Jumat, 10 Oktober 2014
Nothing
Ia hanya gadis penunggu kabar,
Menanti sebuah cita,
Meski harus merasa hambar...
Kepastian yang terpendam,
Masih saja meredam sebongkah angan,
Tidak mengerti kapan mewujudkan sebuah harapan...
Kesabaran itu masih saja diuji,
Dan seonggok jiwa ini,
Akan terus bertahan hingga garis akhir.
*
nggak tahu kenapa nulis kayak begini, dan saya ijin gambar di google buat nyelip di sajak gaje ini hehehe maybe itu ungkapan hati saya sekarang, selalu menunggu dalam entitas baruu :"D dalam nama Tuhan Yesus :')
enjoy, salam bintang dandelion~
-sign-
@ruthenirmalaa
Label:
Curhat?
Kabar Dalam Angan *cerpen*
Kabar
Dalam Angan
*
Love can cure
heartbreaks, misfortune, or tragedy, it is the eternal companion. –Anonymus.
Surakarta,
24 Juni 2011
Langit malam masih terpampang nyata
dalam pandangan. Aku masih enggan menyeret diri dari Taman dekat rumahku.
Terang lampu temaram tidak sebanding dengan terang bintang yang sedang
berpendar di atas langit, membuatku ingin menatap keindahan itu lebih lama.
Sejak kepergian Ayah di langit senja
bulan lalu, aku semakin mentutup diri. Tidak ada lagi aku yang selalu tertawa, tidak
ada lagi aku yang sedang melucu, bahkan, tidak ada lagi aku yang tersenyum
tanpa beban. Itu semua… terlalu sulit jika kembali di lakukan.
Ayah pergi, menyerah menatap dunia
karena penyakit ganas yang perlahan menggrogoti tubuhnya. Penyakit yang
perlahan membuatku teriris jika mendengarnya. Kanker.
Penyakit itu telah merenggut
kebahagiaan, sukacita, bahkan senyuman. Ayah memang orang baik, mungkin memang
tugasnya di dunia telah selesai, sehingga dia lebih cepat menuju keabadian.
Tetapi dari kebaikan itulah yang membuatku miris ketika mengingatnya.
Ada kalanya saat aku merindukan
senyumnya, senyum yang sangat menawan karena ada lesung pipit di pipi kirinya,
bukan hanya itu, aku juga rindu suara baritonnya, bahkan, harum maskulin yang
menguar dari tubuhnya.
Aku hanya seonggok gadis yang telah
hilang kepercayaan, lagi-lagi sejak kejadian pahit itu… semua berubah. Entah
hanya sebuah perasaan yang terlalu mudah dikecap, atau memang semua benar
adanya.
Adakah saudara yang menganggap
kebaikan sebagai balas budi? Mungkin ada, mungkin juga tidak, tetapi apa
gunanya ikatan itu, jika sebuah kebaikan selalu melahirkan balasan? Aku memang
hanya gadis kecil yang belum pernah tua, tetapi setidaknya, aku mengerti apa
arti sebuah ikatan yang lebih dekat dari apapun. Ikatan darah.
Ikatan itu tidak pernah hilang,
sebelum darah yang mengalir ditubuhmu berhenti mengalir, tetapi apa gunanya
semua itu jika saling menyakiti dan mengandalkan materi?
Semenjak Ayah pergi, konflik-konflik
batin itu masih saja berdatangan, tidak ada damai, tidak ada ketenangan yang
sama seperti dulu, saat detak jantung beliau masih berdenyut teratur.
Lagi-lagi setetes liquid turun dari pelupuk mataku. Aku
tidak mengerti, kenapa aku bisa merasakan luka dari segelintir orang yang
notabennya adalah jiwa-jiwa yang memiliki ikatan darah denganku.
Aku tidak mengerti bagaimana semua
itu bisa terjadi. Yang aku tahu, semenjak saat itu, aku selalu menangis dalam
diam, tidak lagi menangisi dia yang telah pergi di keabadian, tetapi… menangisi
hidupku.
Hei, bukankah balas budi tidak akan
habis? Lalu apa yang mereka harapkan dari seonggok tubuh yang telah kaku dan
hilang nyawa? Apa mereka ingin menuntut balas atas kebaikan mereka di masa
lalu? Apa gunanya ikatan itu eh?
Dan, sejak saat itu, aku adalah Anastasia
Vega yang pendiam dan menutup diri.
Dingin
malam, semakin menusuk tulang, tetapi aku tidak peduli, karena melihat bintang,
seakan memberiku sedativum yang biasa aku dapatkan dari sekapsul Vallerianae Radix.
“Hei.”
Suara berat membuatku menghentikan sejenak
aktivitasku. Takut-takut aku menoleh kearahnya. Hei, ingatkah hari telah malam?
Dan mulai banyak pria hidung belang berkeliaran? Uh, salahku juga tidak segera
pulang tadi.
Siluet seorang pemuda tinggi, dengan wajah tegas
terlihat masih semuran denganku, ia sedang menatapku dengan senyum tipisnya.
Dia memang terlalu kurus untuk ukuran laki-laki, tidak meyakinkan jika dia
berbuat hal buruk kepadaku, yang lumayan jago karate ini.
Aku balas menyipit memandangnya, kemudian membuang
muka, kembali menatap langit.
“Anak gadis tidak baik berkeliaran malam hari.”
“Aku tidak berkeliaran. Rumahku hanya sepuluh meter
dari sini.” Ucapku dengan nada sengit.
Anak laki-laki itu hanya mengangkat bahu, kemudian
tanpa permisi duduk di sebelahku, membuatku bergeser menjauh.
“Begitu ya, sambutan untuk tetangga baru disamping
rumahmu?”
“Aku tidak peduli.” Sahutku, kemudian beranjak dari
sana.
Pemuda itu tersenyum miring, seakan mengerti
kelemahanku, dan siap menghancurkanku kapan saja. entahlah, aku tidak peduli
dengan itu.
Baru dua langkah aku melangkahkan kaki, suara pemuda
jangkung itu terdengar lagi. “Jangan suka menangis diam-diam, itu lebih
menyakitkan dari terkena sebilah pisau.”
*
Malam-malam selanjutnya, anak laki-laki itu selalu
terlihat di taman, membuatku melengos berbalik arah dari sana. Tetapi, dia
mempunyai maksud lain sepertinya. Di malam itu, dengan gerakan cepat, dia
menyusulku, dan mencekal lenganku. Membuatku memberikan deathglare terbaikku untuknya.
“Apa maumu Ayam?” kataku dongkol, apalagi setelah
melihat model rambutnya yang hampir serupa dengan ekor ayam itu.
“No,
Altair. Bukan Ayam.” sahutnya tidak kalah sengit.
