Apa mungkin
pangeran berwajah tampan akan melihat sosokku yang tidak sempurna ini?ataukah…
aku terlalu berharap pada bayang semu yang tak kunjung datang? Tetapi, yang aku
tahu, terlalu berharap itu sakit.
*
Hari
ini, langit begitu cerah, di guratan senja yang tersisa, aku melangkahkan kaki
jenjangku, pada Bukit Harapan, sebuah taman kecil, berbentuk undakan, yang
dikelilingi ilalang dan bunga aster. Tidak hanya itu, taman ini memiliki telaga
kecil, juga dua pohon akasia yang berada di sebelah barat dan timur. Sudah
merupakan kebiasaan, aku menghabiskan berberapa jamku untuk melihat langit
hitam yang dihiasi bintang-bintang.
Namun
kali ini berbeda, di sisa langit senja hari ini, aku melihat sosok tampan yang
cacat tanpa cela, seorang pemuda berambut hitam eboni, dengan gaya rambut yang ditata sedemikian rupa, hingga
bagian belakangnya sedikit menghadap ke atas, dia memiliki kulit sawo matang,
juga wajah tegas dengan rahang sedikit tirus, pemuda itu sedang menatap langit
senja, dengan mata yang setajam elang.
Entah,
aku tidak tahu apa yang dilakukannya, karena aku bersembunyi di belakang
ilalang, berharap dia tak dapat melihatku disini, kali ini pemuda itu
tersenyum, menampilkan dua gigi gingsul yang dia punya, membuatnya semakin
menawan.
Deg…
Deg…
Deg…
Aku
merasakan jantungku yang memompa lebih cepat, ada yang bergemuruh disana, dan
aku tidak dapat meredamnya. Perasaan ini? aku teringat Sivia, satu-satunya
sahabat yang aku punya, dan satu-satunya teman yang menerimaku apa adanya,
bercerita saat dia jatuh cinta. Katanya jantungnya selalu berdetak cepat saat
melihat orang yang dia suka. Dan aku merasakan ini sekarang. Apa mungkin, aku
jatuh cinta?
Aku
menggeleng pelan, memainkan ujung rok yang kukenakan hingga kusut. Ini tidak
boleh terjadi, lagi pula… siapa yang mau dengan gadis tak sempurna sepertiku?
Sekarang,
yang aku lihat hanya siluet pemuda itu. Karena dia sedang membelakangi sinar
matahari sekarang. Dia berdiri, tubuh tinggi tegap atletisnya yang nampak.
Lagi-lagi jantungku masih saja berdetak cepat melebihi biasanya. Bahkan hanya
siluet saja, membuatku merona seperti ini, sial.
Pemuda
itu mulai melangkah. Meninggalkan tempatnya berpijak tadi, kemudian berjalan ke
arahku, apa aku akan ketahuan memerhatikannya? Tapi, bukankah ilalang ini cukup
tinggi menutupi diriku? Sesegera mungkin aku berbalik badan, membuka lembaran
sketsa yang sedari tadi aku genggam, dengan pensil yang berada di tangan
kananku, aku mulai membuat sketsa pemuda itu, yang menatap guratan langit
senja.
Aku
kembali merasakan langkah besar berjalan mendekatiku. Aku menunduk, takut-takut
dia tahu, bahwa sedari tadi aku memperhatikannya dengan detail. Tapi entah
kenapa, sepertinya otak, hati dan mataku tidak sejalan kali ini. aku melirik ke
kiri, bertepatan dengan itu pemuda yang dari tadi aku perhatikan, melangkah
disampingku dengan tatapan tak acuh.
Aku
menghela napas lega. Kemudian melanjutkan sketsaku yang sempat terbengkalai
berberapa menit. Aku menutup mata, kembali mengingat hal yang baru saja
terjadi. Saat aku melirik tadi, aku melihat name
tag pemuda yang masih mengenakan seragam sekolah itu. Mario Haling.
Namanya, nama pemuda itu, yang baru saja mencuri perhatianku berberapa menit
lalu.
Aku
kembali menggoreskan pensilku pada permukaan kertas, sambil mengingat-ingat bagaimana
pose pemuda tadi saat menatap langit. Menawan, dan tampan. Aku terperangah,
selama tujuh belas tahun hidupku, aku belum pernah tertarik dengan lawan jenis
seperti ini. apa betul ini cinta pertama? Atau mungkin cinta pada pandangan
pertama? Entahlah.
