SUMMER
RAIN
Karena
hujan musim panas, selalu mengingatkanku pada kenangan yang telah lalu.
Kenangan
yang mengingatkanku, pada kamu.
Butiran
air kembali meluruh dari langit. Namun aku enggan beranjak, membiarkan tubuhku
perlahan basah karenanya. Ini masih musim panas, dan matahari masih sedikit
menampakan sinarnya. Tadi cuaca begitu panas, dan hujan baru saja mengubahnya
perlahan. Aku suka hujan di musim panas, karena harum petrichor yang lebih tajam. Pun, hujan musim panas, kembali
mengingatkanku pada dia.
Dia,
pemuda yang hadir tak terduga, seperti hujan di musim panas, cinta pertamaku.
Ya,
setiap manusia punya cerita tersendiri bagaimana mereka bertemu dengan cinta
pertamanya.
Begitupun
denganku. Semua berawal dari hujan di musim panas. Aku saat itu nekat menerobos
hujan karena tak kunjung reda, dan dia yang sama sekali tidak aku kenal,
berjalan menghampiriku, dan rela berbagi payung denganku.
“Tidak
baik anak gadis berlari di tengah hujan. Bajumu hampir basah seluruhnya.” Dia berujar
dengan senyuman, senyum yang mengingatkanku pada petrichor, meneduhkan.
Aku
tidak tahu apa yang membuatnya mengikutiku, kemanapun aku melangkah, padahal
kami tidak saling mengenal. Dan diam-diam, aku melihat parasnya. Dia selalu
tersenyum, dan menyapa semua orang yang ia jumpai. Padahal, aku tidak
sepenuhnya yakin dia mengenal semua orang yang ia sapa.
“Kenapa
melihatku seperti itu? Menyukaiku?” saat itu, dia bertanya lagi, sembari
menaikan alis.
Saat
itu, aku membuang muka, memasang wajah garang. “Apa kamu orang jahat yang
sedang mengambil kesempatan pada seorang gadis? Aku tidak mengenalmu. Dan kamu
dengan suka rela membagi payungmu denganku.”
Aku
kembali berlari, dan ia kembali menyamakan langkah denganku. Dan ditengah
guyuran air yang jatuh, ia mengucapkan namanya, Revan. Dan aku tak tahu, bahwa
setelahnya, nama itulah yang terukir dihatiku untuk kali pertama.
Revan,
yang kutahu dia dan aku berasal dari sekolah yang berbeda. Dia berada dua
tingkat di atasku. Aku, tidak tahu darimana dia muncul dengan payung biru
dongker miliknya, dan berbagi payung denganku. Tidak ada yang spesial, selain
kami adalah partner berbagi payung
saat hujan turun.
Aku
tidak tahu, bagaimana, dan kapan tepatnya aku mulai menyadari perasaan asing
yang menyapaku untuk kali pertama, yang pasti, ketika tiba-tiba hujan turun,
aku berharap dia dihadapanku, dan mengulang kejadian pada senja berhujan itu,
lagi, dan lagi.
Namun
aku lupa, jika jatuh cinta, akan diberikan sekaligus dengan rasa sakitnya. Apalagi,
cinta yang dirasakan dengan diam-diam. Pada satu hujan di musim panas, dia
tidak ada. Dia tidak berlari kearahku dengan senyuman meneduhkan miliknya. Satu
jam berlalu, hujan masih turun, dan dia sama sekali tidak ada.
Aku,
kembali menerobos hujan, dan kekecewaanku berlipat ganda ketika mendapati dirinya
menepuk kepala seorang gadis. Mereka berjalan beriringan dan memasuki Toko
Aksesoris. Seharusnya, aku tidak pernah jatuh cinta kepada dia. Kami hanya dua
orang yang kebetulan bertemu sewaktu hujan. Kami bukan sahabat yang telah lama
mengenal, dan bahkan disebut sebagai teman, rasanya hubungan kami-pun sangat
jauh dari itu.
