RSS

Jumat, 10 Oktober 2014

Nothing




Ia hanya gadis penunggu kabar,
Menanti sebuah cita,
Meski harus merasa hambar...

Kepastian yang terpendam,
Masih saja meredam sebongkah angan,
Tidak mengerti kapan mewujudkan sebuah harapan...

Kesabaran itu masih saja diuji,
Dan seonggok jiwa ini,
Akan terus bertahan hingga garis akhir.



*
nggak tahu kenapa nulis kayak begini, dan saya ijin gambar di google buat nyelip di sajak gaje ini hehehe maybe itu ungkapan hati saya sekarang, selalu menunggu dalam entitas baruu :"D dalam nama Tuhan Yesus :')

enjoy, salam bintang dandelion~
-sign-
@ruthenirmalaa

Kabar Dalam Angan *cerpen*


Kabar Dalam Angan


*
Love can cure heartbreaks, misfortune, or tragedy, it is the eternal companion. –Anonymus.
Surakarta, 24 Juni 2011
            Langit malam masih terpampang nyata dalam pandangan. Aku masih enggan menyeret diri dari Taman dekat rumahku. Terang lampu temaram tidak sebanding dengan terang bintang yang sedang berpendar di atas langit, membuatku ingin menatap keindahan itu lebih lama.
            Sejak kepergian Ayah di langit senja bulan lalu, aku semakin mentutup diri. Tidak ada lagi aku yang selalu tertawa, tidak ada lagi aku yang sedang melucu, bahkan, tidak ada lagi aku yang tersenyum tanpa beban. Itu semua… terlalu sulit jika kembali di lakukan.
            Ayah pergi, menyerah menatap dunia karena penyakit ganas yang perlahan menggrogoti tubuhnya. Penyakit yang perlahan membuatku teriris jika mendengarnya. Kanker.
            Penyakit itu telah merenggut kebahagiaan, sukacita, bahkan senyuman. Ayah memang orang baik, mungkin memang tugasnya di dunia telah selesai, sehingga dia lebih cepat menuju keabadian. Tetapi dari kebaikan itulah yang membuatku miris ketika mengingatnya.
            Ada kalanya saat aku merindukan senyumnya, senyum yang sangat menawan karena ada lesung pipit di pipi kirinya, bukan hanya itu, aku juga rindu suara baritonnya, bahkan, harum maskulin yang menguar dari tubuhnya.
            Aku hanya seonggok gadis yang telah hilang kepercayaan, lagi-lagi sejak kejadian pahit itu… semua berubah. Entah hanya sebuah perasaan yang terlalu mudah dikecap, atau memang semua benar adanya.
            Adakah saudara yang menganggap kebaikan sebagai balas budi? Mungkin ada, mungkin juga tidak, tetapi apa gunanya ikatan itu, jika sebuah kebaikan selalu melahirkan balasan? Aku memang hanya gadis kecil yang belum pernah tua, tetapi setidaknya, aku mengerti apa arti sebuah ikatan yang lebih dekat dari apapun. Ikatan darah.
            Ikatan itu tidak pernah hilang, sebelum darah yang mengalir ditubuhmu berhenti mengalir, tetapi apa gunanya semua itu jika saling menyakiti dan mengandalkan materi?
            Semenjak Ayah pergi, konflik-konflik batin itu masih saja berdatangan, tidak ada damai, tidak ada ketenangan yang sama seperti dulu, saat detak jantung beliau masih berdenyut teratur.
            Lagi-lagi setetes liquid turun dari pelupuk mataku. Aku tidak mengerti, kenapa aku bisa merasakan luka dari segelintir orang yang notabennya adalah jiwa-jiwa yang memiliki ikatan darah denganku.
            Aku tidak mengerti bagaimana semua itu bisa terjadi. Yang aku tahu, semenjak saat itu, aku selalu menangis dalam diam, tidak lagi menangisi dia yang telah pergi di keabadian, tetapi… menangisi hidupku.
            Hei, bukankah balas budi tidak akan habis? Lalu apa yang mereka harapkan dari seonggok tubuh yang telah kaku dan hilang nyawa? Apa mereka ingin menuntut balas atas kebaikan mereka di masa lalu? Apa gunanya ikatan itu eh?
            Dan, sejak saat itu, aku adalah Anastasia Vega yang pendiam dan menutup diri.
            Dingin malam, semakin menusuk tulang, tetapi aku tidak peduli, karena melihat bintang, seakan memberiku sedativum yang biasa aku dapatkan dari sekapsul Vallerianae Radix.
“Hei.”
Suara berat membuatku menghentikan sejenak aktivitasku. Takut-takut aku menoleh kearahnya. Hei, ingatkah hari telah malam? Dan mulai banyak pria hidung belang berkeliaran? Uh, salahku juga tidak segera pulang tadi.
Siluet seorang pemuda tinggi, dengan wajah tegas terlihat masih semuran denganku, ia sedang menatapku dengan senyum tipisnya. Dia memang terlalu kurus untuk ukuran laki-laki, tidak meyakinkan jika dia berbuat hal buruk kepadaku, yang lumayan jago karate ini.
Aku balas menyipit memandangnya, kemudian membuang muka, kembali menatap langit.
“Anak gadis tidak baik berkeliaran malam hari.”
“Aku tidak berkeliaran. Rumahku hanya sepuluh meter dari sini.” Ucapku dengan nada sengit.
Anak laki-laki itu hanya mengangkat bahu, kemudian tanpa permisi duduk di sebelahku, membuatku bergeser menjauh.
“Begitu ya, sambutan untuk tetangga baru disamping rumahmu?”
“Aku tidak peduli.” Sahutku, kemudian beranjak dari sana.
Pemuda itu tersenyum miring, seakan mengerti kelemahanku, dan siap menghancurkanku kapan saja. entahlah, aku tidak peduli dengan itu.
Baru dua langkah aku melangkahkan kaki, suara pemuda jangkung itu terdengar lagi. “Jangan suka menangis diam-diam, itu lebih menyakitkan dari terkena sebilah pisau.”
*
Malam-malam selanjutnya, anak laki-laki itu selalu terlihat di taman, membuatku melengos berbalik arah dari sana. Tetapi, dia mempunyai maksud lain sepertinya. Di malam itu, dengan gerakan cepat, dia menyusulku, dan mencekal lenganku. Membuatku memberikan deathglare terbaikku untuknya.
“Apa maumu Ayam?” kataku dongkol, apalagi setelah melihat model rambutnya yang hampir serupa dengan ekor ayam itu.