Senja
telah hilang, berganti dengan langit malam yang berhias bintang-bintang. Ah,
Pikiranku masih saja penuh dengan seseorang bernama Mario itu, bolehkah aku
berharap kali ini saja? aku ingin, aku dipandang sama seperti orang-orang. Aku
ini berbeda, aku paham itu, dan aku tahu, secantik apapun aku,-walaupun
faktanya aku merasa tidak cantik- sudah pasti seseorang bernama Mario itu tidak
akan pernah bisa menerima aku yang berbeda ini.
Aku
kembali menatap langit, memandang rasi bintang scorpio yang hampir menyerupai
huruf “J” itu. Terkesiap, aku membulatkan bola mataku. Apa ini tanda? Dari
sekian banyak bintang, pertama kali aku menemukan rasi bintang scorpio. Apa
mungkin “J” berarti jangan? Jangan
berharap. Atau jangan yang lain, yang jika aku melanggarnya akan berakhir luka?
Aku
berbeda dari banyak orang. Disaat anak-anak sebayaku merasakan indahnya bangku
sekolah, aku hanya berdiam diri dirumah. Orang bilang homeschooling menyenangkan, tapi bagiku buruk. Sangat buruk, karena
aku tidak punya banyak teman. Hanya Sivia. Meskipun aku bersekolah di sekolah
biasa, tidak menjamin banyak anak mau berteman denganku. Karena aku berbeda.
“Non
Shilla! Sudah saya duga anda pasti disini. Tuan besar cari non di rumah. Pulang
yuk non!”
“A..aa..”
Suara
Bi Okky mengagetkanku. Aku masih ingin disini, menatap langit malam ditemani
semilir angin, juga Aster dan ilalang yang sedang bergoyang. Ingin sekali
menolak Bi Okky, tetapi aku tidak bisa mengutarakannya.
“Kok
masih duduk Non? Sini bukunya Bibi bawakan.”
“A..aaa..u..
i..dak… ma..u…”
Sakit.
Sakit rasanya menggetarkan pita suaraku. Aku tidak bisa bicara. Aku berbeda
dari orang kebanyakan, aku jauh dari sempurna.
Bi
Okky mulai memapahku, akhirnya aku menurut saja, toh Bi okky tidak tahu
maksudku. Setelah berdiri dengan tumpuan kakiku, aku sedikit membersihkan rokku
yang terkena kelopak ilalang. Dan, pergi meninggalkan Bukit Harapan.
*
Ke
esokan harinya, aku kembali ke Bukit Harapan, kali ini di saat senja masih
penuh. Karena, aku ingin melihat pemuda bernama Mario itu. Dengan sedikit
keberanian, aku bersembunyi di balik ilalang. Melihat Mario yang sedang menatap
lurus ke arah telaga dengan sebuah gitar disampingnya.
Ah,
gitar? Gitar juga berarti musik, aku benci musik, sangat benci, karena musik
yang membuatku kehilangan suaraku. Jika bertanya kenapa. Maka aku akan
menceritakan dengan sedikit penyesalan.
Sejak
kecil, aku bercita-cita sebagai penyanyi. Ayah dan Bunda selalu mendekatkanku
pada musik, aku mulai sering bernyanyi. Hingga hari buruk itu tiba, disaat aku
menggunakan nada tinggi, dan suaraku tidak bisa mencapainya. Pita suaraku
putus. Walau aku beruntung, pendengaranku tidak diambil juga. Sejak saat itu,
aku benci musik, sangat benci. Hingga aku terus menutup telinga saat mendengar
sebuah lagu teralun manis.
Kembali
aku melihat Mario, dia mengambil gitar berwarna coklat yang ada disampingnya,
kemudian mulai memetiknya. Reflek aku menutup kedua telingaku. Aku mohon, jangan bermain musik, karena itu
sama saja membuatku kembali terluka dan membuka luka lama. Trauma, mungkin
iya. Sekarang, separuh hatiku meminta pergi dari sini secepatnya, tapi separuh
hatiku yang lain meminta bertahan, Karena kabur berarti ketahuan.
Lamat-lamat
aku masih mendengar suara baritone Mario yang sangat bagus. Lagu Kasih Putih
dari Glen Fredly dibawakannya dengan sangat apik. Membuatku terperangah dan
menurunkan tangan dari kedua telingaku.