“Aku tidak peduli. Lagipula tatanan rambutmu memang
berbentuk seperti Ayam.” Jawabku dengan melipat tangan di depan dada.
Altair, memegang rambutnya terlihat sedikit tidak
terima. “Ini trend. Apa menangis membuatmu tidak mengerti mode?”
Aku berdecak kesal. Membuat Altair memandangku
heran. “Hei, Vega… Ah, aku mengerti namamu dari Ibumu.” Katanya ketika aku
memandangnya heran, “sampai kapan kamu mau membenci jiwa-jiwa yang butuh
pengampunan?”
“Tahu apa kamu tentang aku?”
Altair menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak
gatal. “Semua terlihat dari sorot mata kamu, ada luka yang menganga lebar, dan
aku yakin, itu sorot kebencian.”
Aku hanya memandangnya remeh, namun dia melakukan
hal yang sama sekali tidak aku duga. Menepuk puncak kepalaku, seperti yang
biasa Ayah lakukan dulu. Membuat rasa rindu ini menelasak ke permukaan.
“Kamu mau bercerita? Sebelumnya, aku Bonaventura
Altair. Kita belum berkenalan dengan baik.”
Perlakuan pemuda itu membuatku menunduk, semakin
mendorong cairan yang tidak bisa dinyana ini keluar dari pelupuk mata.
Altair menunduk, mensejajarkan wajahnya, dengan
wajahku. “Kenapa menangis? Apa aku menyakitimu?”
Aku hanya menggeleng, sembari bergumam “Aku rindu
Ayah.” Dengan sangat lirih.
Altair memandangku dengan tatapan khawatir.
Membuatku ingat, aku menangis di depan orang yang baru saja aku kenal. Dengan
gerakan cepat, aku berbalik arah, kemudian pergi meninggalkannya.
*
Malam itu tidak lagi sama, aku menemukan teropong
bintang tidak bertuan di tengah-tengah semak ilalang. Dari kecil, aku selalu
diajarkan untuk tidak mengambil –atau bahkan memegang- barang yang bukan
milikku tanpa ijin si empunya.
Dan, aku pun kembali menatap langit malam dengan
mata telanjang. “Tidak lelah memandang bintang dengan mata telanjang? Jika ada
benda yang membuatnya jelas, kenapa tidak di coba?” Suara berat itu kembali
mengiterupsi.
“Itu bukan milikku.”
Altair mendekat ke arah teleskop, “Ini milikku.”
katanya.
“Kamu suka bintang ya? sehingga memiliki benda
seperti itu?” tanyaku sedikit penasaran.
“Aku Agen dari rasi bintang Aquila.” katanya sambil
terkekeh.
Aku hanya menaikan sebelah alis tidak mengerti.
“Bercanda. Kamu nggak punya selera humor ya.” Katanya lagi, membuatku
mengerucutkan bibir, menahan kesal. “Aku mahasiswa astronomi. Wajar jika
memiliki benda-benda seperti ini. kamu mau coba?” tawarnya.
Aku hanya terdiam di tempat. Hingga tangan kokoh itu
terulur, dan menuntunku tepat di depan teleskop itu. “Lihatlah.”
Aku menurut, mencoba melihat apa yang disuguhkan
dengan benda itu, dan benar saja, bintang berpendar lebih terang dari yang
biasa aku lihat.
“Aku tidak sepenuhnya berbohong. I’m agent from Aquila. Altair. Bintang
tercerah di rasi itu.”
Tanpa sadar, sudut bibirku tertarik. Dengan
perlahan, Altair membuat semua yang dulu aku tidak lagi aku lakukan, menjadi
kembali ada.
“Dan kamu harusnya mengerti. Agen Vega?”
Aku memandangnya bosan, tidak mengerti apa
maksudnya. Seakan mengerti keterlambatanku memahami apa yang diungkapnya,
Altair, kembali menjelaskan. “Vega adalah bintang tercerah pada rasi bintang
Lyra, jadi kamu adalah Agen Vega.”
Aku hanya tersenyum tipis. Tidak mengerti bagaimana
harus menanggapi. Di malam yang sedingin ini, bahkan aku merasakan kehangatan
tak kasat mata, yang mencoba merekatkan kembali hatiku yang telah hancur
sebelumnya.
Altair kembali melempar senyum kepadaku. Hingga dia
mulai menceritakan masa lalunya, masa-masa dimana dia membenci Kakak
laki-lakinya hanya karena kesalahpahaman.
Kakaknya bertahun-tahun pergi tanpa kabar, membuat
kebencian berdiam dari diri laki-laki itu, tetapi sesungguhnya, sang Kakak
sedang banting tulang untuk mengambil kembali asset perusahaan Ayahnya, yang
terancam bangkrut.
“Membenci atau dibenci itu tidak enak, jangan
menyesal dilain hari,seperti yang aku alami. Kamu tidak berniat bercerita?
Anastasia Vega?”
Aku menggeleng. Aku belum siap menangis dihadapan
orang lain. Lagi, kata-kata Altair membuka mata hatiku, untuk apa membenci jika
ada kasih yang tulus untuk diberikan kepada mereka?
“Jika belum mau cerita, menangislah.” Ucapan Altair
membuatku terkesiap. “tidak apa, menangislah tidak usah dipendam sendiri.”
Tanpa dikomando lagi, air mata itu luruh, isakan
kecil dariku mulai berbaur dengan bunyi jangkrik di malam itu. Entah berapa
menit aku menangis. Altair masih saja memandangku teduh. Sesekali dia menepukan
tangannya pada pucuk kepalaku.
Hingga dia menyodorkan sapu tangan berwarna biru
kepadaku. “Untuk menghapus air matamu.” katanya. “apa sudah lega?”
Dengan perlahan aku mengangguk.
“Akan lebih lega, jika kamu mau menceritakan
semuanya.”
Bibir dan hatiku, tidak bisa kompak malam ini,
dengan lancar, aku menceritakan segala pergumulanku, luka batinku, kerinduanku,
dan segala yang mengganggu di pikiranku pada Bonaventura Altair.
“Aku ingin menjadi tenaga tehnik farmasi, agar dapat
melihat wajah-wajah para penderita kanker berbinar, jika sorot mata mereka
kembali redup, aku akan memberi mereka semangat. Aku ingin mereka seperti Ayah.
Selalu bersemangat, bahkan di detik terakhirnya.” ucapku parau.
Altair tersenyum lembut. “Kamu pasti bisa.” Ujarnya
memberi semangat.
“Altair.” Panggilku untuk yang pertama kali. “Kenapa
kamu begitu ingin aku membagi kisahku?”
Pemuda itu mengalihkan pandangan pada langit.
“Mungkin, radar antara Altair, dan Vega.” katanya sambil terkekeh. Melihatku
menaikan sebelah alis, dia terlihat gugup, buru-buru kembali berkata, “Karena
kamu terlihat seperti manusia tidak bernyawa. Aku yakin kamu butuh tempat
berbagi, tanpa kamu sendiri sadari.”