No, Altair. Bukan Ayam.” sahutnya tidak kalah sengit.
“Aku tidak peduli. Lagipula tatanan rambutmu memang berbentuk seperti Ayam.” Jawabku dengan melipat tangan di depan dada.
Altair, memegang rambutnya terlihat sedikit tidak terima. “Ini trend. Apa menangis membuatmu tidak mengerti mode?
Aku berdecak kesal. Membuat Altair memandangku heran. “Hei, Vega… Ah, aku mengerti namamu dari Ibumu.” Katanya ketika aku memandangnya heran, “sampai kapan kamu mau membenci jiwa-jiwa yang butuh pengampunan?”
“Tahu apa kamu tentang aku?”
Altair menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. “Semua terlihat dari sorot mata kamu, ada luka yang menganga lebar, dan aku yakin, itu sorot kebencian.”
Aku hanya memandangnya remeh, namun dia melakukan hal yang sama sekali tidak aku duga. Menepuk puncak kepalaku, seperti yang biasa Ayah lakukan dulu. Membuat rasa rindu ini menelasak ke permukaan.
“Kamu mau bercerita? Sebelumnya, aku Bonaventura Altair. Kita belum berkenalan dengan baik.”
Perlakuan pemuda itu membuatku menunduk, semakin mendorong cairan yang tidak bisa dinyana ini keluar dari pelupuk mata.
Altair menunduk, mensejajarkan wajahnya, dengan wajahku. “Kenapa menangis? Apa aku menyakitimu?”
Aku hanya menggeleng, sembari bergumam “Aku rindu Ayah.” Dengan sangat lirih.
Altair memandangku dengan tatapan khawatir. Membuatku ingat, aku menangis di depan orang yang baru saja aku kenal. Dengan gerakan cepat, aku berbalik arah, kemudian pergi meninggalkannya.
*
Malam itu tidak lagi sama, aku menemukan teropong bintang tidak bertuan di tengah-tengah semak ilalang. Dari kecil, aku selalu diajarkan untuk tidak mengambil –atau bahkan memegang- barang yang bukan milikku tanpa ijin si empunya.
Dan, aku pun kembali menatap langit malam dengan mata telanjang. “Tidak lelah memandang bintang dengan mata telanjang? Jika ada benda yang membuatnya jelas, kenapa tidak di coba?” Suara berat itu kembali mengiterupsi.
“Itu bukan milikku.”
Altair mendekat ke arah teleskop, “Ini milikku.” katanya.
“Kamu suka bintang ya? sehingga memiliki benda seperti itu?” tanyaku sedikit penasaran.
“Aku Agen dari rasi bintang Aquila.” katanya sambil terkekeh.
Aku hanya menaikan sebelah alis tidak mengerti. “Bercanda. Kamu nggak punya selera humor ya.” Katanya lagi, membuatku mengerucutkan bibir, menahan kesal. “Aku mahasiswa astronomi. Wajar jika memiliki benda-benda seperti ini. kamu mau coba?” tawarnya.
Aku hanya terdiam di tempat. Hingga tangan kokoh itu terulur, dan menuntunku tepat di depan teleskop itu. “Lihatlah.”
Aku menurut, mencoba melihat apa yang disuguhkan dengan benda itu, dan benar saja, bintang berpendar lebih terang dari yang biasa aku lihat.
“Aku tidak sepenuhnya berbohong. I’m agent from Aquila. Altair. Bintang tercerah di rasi itu.”
Tanpa sadar, sudut bibirku tertarik. Dengan perlahan, Altair membuat semua yang dulu aku tidak lagi aku lakukan, menjadi kembali ada.
“Dan kamu harusnya mengerti. Agen Vega?”
Aku memandangnya bosan, tidak mengerti apa maksudnya. Seakan mengerti keterlambatanku memahami apa yang diungkapnya, Altair, kembali menjelaskan. “Vega adalah bintang tercerah pada rasi bintang Lyra, jadi kamu adalah Agen Vega.”
Aku hanya tersenyum tipis. Tidak mengerti bagaimana harus menanggapi. Di malam yang sedingin ini, bahkan aku merasakan kehangatan tak kasat mata, yang mencoba merekatkan kembali hatiku yang telah hancur sebelumnya.
Altair kembali melempar senyum kepadaku. Hingga dia mulai menceritakan masa lalunya, masa-masa dimana dia membenci Kakak laki-lakinya hanya karena kesalahpahaman.
Kakaknya bertahun-tahun pergi tanpa kabar, membuat kebencian berdiam dari diri laki-laki itu, tetapi sesungguhnya, sang Kakak sedang banting tulang untuk mengambil kembali asset perusahaan Ayahnya, yang terancam bangkrut.
“Membenci atau dibenci itu tidak enak, jangan menyesal dilain hari,seperti yang aku alami. Kamu tidak berniat bercerita? Anastasia Vega?”
Aku menggeleng. Aku belum siap menangis dihadapan orang lain. Lagi, kata-kata Altair membuka mata hatiku, untuk apa membenci jika ada kasih yang tulus untuk diberikan kepada mereka?
“Jika belum mau cerita, menangislah.” Ucapan Altair membuatku terkesiap. “tidak apa, menangislah tidak usah dipendam sendiri.”
Tanpa dikomando lagi, air mata itu luruh, isakan kecil dariku mulai berbaur dengan bunyi jangkrik di malam itu. Entah berapa menit aku menangis. Altair masih saja memandangku teduh. Sesekali dia menepukan tangannya pada pucuk kepalaku.
Hingga dia menyodorkan sapu tangan berwarna biru kepadaku. “Untuk menghapus air matamu.” katanya. “apa sudah lega?”
Dengan perlahan aku mengangguk.
“Akan lebih lega, jika kamu mau menceritakan semuanya.”
Bibir dan hatiku, tidak bisa kompak malam ini, dengan lancar, aku menceritakan segala pergumulanku, luka batinku, kerinduanku, dan segala yang mengganggu di pikiranku pada Bonaventura Altair.
“Aku ingin menjadi tenaga tehnik farmasi, agar dapat melihat wajah-wajah para penderita kanker berbinar, jika sorot mata mereka kembali redup, aku akan memberi mereka semangat. Aku ingin mereka seperti Ayah. Selalu bersemangat, bahkan di detik terakhirnya.” ucapku parau.
Altair tersenyum lembut. “Kamu pasti bisa.” Ujarnya memberi semangat.
“Altair.” Panggilku untuk yang pertama kali. “Kenapa kamu begitu ingin aku membagi kisahku?”