Maka,
yang aku bisa lakukan adalah menyimpannya sebagai kenangan. Kenangan yang aku
dapat dikala hujan musim panas. Berterimakasih diam-diam padanya yang seperti
pelangi, keindahan yang hanya bisa dirasakan dalam sekejap, dan juga untuk luka
yang diam-diam dia beri tanpa menyadarinya. Cinta pertama yang kurasakan
delapan tahun yang lalu.
“Alea?”
Aku
kembali membuka mata, tersadar akan lamunan masa pertama putih abu-abu.
“Kamu
benar Alea? Ternyata, setelah delapan tahun berlalu, kamu masih suka
hujan-hujanan ya.”
Aku
mendongak kearahnya, Pemuda dengan wajah tegas, dan lesung pipi yang rupawan,
mengingatkanku lagi pada kenangan di hujan musim panas.
“Saya
Revan, kamu lupa?”
Ah,
benar dia rupanya. Dan aku baru benar-benar tersadar, bahwa hujan tak lagi
menyentuh kulitku, karena dia kembali merelakan payungnya untuk tidak membuatku
terkena air hujan.
Aku
hanya tersenyum tipis. Tidak tahu harus menanggapi bagaimana.
“By the way, selamat untuk peluncuran
buku ketiga kamu, meski yang pertama tetap jadi favorit. Saya ini, penggemar
beratmu lho.”
Aku
terkesiap, jika Revan membaca semua karya milikku, bisa jadi dia sadar, bahwa
aku sedang menuliskan kisah kami, dibuku pertamaku.
Dia
memintaku membawakan payungnya. Setelahnya, ia melepas jaket hitam miliknya,
dan menyampirkannya pada bahuku.
“Kamu
sudah menggigil, ayo saya antar pulang.” Ujarnya sambil menggenggam erat
tanganku.
“Saya
selalu membaca karya kamu. Dan saya selalu hadir dalam peluncuran buku kamu. Tetapi,
saya kecewa, kamu sama sekali tidak mengenali saya.”
Aku
kembali mendongak menatap dirinya yang lebih tinggi. Menyadari, bahwa pemuda
ini memang familiar dalam
pandanganku. “Maaf.” Ucapku singkat.
“Tidak
masalah, selama saya bisa menjadi Pangeran Hujan milik Alea.”
Aku
menghentikan langkah, membuatnya melakukan hal yang sama. “Maksud kamu?”
“Saya
tidak suka berbasa-basi Alea, mungkin ini terlalu mengejutkan untuk kamu. Saya
sudah mencintai kamu sejak delapan tahun yang lalu. Saya yang tiba-tiba muncul
selama hujan turun, bukanlah suatu kebetulan. Saya sahabat Adimas, kakak sepupu
kamu.”
Pengakuannya
membuatku membelalak tak percaya. “Kalau kamu benar mencintai saya selama itu,
kenapa saya pernah melihat kamu dengan seorang gadis waktu hujan turun
dipertengahan bulan Mei? Dan kenapa setelah itu, kamu tidak pernah terlihat lagi
dalam pandangan saya?”
Dia
menaikan alis. “Kamu cemburu?”
Aku
menggeleng keras, berusaha mengelak. “Saya hanya merasa tidak pantas jika
berjalan dengan seorang pemuda yang memiliki kekasih. Meski niat kamu hanya
untuk menolong saya.”
“Wanita
yang dekat dengan saya, hanya Ibu dan Aira, sepupu perempuan saya. Tiga hari
setelah pertemuan terakhir kita, saya meminta Aira untuk menemani saya ke Toko
Aksesoris. Saya berniat memberikan ini pada kamu. Tapi, setelahnya saya merasa
bahwa saya belum pantas.” Revan berkata dengan menunjukan gelang sederhana
berwarna biru dongker. Khas dirinya.
Aku
semakin tidak mengerti dengan hatiku, rasanya campur aduk, dan ada rasa lega
terseip didalamnya entah karena apa. Revan masih mengingat semua kisah kami
dengan baik, padahal delapan tahun sudah berlalu, dan kami tidak terlalu dekat.