Dan, malam itu, pandanganku tentang Bonaventura
Altair berubah seratus delapan puluh derajat.
*
Malam ini, aku membiarkan rambut sebahuku aku gerai.
Menyebabkan angin-angin nakal sekuat tenaga menerbangkan helaian rambutku. Aku
kembali melihat siluet laki-laki jangkung, sedang berkutat dengan teleskopnya.
“Sudah lama menunggu?” sapaku kemudian.
Dia menggeleng sambil tersenyum tipis. “Kamu
cantik.”
Dua kata itu membuat pipiku memanas. “Gombal.”
Kataku sambil mencubit lengannya.
Dia hanya terkekeh. “Bagaimana, sudah bisa
mengampuni?”
Aku mengangguk. “Ya, rasanya lebih lega, beban yang
aku simpan seperti hilang perlahan.”
“Bagus jika begitu, aku tidak perlu ceramah lagi.” Sahut Altair, yang sepontan
membuatku menggembungkan pipi. “Vega, kamu tahu? malam ini akan ada segitiga
musim panas di langit, dimana bintang Altair, Vega, dan Deneb akan muncul.”
Aku hanya mengangguk tanda mengerti.
“Kamu jangan bersedih lagi, jadilah seperti bintang
Vega yang kuat, selalu menunggu bintang Altair untuk kembali bertemu.”
Aku yang tidak paham dengan kata-katanya hanya kembali
mengangguk.
“Ini sudah tiga bulan ya? kita selalu menghabiskan
seperdelapan malam disini?” tanya Altair tiba-tiba.
“Iya.” sahutku singkat, tersadar telah banyak malam
yang aku bunuh bersama dengannya.
Altair mendekat kepadaku, tangannya kembali terulur
mengacak puncak kepalaku. Kebiasaan barunya jika aku membuatnya sedikit kesal.
Pemuda itu memang berbeda dari teman laki-lakiku yang lain, ada rasa yang
menyeruak dari rongga hatiku yang membuatku terkadang mati rasa, jika dia telah
berada didekatku, padahal Altair bukan diazepam yang biasa digunakan untuk obat
bius.
Rasa itu, yang menjadi analgesic alami dihatiku, sehingga nyeri itu tidak lagi ada, jika
aku mengurai kenangan pahit. Apa ini… cinta?
“Vega.” Dia kembali memanggilku.
Altair terlihat gelisah, berulangkali mengembuskan
napas tidak sabaran. “Aku sayang kamu.” Katanya cepat. Nyaris tidak ada jeda,
tetapi membuatku terperangah.
“Tunggulah saat itu tiba, dan aku akan kembali,
untukmu di seluruh sisa hidupku.”
Tubuh tegap itu berbaik memunggungiku, kemudian
dengan langkah teratur, berjalan menjauh, tanpa menoleh sedetikpun kepadaku.
*
Esoknya, aku kembali ketempat biasa dimana kami
selalu bertemu, tetapi taman itu sepi. Tidak ada sosok itu, sosok yang aku
nantikan untuk aku berikan jawaban.
Aku kembali terduduk di bangku, tempat kami berbagi
cerita. Hingga dua jam berlalu setelahnya. Tetapi dia tidak kunjung datang.
Dengan langkah gontai, aku kembali menggiring diri menuju rumahku.
Hari-hari setelahnya, masih saja sama, dia tidak
datang. Ironis, dia berkata menyayangiku, dan setelahnya, tidak lagi menampakan
diri dihadapanku. Bahkan Rumahnya sepi. Membuatku yakin, dia kembali pindah.
Meninggalkan kota Solo beserta semua kenangan yang terukir di dalamnya.
Aku tidak pernah lelah menunggunya, menunggu
kabarnya, meski semua itu seakan hanya angan. Sekarang aku mengerti setiap
ucapannya, nama kami terikat, Altair, dan Vega, bahkan kisahnya pun hampir
mirip dengan apa yang terjadi sekarang. Pasangan yang diharuskan menunggu dalam
ketidakpastian.
Dingin itu masih menusuk tulang, tidak seperti
malam-malam hangat yang aku bunuh bersamanya, tubuhku menggigil, tetapi aku
tidak peduli, karena aku tidak akan pernah lelah memberikan jawaban itu
kepadanya.
“Vega, wajahmu pucat, sampai kapan kamu menghabiskan
waktu disini?” suara lembut itu menginterupsiku. Itu Keyla, sahabatku.
Aku hanya menggeleng lemah. Tanda tidak mengerti.
“Ayo pulang. Bukankah besok responsi resep?”
Aku berdiri dengan gontai, lagi-lagi dia tidak
muncul. Sampai kapan aku harus menunggunya?
*
Terhitung telah lima tahun berlalu semenjak hari
itu, aku telah mencapai impianku, sebagai tenaga tehnik kefarmasian. Dan, masih
saja menghabiskan seperdelapan malamku hanya untuk melihat bintang, dan
berharap menemukan bintang altair disana.
Tidak ada kabar, aku masih saja bertahan. Aku hanya
gadis penunggu kabar, menunggu terang itu, untuk kembali pulang. Tidak mengerti
kapan dia akan datang, tidak mengerti dia memiliki perasaan yang masih sama
atau tidak.
Yang jelas, aku menunggunya.
Dingin malam benar-benar menusuk kulitku, aku terus
mengusap lenganku berupaya mencari kehangatan, hingga aku merasa sesuatu
melingkupi bahu mungilku.
“Altair…” aku bergetar saat mengucap namanya. “kamu
kembali.”
Mengabaikan blazer
Altair yang telah jatuh dari bahuku, aku berjalan menuju Altair yang berdiri di
belakang bangku.
“Maaf tidak pernah mengabarimu.” ucapnya ketika
melihatku terisak.
Tangannya terulur, menghapus butiran air yang
menetes dari pelupuk mataku. “Aku kembali untuk menepati janjiku. Menikahlah
denganku.”
Aku menatapnya tidak percaya. Bibirku terkatup
membiarkannya menjelaskan apa yang telah terjadi sebenarnya. “Mungkin aku
terlihat pengecut, meninggalkanmu setelah mengungkapkan perasaan, setelah malam
itu, aku kembali melanjutkan kuliah, dan mengambil S2 di Birmingham.
Semata-mata agar aku layak menjadi pendampingmu kelak.”
Kepastian itu, akhirnya datang, melambungkan
perasaan, dan memberi secercak kebahagiaan. Penantian ini, tidak berakhir
sia-sia. Karena ketulusan itu terus melingkupi kepingan hati yang siap
disatukan.