Pemuda itu mengalihkan pandangan pada langit. “Mungkin, radar antara Altair, dan Vega.” katanya sambil terkekeh. Melihatku menaikan sebelah alis, dia terlihat gugup, buru-buru kembali berkata, “Karena kamu terlihat seperti manusia tidak bernyawa. Aku yakin kamu butuh tempat berbagi, tanpa kamu sendiri sadari.”
Dan, malam itu, pandanganku tentang Bonaventura Altair berubah seratus delapan puluh derajat.
*
Malam ini, aku membiarkan rambut sebahuku aku gerai. Menyebabkan angin-angin nakal sekuat tenaga menerbangkan helaian rambutku. Aku kembali melihat siluet laki-laki jangkung, sedang berkutat dengan teleskopnya.
“Sudah lama menunggu?” sapaku kemudian.
Dia menggeleng sambil tersenyum tipis. “Kamu cantik.”
Dua kata itu membuat pipiku memanas. “Gombal.” Kataku sambil mencubit lengannya.
Dia hanya terkekeh. “Bagaimana, sudah bisa mengampuni?”
Aku mengangguk. “Ya, rasanya lebih lega, beban yang aku simpan seperti hilang perlahan.”
“Bagus jika begitu, aku tidak  perlu ceramah lagi.” Sahut Altair, yang sepontan membuatku menggembungkan pipi. “Vega, kamu tahu? malam ini akan ada segitiga musim panas di langit, dimana bintang Altair, Vega, dan Deneb akan muncul.”
Aku hanya mengangguk tanda mengerti.
“Kamu jangan bersedih lagi, jadilah seperti bintang Vega yang kuat, selalu menunggu bintang Altair untuk kembali bertemu.”
Aku yang tidak paham dengan kata-katanya hanya kembali mengangguk.
“Ini sudah tiga bulan ya? kita selalu menghabiskan seperdelapan malam disini?” tanya Altair tiba-tiba.
“Iya.” sahutku singkat, tersadar telah banyak malam yang aku bunuh bersama dengannya.
Altair mendekat kepadaku, tangannya kembali terulur mengacak puncak kepalaku. Kebiasaan barunya jika aku membuatnya sedikit kesal. Pemuda itu memang berbeda dari teman laki-lakiku yang lain, ada rasa yang menyeruak dari rongga hatiku yang membuatku terkadang mati rasa, jika dia telah berada didekatku, padahal Altair bukan diazepam yang biasa digunakan untuk obat bius.
Rasa itu, yang menjadi analgesic alami dihatiku, sehingga nyeri itu tidak lagi ada, jika aku mengurai kenangan pahit. Apa ini… cinta?
“Vega.” Dia kembali memanggilku.
Altair terlihat gelisah, berulangkali mengembuskan napas tidak sabaran. “Aku sayang kamu.” Katanya cepat. Nyaris tidak ada jeda, tetapi membuatku terperangah.
“Tunggulah saat itu tiba, dan aku akan kembali, untukmu di seluruh sisa hidupku.”
Tubuh tegap itu berbaik memunggungiku, kemudian dengan langkah teratur, berjalan menjauh, tanpa menoleh sedetikpun kepadaku.
*
Esoknya, aku kembali ketempat biasa dimana kami selalu bertemu, tetapi taman itu sepi. Tidak ada sosok itu, sosok yang aku nantikan untuk aku berikan jawaban.
Aku kembali terduduk di bangku, tempat kami berbagi cerita. Hingga dua jam berlalu setelahnya. Tetapi dia tidak kunjung datang. Dengan langkah gontai, aku kembali menggiring diri menuju rumahku.
Hari-hari setelahnya, masih saja sama, dia tidak datang. Ironis, dia berkata menyayangiku, dan setelahnya, tidak lagi menampakan diri dihadapanku. Bahkan Rumahnya sepi. Membuatku yakin, dia kembali pindah. Meninggalkan kota Solo beserta semua kenangan yang terukir di dalamnya.
Aku tidak pernah lelah menunggunya, menunggu kabarnya, meski semua itu seakan hanya angan. Sekarang aku mengerti setiap ucapannya, nama kami terikat, Altair, dan Vega, bahkan kisahnya pun hampir mirip dengan apa yang terjadi sekarang. Pasangan yang diharuskan menunggu dalam ketidakpastian.
Dingin itu masih menusuk tulang, tidak seperti malam-malam hangat yang aku bunuh bersamanya, tubuhku menggigil, tetapi aku tidak peduli, karena aku tidak akan pernah lelah memberikan jawaban itu kepadanya.
“Vega, wajahmu pucat, sampai kapan kamu menghabiskan waktu disini?” suara lembut itu menginterupsiku. Itu Keyla, sahabatku.
Aku hanya menggeleng lemah. Tanda tidak mengerti.
“Ayo pulang. Bukankah besok responsi resep?”
Aku berdiri dengan gontai, lagi-lagi dia tidak muncul. Sampai kapan aku harus menunggunya?
*
Terhitung telah lima tahun berlalu semenjak hari itu, aku telah mencapai impianku, sebagai tenaga tehnik kefarmasian. Dan, masih saja menghabiskan seperdelapan malamku hanya untuk melihat bintang, dan berharap menemukan bintang altair disana.
Tidak ada kabar, aku masih saja bertahan. Aku hanya gadis penunggu kabar, menunggu terang itu, untuk kembali pulang. Tidak mengerti kapan dia akan datang, tidak mengerti dia memiliki perasaan yang masih sama atau tidak.
Yang jelas, aku menunggunya.
Dingin malam benar-benar menusuk kulitku, aku terus mengusap lenganku berupaya mencari kehangatan, hingga aku merasa sesuatu melingkupi bahu mungilku.
“Altair…” aku bergetar saat mengucap namanya. “kamu kembali.”
Mengabaikan blazer Altair yang telah jatuh dari bahuku, aku berjalan menuju Altair yang berdiri di belakang bangku.
“Maaf tidak pernah mengabarimu.” ucapnya ketika melihatku terisak.
Tangannya terulur, menghapus butiran air yang menetes dari pelupuk mataku. “Aku kembali untuk menepati janjiku. Menikahlah denganku.”
Aku menatapnya tidak percaya. Bibirku terkatup membiarkannya menjelaskan apa yang telah terjadi sebenarnya. “Mungkin aku terlihat pengecut, meninggalkanmu setelah mengungkapkan perasaan, setelah malam itu, aku kembali melanjutkan kuliah, dan mengambil S2 di Birmingham. Semata-mata agar aku layak menjadi pendampingmu kelak.”
Kepastian itu, akhirnya datang, melambungkan perasaan, dan memberi secercak kebahagiaan. Penantian ini, tidak berakhir sia-sia. Karena ketulusan itu terus melingkupi kepingan hati yang siap disatukan.
-end-

