RSS

Sabtu, 14 Juni 2014

Di Bawah Langit Senja *cerpen chp 1*


            Apa mungkin pangeran berwajah tampan akan melihat sosokku yang tidak sempurna ini?ataukah… aku terlalu berharap pada bayang semu yang tak kunjung datang? Tetapi, yang aku tahu, terlalu berharap itu sakit.
*
Hari ini, langit begitu cerah, di guratan senja yang tersisa, aku melangkahkan kaki jenjangku, pada Bukit Harapan, sebuah taman kecil, berbentuk undakan, yang dikelilingi ilalang dan bunga aster. Tidak hanya itu, taman ini memiliki telaga kecil, juga dua pohon akasia yang berada di sebelah barat dan timur. Sudah merupakan kebiasaan, aku menghabiskan berberapa jamku untuk melihat langit hitam yang dihiasi bintang-bintang.
Namun kali ini berbeda, di sisa langit senja hari ini, aku melihat sosok tampan yang cacat tanpa cela, seorang pemuda berambut hitam eboni, dengan gaya rambut yang ditata sedemikian rupa, hingga bagian belakangnya sedikit menghadap ke atas, dia memiliki kulit sawo matang, juga wajah tegas dengan rahang sedikit tirus, pemuda itu sedang menatap langit senja, dengan mata yang setajam elang.
Entah, aku tidak tahu apa yang dilakukannya, karena aku bersembunyi di belakang ilalang, berharap dia tak dapat melihatku disini, kali ini pemuda itu tersenyum, menampilkan dua gigi gingsul yang dia punya, membuatnya semakin menawan.
Deg…
Deg…
Deg…
Aku merasakan jantungku yang memompa lebih cepat, ada yang bergemuruh disana, dan aku tidak dapat meredamnya. Perasaan ini? aku teringat Sivia, satu-satunya sahabat yang aku punya, dan satu-satunya teman yang menerimaku apa adanya, bercerita saat dia jatuh cinta. Katanya jantungnya selalu berdetak cepat saat melihat orang yang dia suka. Dan aku merasakan ini sekarang. Apa mungkin, aku jatuh cinta?
Aku menggeleng pelan, memainkan ujung rok yang kukenakan hingga kusut. Ini tidak boleh terjadi, lagi pula… siapa yang mau dengan gadis tak sempurna sepertiku?
Sekarang, yang aku lihat hanya siluet pemuda itu. Karena dia sedang membelakangi sinar matahari sekarang. Dia berdiri, tubuh tinggi tegap atletisnya yang nampak. Lagi-lagi jantungku masih saja berdetak cepat melebihi biasanya. Bahkan hanya siluet saja, membuatku merona seperti ini, sial.
Pemuda itu mulai melangkah. Meninggalkan tempatnya berpijak tadi, kemudian berjalan ke arahku, apa aku akan ketahuan memerhatikannya? Tapi, bukankah ilalang ini cukup tinggi menutupi diriku? Sesegera mungkin aku berbalik badan, membuka lembaran sketsa yang sedari tadi aku genggam, dengan pensil yang berada di tangan kananku, aku mulai membuat sketsa pemuda itu, yang menatap guratan langit senja.
Aku kembali merasakan langkah besar berjalan mendekatiku. Aku menunduk, takut-takut dia tahu, bahwa sedari tadi aku memperhatikannya dengan detail. Tapi entah kenapa, sepertinya otak, hati dan mataku tidak sejalan kali ini. aku melirik ke kiri, bertepatan dengan itu pemuda yang dari tadi aku perhatikan, melangkah disampingku dengan tatapan tak acuh.
Aku menghela napas lega. Kemudian melanjutkan sketsaku yang sempat terbengkalai berberapa menit. Aku menutup mata, kembali mengingat hal yang baru saja terjadi. Saat aku melirik tadi, aku melihat name tag pemuda yang masih mengenakan seragam sekolah itu. Mario Haling. Namanya, nama pemuda itu, yang baru saja mencuri perhatianku berberapa menit lalu.
Aku kembali menggoreskan pensilku pada permukaan kertas, sambil mengingat-ingat bagaimana pose pemuda tadi saat menatap langit. Menawan, dan tampan. Aku terperangah, selama tujuh belas tahun hidupku, aku belum pernah tertarik dengan lawan jenis seperti ini. apa betul ini cinta pertama? Atau mungkin cinta pada pandangan pertama? Entahlah.