“Biarkanlah ku rasakan, hangatnya sentuhan
kasihmu, bawa daku, penuhiku, berilah diriku, kasih putih dihatiku.”
Seperti
sihir kasat mata, entah kenapa rasa benciku terhadap musik, berkurang dengan
sangat banyak, namun, aku sedikit nyeri, bukankah itu lagu untuk orang yang
sedang jatuh cinta? Apa mungkin Mario sedang jatuh cinta? Jika iya. Sudah pasti
cintaku ini, bertepuk sebelah tangan.
Sakit,
apa ini rasanya patah hati? Rasanya seperti sebuah tablet yang sedang digerus
didalam mortir, dan sangat sakit bila
stampher menumbuknya dengan keras,
seperti hatiku yang utuh, kini telah menjadi pulvis baru saja.
Tapi,
memang aku yang pengecut, karena aku hanya mengaguminya dari jauh. Mengaguminya
diam-diam, tidak berani bertegur sapa dengannya, jika punya nyali besarpun, aku
tidak tahu caranya berkenalan dengannya, karena aku tidak memiliki suara.
Setitik
air mata, jatuh dari pelupuk mataku. Aku selalu dianggap rendah, hanya karena
aku berbeda dari orang kebanyakan. Sekarang, aku hanya seperti punduk yang
merindukan bulan. Karena hidupku selalu menyedihkan.
Seiring
selesainya permainan gitar Mario, pemuda itu berdiri. menatap langit senja yang
tersisa. Sambil kembali memasang headphone-nya.
Dan menjijing gitar yang telah dibungkus tas dipunggung tegap miliknya. Kini,
kembali berbalik membelakangi matahari, hingga yang aku lihat saat ini hanya
siluetnya yang tampan. Begitu memesona, hingga aku lupa caranya bernafas.
Mario
kembali berjalan ke arahku, dan dengan spontan, aku berbalik badan dan
menggengam lembaran sketsaku erat. Menunduk dan terus merunduk, hingga aku
merasakan dia telah lewat disampingku, dan tidak sedetikpun melirik kepadaku.
Saat
aku yakin, Mario telah pergi dari sini, aku juga meninggalkan tempat ini,
sambil membayangkan siluet Mario yang akan aku lukis malam ini.
*
Dengan
modal nekat, dan tidak peduli dengan air mata yang telah tumpah kemarin, aku
masih saja suka memandang Mario dari jauh, mungkin bagi yang penglihatanya
sedang bermasalah karena cinta sepertiku, siluet yang notabennya berwarna
hitam, dan sama sekali tidak melihatkan wajah akan dianggap tampan.
Kali
ini, aku melihat Mario bersama dua orang temannya, yang satu berwajah hampir
mirip dengan Mario, namun lebih pendek darinya, sedangkan yang satunya berkulit
putih dan bermata sipit seperti orang cina. Walaupun seperti itu, pesona
Mario-lah yang telah tertanam kuat dihatiku. Menganguminya dari jauh, itu
kurasa sangat cukup.
Aku
bersembunyi di balik pohon akasia yang berada di sebelah timur, yang letaknya
lebih jauh dari tempat biasa aku mengamatinya. Aku takut jika Mario, atau salah
satu temannya melihatku. Meskipun begitu, percakapan mereka masih terdengar
jelas. Membuatku semakin takut untuk berharap lebih dari ini.
Sekarang,
aku melihat Mario masih asik dengan komik berjudul Naruto yang dia pegang. Hingga temannya yang bermata sipit merebut
komiknya dengan paksa.
“Hei
broo! Gimana nih? Sama anak perempuan yang lo suka?”
Aku
melihat Mario mendengus, kemudian berusaha mengambil komiknya lagi. “Kenal aja
enggak, gimana mau ada kemajuan.” ucapnya dengan nada datar.
Entah
kenapa, percakapan mereka membuat kupingku memanas.
Pemuda
yang wajahnya hampir mirip dengan Mario, terlihat melerai kedua temannya.
“Udahlah Vin! Berhenti godain Rio, lo tahu sendiri kan, seberapa dinginnya dia
sama cewek? Jatuh cinta aja baru sekali, gimana cintanya mau tersambut?”
Sakit,
semakin sakit. Aku ingin segera menghilang dari tempat ini sekarang, andai saja
aku mempunyai jurus berpindah tempat…
Ternyata,
Rio nama panggilannya. Aku membatin nama
itu dengan getir. Mengingat wajah angkuh yang selalu dia pasang saat menatap
senja, seperti salah satu tokoh anime naruto
yang baru saja dia baca, Uchiha Sasuke, pemuda pendiam, yang mempunyai pesona
kuat untuk memikat.