-end-
HAHAHA ini sama sekali bukan cerpen antimainstream, tetapi sangat-sangat mainstream, dimana saya kembali menghadirkan karya out of the box, dengan genre biasa, menunggu dan menggunakan anak farmasi dan astronomi di pairingnya.
ini sama sekali bukan curhat. jika first reader saya bilang ini mirip sama karya saya yang masih didalam sangkar, memang saya bikin mirip, karena......... ini sudah empat bulan, istilahnya kangeen nya saya bikin cerita yg mirip2 dengan itu.
ahh this, saya nggak ngerti harus gimana, yang jelas saya sedang menunggu sesuatu yang menurut saya, ini lebih pentin -dimasa sekarang ini- dari pada menunggu sosok Altair, sebuah mimpi yang saya sendiri nggak ngerti kapan terwujudnya.
sekian, saya nggak mau banyak omong, hehe.. semoga kalian sukaaa
salam bintang dandelion~
Label:
New Fict
Secret Memory in Brimingham *cerpen*
Secret Memory in Brimingham
Birmingham, England. 1902.
*
Gurat senja masih saja menghias
langit. Namun, tetap saja terasa berbeda. Meski di bawah langit yang sama, aku
merasa kehampaan yang amat sangat hari ini. Birmingham University.
Menjadi pilihanku menuntut ilmu dalam segala keterbatasan.
Aku adalah orang Hindia-Belanda,
sehingga aku memiliki kulit sawo matang, iris hitam tajam, juga rambut sehitam
batu obsidian, membuatku sangat terlihat berbeda disini. Tidak hanya itu, tidak
satupun dari temanku, tidak mengerti dimana negaraku, karena, negaraku masih
saja terjajah.
Ironis,
ketika setiap jiwa yang berada disana, memberikan seluruh yang mereka punya
untuk satu harapan. harapan untuk kebebasan, tetapi aku disini merasakan
ketenangan, yang bahkan mereka belum pernah sedetikpun merasakannya.
Orang
bilang aku keturunan ningrat. Orang terpandang, tidak layak merasakan
penderitaan. Sehingga aku ‘diasingkan’ kemari bersama keluargaku. Namun,
sejatinya, aku sama seperti mereka. Seonggok manusia yang ingin negaranya bebas
dari tawanan.
Aku
kembali berjalan menyusuri tembok bata merah milik Birmingham
University. Berjalan dengan langkah lambat, karena
gaun merah mudaku yang berlapis lima kain, terasa berat di tubuhku. Bahkan, di
saat seperti ini, aku memilih menggunakan kebaya.
“Kemala?
Sudah berkeliling?” ucap seorang gadis berambut pirang, dengan logat inggrisnya
yang kental.
Dia,
Patricia. Teman pertamaku di Negara ini. aku mengangguk, membalas
pertanyaannya.
“Bagaimana
kabar negaramu?”
Seketika
aku menunduk raut wajahku berubah murung. Terakhir yang aku dengar, semakin
banyak korban berjatuhan, juga semakin keruhnya suasana. Fasilitas yang
diberikan para penguasa ditarik, semakin membuat para pribumi terombang-ambing
dalam penderitaan yang tidak menentu.
“Aku
rasa… semakin buruk.” Sahutku.
Patricia
menepuk pelan bahuku. Dia menatapku iba. “Berhentilah berwajah murung. Kamu
disini, juga untuk mereka kan? Mencari lantunan ilmu, agar kelak di negaramu
banyak musisi hebat, setara Mozart
atau Beethoven.”
Aku
tersenyum tipis, sembari mendongakkan wajah, hingga tanpa sengaja iris hitamku
berserobok dengan iris hitam yang serupa denganku. Tersadar, pemilik mata indah
itu berjalan kearahku. Seorang pemuda yang juga memiliki rambut hitam yang sama
dengan milikku. Hanya saja, perawakan tinggi dan hidung yang begitu mancung.
Membuatku ragu dengan hipotesa awalku, bahwa dia, juga orang Asia sama sepertiku.
“Pat,
you know him?” bisikku pada Patricia
yang sibuk dengan buku not balok
miliknya.
“Gabriel?
As far as I know, Ayahnya dari Birmingham, seorang saudagar rempah-rempah,
sedang Ibunya, orang asli Hindia-Belanda. Jangan heran jika kalian memiliki
kesamaan fisik.”
Aku
mengangguk tanda mengerti. Setidaknya, aku sedikit tenang mengetahui aku bukan
satu-satunya pemilik rambut hitam disini.
*
Hari
semakin larut, aku menggiring diri menuju Victoria
Square.Yang pada awalnya bernama Council
House Square, namun sejak 10 Januari tahun lalu, berubah nama menjadi Victoria Square, untuk menghormati Ratu
Victoria.
Aku
mendudukan diri, tepat di depan The River
Fountain, salah satu bagian dari Victoria
Square yang sering digunakan untuk bersantai. Aku kembali membuka catatanku
yang telah berisi karya-karya Mozart yang harus ku pelajari. Hingga seorang
yang duduk di sampingku, membuatku menolehkan kepala.
Gabriel
duduk dengan gagah, dan sedang bersiap meniup saxophone miliknya. Membuatku jantungku berhenti berdetak untuk
sementara. Apa efek kaget separah ini?
“Mahasiswa
Musik kan?”
Suara
baritone laki-laki itu, membuatku lupa cara bernafas. Karena dia mengatakannya
dalam bahasa Indonesia.
“Bagaimana
kamu—“
Belum
sempat aku menyelesaikan perkataanku, laki-laki itu kembali bersuara.
“Rambutmu, warna matamu. Seperti milik Ibu, membuatku yakin, kamu orang
Hindia-Belanda sepertinya.”
Aku
hanya mengangguk tanda mengerti. Tidak mengerti harus bicara bagaimana, aku
memilih bungkam. Hingga Gabriel kembali berkata, “Aku memang bukan orang asli
Hindia-Belanda. Tetapi Ibu selalu bercerita banyak tentang negaranya, mendengar
ceritanya… aku berniat memperjuangkan kebebasan mereka.”
Aku
menolehkan kepala ke kanan, mentap wajah kokoh yang terlihat begitu sempurna
dimataku. Gabriel tersenyum tipis, mulai meniup saxophone-nya, melantunkan Symphoni
in A Major milik musisi legendaris Mozart.
Nada
yang dilantunkannya terdengar begitu sempurna, dia benar-benar membuatku hanyut
dengan alunan saxophone-nya. Dan, aku
kembali tersadar ketika pemuda itu menghentikan permainannya.
“Kita
belum berkenalan. Aku Gabriel Aldrich. Sepertinya, kita satu kelas, tetapi
jarang memperhatikan.”
Malu-malu
aku kembali menatap iris hitam yang terasa memiliki black hole itu. “Kemala Wulandari.”