Senja telah hilang, berganti dengan langit malam yang berhias bintang-bintang. Ah, Pikiranku masih saja penuh dengan seseorang bernama Mario itu, bolehkah aku berharap kali ini saja? aku ingin, aku dipandang sama seperti orang-orang. Aku ini berbeda, aku paham itu, dan aku tahu, secantik apapun aku,-walaupun faktanya aku merasa tidak cantik- sudah pasti seseorang bernama Mario itu tidak akan pernah bisa menerima aku yang berbeda ini.
Aku kembali menatap langit, memandang rasi bintang scorpio yang hampir menyerupai huruf “J” itu. Terkesiap, aku membulatkan bola mataku. Apa ini tanda? Dari sekian banyak bintang, pertama kali aku menemukan rasi bintang scorpio. Apa mungkin “J” berarti jangan? Jangan berharap. Atau jangan yang lain, yang jika aku melanggarnya akan berakhir luka?
Aku berbeda dari banyak orang. Disaat anak-anak sebayaku merasakan indahnya bangku sekolah, aku hanya berdiam diri dirumah. Orang bilang homeschooling menyenangkan, tapi bagiku buruk. Sangat buruk, karena aku tidak punya banyak teman. Hanya Sivia. Meskipun aku bersekolah di sekolah biasa, tidak menjamin banyak anak mau berteman denganku. Karena aku berbeda.
“Non Shilla! Sudah saya duga anda pasti disini. Tuan besar cari non di rumah. Pulang yuk non!”
“A..aa..”
Suara Bi Okky mengagetkanku. Aku masih ingin disini, menatap langit malam ditemani semilir angin, juga Aster dan ilalang yang sedang bergoyang. Ingin sekali menolak Bi Okky, tetapi aku tidak bisa mengutarakannya.
“Kok masih duduk Non? Sini bukunya Bibi bawakan.”
“A..aaa..u.. i..dak… ma..u…”
Sakit. Sakit rasanya menggetarkan pita suaraku. Aku tidak bisa bicara. Aku berbeda dari orang kebanyakan, aku jauh dari sempurna.
Bi Okky mulai memapahku, akhirnya aku menurut saja, toh Bi okky tidak tahu maksudku. Setelah berdiri dengan tumpuan kakiku, aku sedikit membersihkan rokku yang terkena kelopak ilalang. Dan, pergi meninggalkan Bukit Harapan.
*
Ke esokan harinya, aku kembali ke Bukit Harapan, kali ini di saat senja masih penuh. Karena, aku ingin melihat pemuda bernama Mario itu. Dengan sedikit keberanian, aku bersembunyi di balik ilalang. Melihat Mario yang sedang menatap lurus ke arah telaga dengan sebuah gitar disampingnya.
Ah, gitar? Gitar juga berarti musik, aku benci musik, sangat benci, karena musik yang membuatku kehilangan suaraku. Jika bertanya kenapa. Maka aku akan menceritakan dengan sedikit penyesalan.
Sejak kecil, aku bercita-cita sebagai penyanyi. Ayah dan Bunda selalu mendekatkanku pada musik, aku mulai sering bernyanyi. Hingga hari buruk itu tiba, disaat aku menggunakan nada tinggi, dan suaraku tidak bisa mencapainya. Pita suaraku putus. Walau aku beruntung, pendengaranku tidak diambil juga. Sejak saat itu, aku benci musik, sangat benci. Hingga aku terus menutup telinga saat mendengar sebuah lagu teralun manis.
Kembali aku melihat Mario, dia mengambil gitar berwarna coklat yang ada disampingnya, kemudian mulai memetiknya. Reflek aku menutup kedua telingaku. Aku mohon, jangan bermain musik, karena itu sama saja membuatku kembali terluka dan membuka luka lama. Trauma, mungkin iya. Sekarang, separuh hatiku meminta pergi dari sini secepatnya, tapi separuh hatiku yang lain meminta bertahan, Karena kabur berarti ketahuan.