HAHAHA ini sama sekali bukan cerpen antimainstream, tetapi sangat-sangat mainstream, dimana saya kembali menghadirkan karya out of the box, dengan genre biasa, menunggu dan menggunakan anak farmasi dan astronomi di pairingnya.
ini sama sekali bukan curhat. jika first reader saya bilang ini mirip sama karya saya yang masih didalam sangkar, memang saya bikin mirip, karena......... ini sudah empat bulan, istilahnya kangeen nya saya bikin cerita yg mirip2 dengan itu.
ahh this, saya nggak ngerti harus gimana, yang jelas saya sedang menunggu sesuatu yang menurut saya, ini lebih pentin -dimasa sekarang ini- dari pada menunggu sosok Altair, sebuah mimpi yang saya sendiri nggak ngerti kapan terwujudnya.
sekian, saya nggak mau banyak omong, hehe.. semoga kalian sukaaa 
salam bintang dandelion~

Secret Memory in Brimingham *cerpen*


Secret Memory in Brimingham



Birmingham, England. 1902.
*
            Gurat senja masih saja menghias langit. Namun, tetap saja terasa berbeda. Meski di bawah langit yang sama, aku merasa kehampaan yang amat sangat hari ini. Birmingham University. Menjadi pilihanku menuntut ilmu dalam segala keterbatasan.
            Aku adalah orang Hindia-Belanda, sehingga aku memiliki kulit sawo matang, iris hitam tajam, juga rambut sehitam batu obsidian, membuatku sangat terlihat berbeda disini. Tidak hanya itu, tidak satupun dari temanku, tidak mengerti dimana negaraku, karena, negaraku masih saja terjajah.
Ironis, ketika setiap jiwa yang berada disana, memberikan seluruh yang mereka punya untuk satu harapan. harapan untuk kebebasan, tetapi aku disini merasakan ketenangan, yang bahkan mereka belum pernah sedetikpun merasakannya.
Orang bilang aku keturunan ningrat. Orang terpandang, tidak layak merasakan penderitaan. Sehingga aku ‘diasingkan’ kemari bersama keluargaku. Namun, sejatinya, aku sama seperti mereka. Seonggok manusia yang ingin negaranya bebas dari tawanan.
Aku kembali berjalan menyusuri tembok bata merah milik Birmingham University. Berjalan dengan langkah lambat, karena gaun merah mudaku yang berlapis lima kain, terasa berat di tubuhku. Bahkan, di saat seperti ini, aku memilih menggunakan kebaya.
“Kemala? Sudah berkeliling?” ucap seorang gadis berambut pirang, dengan logat inggrisnya yang kental.
Dia, Patricia. Teman pertamaku di Negara ini. aku mengangguk, membalas pertanyaannya.
“Bagaimana kabar negaramu?”
Seketika aku menunduk raut wajahku berubah murung. Terakhir yang aku dengar, semakin banyak korban berjatuhan, juga semakin keruhnya suasana. Fasilitas yang diberikan para penguasa ditarik, semakin membuat para pribumi terombang-ambing dalam penderitaan yang tidak menentu.
“Aku rasa… semakin buruk.” Sahutku.
Patricia menepuk pelan bahuku. Dia menatapku iba. “Berhentilah berwajah murung. Kamu disini, juga untuk mereka kan? Mencari lantunan ilmu, agar kelak di negaramu banyak musisi hebat, setara Mozart atau Beethoven.”
Aku tersenyum tipis, sembari mendongakkan wajah, hingga tanpa sengaja iris hitamku berserobok dengan iris hitam yang serupa denganku. Tersadar, pemilik mata indah itu berjalan kearahku. Seorang pemuda yang juga memiliki rambut hitam yang sama dengan milikku. Hanya saja, perawakan tinggi dan hidung yang begitu mancung. Membuatku ragu dengan hipotesa awalku, bahwa dia, juga orang Asia sama sepertiku.
“Pat, you know him?” bisikku pada Patricia yang sibuk dengan buku not balok miliknya.
“Gabriel? As far as I know, Ayahnya dari Birmingham, seorang saudagar rempah-rempah, sedang Ibunya, orang asli Hindia-Belanda. Jangan heran jika kalian memiliki kesamaan fisik.”
Aku mengangguk tanda mengerti. Setidaknya, aku sedikit tenang mengetahui aku bukan satu-satunya pemilik rambut hitam disini.
*
Hari semakin larut, aku menggiring diri menuju Victoria Square.Yang pada awalnya bernama Council House Square, namun sejak 10 Januari tahun lalu, berubah nama menjadi Victoria Square, untuk menghormati Ratu Victoria.
Aku mendudukan diri, tepat di depan The River Fountain, salah satu bagian dari Victoria Square yang sering digunakan untuk bersantai. Aku kembali membuka catatanku yang telah berisi karya-karya Mozart yang harus ku pelajari. Hingga seorang yang duduk di sampingku, membuatku menolehkan kepala.
Gabriel duduk dengan gagah, dan sedang bersiap meniup saxophone miliknya. Membuatku jantungku berhenti berdetak untuk sementara. Apa efek kaget separah ini?
“Mahasiswa Musik kan?”
Suara baritone laki-laki itu, membuatku lupa cara bernafas. Karena dia mengatakannya dalam bahasa Indonesia.
“Bagaimana kamu—“
Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, laki-laki itu kembali bersuara. “Rambutmu, warna matamu. Seperti milik Ibu, membuatku yakin, kamu orang Hindia-Belanda sepertinya.”
Aku hanya mengangguk tanda mengerti. Tidak mengerti harus bicara bagaimana, aku memilih bungkam. Hingga Gabriel kembali berkata, “Aku memang bukan orang asli Hindia-Belanda. Tetapi Ibu selalu bercerita banyak tentang negaranya, mendengar ceritanya… aku berniat memperjuangkan kebebasan mereka.”
Aku menolehkan kepala ke kanan, mentap wajah kokoh yang terlihat begitu sempurna dimataku. Gabriel tersenyum tipis, mulai meniup saxophone-nya, melantunkan Symphoni in A Major milik musisi legendaris Mozart.
Nada yang dilantunkannya terdengar begitu sempurna, dia benar-benar membuatku hanyut dengan alunan saxophone-nya. Dan, aku kembali tersadar ketika pemuda itu menghentikan permainannya.
“Kita belum berkenalan. Aku Gabriel Aldrich. Sepertinya, kita satu kelas, tetapi jarang memperhatikan.”