Sekilas
Gabriel melirik buku yang sedari tadi aku genggam. “Belajar simfoni Mozart
juga?” tanggapnya.
Aku
mengangguk saja.
“Kenapa,
tidak langsung dipraktekan dengan alat musik?” dia kembali bertanya.
“Itu…”
aku memandangnya gugup, tujuan awalku yang sebenarnya hanya mencari udara segar
dan ketenangan alami.
Gabriel
memandangku dengan dahi berkerut, meminta penjelasanku dengan segera. “Biolaku
ketinggalan.”
Pemuda
berawakan tinggi itu menarik sudut bibirnya. “Kamu mahir bermain biola?”
Aku
mengangguk sekenanya. “Ya, meski aku juga bisa alat musik tradisional.”
Gabriel
meletakan saxophone-nya, kemudian
kembali bertukar kata denganku. “Alat tradisional apa?”
“Gamelan.
Kamu tahu?”
Dia
menggeleng. “Tidak,” sahutnya. “Tetapi aku tidak akan menolak jika kamu
mengajariku memainkannya suatu saat.”
Aku
tersenyum tipis. “Tentu saja, tetapi itu membutuhkan waktu yang lama, kamu tahu
kenapa…”
Pemuda
itu bangkit, dengan gerakan lambat, menepuk pelan puncak kepalaku, membuatku
terperangah, dan mengeluarkan semburat merah muda tipis pada kedua pipi
tembamku.
“Jangan
terlalu dipikirkan, yang harusnya kita lakukan disini, adalah memperjuangkan
mereka dengan segala yang kita bisa.” Ucapnya dengan senyum memikat.
Gabriel
yang telah memunggungiku, kembali menghadap kepadaku. “Besok, aku tunggu di
aula, aku ingin mendengarkan gesekan merdu dari biolamu. Sampai jumpa…”
Punggung
Gabriel mulai menjauh, begitupun sedativum
tidak kasat mata yang baru saja aku rasakan. Apa mungkin aku jatuh cinta
hanya dalam kurun waktu sehari?
*
Aku
mempercepat langkah menuju aula belakang, gaun ini benar-benar merepotkan,
terasa berat di bagian pinggul, membuatku berjalan seperti kura-kura saja.
Belum
sempat aku membuka kenop pintu, aku mendengar alunan lembut dari harmonika,
seketika aku yakin, siapa pemilik nada indah itu. Gabriel.
Hingga
dengan segenap keberanian, aku mulai membuka daun pintu yang berukuran dua kali
lebih besar dari pintu-pintu yang ada di Kerajaan.
“Sudah
lama menunggu?” sapaku.
“Tidak
juga.”
Aku
hanya tersenyum tipis, mengangkat biolaku yang sedari tadi aku genggam,
kemudian meletakannya pada bahu. Mulai melantunkan Concerto 37 yang merupakan milik Mozart.
Selama
berberapa menit, aku merasa Gabriel menatapku nyalang. Membuatku gugup, dan
melakukan sedikit kesalahan, sehingga berberapa nada terdengar fals. Lagi-lagi Gabriel melangkahkan
kaki kearahku, tersenyum tipis, sembari menggenggam tanganku yang sedang
memegang Screw pada Bow, tongkat Biola.
“Lakukan
dengan lebih rileks, pasti akan terdengar lebih indah.” Nasihatnya.
Aku
hanya diam, bagaimana bisa rileks, jika dia sendiri yang membuatku gugup
setengah mati seperti ini?
Kembali
melantunkan nada, aku memilih menutup mata, mengabaikan wajah Gabriel yang
mungkin hanya terpaut lima jengkal dari wajahku. Merasakan keindahan Concerto 37 milik Mozart, yang begitu
mengagumkan.
Hingga
tepukan tangan kembali membuatku terbangun dari alam bawah sadar. “Kamu hebat.”
Gabriel memujiku, dan kembali menepuk pucuk kepalaku. Jika seperti ini, aku telah
benar-benar jatuh dalam pesonanya.
*
Hari-hari
setelah itu, aku dan Gabriel terlihat semakin dekat, dia selalu mendengar keluh
kesahku, mimpiku untuk negaraku, bahkan mengusap tangisku. Dia ada ketika aku
terpuruk.
Kami
berteman bukan hanya untuk sekedar berbagi, tetapi juga saling melengkapi, dan
bertukar pikiran. Sehingga tidak jarang, meskipun kami adalah mahasiswa perantauan, kami selalu mendapatkan
nilai cumclaude disetiap ujian.
Terhitung
ini sudah tahun kelima aku mengenalnya. Tersadar, rasa ini telah tertanam kuat,
bahkan telah tumbuh dan berbuah. Aku mencintainya, mencintainya saat dia
bermain musik, saat dia menyeringai jahil, bahkan saat dia termenung memikirkan
sesuatu yang tidak aku mengerti.
Ingin
aku berteriak, mengutarakan rasa ini, tetapi aku tidak ingin menodai
persahabatan kami, seharusnya, aku mengerti sejak awal, tidak ada satupun
persahabatan yang sempurna, antara laki-laki dan perempuan. Sehingga, aku
memilih memendamnya di sudut hati yang paling dalam hingga sekarang.
“Kemala.”
Dia memanggil namaku, saat kami berada di Victoria
Square. Tempat yang mempertemukan kami pertama kali.
“Ya?”
“Menurutmu,
bagaimana dengan dua orang yang saling mencinta, tetapi tidak bisa bersama?”
dia bertanya dengan raut resah.
“Itu
menyedihkan. Tetapi, mungkin di kehidupan lain, mereka akan bersatu jika sang
pencipta telah mengikat mereka di kehidupan baru. Kenapa bertanya seperti itu?”
Gabriel
hanya menggeleng. Berulang kali dia mengembuskan napas tidak sabaran, membuatku
mengrenyit heran.
“Kamu
kenapa?” tanyaku, sambil menyerahkan kotak makanan pada Gabriel.
“Kenapa
kamu begitu baik kepadaku? Padahal aku tidak sebaik itu.” ucap laki-laki itu
dengan pandangan kosong.
“Aku
tidak mengerti.” Sahutku.
Dia
menatapku nyalang. “Sudah jawab saja.”
Aku
menghela napas. Apa ini saatnya aku mengungkapkan perasaanku? Jika iya, aku
tidak mau kisahku ini berakhir menyedihkan. “Aku menyayangimu.”
Gabriel
terperangah, iris matanya membulat, seakan tidak percaya dengan apa yang aku
ungkapkan. Hingga seorang gadis berambut serupa denganku, menghampiri kami.
Tersenyum manis kearah Gabriel, lalu memeluk lengan kokoh itu.
Gadis
itu tersenyum juga kearahku. Tetapi entah kenapa itu terasa begitu menyakitkan.
