu Pa, anak sendiri lagi bobok cantik dipamerin.”
“Ya Papa itu cuma mau tes aja, reaksi alamiahnya Arain. Belum tentu lho Mbak, dokter ganteng yang kamu ceritain bisa menerima sifatmu yang suka tidur nggak tahu tempat.”
Nah kan! Aku yakin Papa sedang merencanakan sesuatu disini! “Ya ampun Papa, Dokter Erlangga itu cuma sebatas tahu karena dia bikin gempar RS karena kegantengannya.”
Aku masih sangat ingin mendebat Papa, tetapi suara Arain menginterupsi. “Maaf lama, tadi ada berkas yang harus saya tanda tangani.”
“Ya udah yuk, keburu malem nanti. Di warung bakso yang biasa aja ya. Arain bawa motor ‘kan, bareng kita aja.” sahut Papa yang berjalan disamping Arain.
Begitu aku duduk di kursi samping kemudi, suara Papa membuatku mengerucutkan bibir. Sepertinya aku sudah tahu sedikit banyak tentang rencana Papa.
“Mas Arain yang nyetir ya, Papa capek, mau tidur. Mbak Lala jangan tidur ya! Temenin Mas Arain ngobrol.” ucapnya, kemudian menutup mata, tanda Papa tidak ingin di ganggu.
Arain menoleh sekilas kearahku. “Kalau capek, tidur aja. Omongan Papa nggak usah dipikirin.”
“Mas.” Aku memanggilnya ragu. Membuatnya melirik sekilas meski fokusnya tetap pada kemudi. “Sedekat itu ya sama Papa?”
Dia tersenyum, kemudian menjawab. “Pak Arsa itu senior yang paling baik dan terbuka. Waktu saya masih jadi pegawai baru, Papamu itu selalu bantu kalau saya lagi dalam masa sulit. Apalagi saya anak rantau, di sini cuma modal sepeda motor sama bawa diri. Papa kamu itu udah seperti Bapak saya sendiri.”
Aku bertanya lagi. “Ceritanya jadi Manager Area?” jujur aku penasaran, usia Arain mungkin masih 27 tahun, masih sangat muda untuk jadi Manager Area PLN.
“Saya juga nggak nyangka. Sayapun merasa kalau saya ini belum pantas. Banyak yang lebih senior dari saya, tetapi SK dari pusat itu mutlak, saya hanya bisa menjalani. Maka dari itu, saya sebenarnya sungkan, kalau pada panggil saya Pak Manager dan sebangsanya.”
Entah kenapa, aku semakin penasaran dengan Arain, semakin lama, aku semakin merasa bahwa dia berbeda dari pemuda-pemuda receh yang suka menanyakan kabar, atau menanyakan sedang apa dan dimana.
“Jujur ya Mas, aku penasaran, setahuku, Manager Area itu gaya hidupnya tinggi. Pergi aja pakai mobil, tapi kenapa Mas Arain masih pakai motor, dan ya… aku lihat low profile banget. Nggak pencitraan ‘kan ya?
Arain tertawa lagi, entah kenapa dia ini lama-lama jadi semakin mirip dengan Papa yang kadang selera humornya sedikit receh. Nggak lucu aja diketawakan. “Ya percuma dong, gaya hidup tinggi tapi bukan milik sendiri? Gaji saya belum cukup buat beli roda empat. Cicilan rumah masa depan belum lunas, nanti juga kalau nikah sama pasangan, modalnya banyak, dan tabungan saya juga belum cukup buat saya yakin bisa bikin bahagia orang yang saya cinta.”
Entah kenapa hatiku berdesir mendengar pernyataan Arain. Laki-laki seperti dia rasa-rasanya sudah punah. Aku yakin, wanita yang dicintainya pasti sangat beruntung. Tetapi, aku jadi ingat sesuatu. “Kalau kita pergi gini, pacar Mas Arain nggak marah?”
Dia tersenyum misterius. “Saya single, harusnya saya yang tanya sama kamu, pacar kamu nggak marah?”
Aku mencibir, “Pacaran aja belum pernah! Bodyguard-ku tuh nyeremin, pada mundur semua sebelum perang.” ucapku sambil melirik pada Papa yang tertidur pulas.
“Ya bagus, berarti cuma saya yang bikin bodyguard kamu luluh.” Arain berkata sambil mengedipkan mata.
“Ayo turun, sudah sampai, kamu bangunin Papa ya, nggak enak kalau saya.” Ucapnya sambil menepuk lagi puncak kepalaku dan keluar dari mobil. Tadi itu maksudnya apa ya?
Rasanya, sesuatu begitu cepat berganti. Aku tidak tahu, apa yang membuat Arain dan Papa duduk manis di kursi tunggu depan Instalasi Farmasi tempatku kerja. Semenjak acara makan bakso, tiba-tiba bos Papa itu jadi familiar dalam hidupku. Ya, sepertinya aku sudah bisa menebak rencana Papa.
“Kok Papa sama Mas Rain disini?” kataku menghampiri mereka.
“Ya jemput tuan puteri dong! Cuma pangerannya malu kalau datang sendiri.” Kata Papa sambil melirik Arain, membuatnya salah tingkah.
Lagi-lagi, aku terjebak dengan Arain, Papa memilih duduk dibangku belakang karena ingin tidur. Meski tidak secanggung dulu, kadang aku masih gugup jika berdua dengan Arain seperti ini.
“Kamu tahu? Nama kita berhubungan. Pelangi dan hujan.” Katanya tiba-tiba.
Aku menautkan alis tidak mengerti, dan dia tersenyum maklum. “Arain berarti hujan, dan kamu adalah pelangi. Saya berharap, seperti hujan dengan pelangi, hati kitapun berhubungan. Saya ingin lebih mengenal kamu Pelangi. Dan saya tidak akan mundur sebelum saya memenangkan hatimu.”