Malu-malu aku kembali menatap iris hitam yang terasa memiliki black hole itu. “Kemala Wulandari.”
Sekilas Gabriel melirik buku yang sedari tadi aku genggam. “Belajar simfoni Mozart juga?” tanggapnya.
Aku mengangguk saja.
“Kenapa, tidak langsung dipraktekan dengan alat musik?” dia kembali bertanya.
“Itu…” aku memandangnya gugup, tujuan awalku yang sebenarnya hanya mencari udara segar dan ketenangan alami.
Gabriel memandangku dengan dahi berkerut, meminta penjelasanku dengan segera. “Biolaku ketinggalan.”
Pemuda berawakan tinggi itu menarik sudut bibirnya. “Kamu mahir bermain biola?”
Aku mengangguk sekenanya. “Ya, meski aku juga bisa alat musik tradisional.”
Gabriel meletakan saxophone-nya, kemudian kembali bertukar kata denganku. “Alat tradisional apa?”
“Gamelan. Kamu tahu?”
Dia menggeleng. “Tidak,” sahutnya. “Tetapi aku tidak akan menolak jika kamu mengajariku memainkannya suatu saat.”
Aku tersenyum tipis. “Tentu saja, tetapi itu membutuhkan waktu yang lama, kamu tahu kenapa…”
Pemuda itu bangkit, dengan gerakan lambat, menepuk pelan puncak kepalaku, membuatku terperangah, dan mengeluarkan semburat merah muda tipis pada kedua pipi tembamku.
“Jangan terlalu dipikirkan, yang harusnya kita lakukan disini, adalah memperjuangkan mereka dengan segala yang kita bisa.” Ucapnya dengan senyum memikat.
Gabriel yang telah memunggungiku, kembali menghadap kepadaku. “Besok, aku tunggu di aula, aku ingin mendengarkan gesekan merdu dari biolamu. Sampai jumpa…”
Punggung Gabriel mulai menjauh, begitupun sedativum tidak kasat mata yang baru saja aku rasakan. Apa mungkin aku jatuh cinta hanya dalam kurun waktu sehari?
*
Aku mempercepat langkah menuju aula belakang, gaun ini benar-benar merepotkan, terasa berat di bagian pinggul, membuatku berjalan seperti kura-kura saja.
Belum sempat aku membuka kenop pintu, aku mendengar alunan lembut dari harmonika, seketika aku yakin, siapa pemilik nada indah itu. Gabriel.
Hingga dengan segenap keberanian, aku mulai membuka daun pintu yang berukuran dua kali lebih besar dari pintu-pintu yang ada di Kerajaan.
“Sudah lama menunggu?” sapaku.
“Tidak juga.”
Aku hanya tersenyum tipis, mengangkat biolaku yang sedari tadi aku genggam, kemudian meletakannya pada bahu. Mulai melantunkan Concerto 37 yang merupakan milik Mozart.
Selama berberapa menit, aku merasa Gabriel menatapku nyalang. Membuatku gugup, dan melakukan sedikit kesalahan, sehingga berberapa nada terdengar fals. Lagi-lagi Gabriel melangkahkan kaki kearahku, tersenyum tipis, sembari menggenggam tanganku yang sedang memegang Screw pada Bow, tongkat Biola.
“Lakukan dengan lebih rileks, pasti akan terdengar lebih indah.” Nasihatnya.
Aku hanya diam, bagaimana bisa rileks, jika dia sendiri yang membuatku gugup setengah mati seperti ini?
Kembali melantunkan nada, aku memilih menutup mata, mengabaikan wajah Gabriel yang mungkin hanya terpaut lima jengkal dari wajahku. Merasakan keindahan Concerto 37 milik Mozart, yang begitu mengagumkan.
Hingga tepukan tangan kembali membuatku terbangun dari alam bawah sadar. “Kamu hebat.” Gabriel memujiku, dan kembali menepuk pucuk kepalaku. Jika seperti ini, aku telah benar-benar jatuh dalam pesonanya.
*
Hari-hari setelah itu, aku dan Gabriel terlihat semakin dekat, dia selalu mendengar keluh kesahku, mimpiku untuk negaraku, bahkan mengusap tangisku. Dia ada ketika aku terpuruk.
Kami berteman bukan hanya untuk sekedar berbagi, tetapi juga saling melengkapi, dan bertukar pikiran. Sehingga tidak jarang, meskipun kami adalah mahasiswa perantauan, kami selalu mendapatkan nilai cumclaude disetiap ujian.
Terhitung ini sudah tahun kelima aku mengenalnya. Tersadar, rasa ini telah tertanam kuat, bahkan telah tumbuh dan berbuah. Aku mencintainya, mencintainya saat dia bermain musik, saat dia menyeringai jahil, bahkan saat dia termenung memikirkan sesuatu yang tidak aku mengerti.
Ingin aku berteriak, mengutarakan rasa ini, tetapi aku tidak ingin menodai persahabatan kami, seharusnya, aku mengerti sejak awal, tidak ada satupun persahabatan yang sempurna, antara laki-laki dan perempuan. Sehingga, aku memilih memendamnya di sudut hati yang paling dalam hingga sekarang.
“Kemala.” Dia memanggil namaku, saat kami berada di Victoria Square. Tempat yang mempertemukan kami pertama kali.
“Ya?”
“Menurutmu, bagaimana dengan dua orang yang saling mencinta, tetapi tidak bisa bersama?” dia bertanya dengan raut resah.
“Itu menyedihkan. Tetapi, mungkin di kehidupan lain, mereka akan bersatu jika sang pencipta telah mengikat mereka di kehidupan baru. Kenapa bertanya seperti itu?”
Gabriel hanya menggeleng. Berulang kali dia mengembuskan napas tidak sabaran, membuatku mengrenyit heran.
“Kamu kenapa?” tanyaku, sambil menyerahkan kotak makanan pada Gabriel.
“Kenapa kamu begitu baik kepadaku? Padahal aku tidak sebaik itu.” ucap laki-laki itu dengan pandangan kosong.
“Aku tidak mengerti.” Sahutku.
Dia menatapku nyalang. “Sudah jawab saja.”
Aku menghela napas. Apa ini saatnya aku mengungkapkan perasaanku? Jika iya, aku tidak mau kisahku ini berakhir menyedihkan. “Aku menyayangimu.”
Gabriel terperangah, iris matanya membulat, seakan tidak percaya dengan apa yang aku ungkapkan. Hingga seorang gadis berambut serupa denganku, menghampiri kami. Tersenyum manis kearah Gabriel, lalu memeluk lengan kokoh itu.
Gadis itu tersenyum juga kearahku. Tetapi entah kenapa itu terasa begitu menyakitkan. “Hai, aku Gayatri, tunangan Gabriel.”