“Hai, aku Gayatri, tunangan Gabriel.”
Gabriel
menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Dengan langkah teratur, aku
berjalan mundur. Sembari berucap lirih. “Ada sesuatu yang harus aku kerjakan.
Semoga kalian selalu bahagia, sampai jumpa.”
Hidupku,
selalu tidak bisa ditebak, setelah kehadiran tunangan Gabriel, kami seakan
semakin menjauh. Tetapi dengan begitu, tetap saja aku tidak bisa menghapus
bayangnya dari benakku.
Ironis,
aku berkata, bahwa aku menyayanginya, tetapi aku tidak pernah mengerti
perasaannya. Tidak mengerti segala kebaikan yang dia lakukan, dan kenapa tangan
kokoh itu selalu mengusap tetesan air yang mengalir di pipiku.
Aku
mengenalnya, tetapi aku tidak mengerti dirinya. Jika dianalogikan, Gabriel
seperti lukisan, terlihat indah, tetapi hanya dapat dilihat dengan satu sisi,
tidak mengerti dibelakang bingkai menguntai misteri.
Hingga
kelulusanku dari Universitas Birmingham.
Kami berdua bahkan terlihat tidak pernah saling mengenal. Dan, surat terakhir dari
Ibu membuatku semakin yakin, bahwa dia bukan takdirku.
Keluargaku
telah kembali sejak tiga tahun lalu, dan sejak saat itu, Gabriel yang selalu
mengisi hariku. Sungguh menyedihkan, aku telah berjanji, akan mengajarinya,
cara bermain gamelan, tetapi sekarang, kudapati dia, tidak melirik sedikitpun
ke arahku.
Kepulanganku,
ke negeri penuh gejolak itu tinggal menghitung hari. Aku akan dinikahkan dengan
pemuda keturunan ningrat dari kerajaan lain. Aku bahkan belum pernah sekalipun
bertemu dengan calon suamiku. Tetapi apa yang bisa aku lalukan? Menjadi seorang
putri kerajaan, selalu terikat dengan peraturan. Seharusnya aku juga tahu,
seorang putri… tidak boleh sedikitpun mengenal cinta, karena pada akhirnya,
jalan hidupnya telah ditentukan.
Percuma,
ketika cinta itu ada, tetapi terasa hambar. Sia-sia saja, ketika cinta itu bisa
dirasa, tetapi tidak sanggup mengutarakan kepastian. Hidup penuh gejolak, dan
Kemala Wulandari, harus mengerti konsekuensinya.
Gabriel
mungkin bukan takdirku di kehidupan ini, tetapi… jika sebenarnya sang pencipta
telah mengikat kami, mungkin, di kehidupan yang lain, kami akan kembali
bersama.
*
And the life has just began again..
London Marylebone Station, 2014.
Gadis
dengan sepatu converse berwarna
coklat itu mengencangkan pacuan larinya di
antara ramai stasiun Marylebone,
tidak ingin ketinggalan kereta
tujuan Birmingham, kota yang sudah menahun tak ia
kunjungi.
Setelah membeli satu tiket Chiltern Railways, gadis itu
berjalan kecil-kecil menuju antrian yang mulai padat ditiap-tiap pintu masuk
kereta. Sesuatu
beraroma wangi perlahan menyeruak masuk melalui indra penciumannya. Kemala,
gadis itu menoleh sekilas dibalik bahu, ia mendapati seseorang lain berdiri
dibelakangnya juga dengan
selembar tiket yang sama, dan aroma wangi itu berasal dari
makanan yang sepertinya sedang berusaha dihabiskan. Apa itu? Scones?
Yokshire atau? Bagaimana bisa dia mendapatkan camilan seperti
itu di stasiun? Eh? Kenapa pula Kemala
harus bersikeras mengeja aroma wangi itu.. perutnya sudah tidak bisa di
toleransi ternyata.
Giliran
Kemala yang melakukan check in, ia
sempat mengernyit bingung ketika petugas di depannya justru mengalihkan
pandangan pada deretan lain dibelakang Kemala. Dan yang Kemala lihat petugas
itu menudingkan telunjuknya sambil berkata tegas namun tetap berusaha sopan, “Just take off your food, Sir.”
Kemala
akhirnya tidak tahan untuk menoleh, ternyata
pemilik makanan beraroma wangi itu seorang pemuda yang... sepertinya sebaya
dengan dirinya. Pemuda itu mengenakan polo shirt putih, sebuah jacket kulit berwarna
hitam, celana jeans dan sebuah sneakers putih. Kemala tidak menemukan ekspresi
matanya karena
tertutupi sebuah eyeglassess hitam.
Mungkin kalau Kemala tebak, pemuda itu tengah melempar pelototan pada si
petugas karena mengganggu kegiatan makannya.
Tidak
berselang lama, pemuda itu kembali dengan tangan kosong, dan kini giliran ia
yang melakukan check in tiket, sementara Kemala segera bergegas
pergi. Meninggalkan sebuah kebetulan yang sebenarnya akan menjadi sebuah permulaan.
*
Kereta yang ditumpangi Kemala akhirnya menempi di
Birmingham New Street Station,
setelah menempuh perjalanan hampir dua jam dari London– Birmingham.
Gadis itu hanya membawa sebuah ransel kecil, dan sebuah
buklet di tangannya. Cover buklet
tersebut bertuliskan, University of
Birmingham. Senyumnya mengembang ketika bangunan berwarna merah bata itu
terpampang nyata di kedua matanya.
Tidak berselang lama, seorang gadis bule sebaya dengannya
berlari menghampiri Kemala yang masih mematung di depan gedung utama, gadis itu
Alice, cucu salah satu dosen senior di universitas ini, sekaligus teman Kemala
selama ia tinggal di Birmingham.
“Hi Kemala, long time no see! Look at yourself, how
beautiful you are. Oh Damn! I really miss you!”
Kemala hanya membalas seruan Alice dengan pelukkan. Iya,
Kemala memang pernah tinggal beberapa tahun di kota ini, dan Alice adalah teman
pertama yang ia miliki ketika beranjak remaja. Sayang, karena faktor keluarga,
Kemala harus melanjutkan sekolah tingkat atas di negara keluarganya, Indonesia.
“I’m so glad to see
you again, Alice.” Kemala mengucapkan itu ketika pelukkan mereka mengendur.
“Jadi bagaimana perjalanmu dari Indonesia ke Inggris?”
tanya Alice.
“Not bad.
Meskipun aku masih memiliki paranoid terhadap ketinggian. Kamu tahu, aku lebih
baik melakukan perjalanan menggunakan kereta selama ratusan jam dibandingkan
harus naik pesawat. But, yea I enjoy the
trip.”
Alice hanya tertawa mendengar celotehan Kemala.
