RSS

Rabu, 27 September 2017

SUMMER RAIN



SUMMER RAIN


Karena hujan musim panas, selalu mengingatkanku pada kenangan yang telah lalu.
Kenangan yang mengingatkanku, pada kamu.

Butiran air kembali meluruh dari langit. Namun aku enggan beranjak, membiarkan tubuhku perlahan basah karenanya. Ini masih musim panas, dan matahari masih sedikit menampakan sinarnya. Tadi cuaca begitu panas, dan hujan baru saja mengubahnya perlahan. Aku suka hujan di musim panas, karena harum petrichor yang lebih tajam. Pun, hujan musim panas, kembali mengingatkanku pada dia.

Dia, pemuda yang hadir tak terduga, seperti hujan di musim panas, cinta pertamaku.

Ya, setiap manusia punya cerita tersendiri bagaimana mereka bertemu dengan cinta pertamanya.

Begitupun denganku. Semua berawal dari hujan di musim panas. Aku saat itu nekat menerobos hujan karena tak kunjung reda, dan dia yang sama sekali tidak aku kenal, berjalan menghampiriku, dan rela berbagi payung denganku.

“Tidak baik anak gadis berlari di tengah hujan. Bajumu hampir basah seluruhnya.” Dia berujar dengan senyuman, senyum yang mengingatkanku pada petrichor, meneduhkan.

Aku tidak tahu apa yang membuatnya mengikutiku, kemanapun aku melangkah, padahal kami tidak saling mengenal. Dan diam-diam, aku melihat parasnya. Dia selalu tersenyum, dan menyapa semua orang yang ia jumpai. Padahal, aku tidak sepenuhnya yakin dia mengenal semua orang yang ia sapa.

“Kenapa melihatku seperti itu? Menyukaiku?” saat itu, dia bertanya lagi, sembari menaikan alis.

Saat itu, aku membuang muka, memasang wajah garang. “Apa kamu orang jahat yang sedang mengambil kesempatan pada seorang gadis? Aku tidak mengenalmu. Dan kamu dengan suka rela membagi payungmu denganku.”

Aku kembali berlari, dan ia kembali menyamakan langkah denganku. Dan ditengah guyuran air yang jatuh, ia mengucapkan namanya, Revan. Dan aku tak tahu, bahwa setelahnya, nama itulah yang terukir dihatiku untuk kali pertama.

Revan, yang kutahu dia dan aku berasal dari sekolah yang berbeda. Dia berada dua tingkat di atasku. Aku, tidak tahu darimana dia muncul dengan payung biru dongker miliknya, dan berbagi payung denganku. Tidak ada yang spesial, selain kami adalah partner berbagi payung saat hujan turun.

Aku tidak tahu, bagaimana, dan kapan tepatnya aku mulai menyadari perasaan asing yang menyapaku untuk kali pertama, yang pasti, ketika tiba-tiba hujan turun, aku berharap dia dihadapanku, dan mengulang kejadian pada senja berhujan itu, lagi, dan lagi.

Namun aku lupa, jika jatuh cinta, akan diberikan sekaligus dengan rasa sakitnya. Apalagi, cinta yang dirasakan dengan diam-diam. Pada satu hujan di musim panas, dia tidak ada. Dia tidak berlari kearahku dengan senyuman meneduhkan miliknya. Satu jam berlalu, hujan masih turun, dan dia sama sekali tidak ada.

Aku, kembali menerobos hujan, dan kekecewaanku berlipat ganda ketika mendapati dirinya menepuk kepala seorang gadis. Mereka berjalan beriringan dan memasuki Toko Aksesoris. Seharusnya, aku tidak pernah jatuh cinta kepada dia. Kami hanya dua orang yang kebetulan bertemu sewaktu hujan. Kami bukan sahabat yang telah lama mengenal, dan bahkan disebut sebagai teman, rasanya hubungan kami-pun sangat jauh dari itu.

Maka, yang aku bisa lakukan adalah menyimpannya sebagai kenangan. Kenangan yang aku dapat dikala hujan musim panas. Berterimakasih diam-diam padanya yang seperti pelangi, keindahan yang hanya bisa dirasakan dalam sekejap, dan juga untuk luka yang diam-diam dia beri tanpa menyadarinya. Cinta pertama yang kurasakan delapan tahun yang lalu.

“Alea?”

Aku kembali membuka mata, tersadar akan lamunan masa pertama putih abu-abu.

“Kamu benar Alea? Ternyata, setelah delapan tahun berlalu, kamu masih suka hujan-hujanan ya.”

Aku mendongak kearahnya, Pemuda dengan wajah tegas, dan lesung pipi yang rupawan, mengingatkanku lagi pada kenangan di hujan musim panas.

“Saya Revan, kamu lupa?”

Ah, benar dia rupanya. Dan aku baru benar-benar tersadar, bahwa hujan tak lagi menyentuh kulitku, karena dia kembali merelakan payungnya untuk tidak membuatku terkena air hujan.

Aku hanya tersenyum tipis. Tidak tahu harus menanggapi bagaimana.

By the way, selamat untuk peluncuran buku ketiga kamu, meski yang pertama tetap jadi favorit. Saya ini, penggemar beratmu lho.”

Aku terkesiap, jika Revan membaca semua karya milikku, bisa jadi dia sadar, bahwa aku sedang menuliskan kisah kami, dibuku pertamaku.

Dia memintaku membawakan payungnya. Setelahnya, ia melepas jaket hitam miliknya, dan menyampirkannya pada bahuku.

“Kamu sudah menggigil, ayo saya antar pulang.” Ujarnya sambil menggenggam erat tanganku.