Aku
yang masih bersembunyi di balik pohon akasia, mencoba mengintip, hingga aku
melihat Rio berdecak pinggang seperti menahan amarah.
“Cih.
Bully aja gue terus, parah lo
Gabriel! Gue kira lo ngebela gue, ternyata, sama aja kaya’ Alvin, ck.”
Terlihat
pemuda yang dipanggil Gabriel dan Alvin itu masih saja mempertahankan cengiran
lebar mereka.
“Santai
bro… kita kan cuma bercanda, lo pasti bisa kok dapetin cewek yang lo mau,
secara mana ada yang tahan sama pesona bungsu keluarga Haling? Tapi tetep aja
pesona lo masih kalah sama gue, secara sampai sekarang lo masih aja jomblo!”
Sahut pemuda yang bermata sipit.
Rio
hanya terdiam, melirik Alvin dengan mata elangnya yang tajam.
Sedangkan
Gabriel, terlihat memegang ujung dagunya, seperti berfikir. “Lo katanya kesini
mau nyeritain gimana cewe yang lo suka itu? Sekarang mana nih? Malah asik baca
komik Naruto, elah itu Madara udah berubah jadi Kaguya, kenapa lo masih stuck
di part team saven re-born?”
Rio
hanya memamerkan smirk andalannya. “Gue
cuma pengen baca ulang. Lagi pula,
apasih yang gue nggak ngerti tentang anime naruto? Lo tahu kan? betapa gue suka
sama anime satu itu. Dan, tentang cewek yang gue suka, dia berbeda. Itu aja.”
Alvin
menaikkan sebelah alisnya. “Ya…ya, gue tahu betapa lo cinta sama anime karangan
Masashi Kishimoto-sensei itu.
Sampai-sampai lo sama dinginnya seperti Sasuke Uchiha. Tapi, sesempurna apa sih
gadis yang bisa menaklukan hati pangeran Rio?”
Rio
mendesah, kemudian menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.
“Kekurangannya yang membuat dia sempurna. Hanya itu.”
Aku
hanya mendesah kecewa. Patah hati itu sakit ya. Rio adalah sosok sempurna,
wajah tampan, pintar (karena aku sempat melihat dia mengajari teman-temannya
sebelum percakapan ini dimulai.) memiliki pesona kuat, membuatnya semakin mirip
dengan Sasuke Uchiha. Tetapi, jika Rio di ibaratkan dengan Sasuke, berarti dia
juga terlalu dingin dan terlalu sulit untuk diraih. Aku harus paham itu.
Sedangkan
aku? Hanya seorang gadis biasa yang memiliki banyak kekurangan. Dan terlebih,
aku ini berbeda, apa yang aku harapkan? Bersanding dengannya? Bahkan jika aku
berteman dengannya itu sudah lebih dari cukup.
Di
bawah langit senja, aku kembali menangis dalam diam. Menangisi orang yang sama,
Mario Haling. Dengan rasa perih yang masih terasa. Aku menggoreskan pensilku
pada sebuah kertas, wajah Rio yang sedang tersenyum selesai aku buat.
Setelah
merasa Rio dan kawan-kawannya telah pergi meninggalkan tempat ini, aku masih
terpukau pada keindahan langit malam. Jika Rio menyukai senja, maka aku
menyukai malam. Itu membuat kami semakin jauh dari kata sama.
“Shilla!
Kamu disini? Aku cari kemana-mana tahu!” pandanganku beralih pada Sivia yang
mengagetkanku dengan suara nyaringnya.
“A…aa..”
aku masih mencoba untuk berbicara.
“Iya..
iyaa aku tahu kamu suka lihat bintang, tapi ingat waktu dong! Yuk pulang.”
Aku
terdiam.
“Kamu
mau cerita? Cerita saja kalau mau. Aku kan selalu ada untukmu!”
Ah,
Sivia memang selalu tahu apa maksudku. Aku sangat bersyukur mempunyai sahabat
sepertinya.
“A..aa..
ja..uh..” aku menggeleng pelan. Kemudian menulis di lembaran kosong yang
kebetulan aku bawa.
Apa jatuh cinta itu sakit? Kenapa
patah hati sesakit ini? tulisku disana.
“Wow!