Gabriel menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Dengan langkah teratur, aku berjalan mundur. Sembari berucap lirih. “Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Semoga kalian selalu bahagia, sampai jumpa.”
Hidupku, selalu tidak bisa ditebak, setelah kehadiran tunangan Gabriel, kami seakan semakin menjauh. Tetapi dengan begitu, tetap saja aku tidak bisa menghapus bayangnya dari benakku.
Ironis, aku berkata, bahwa aku menyayanginya, tetapi aku tidak pernah mengerti perasaannya. Tidak mengerti segala kebaikan yang dia lakukan, dan kenapa tangan kokoh itu selalu mengusap tetesan air yang mengalir di pipiku.
Aku mengenalnya, tetapi aku tidak mengerti dirinya. Jika dianalogikan, Gabriel seperti lukisan, terlihat indah, tetapi hanya dapat dilihat dengan satu sisi, tidak mengerti dibelakang bingkai menguntai misteri.
Hingga kelulusanku dari Universitas Birmingham. Kami berdua bahkan terlihat tidak pernah saling mengenal. Dan, surat terakhir dari Ibu membuatku semakin yakin, bahwa dia bukan takdirku.
Keluargaku telah kembali sejak tiga tahun lalu, dan sejak saat itu, Gabriel yang selalu mengisi hariku. Sungguh menyedihkan, aku telah berjanji, akan mengajarinya, cara bermain gamelan, tetapi sekarang, kudapati dia, tidak melirik sedikitpun ke arahku.
Kepulanganku, ke negeri penuh gejolak itu tinggal menghitung hari. Aku akan dinikahkan dengan pemuda keturunan ningrat dari kerajaan lain. Aku bahkan belum pernah sekalipun bertemu dengan calon suamiku. Tetapi apa yang bisa aku lalukan? Menjadi seorang putri kerajaan, selalu terikat dengan peraturan. Seharusnya aku juga tahu, seorang putri… tidak boleh sedikitpun mengenal cinta, karena pada akhirnya, jalan hidupnya telah ditentukan.
Percuma, ketika cinta itu ada, tetapi terasa hambar. Sia-sia saja, ketika cinta itu bisa dirasa, tetapi tidak sanggup mengutarakan kepastian. Hidup penuh gejolak, dan Kemala Wulandari, harus mengerti konsekuensinya.
Gabriel mungkin bukan takdirku di kehidupan ini, tetapi… jika sebenarnya sang pencipta telah mengikat kami, mungkin, di kehidupan yang lain, kami akan kembali bersama.
*
And the life has just began again..
London Marylebone Station, 2014.
Gadis dengan sepatu converse berwarna coklat itu mengencangkan pacuan larinya di antara ramai stasiun Marylebone, tidak ingin ketinggalan kereta tujuan Birmingham, kota yang sudah menahun tak ia kunjungi.
Setelah membeli satu tiket Chiltern Railways, gadis itu berjalan kecil-kecil menuju antrian yang mulai padat ditiap-tiap pintu masuk kereta. Sesuatu beraroma wangi perlahan menyeruak masuk melalui indra penciumannya. Kemala, gadis itu menoleh sekilas dibalik bahu, ia mendapati seseorang lain berdiri dibelakangnya juga dengan selembar tiket yang sama, dan aroma wangi itu berasal dari makanan yang sepertinya sedang berusaha dihabiskan. Apa itu? Scones? Yokshire atau? Bagaimana bisa dia mendapatkan camilan seperti itu di stasiun? Eh? Kenapa pula Kemala harus bersikeras mengeja aroma wangi itu.. perutnya sudah tidak bisa di toleransi ternyata.
Giliran Kemala yang melakukan check in, ia sempat mengernyit bingung ketika petugas di depannya justru mengalihkan pandangan pada deretan lain dibelakang Kemala. Dan yang Kemala lihat petugas itu menudingkan telunjuknya sambil berkata tegas namun tetap berusaha sopan, “Just take off your food, Sir.”
Kemala akhirnya tidak tahan untuk menoleh, ternyata pemilik makanan beraroma wangi itu seorang pemuda yang... sepertinya sebaya dengan dirinya. Pemuda itu mengenakan polo shirt putih, sebuah jacket kulit berwarna hitam, celana jeans dan sebuah sneakers putih. Kemala tidak menemukan ekspresi matanya karena tertutupi sebuah eyeglassess hitam. Mungkin kalau Kemala tebak, pemuda itu tengah melempar pelototan pada si petugas karena mengganggu kegiatan makannya.
Tidak berselang lama, pemuda itu kembali dengan tangan kosong, dan kini giliran ia yang melakukan check in tiket, sementara Kemala segera bergegas pergi. Meninggalkan sebuah kebetulan yang sebenarnya akan menjadi sebuah permulaan.
*
Kereta yang ditumpangi Kemala akhirnya menempi di Birmingham New Street Station, setelah menempuh perjalanan hampir dua jam dari London– Birmingham.
Gadis itu hanya membawa sebuah ransel kecil, dan sebuah buklet di tangannya. Cover buklet tersebut bertuliskan, University of Birmingham. Senyumnya mengembang ketika bangunan berwarna merah bata itu terpampang nyata di kedua matanya.
Tidak berselang lama, seorang gadis bule sebaya dengannya berlari menghampiri Kemala yang masih mematung di depan gedung utama, gadis itu Alice, cucu salah satu dosen senior di universitas ini, sekaligus teman Kemala selama ia tinggal di Birmingham.
Hi Kemala, long time no see! Look at yourself, how beautiful you are. Oh Damn! I really miss you!”
Kemala hanya membalas seruan Alice dengan pelukkan. Iya, Kemala memang pernah tinggal beberapa tahun di kota ini, dan Alice adalah teman pertama yang ia miliki ketika beranjak remaja. Sayang, karena faktor keluarga, Kemala harus melanjutkan sekolah tingkat atas di negara keluarganya, Indonesia.
I’m so glad to see you again, Alice.” Kemala mengucapkan itu ketika pelukkan mereka mengendur.
“Jadi bagaimana perjalanmu dari Indonesia ke Inggris?” tanya Alice.
Not bad. Meskipun aku masih memiliki paranoid terhadap ketinggian. Kamu tahu, aku lebih baik melakukan perjalanan menggunakan kereta selama ratusan jam dibandingkan harus naik pesawat. But, yea I enjoy the trip.”
Alice hanya tertawa mendengar celotehan Kemala.