Aku akui, dia memang berbeda dari kebanyakan lelaki yang hanya bermodal tampang dan milik. Walau aku tahu, sebenarnya Arain pasti lebih dari mampu. Sejauh ini, aku dan dia berdiskusi tentang banyak hal termasuk pandangan kami tentang masa depan. Belum lagi Papa yang terang-terangan mengatakan bahwa Arain adalah menantu idamannya. Pemuda itu cerdik, lebih dulu memenangkan hati bodyguardku.
“Saya tahu ini terlalu cepat, tapi Papa bilang, kalau saya tidak cepat kamu diambil orang. Saya serius dengan kamu. Kamu ingat lagu Pelangi sehabis hujan? Pelangi sehabis hujan adalah lambang dari janji setia Tuhan, dan saya berharap, jika nanti kita-pun akan mengucapkan janji setia dihadapan Tuhan. Kamu mau ‘kan menikmati segala proses dengan saya?”
Mengerjap bingung, aku mencoba meraba hatiku. Namun sampai detik inipun, tak ada laki-laki segigih dia. Melihat apa yang ada dalam dirinya, membuatku yakin mengambil keputusan, bahwa dia adalah entitas dari sosok yang selama ini aku doakan.
“Aku mau mas.”
Wajah Arain berubah sangat cerah, ketika lampu berubah menjadi warna merah, dia mengecup keningku singkat. Tetapi deheman Papa membuat kami salah tingkah.
“Inget ya, masih ada Papa disini. Meski Papa udah kasih restu kalian, Mas Arain tetap nggak boleh macam-macam sama anak gadis kesayangan Papa, sampai Mas Arain bawa Pelangi ke altar.”
Kami tertawa bersama, namun sedetik kemudian segalanya berubah gelap. Hingga serberkas sinar kembali saat aku membuka mata.
**
Aku memegang kepalaku yang terasa pusing, mengerjap bingung, aku terheran ketika aku menjumpai langit-langit kamar yang begitu familiar. Bukankah terakhir kali aku sedang bersama Papa, dan Arain?
“Mbak, anak gadis lho kamu itu, tapi kok jam sebelas siang baru bangun.” Kata Mama yang membuatku semakin bingung.
“Papa mana?”
Raut wajah Mama berubah sedih. “Kamu lupa Mbak? Papa kamu sudah di surga karena Tuhan lebih sayang dia.”
“Tapi aku tadi habis sama Papa, sama laki-laki juga namanya—“ tetapi Mama menyela, sebelum aku selesai berbicara. “Mbak, kamu pasti masih ngigau. Kalau capek tidur lagi saja. Pasti Papa dateng ke mimpimu ya? Duh, Mama kan jadi ikut kangen. Mama ke dapur dulu ya.”
Aku jadi tidak enak hati, aku menoleh dan mendapati potret diriku dan Papa saat aku berumur dua belas tahun. Foto terakhir kami. Dan ingatanku kembali, bahwa Papa benar-benar pergi.
Memandang potret terakhir kami, aku jadi ingat, pada satu senja Papa pernah berjanji. Katanya saat itu, “Mbak, belajar yang tekun ya, bikin Papa sama Mama bangga, nggak usah pacaran dulu sampai udah bisa cari uang sendiri. Nanti kalau sudah besar, junior Papa makin banyak, kali aja ada satu yang jodoh kamu, Papa nanti seleksi.”
Nyatanya, semua itu tidak akan terjadi. Apa yang terjadi semalam hanya bunga tidur dan tidak mungkin terwujud. Meskipun semuanya terihat sangat jelas dan begitu nyata. Papa tidak akan bisa mengenalkanku pada siapapun, ataupun memilihkan lelaki pilihannya untukku. Dan Papa tidak akan bisa campur tangan atas kisah cintaku. Tidak, tidak akan terjadi. Dan mengingatnya, membuat air mataku luruh.
**
Dengan mata yang masih sembab karena menangis siang tadi, aku menuju ruang pertemuan. Entah beruntung atau tidak, kali ini aku menjadi panitia baksos yang diadakan Rumah Sakit tempatku bekerja.
Aku dengar, pada kesempatan ini, Rumah Sakit akan bekerja sama dengan PLN APJ Surakarta, hal itu tentu saja membuat hatiku semakin campur aduk, kembali teringat mimpi semalam yang begitu nyata tentang Papa-PLN-dan Pemuda itu.
Aku tidak tahu berapa lama aku melamun, hingga tiba giliranku untuk memperkenalkan diri. Aku mendongak sembari tersenyum gugup. “Perkenalkan, Saya Carlissa Pelangi Asmara Putri, perwakilan dari Farmasi, semoga kita bisa bekerja sama dengan baik nanti.”
Belakangan aku baru tahu, bahwa nantinya aku akan bekerja sama dengan dua dokter umum, empat perawat, dan Arneta seorang partnerku dari farmasi tentunya. Aku menopang dagu bosan, sedang tangan kanan mencoret kertas dengan tidak pentingnya. Tapi Arneta terus saja mencubit lenganku untuk membuatku fokus. Dan sekarang adalah giliran dari PLN APJ Surakarta memperkenalkan diri.
“Perkenalkan, saya Timotius Araino Setyawan. Salah satu wakil dari PLN APJ Surakarta.”
Suara pemuda itu membuatku mendongak. Dan entah kapan tatapan kami saling mengunci. Aku tersentak ketika dia memberi seulas senyum. Dia Arain, sosok yang aku jumpai dalam mimpi.
-END
 