“Jadi bagaimana dengan Profesor?” Kemala akhirnya ingat
tujuan utamanya mengunjungi Birmingham, Profesor John Wayne, guru besar
University of Birmingham, tibat-tiba mengundangnya melalui Alice.
Alice mengedikkan bahu sekali, “Tidak tahu. Aku sudah
menghubungi kakek tua itu beberapa jam lalu. Tapi sepertinya dia masih sibuk
dengan kelas musiknya. Kamu tahu, akhir semester ini akan ada drama musikal
tahunan yang diselenggarakan oleh kampus, dan kakek terlihat sibuk sekali.”
Kemala sempat tertawa geli ketika mendengar Alice mencela
kakeknya sendiri, “Kalau beliau sedang sibuk, lantas mengapa mengundangku
kemari?”
“Kemala, wait a
minute. He call me.” Alice menudingkan ponselnya, lantas berjalan menjauh.
Kemala mengangguk kecil, hanya memperhatikan Alice yang
sepertinya sedang mengobrol serius dengan Profesor John.
“Kemala!” lagi, Alice berseru.
“Get a litle trip.
I’ll meet you at Victoria
Square. I’m sorry, he told me to meet him now.”
Kemala hanya menganga kecil, tidak terlalu paham dengan
ucapan Alice yang terburu-buru. Otaknya hanya menangkap segurat pesan, “Aku
akan segera menemuimu di Victoria Square.” Dan Kemala tidak akan ambil pusing,
memilih menuju tempat yang diperintahkan Alice.
*
Victoria
Square siang ini cukup
ramai dengan beberapa penduduk lokal, tak sedikit mahasiswa yang mengenakan sweater baseball bertuliskan Birmingham University yang
berlalu-lalang disekitar Kemala. Gadis itu memilih duduk santai di depan The River Fountain, memasang earphone
dan memilih menshuffle salah satu instrument
legendaris dari Mozart, Symphoni
in A Major.
“How could you hear
an old song like Mozart’s?”
Sebuah suara membuat Kemala terperanjat dari kegiatannya.
Suara bariton itu berasal dari pemuda disamping kirinya, yang entah datang dari
antah berantah mana.
Kemala menohok kedua mata pemuda itu dengan tatapan
tajam. Seolah menginterogasi. “Excuse,
what which you said with and old song, Sir?”
“I said, how could
you hear and old song like—”
“Is there funny
thing?” potong Kemala kesal. Ia lantas menjelajahi
pemuda itu dengan ekor mata. Tidak salah lagi, pemuda itu sepertinya orang
Asia, sama seperti dirinya.
“Aku tidak berkata bahwa lagu yang kamu dengar lucu.”
Balas pemuda itu.
“Oh God. Kamu orang Indonesia?”
Pemuda itu melirik Kemala sedikit kaget. Sempat mengumpat
dirinya sendiri karena berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Matanya sedikit
tertegun ketika bersamaan dengan itu terjadi eye contact diantara mereka. Ada sebersit rasa yang tiba-tiba
membuat hatinya bergetar diantara heningnya gelombang udara. Pemuda itu seakan
pernah menemukan mata yang serupa, meski entah dimana.
“What now?”
Kemala masih berucap sedikit kesal, karena pemuda disampingnya beberapa menit
lalu secara tidak langsung mencibir selera musiknya.
“Nope. Sorry for
asked that. Aku Gabriel.” Pemuda itu tidak lantas melanjutkan perdebatan
kecil dengan Kemala, ia hanya menyodorkan tangan kanannya.
Kemala bungkam. Ditatapnya tangan pemuda bernama Gabriel
itu dengan ragu. Ada rasa aneh yang kemudian menyelinap, entah kenapa ia takut
dengan jabatan itu, seakan ia pernah terluka, ketika menyambut uluran tangan
yang bahkan belum pernah terjadi sebelumnya.
“Kamu keberatan berkenalan denganku?”
Kemala reflek menggeleng kecil, lantas menjabat tangan
Gabriel dan
dengan cepat menyebutkan namanya. Meski ia adalah
keturunan ningrat, tetapi keluarganya tidak pernah mengajarkan Kemala untuk
memandang seseorang secara berbeda-beda.
“Terimakasih. Maaf jika perkataanku sebelumnya
menyinggung kamu.”
Kemala menggeleng pelan, “Tidak apa-apa. Tidak perlu
dibahas.”
“Selain Symphony in
A Major, instrument apalagi yang kamu suka dari Mozart?” tanya Gabriel
antusias, meski didetik berikutnya Kemala melempar tatapan seribu tanya.
“Maaf aku tidak sengaja melihat judulnya di layar
ponselmu. Jangan curiga seperti itu.”
Kemala hanya menghela nafas. Ia kembali melirik layar
ponselnya, lantas melepas satu pasang lain dari earphone yang menjutai dari
telinga kirinya.
Gabriel yang melirik Kemala menyerahkan satu pasang lain
dari earphonenya lantas tidak berlama-lama, ia meraihnya.
“Can guess the song?”
Gabriel terlihat menimang sebentar lantas mengukir
senyumnya, “Turkish March?” yang
kemudian dijawab anggukan penuh dari Kemala.
Senyum itu terukir, membuat Gabriel merasa dejavu untuk
yang kesekiankali. Demi Tuhan, ia merasa gadis disampingnya seolah adalah gadis
di masa lama yang pernah dikenalnya. Tapi di masa kapan? Usianya bahkan baru
genap 18 tahun. Dan ia yakin tidak pernah bertemu perempuan seperti Kemala.
“Kemala?”
Alice tiba-tiba muncul dengan raut wajah bingung. Ia
menatap Kemala dan laki-laki asing disamping Kemala secara bergantian. Merasa
Alice kebingungan, Kemala dengan gerak cepat berdiri, meraih sebelah kabel
earphone yang masih menjuntai ditelinga kiri Gabriel.
“Sorry, Gab. I have
to go. C’mon, Alice.”
Alice mengangguk kecil, ia terpaksa memutar balik
tubuhnya karena Kemala dengan tidak keruan mendorong bahunya hingga mereka
berdua berjalan seperti anak TK sedang bermain kereta-keretaan. Meski di benak
Kemala, ada perasaan sedikit tidak rela meninggalkan Gabriel begitu saja.
“Wait Kemala. Is he
your friend?” tanya Alice akhirnya. Menghentikan perjalanan mereka.
Kemala reflek mengangkat bahu. Ia sebenarnya tidak tahu harus
menyebut Gabriel sebagai teman atau tidak.
“How could you
leave him?”
“Kemala!” belum menjawab pertanyaan Alice, sebuah suara
menyerukan nama Kemala, dan Kemala tahu siapa pelakunya.