“Jadi bagaimana dengan Profesor?” Kemala akhirnya ingat tujuan utamanya mengunjungi Birmingham, Profesor John Wayne, guru besar University of Birmingham, tibat-tiba mengundangnya melalui Alice.
Alice mengedikkan bahu sekali, “Tidak tahu. Aku sudah menghubungi kakek tua itu beberapa jam lalu. Tapi sepertinya dia masih sibuk dengan kelas musiknya. Kamu tahu, akhir semester ini akan ada drama musikal tahunan yang diselenggarakan oleh kampus, dan kakek terlihat sibuk sekali.”
Kemala sempat tertawa geli ketika mendengar Alice mencela kakeknya sendiri, “Kalau beliau sedang sibuk, lantas mengapa mengundangku kemari?”
“Kemala, wait a minute. He call me.” Alice menudingkan ponselnya, lantas berjalan menjauh.
Kemala mengangguk kecil, hanya memperhatikan Alice yang sepertinya sedang mengobrol serius dengan Profesor John.
“Kemala!” lagi, Alice berseru.
Get a litle trip. I’ll meet you at Victoria Square. I’m sorry, he told me to meet him now.”
Kemala hanya menganga kecil, tidak terlalu paham dengan ucapan Alice yang terburu-buru. Otaknya hanya menangkap segurat pesan, “Aku akan segera menemuimu di Victoria Square.” Dan Kemala tidak akan ambil pusing, memilih menuju tempat yang diperintahkan Alice.
*
Victoria Square siang ini cukup ramai dengan beberapa penduduk lokal, tak sedikit mahasiswa yang mengenakan sweater baseball bertuliskan Birmingham University yang berlalu-lalang disekitar Kemala. Gadis itu memilih duduk santai di depan The River Fountain, memasang earphone dan memilih menshuffle salah satu instrument legendaris dari Mozart, Symphoni in A Major.
How could you hear an old song like Mozart’s?
Sebuah suara membuat Kemala terperanjat dari kegiatannya. Suara bariton itu berasal dari pemuda disamping kirinya, yang entah datang dari antah berantah mana.
Kemala menohok kedua mata pemuda itu dengan tatapan tajam. Seolah menginterogasi. “Excuse, what which you said with and old song, Sir?
I said, how could you hear and old song like
Is there funny thing?” potong Kemala kesal. Ia lantas menjelajahi pemuda itu dengan ekor mata. Tidak salah lagi, pemuda itu sepertinya orang Asia, sama seperti dirinya.
“Aku tidak berkata bahwa lagu yang kamu dengar lucu.” Balas pemuda itu.
“Oh God. Kamu orang Indonesia?”
Pemuda itu melirik Kemala sedikit kaget. Sempat mengumpat dirinya sendiri karena berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Matanya sedikit tertegun ketika bersamaan dengan itu terjadi eye contact diantara mereka. Ada sebersit rasa yang tiba-tiba membuat hatinya bergetar diantara heningnya gelombang udara. Pemuda itu seakan pernah menemukan mata yang serupa, meski entah dimana.
What now?” Kemala masih berucap sedikit kesal, karena pemuda disampingnya beberapa menit lalu secara tidak langsung mencibir selera musiknya.
Nope. Sorry for asked that. Aku Gabriel.” Pemuda itu tidak lantas melanjutkan perdebatan kecil dengan Kemala, ia hanya menyodorkan tangan kanannya.
Kemala bungkam. Ditatapnya tangan pemuda bernama Gabriel itu dengan ragu. Ada rasa aneh yang kemudian menyelinap, entah kenapa ia takut dengan jabatan itu, seakan ia pernah terluka, ketika menyambut uluran tangan yang bahkan belum pernah terjadi sebelumnya.
“Kamu keberatan berkenalan denganku?”
Kemala reflek menggeleng kecil, lantas menjabat tangan Gabriel dan dengan cepat menyebutkan namanya. Meski ia adalah keturunan ningrat, tetapi keluarganya tidak pernah mengajarkan Kemala untuk memandang seseorang secara berbeda-beda.
“Terimakasih. Maaf jika perkataanku sebelumnya menyinggung kamu.”
Kemala menggeleng pelan, “Tidak apa-apa. Tidak perlu dibahas.”
“Selain Symphony in A Major, instrument apalagi yang kamu suka dari Mozart?” tanya Gabriel antusias, meski didetik berikutnya Kemala melempar tatapan seribu tanya.
“Maaf aku tidak sengaja melihat judulnya di layar ponselmu. Jangan curiga seperti itu.”
Kemala hanya menghela nafas. Ia kembali melirik layar ponselnya, lantas melepas satu pasang lain dari earphone yang menjutai dari telinga kirinya.
Gabriel yang melirik Kemala menyerahkan satu pasang lain dari earphonenya lantas tidak berlama-lama, ia meraihnya.
Can guess the song?”
Gabriel terlihat menimang sebentar lantas mengukir senyumnya, “Turkish March?” yang kemudian dijawab anggukan penuh dari Kemala.
Senyum itu terukir, membuat Gabriel merasa dejavu untuk yang kesekiankali. Demi Tuhan, ia merasa gadis disampingnya seolah adalah gadis di masa lama yang pernah dikenalnya. Tapi di masa kapan? Usianya bahkan baru genap 18 tahun. Dan ia yakin tidak pernah bertemu perempuan seperti Kemala.
“Kemala?”
Alice tiba-tiba muncul dengan raut wajah bingung. Ia menatap Kemala dan laki-laki asing disamping Kemala secara bergantian. Merasa Alice kebingungan, Kemala dengan gerak cepat berdiri, meraih sebelah kabel earphone yang masih menjuntai ditelinga kiri Gabriel.
Sorry, Gab. I have to go. C’mon, Alice.”
Alice mengangguk kecil, ia terpaksa memutar balik tubuhnya karena Kemala dengan tidak keruan mendorong bahunya hingga mereka berdua berjalan seperti anak TK sedang bermain kereta-keretaan. Meski di benak Kemala, ada perasaan sedikit tidak rela meninggalkan Gabriel begitu saja.
Wait Kemala. Is he your friend?” tanya Alice akhirnya. Menghentikan perjalanan mereka.
Kemala reflek mengangkat bahu. Ia sebenarnya tidak tahu harus menyebut Gabriel sebagai teman atau tidak.
How could you leave him?”
“Kemala!” belum menjawab pertanyaan Alice, sebuah suara menyerukan nama Kemala, dan Kemala tahu siapa pelakunya.