Lamat-lamat aku masih mendengar suara baritone Mario yang sangat bagus. Lagu Kasih Putih dari Glen Fredly dibawakannya dengan sangat apik. Membuatku terperangah dan menurunkan tangan dari kedua telingaku.
Biarkanlah ku rasakan, hangatnya sentuhan kasihmu, bawa daku, penuhiku, berilah diriku, kasih putih dihatiku.”
Seperti sihir kasat mata, entah kenapa rasa benciku terhadap musik, berkurang dengan sangat banyak, namun, aku sedikit nyeri, bukankah itu lagu untuk orang yang sedang jatuh cinta? Apa mungkin Mario sedang jatuh cinta? Jika iya. Sudah pasti cintaku ini, bertepuk sebelah tangan.
Sakit, apa ini rasanya patah hati? Rasanya seperti sebuah tablet yang sedang digerus didalam mortir, dan sangat sakit bila stampher menumbuknya dengan keras, seperti hatiku yang utuh, kini telah menjadi pulvis baru saja.
Tapi, memang aku yang pengecut, karena aku hanya mengaguminya dari jauh. Mengaguminya diam-diam, tidak berani bertegur sapa dengannya, jika punya nyali besarpun, aku tidak tahu caranya berkenalan dengannya, karena aku tidak memiliki suara.
Setitik air mata, jatuh dari pelupuk mataku. Aku selalu dianggap rendah, hanya karena aku berbeda dari orang kebanyakan. Sekarang, aku hanya seperti punduk yang merindukan bulan. Karena hidupku selalu menyedihkan.
Seiring selesainya permainan gitar Mario, pemuda itu berdiri. menatap langit senja yang tersisa. Sambil kembali memasang headphone-nya. Dan menjijing gitar yang telah dibungkus tas dipunggung tegap miliknya. Kini, kembali berbalik membelakangi matahari, hingga yang aku lihat saat ini hanya siluetnya yang tampan. Begitu memesona, hingga aku lupa caranya bernafas.
Mario kembali berjalan ke arahku, dan dengan spontan, aku berbalik badan dan menggengam lembaran sketsaku erat. Menunduk dan terus merunduk, hingga aku merasakan dia telah lewat disampingku, dan tidak sedetikpun melirik kepadaku.
Saat aku yakin, Mario telah pergi dari sini, aku juga meninggalkan tempat ini, sambil membayangkan siluet Mario yang akan aku lukis malam ini.
*
Dengan modal nekat, dan tidak peduli dengan air mata yang telah tumpah kemarin, aku masih saja suka memandang Mario dari jauh, mungkin bagi yang penglihatanya sedang bermasalah karena cinta sepertiku, siluet yang notabennya berwarna hitam, dan sama sekali tidak melihatkan wajah akan dianggap tampan.
Kali ini, aku melihat Mario bersama dua orang temannya, yang satu berwajah hampir mirip dengan Mario, namun lebih pendek darinya, sedangkan yang satunya berkulit putih dan bermata sipit seperti orang cina. Walaupun seperti itu, pesona Mario-lah yang telah tertanam kuat dihatiku. Menganguminya dari jauh, itu kurasa sangat cukup.
Aku bersembunyi di balik pohon akasia yang berada di sebelah timur, yang letaknya lebih jauh dari tempat biasa aku mengamatinya. Aku takut jika Mario, atau salah satu temannya melihatku. Meskipun begitu, percakapan mereka masih terdengar jelas. Membuatku semakin takut untuk berharap lebih dari ini.
Sekarang, aku melihat Mario masih asik dengan komik berjudul Naruto yang dia pegang. Hingga temannya yang bermata sipit merebut komiknya dengan paksa.
“Hei broo! Gimana nih? Sama anak perempuan yang lo suka?”
Aku melihat Mario mendengus, kemudian berusaha mengambil komiknya lagi. “Kenal aja enggak, gimana mau ada kemajuan.” ucapnya dengan nada datar.
Entah kenapa, percakapan mereka membuat kupingku memanas.
Pemuda yang wajahnya hampir mirip dengan Mario, terlihat melerai kedua temannya. “Udahlah Vin! Berhenti godain Rio, lo tahu sendiri kan, seberapa dinginnya dia sama cewek? Jatuh cinta aja baru sekali, gimana cintanya mau tersambut?”