Pemilik suara itu, Gabriel, berlari menghampiri Kemala
dan Alice. Dan Alice, yang tidak mengerti duduk perkara diantara sahabatnya dan
lelaki asing itu memilih bergegas pergi, sebelumnya menitipkan pesan bahwa ia
akan menunggu Kemala ditempat lain.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“What?” adalah
spontan yang keluar dari bibir Kemala.
“Apa yang sedang kamu bicarakan, Gab?”
Gabriel seperti membaca seribu pertanyaan dari tatapan
mata
Kemala, ia meraih bahu gadis
itu, “Apa kita pernah bertemu
sebelumnya? Aku merasa tidak asing denganmu.”
Kemala berpikir keras, “Errr, aku juga
seperti tidak asing dengan outfit kamu hari ini.
Jangan-jangan, kamu pemuda di stasiun Marylebone yang ditegur kondektur karena
membawa makanan itu ya?”
Gabriel mengernyit. Itu memang dirinya. Tapi bukan itu,
ia seolah yakin bahwa itu bukan alasan ia merasa tidak asing dengan Kemala.
Gabriel memijat
pelipisnya, “Bukan! Aku yakin bukan itu. Aku tahu ini terdengar gila. Tapi—”
“Kemala! Profesor John sudah menunggu. Bisa tolong di percepat?” Alice berseru dari jauh, meski
dari raut wajahnya terlihat tidak enak dengan Gabriel.
“Gabriel, I have to
go. Sorry if you find no answer.
Aku sebenarnya tidak mengerti apa yang kamu bicarakan, tapi aku senang bertemu
denganmu disini. Semoga kita berjumpa lagi.”
*
Kemala berdiri disamping Alice disebuah ruangan indoor
cukup luas. Ruang musik menyerupai panggung ampitheater dengan kursi yang berjejer rapi ke atas
mengelilinginya. Di setiap dinding tua yang masih kokoh, tertempel beberapa
papan putih dengan not balok instrument-instrument klasik, juga beberapa
lukisan musisi legendaris berukuran cukup besar.
Tidak lama, Profesor John kembali dengan buklet tebal
ditangannya.
“He is 80. Jadi jangan kaget kalau bicaranya sedikit aneh
nanti.” Ingat Alice.
“Hi Kemala!”
Prof. John yang umurnya sudah hampir satu abad, masih berjalan tegap
menghampiri Kemala, lantas menjabat tangan gadis itu.
“I have waiting for
a long time to see you. Thank you for coming here.” Ucapnya.
Kemala cepat-cepat mengangguk pelan.
“Sebenarnya ada satu lagi tamu saya. Dan kamu akan
mengerti jika sudah lengkap dengan dia disini.”
Kemala dan Alice saling beradu pandang.
“And he is here.
Gabriel, please come.”
Seorang pemuda yang tidak asing dipenglihatan Kemala
mulai menyembul masuk dari balik pintu gigantis ruang musik yang kini ia pijak.
“Oh my God. Its not
wrong. You both are really reborn!” seru Prof. John tiba-tiba.
“Saya tidak salah lagi, kalian benar-benar lahir kembali
di kehidupan yang berbeda.” Lanjutnya.
Kemala dan Gabriel memandang Prof. John heran, sementara
Alice hanya menatap Kemala iba, menyiratkan pesan serupa, he is 80, jangan
kaget kalau dia berbicara aneh.
Prof. John lantas membuka buklet tebal digenggamannya,
menelusuri halaman demi halaman.
“It is you both.
Kalian sekarang mengerti mengapa saya mengundang kalian kemari?”
“Tahun 1902, di Universitas ini pernah ada dua mahasiswa
musik yang jenius. Kalian bisa lihat..”
“Itu seperti aku!” potong Kemala, melihat sepotong gambar dari salah
satu lembar profile mahasiswa dalam
buklet tersebut.
“Dan ini kamu. Gabriel..” Prof. John ganti menyerahkan
buklet tersebut pada Gabriel.
“Selain berwajah sama, mereka juga bernama sama seperti kalian. Kemala Wulandari
dan Gabriel Aldrich. Ayah saya, dulu adalah sahabat mereka di Birmingham
University.”
“Saya tidak percaya ini. Tapi, kalian benar-benar
bereinkarnasi di kehidupan lain. Dulu, ayah saya pernah bercerita bahwa Kemala
dan Gabriel sangat dekat, sampai suatu hari Kemala kembali ke negaranya,
sedangkan Gabriel menikah dengan tunangannya, Gayatri. Ayah saya sangat
menyayangkan karena pada akhirnya mereka tidak bersama. Padahal, ayah saya
yakin kalau mereka benar-benar saling mencintai.”
“Gabriel Aldrich adalah ayah dari Kakek saya dan Gayatri
adalah istrinya.” Jawab Gabriel.
Kemala dan Prof. John menoleh bersamaan.
“Kemala Wulandari juga sebenarnya Ibu dari nenek saya.”
Muda
mudi itu saling berpandangan, kembali merasakan getar halus yang lagi-lagi
tidak mereka mengerti. Alice memandang kumpulan manusia di hadapannya
heran, Sedangkan Profesor John tersenyum
tipis, berdoa dalam hati, semoga kejadian pahit, tidak menimpa sosok-sosok
serupa dengan sahabat-sahabat mendiang Ayahnya.
"Kamu
percaya reinkarnasi?" tanya Kemala ragu.
Gabriel
memandang potret serupa Kemala dan dirinya di buklet tersebut, lantas ganti
memandang nyalang profile cantik dihadapannya.
"Aku
tidak percaya sebenarnya. Hanya.. setelah bertemu kamu dengan segala rasa yang
seolah tidak pernah asing di benakku. Aku entah kenapa perlahan yakin, kita
dipertemukan untuk merajut kisah mereka yang sempat terhenti."
Kemala
merasakan hatinya berdesir hangat seiring dengan senyumnya yang perlahan
terukir.
"Kisah
mereka yang mana?" Tanya Kemala pelan.
Perlahan,
Gabriel melangkahkan kaki jangkungnya, dan dengan gerak cepat, seolah pernah
terlatih sebelummya, ia menepuk puncak kepala Kemala, lalu menjawab.
"Tentang
hati."
*
-Do you believe reincarnation?
-FIN-haha mbak agen telat banget publish :3 disini seret wifi sih :(
voilaa ini collab ketiga kami, dan akan ada lagi karya2 kami yang lain...
jadi jangan bosen bosen bacaa...
kalau lihat chat bbm sama teteh agen itu kadang ketawa sendiri,
gimana kita mencoba menjadi satu pikiran, padahal raga kami sama sekali nggak ketemu!
atau lebih tepatnya kami belum pernah ketemu, padahal kami sama-sama tahu luar dalam :')
meskipun cerpen ini nggak jauh dari genre yang itu (lirik secret admirer) kami harap kalian sukaa..
salam bintang dandelion~
Label:
Collaborate NitaRuth^^