Ashilla jatuh cinta? Ini perlu diberi penghargaan! Siapa pemuda beruntung itu
eh?”
Aku
kembali menulis, aku tidak mengenalnya.
Tapi yang aku tahu namanya Mario Haling.
Sivia
kembali memberikan tingkah heboh yang membuatku tertawa. “Oh My God Shilla!
Sepertinya nama itu familiar,
entahlah. Tapi aku yakin entah siapa nanti, dia pasti mau menerimamu apa
adanya.”
Aku
hanya meringis. Berharap yang terbaik.
“Sekarang
pulang yuk!” ajak Sivia.
Aku
mengangguk. Membiarkan Sivia merangkulku.
*
Lagi,
entah kenapa sikap keras kepala yang memenangkan otakku sekarang, Rio telah
berulang kali membuat hatiku sakit tanpa dia sadari, tapi tetap saja, aku masih
ingin melihatnya di bawah langit senja.
Sekarang,
tidak ada sosok teman yang ada disampingnya seperti waktu itu. Sedangkan aku
disini, terpaku dengan berberapa sketsa Rio yang baru saja aku buat. Wajah Rio
saat mendengus, tersenyum, berdecak pinggang, juga… gambar siluetnya saat
menatap langit senja. Entah kenapa, aku sangat menyukai gambar ini, gambar
siluet Rio, yang aku buat khusus, bukan sketsa seperti yang lain. Gambar ini
aku buat dengan berberapa warna sehingga terlihat nyata.
Rio
terlihat memandang lurus ke arah telaga, sambil memetik gitarnya dan mulai
bernyanyi. Aku mohon jangan lagi membuatku semakin membenci musik.
“Aku mau mendampingi dirimu, aku mau cintai
kekuranganmu, selalu bersedia bahagiakanmu… apapun terjadi… ku janjikan aku
ada…”
Jika
saja, lagu itu dinyanyikan untukku secara khusus. Mungkin traumaku dengan musik
akan hilang begitu saja, dan aku akan menjadi manusia paling bahagia saat itu.
Namun, faktanya berbeda. Aku disini, dibalik ilalang yang bergoyang tertiup
angin, ingin mencoba berharap, tetapi terlalu takut jika akhirnya hanya
berakhir dengan harapan kosong.
Aku
menatap nanar berbagai gambar sketsa Rio. Siapa aku? Bukan siapa-siapanya kan?
Bahkan teman saja bukan. Aku kembali menghela napas. Cinta pertama tidak selalu
berakhir indahkan? Mungkin saatnya aku harus melepas rasa ini.
Suara
baritone Rio sama sekali tidak aku dengar. Hingga angin berukuran besar
menubruk tubuhku dan menerbangkan seluruh sketsaku. Sial! Bagaimana jika Rio
melihatnya?
Dengan
cepat aku mulai memungut lembaran kertas yang berceceran. Takut, Rio melihat
semua ini. tapi, saat aku memungut gambar terakhir, sebuah tangan kokoh
memengang tanganku.
“Tunggu.”
ucapnya datar.
Aku
memberanikan diri untuk mendongak. Rio dihadapanku sekarang. Menatapku dengan
mata elangnya yang tajam, gawat! Aku harus bagaimana?
“Itu
aku kan?” dia bertanya.
Aku
menunduk. Berusaha melepas genggaman tangan Rio yang mengerat.
“Hei…
lihat aku.” dia kembali berucap.
Setelah
merasakan genggaman tangannya sedikit melonggar, aku menyentak tangannya,
kemudian pergi dari situ. Berlari meninggalkan Rio yang masih terheran
menatapku.
second part di : http://hakunanitama.blogspot.com/
hihi ini sebenernya iseng sama teteh nita kerena kita sama-sama suka mendem, juga kita sama-sama lagi berusaha meraih mimpi, untuk sesuatu yang lebih tinggi dari mimpi itu sendiri. #apadeh
^^ semoga banyak yang sukaa.. tunggu kolaborasi yang lebih greget dari kitaa yaa^^
Arigatou ;)
hihi ini sebenernya iseng sama teteh nita kerena kita sama-sama suka mendem, juga kita sama-sama lagi berusaha meraih mimpi, untuk sesuatu yang lebih tinggi dari mimpi itu sendiri. #apadeh
^^ semoga banyak yang sukaa.. tunggu kolaborasi yang lebih greget dari kitaa yaa^^
Arigatou ;)