Sakit, semakin sakit. Aku ingin segera menghilang dari tempat ini sekarang, andai saja aku mempunyai jurus berpindah tempat…
Ternyata, Rio nama panggilannya. Aku membatin  nama itu dengan getir. Mengingat wajah angkuh yang selalu dia pasang saat menatap senja, seperti salah satu tokoh anime naruto yang baru saja dia baca, Uchiha Sasuke, pemuda pendiam, yang mempunyai pesona kuat untuk memikat.
Aku yang masih bersembunyi di balik pohon akasia, mencoba mengintip, hingga aku melihat Rio berdecak pinggang seperti menahan amarah.
“Cih. Bully aja gue terus, parah lo Gabriel! Gue kira lo ngebela gue, ternyata, sama aja kaya’ Alvin, ck.”
Terlihat pemuda yang dipanggil Gabriel dan Alvin itu masih saja mempertahankan cengiran lebar mereka.
“Santai bro… kita kan cuma bercanda, lo pasti bisa kok dapetin cewek yang lo mau, secara mana ada yang tahan sama pesona bungsu keluarga Haling? Tapi tetep aja pesona lo masih kalah sama gue, secara sampai sekarang lo masih aja jomblo!” Sahut pemuda yang bermata sipit.
Rio hanya terdiam, melirik Alvin dengan mata elangnya yang tajam.
Sedangkan Gabriel, terlihat memegang ujung dagunya, seperti berfikir. “Lo katanya kesini mau nyeritain gimana cewe yang lo suka itu? Sekarang mana nih? Malah asik baca komik Naruto, elah itu Madara udah berubah jadi Kaguya, kenapa lo masih stuck di part team saven re-born?
Rio hanya memamerkan smirk andalannya. “Gue cuma pengen baca ulang.  Lagi pula, apasih yang gue nggak ngerti tentang anime naruto? Lo tahu kan? betapa gue suka sama anime satu itu. Dan, tentang cewek yang gue suka, dia berbeda. Itu aja.”
Alvin menaikkan sebelah alisnya. “Ya…ya, gue tahu betapa lo cinta sama anime karangan Masashi Kishimoto-sensei itu. Sampai-sampai lo sama dinginnya seperti Sasuke Uchiha. Tapi, sesempurna apa sih gadis yang bisa menaklukan hati pangeran Rio?”
Rio mendesah, kemudian menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. “Kekurangannya yang membuat dia sempurna. Hanya itu.”
Aku hanya mendesah kecewa. Patah hati itu sakit ya. Rio adalah sosok sempurna, wajah tampan, pintar (karena aku sempat melihat dia mengajari teman-temannya sebelum percakapan ini dimulai.) memiliki pesona kuat, membuatnya semakin mirip dengan Sasuke Uchiha. Tetapi, jika Rio di ibaratkan dengan Sasuke, berarti dia juga terlalu dingin dan terlalu sulit untuk diraih. Aku harus paham itu.
Sedangkan aku? Hanya seorang gadis biasa yang memiliki banyak kekurangan. Dan terlebih, aku ini berbeda, apa yang aku harapkan? Bersanding dengannya? Bahkan jika aku berteman dengannya itu sudah lebih dari cukup.
Di bawah langit senja, aku kembali menangis dalam diam. Menangisi orang yang sama, Mario Haling. Dengan rasa perih yang masih terasa. Aku menggoreskan pensilku pada sebuah kertas, wajah Rio yang sedang tersenyum selesai aku buat.
Setelah merasa Rio dan kawan-kawannya telah pergi meninggalkan tempat ini, aku masih terpukau pada keindahan langit malam. Jika Rio menyukai senja, maka aku menyukai malam. Itu membuat kami semakin jauh dari kata sama.
“Shilla! Kamu disini? Aku cari kemana-mana tahu!” pandanganku beralih pada Sivia yang mengagetkanku dengan suara nyaringnya.
“A…aa..” aku masih mencoba untuk berbicara.
“Iya.. iyaa aku tahu kamu suka lihat bintang, tapi ingat waktu dong! Yuk pulang.”
Aku terdiam.
“Kamu mau cerita? Cerita saja kalau mau. Aku kan selalu ada untukmu!”
Ah, Sivia memang selalu tahu apa maksudku. Aku sangat bersyukur mempunyai sahabat sepertinya.