Pemilik suara itu, Gabriel, berlari menghampiri Kemala dan Alice. Dan Alice, yang tidak mengerti duduk perkara diantara sahabatnya dan lelaki asing itu memilih bergegas pergi, sebelumnya menitipkan pesan bahwa ia akan menunggu Kemala ditempat lain.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
What?” adalah spontan yang keluar dari bibir Kemala.
“Apa yang sedang kamu bicarakan, Gab?”
Gabriel seperti membaca seribu pertanyaan dari tatapan mata Kemala, ia meraih bahu gadis itu, “Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Aku merasa tidak asing denganmu.”
Kemala berpikir keras, “Errr, aku juga seperti tidak asing dengan outfit kamu hari ini. Jangan-jangan, kamu pemuda di stasiun Marylebone yang ditegur kondektur karena membawa makanan itu ya?”
Gabriel mengernyit. Itu memang dirinya. Tapi bukan itu, ia seolah yakin bahwa itu bukan alasan ia merasa tidak asing dengan Kemala.
Gabriel memijat pelipisnya, “Bukan! Aku yakin bukan itu. Aku tahu ini terdengar gila. Tapi
“Kemala! Profesor John sudah menunggu. Bisa tolong di percepat?” Alice berseru dari jauh, meski dari raut wajahnya terlihat tidak enak dengan Gabriel.
Gabriel, I have to go. Sorry if you find no answer. Aku sebenarnya tidak mengerti apa yang kamu bicarakan, tapi aku senang bertemu denganmu disini. Semoga kita berjumpa lagi.”
*
Kemala berdiri disamping Alice disebuah ruangan indoor cukup luas. Ruang musik menyerupai panggung ampitheater dengan kursi yang berjejer rapi ke atas mengelilinginya. Di setiap dinding tua yang masih kokoh, tertempel beberapa papan putih dengan not balok instrument-instrument klasik, juga beberapa lukisan musisi legendaris berukuran cukup besar.
Tidak lama, Profesor John kembali dengan buklet tebal ditangannya.
“He is 80. Jadi jangan kaget kalau bicaranya sedikit aneh nanti.” Ingat Alice.
Hi Kemala!” Prof. John yang umurnya sudah hampir satu abad, masih berjalan tegap menghampiri Kemala, lantas menjabat tangan gadis itu.
I have waiting for a long time to see you. Thank you for coming here.” Ucapnya.
Kemala cepat-cepat mengangguk pelan.
“Sebenarnya ada satu lagi tamu saya. Dan kamu akan mengerti jika sudah lengkap dengan dia disini.”
Kemala dan Alice saling beradu pandang.
And he is here. Gabriel, please come.”
Seorang pemuda yang tidak asing dipenglihatan Kemala mulai menyembul masuk dari balik pintu gigantis ruang musik yang kini ia pijak.
Oh my God. Its not wrong. You both are really reborn!” seru Prof. John tiba-tiba.
“Saya tidak salah lagi, kalian benar-benar lahir kembali di kehidupan yang berbeda.” Lanjutnya.
Kemala dan Gabriel memandang Prof. John heran, sementara Alice hanya menatap Kemala iba, menyiratkan pesan serupa, he is 80, jangan kaget kalau dia berbicara aneh.
Prof. John lantas membuka buklet tebal digenggamannya, menelusuri halaman demi halaman.
It is you both. Kalian sekarang mengerti mengapa saya mengundang kalian kemari?”
“Tahun 1902, di Universitas ini pernah ada dua mahasiswa musik  yang jenius. Kalian bisa lihat..”
“Itu seperti aku!” potong Kemala, melihat sepotong gambar dari salah satu lembar profile mahasiswa dalam buklet tersebut.
“Dan ini kamu. Gabriel..” Prof. John ganti menyerahkan buklet tersebut pada Gabriel.
Selain berwajah sama, mereka juga bernama sama seperti kalian. Kemala Wulandari dan Gabriel Aldrich. Ayah saya, dulu adalah sahabat mereka di Birmingham University.”
“Saya tidak percaya ini. Tapi, kalian benar-benar bereinkarnasi di kehidupan lain. Dulu, ayah saya pernah bercerita bahwa Kemala dan Gabriel sangat dekat, sampai suatu hari Kemala kembali ke negaranya, sedangkan Gabriel menikah dengan tunangannya, Gayatri. Ayah saya sangat menyayangkan karena pada akhirnya mereka tidak bersama. Padahal, ayah saya yakin kalau mereka benar-benar saling mencintai.”
“Gabriel Aldrich adalah ayah dari Kakek saya dan Gayatri adalah istrinya.” Jawab Gabriel.
Kemala dan Prof. John menoleh bersamaan.
“Kemala Wulandari juga sebenarnya Ibu dari nenek saya.”
Muda mudi itu saling berpandangan, kembali merasakan getar halus yang lagi-lagi tidak mereka mengerti. Alice memandang kumpulan manusia di hadapannya heran,  Sedangkan Profesor John tersenyum tipis, berdoa dalam hati, semoga kejadian pahit, tidak menimpa sosok-sosok serupa dengan sahabat-sahabat mendiang Ayahnya.
"Kamu percaya reinkarnasi?" tanya Kemala ragu.
Gabriel memandang potret serupa Kemala dan dirinya di buklet tersebut, lantas ganti memandang nyalang profile cantik dihadapannya.
"Aku tidak percaya sebenarnya. Hanya.. setelah bertemu kamu dengan segala rasa yang seolah tidak pernah asing di benakku. Aku entah kenapa perlahan yakin, kita dipertemukan untuk merajut kisah mereka yang sempat terhenti."
Kemala merasakan hatinya berdesir hangat seiring dengan senyumnya yang perlahan terukir.
"Kisah mereka yang mana?" Tanya Kemala pelan.
Perlahan, Gabriel melangkahkan kaki jangkungnya, dan dengan gerak cepat, seolah pernah terlatih sebelummya, ia menepuk puncak kepala Kemala, lalu menjawab.
"Tentang hati."
*
-Do you believe reincarnation?
-FIN-

haha mbak agen telat banget publish :3 disini seret wifi sih :(
voilaa ini collab ketiga kami, dan akan ada lagi karya2 kami yang lain...
jadi jangan bosen bosen bacaa...
kalau lihat chat bbm sama teteh agen itu kadang ketawa sendiri,
gimana kita mencoba menjadi satu pikiran, padahal raga kami sama sekali nggak ketemu!
atau lebih tepatnya kami belum pernah ketemu, padahal kami sama-sama tahu luar dalam :')
meskipun cerpen ini nggak jauh dari genre yang itu (lirik secret admirer) kami harap kalian sukaa..
salam bintang dandelion~