“Saya selalu membaca karya kamu. Dan saya selalu hadir dalam peluncuran buku kamu. Tetapi, saya kecewa, kamu sama sekali tidak mengenali saya.”

Aku kembali mendongak menatap dirinya yang lebih tinggi. Menyadari, bahwa pemuda ini memang familiar dalam pandanganku. “Maaf.” Ucapku singkat.

“Tidak masalah, selama saya bisa menjadi Pangeran Hujan milik Alea.”

Aku menghentikan langkah, membuatnya melakukan hal yang sama. “Maksud kamu?”

“Saya tidak suka berbasa-basi Alea, mungkin ini terlalu mengejutkan untuk kamu. Saya sudah mencintai kamu sejak delapan tahun yang lalu. Saya yang tiba-tiba muncul selama hujan turun, bukanlah suatu kebetulan. Saya sahabat Adimas, kakak sepupu kamu.”

Pengakuannya membuatku membelalak tak percaya. “Kalau kamu benar mencintai saya selama itu, kenapa saya pernah melihat kamu dengan seorang gadis waktu hujan turun dipertengahan bulan Mei? Dan kenapa setelah itu, kamu tidak pernah terlihat lagi dalam pandangan saya?”

Dia menaikan alis. “Kamu cemburu?”

Aku menggeleng keras, berusaha mengelak. “Saya hanya merasa tidak pantas jika berjalan dengan seorang pemuda yang memiliki kekasih. Meski niat kamu hanya untuk menolong saya.”

“Wanita yang dekat dengan saya, hanya Ibu dan Aira, sepupu perempuan saya. Tiga hari setelah pertemuan terakhir kita, saya meminta Aira untuk menemani saya ke Toko Aksesoris. Saya berniat memberikan ini pada kamu. Tapi, setelahnya saya merasa bahwa saya belum pantas.” Revan berkata dengan menunjukan gelang sederhana berwarna biru dongker. Khas dirinya.

Aku semakin tidak mengerti dengan hatiku, rasanya campur aduk, dan ada rasa lega terseip didalamnya entah karena apa. Revan masih mengingat semua kisah kami dengan baik, padahal delapan tahun sudah berlalu, dan kami tidak terlalu dekat.

“Adimas berulangkali melarang saya mendekati kamu. Nyatanya, saya melanggarnya, dan melakukan hal konyol seolah-olah pertemuan kita adalah sebuah kebetulan. Tetapi perkataan Adimas kembali menampar saya, dan saya mungkin juga melakukan hal ini jika itu juga terjadi pada Aira.”

“Memang apa yang dikatakan Mas Dim?”

“Adimas bilang, saya tidak pantas untuk kamu. Kamu adalah perempuan mandiri, bahkan di tahun pertama SMA, kamu sudah mempunyai usaha sendiri, dan semakin mapan ketika karya-karyamu diterbitkan. Sedangkan saya? Uang jajan saja masih minta orang tua. Saya malu dengan diri saya sendiri selain itu, saya masih jauh dari pangeran impian kamu.”

Aku tidak percaya, Mas Adimas seprotektif itu padaku. Bahkan sampai melarang sahabatnya sekeras itu. Dan aku tahu, itu melukai harga diri Revan sebagai lelaki. Rasanya rasa sakit yang aku buat sendiri karenanya, tidak sebanding dengan luka yang ia rasakan untuk memperjuangkanku.

“Dan puncaknya saat saya ingin memberikan gelang ini pada kamu. Adimas melarang saya bertemu kamu. Karena saya belum pantas untuk kamu. Maka setelah kelulusan, saya menghilang, berusaha keras menjadi dokter dan melakukan apapun agar saya bisa pantas bersamamu. Dan sekarang, saya sudah ada pada batas diam-diam saya. Saya tidak mau sembunyi lagi dari kamu, dan melihat kamu dari jauh seperti yang saya lakukan selama ini.”

Revan menjatuhkan payungnya, membiarkan kedua tubuh kami kembali terguyur air hujan. “Alea, jangan menyerah mempertahankan cintamu.”

Aku tersentak, kata-kata ini adalah salah satu komentar dari salah satu pembaca setia di buku pertamaku yang menceritakan cinta pertama yang tidak pernah bisa diungkapkan, sekaligus quote’s yang aku tuliskan dibuku ketigaku. Kata-kata yang entah kenapa, sederhana tetapi terasa luar biasa. Jadi Revan ini…

Entah apa yang mendorongku memeluknya erat, dan aku rasa, aku telah tahu jawaban hatiku, Pemuda ini adalah cinta pertamaku, sekaligus akhirnya.
***

Aku sangka, aku yang menyimpan rasa ini sendiri
Nyatanya,kamu telah menyimpannya lebih lama untuk dirimu sendiri.
Aku kira, aku yang hanya merasakan luka ini.
Tetapi, kamu merasakan luka yang jauh lebih besar, dan tidak peduli dirimu yang tersakiti.
Yang aku tahu, kamu adalah pelangi. Hanya sekejap untukku merasakan indahnya gradasi.
Faktanya, kamu adalah langit, diam-diam selalu ada, tanpa mau pergi. 
Awalnya, bagiku kamu adalah luka. Cinta pertama sebatas angan. 
Tetapi, pada akhirnya kamu adalah keajaiban. Pembawa kenangan, penuntun masa depan. 
Pangeran Hujanku. 

***

Voilaa akhirnyaa saya post cerpen lagi. Dan ini terinspirasi dari lagu summer rain dr Gfriend. Jadi saya sarankan ketika membacanya, dengarkan lagu itu, karena akan pas banget... Cinta pertama pembawa kenangan di musim panas.