“A..aa.. ja..uh..” aku menggeleng pelan. Kemudian menulis di lembaran kosong yang kebetulan aku bawa.
Apa jatuh cinta itu sakit? Kenapa patah hati sesakit ini? tulisku disana.
“Wow! Ashilla jatuh cinta? Ini perlu diberi penghargaan! Siapa pemuda beruntung itu eh?”
Aku kembali menulis, aku tidak mengenalnya. Tapi yang aku tahu namanya Mario Haling.
Sivia kembali memberikan tingkah heboh yang membuatku tertawa. “Oh My God Shilla! Sepertinya nama itu familiar, entahlah. Tapi aku yakin entah siapa nanti, dia pasti mau menerimamu apa adanya.”
Aku hanya meringis. Berharap yang terbaik.
“Sekarang pulang yuk!” ajak Sivia.
Aku mengangguk. Membiarkan Sivia merangkulku.
*
Lagi, entah kenapa sikap keras kepala yang memenangkan otakku sekarang, Rio telah berulang kali membuat hatiku sakit tanpa dia sadari, tapi tetap saja, aku masih ingin melihatnya di bawah langit senja.
Sekarang, tidak ada sosok teman yang ada disampingnya seperti waktu itu. Sedangkan aku disini, terpaku dengan berberapa sketsa Rio yang baru saja aku buat. Wajah Rio saat mendengus, tersenyum, berdecak pinggang, juga… gambar siluetnya saat menatap langit senja. Entah kenapa, aku sangat menyukai gambar ini, gambar siluet Rio, yang aku buat khusus, bukan sketsa seperti yang lain. Gambar ini aku buat dengan berberapa warna sehingga terlihat nyata.
Rio terlihat memandang lurus ke arah telaga, sambil memetik gitarnya dan mulai bernyanyi. Aku mohon jangan lagi membuatku semakin membenci musik.
Aku mau mendampingi dirimu, aku mau cintai kekuranganmu, selalu bersedia bahagiakanmu… apapun terjadi… ku janjikan aku ada…”
Jika saja, lagu itu dinyanyikan untukku secara khusus. Mungkin traumaku dengan musik akan hilang begitu saja, dan aku akan menjadi manusia paling bahagia saat itu. Namun, faktanya berbeda. Aku disini, dibalik ilalang yang bergoyang tertiup angin, ingin mencoba berharap, tetapi terlalu takut jika akhirnya hanya berakhir dengan harapan kosong.
Aku menatap nanar berbagai gambar sketsa Rio. Siapa aku? Bukan siapa-siapanya kan? Bahkan teman saja bukan. Aku kembali menghela napas. Cinta pertama tidak selalu berakhir indahkan? Mungkin saatnya aku harus melepas rasa ini.
Suara baritone Rio sama sekali tidak aku dengar. Hingga angin berukuran besar menubruk tubuhku dan menerbangkan seluruh sketsaku. Sial! Bagaimana jika Rio melihatnya?
Dengan cepat aku mulai memungut lembaran kertas yang berceceran. Takut, Rio melihat semua ini. tapi, saat aku memungut gambar terakhir, sebuah tangan kokoh memengang tanganku.
“Tunggu.” ucapnya datar.
Aku memberanikan diri untuk mendongak. Rio dihadapanku sekarang. Menatapku dengan mata elangnya yang tajam, gawat! Aku harus bagaimana?
“Itu aku kan?” dia bertanya.
Aku menunduk. Berusaha melepas genggaman tangan Rio yang mengerat.
“Hei… lihat aku.” dia kembali berucap.
Setelah merasakan genggaman tangannya sedikit melonggar, aku menyentak tangannya, kemudian pergi dari situ. Berlari meninggalkan Rio yang masih terheran menatapku.

 

second part di :  http://hakunanitama.blogspot.com/

hihi ini sebenernya iseng sama teteh nita kerena kita sama-sama suka mendem, juga kita sama-sama lagi berusaha meraih mimpi, untuk sesuatu yang lebih tinggi dari mimpi itu sendiri. #apadeh
^^ semoga banyak yang sukaa.. tunggu kolaborasi yang lebih greget dari kitaa yaa^^ 
Arigatou ;)