“Adimas
berulangkali melarang saya mendekati kamu. Nyatanya, saya melanggarnya, dan
melakukan hal konyol seolah-olah pertemuan kita adalah sebuah kebetulan. Tetapi
perkataan Adimas kembali menampar saya, dan saya mungkin juga melakukan hal ini
jika itu juga terjadi pada Aira.”
“Memang
apa yang dikatakan Mas Dim?”
“Adimas
bilang, saya tidak pantas untuk kamu. Kamu adalah perempuan mandiri, bahkan di
tahun pertama SMA, kamu sudah mempunyai usaha sendiri, dan semakin mapan ketika
karya-karyamu diterbitkan. Sedangkan saya? Uang jajan saja masih minta orang
tua. Saya malu dengan diri saya sendiri selain itu, saya masih jauh dari
pangeran impian kamu.”
Aku
tidak percaya, Mas Adimas seprotektif itu padaku. Bahkan sampai melarang sahabatnya
sekeras itu. Dan aku tahu, itu melukai harga diri Revan sebagai lelaki. Rasanya
rasa sakit yang aku buat sendiri karenanya, tidak sebanding dengan luka yang ia
rasakan untuk memperjuangkanku.
“Dan
puncaknya saat saya ingin memberikan gelang ini pada kamu. Adimas melarang saya
bertemu kamu. Karena saya belum pantas untuk kamu. Maka setelah kelulusan, saya
menghilang, berusaha keras menjadi dokter dan melakukan apapun agar saya bisa
pantas bersamamu. Dan sekarang, saya sudah ada pada batas diam-diam saya. Saya tidak
mau sembunyi lagi dari kamu, dan melihat kamu dari jauh seperti yang saya
lakukan selama ini.”
Revan
menjatuhkan payungnya, membiarkan kedua tubuh kami kembali terguyur air hujan. “Alea,
jangan menyerah mempertahankan cintamu.”
Aku
tersentak, kata-kata ini adalah salah satu komentar dari salah satu pembaca
setia di buku pertamaku yang menceritakan cinta pertama yang tidak pernah bisa
diungkapkan, sekaligus quote’s yang
aku tuliskan dibuku ketigaku. Kata-kata yang entah kenapa, sederhana tetapi terasa
luar biasa. Jadi Revan ini…
Entah
apa yang mendorongku memeluknya erat, dan aku rasa, aku telah tahu jawaban
hatiku, Pemuda ini adalah cinta pertamaku, sekaligus akhirnya.
***
Aku sangka, aku yang menyimpan rasa
ini sendiri
Nyatanya,kamu telah menyimpannya
lebih lama untuk dirimu sendiri.
Aku kira, aku yang hanya merasakan
luka ini.
Tetapi, kamu merasakan luka yang
jauh lebih besar, dan tidak peduli dirimu yang tersakiti.
Yang aku tahu, kamu adalah pelangi.
Hanya sekejap untukku merasakan indahnya gradasi.
Faktanya, kamu adalah langit,
diam-diam selalu ada, tanpa mau pergi.
Awalnya, bagiku kamu adalah luka. Cinta pertama sebatas angan.
Tetapi, pada akhirnya kamu adalah keajaiban. Pembawa kenangan, penuntun masa depan.
Pangeran Hujanku.
***
Voilaa akhirnyaa saya post cerpen lagi. Dan ini terinspirasi dari lagu summer rain dr Gfriend. Jadi saya sarankan ketika membacanya, dengarkan lagu itu, karena akan pas banget... Cinta pertama pembawa kenangan di musim panas.
Awalnya, bagiku kamu adalah luka. Cinta pertama sebatas angan.
Tetapi, pada akhirnya kamu adalah keajaiban. Pembawa kenangan, penuntun masa depan.
Pangeran Hujanku.
***
Voilaa akhirnyaa saya post cerpen lagi. Dan ini terinspirasi dari lagu summer rain dr Gfriend. Jadi saya sarankan ketika membacanya, dengarkan lagu itu, karena akan pas banget... Cinta pertama pembawa kenangan di musim panas.