Saya tahu, karya ini sangat jauh dari karya-karyaku sebelumnya. dan paling aneh tentu saja, saya nggak tahu ada mimpi sedetail itu apa enggak, tetapi mimpi itu benar-benar terjadi. seakan menagih janji Papa yang tidak akan beliau wujudkan pada saya. kali ini, biarkan saya menulis apa yang benar-benar ingin saya tulis.

Berberapa waktu lalu, Papa datang ke mimpi saya, beliau datang dengan seragam kebanggaannya, begitupun saya yang sudah pakai seragam dinas saya sekarang. ada sosok pemuda misterius yang terlihat dekat dengan Papa. tetapi ketika bangun, saya sama sekali tidak ingat wajahnya.
Semakin campur aduk ketika saya berangkat dengan posisi hujan deras, saya berpikir, andaikan Papa masih ada, mungkin saya tidak bersusah payah menembus hujan dengan motor kesayangan saya, dan sayapun semakin mengandaikan jika papa masih ada.

Tentang janji, meskipun janji itu tidak akan terwujud. memang benar, sebelum pergi, Papa sempat bilang pada saya, jika dia akan turun tangan sendiri dalam kisah cinta saya, jika saya sudah cukup umur. dan sejak kecil, saya selalu diberi mindset  olehnya, bahwa laki-laki idaman, adalah pegawai PLN seperti beliau!
 
Saya dan Papa sangatlah dekat, dan bagi kalian yang telah membaca karya saya, mungkin heran, kenapa dari sekian banyak profesi, saya lumayan banyak memakai pegawai PLN disetiap kisah yang saya buat. jawabanya, because him. my papa. ketika saya menciptakan karakter dengan profesi seperti Papa, rindu saya sedikit tersalur.

Jadi melalui kisah ini, saya ingin mengingatkan pada kalian yang masih memiliki orangtua secara utuh. jangan sia-siakan mereka, untuk kalian yang memberontak karena keputusan orangtua, renungkan dulu, apa keputusan yang kalian ambil benar-benar yang terbaik. tidak ada orang tua yang memberikan pilihan buruk untuk anaknya. ingatlah bahwa ketika kalian tak lagi menjumpai raga, segalanya akan terasa berbeda.

mungkin, itu sedikit uneg-uneg dari saya, semoga kisah ini bisa menghibur.
ini adalah visual dari Arain. Oppa aku, tentu saja. untuk Pelangi, kira-kira visual siapa yang cocok?
Warm regards, salam bintang dan dandelion!
-giardanila