RSS

Sabtu, 28 Oktober 2017

#DearPapa 3 [Anakmu Sudah Besar]





Dear Papa, di malam yang sunyi ini, aku kembali menyapa kamu.
Dan hari-hari kembali terlewat tanpa adanya kamu disisiku.

Dear Papa, seminggu yang lalu, aku berhasil mendapat gelar itu.
Hasil jerih payah dan keringatku selama ini.
Jalanku sendiri, yang aku pilih.
Saat aku naik podium, entah kenapa sesak itu semakin menggerogoti,
Ketika aku ingat, kamu tidak ada disisiku secara nyata.
Aku tidak bisa melihat senyum banggamu.

Dear Papa, farmasi tidak sedikitpun terbersit dalam bayangan cita-citaku.
Tetapi, nyatanya... ia menjadi pekerjaan hari-hariku.

Dear Papa. aku kembali mengingat pecahan dua puluh ribu, dan perjanjian kita.
Aku tidak bisa menjadi dokter, ataupun pegawai PLN yang kamu idamkan.
Apa konsekuensi yang harus aku terima ya Pa?

Dear Papa, kita sama-sama tahu, bahwa aku terikat dengan dunia fiksi sejak aku masih batita.
Dan kali ini, aku benar-benar meminta restumu, untuk mimpi yang sekarang sedang aku perjuangkan.
Menjadi penulis.
Mungkin banyak orang akan bilang aku egois, sudah mendapat pekerjaan bahkan ketika belum lulus di Rumah Sakit swasta terpercaya, aku masih tidak puas dengan apa yang aku raih.
Namun faktanya, ini mimpiku, sejak lima tahun yang lalu, meski kata gagal lebih banyak aku terima.

Dear Papa, sebentar lagi, usiaku 21 tahun, tidak inginkah kamu hadir di mimpiku?
Lagi-lagi aku rindu.
Aku ingin bercerita tentang banyak hal, termasuk... tahukah papa siapa pasangan masa depanku kelak?
Aku pikir, aku masih anak perempuan yang sedang dalam masa bertumbuh, faktanya, hampir menginjak 21, bukan angka kecil untuk anak perempuan. Aku sudah dewasa.

Dear Papa, detik ini, aku masih memegang komitmen itu.
Dan aku percaya, bahwa Tuhan sedang mempersiapkan seseorang yang terbaik untuk menjadi teman hidupku kelak.
Doakan aku agar setia dan bersabar menunggunya.
Seseorang yang bersedia membangun cinta. Seperti Papa dan Mama.

Dear Papa, masih banyak yang ingin aku ceritakan padamu.
Tetapi, semakin lama aku menulis untukmu, aku semakin rindu.
Bahagia selalu bersama Yesus di surga! dan semoga Papa bangga dengan apa yang aku raih karena Tuhan begitu luar biasa dihidupku.

with love, your daughter ;)

Sesal



Sesal.

Teruntuk kamu, seseorang yang tidak pernah aku perjuangkan.
           
           “Saya beri salep, dan untuk mengompres lukanya, ada anti nyeri, dan bengkak juga yang harus diminum. Ada yang masih dikeluhkan lagi?” aku mendengarkan dokter muda itu beragumen. Sesekali melirik adik-ku yang sedang diperban.

            “Apa obat saya, dan adik saya sama dok?” aku bertanya kemudian.

           “Hampir semua sama, ada penenang untuk adik anda yang sepertinya masih syok. Untungnya tidak ada luka serius.”

          Aku menghela napas lega. Undur diri setelahnya, karena kami sudah diberi pertolongan pertama pasca kecelakaan.

            Dengan kaki yang tertatih, Nesa menyusul langkahku. “Mas Kia, Farmasinya rame, yakin mau ngantri?”

            “Kita duduk dulu ya.” Jawabku sembari menenangkannya.

            Niat awal menghabiskan waktu dengan adik kandungku gagal total karena kecelakaan tunggal yang baru saja menimpa kami. Salahku, yang menolak istirahat dulu setelah perjalanan Jakarta-Solo dan langsung mengajak Nesa yang menjemputku berkeliling Solo saat itu juga.

           “Tanggung jawab sama Coklat ya Mas, aku nggak mau dia nginep di kantor Polisi lama-lama.”

           Coklat adalah nama Scoppy milik Nesa yang baru saja bobrok karena hasil perbuatanku. Tetapi aku masih bersyukur, kami tidak mengalami luka serius.

            “Iya Mas janji. Coklat nanti bakal mulus kayak baru lagi.” Janjiku padanya.

            “Mas? Bukannya Mbak Beth kerja disini ya? Dia di farmasi kan? Kenapa nggak minta tolong dia? Lagipula nih mas, tubuhku sakit semua gara-gara kecium aspal.”

            Beth ya? Nama itu… sosok pertama yang mengenalkanku rasanya jatuh cinta. Dengan penuh penyangkalan. Aku tesenyum miris.

            “Tahu darimana kamu dek?” aku bertanya basa-basi. Jelas, aku tahu betul, dia  bekerja disini.

            “Ibu cerita mas, tahu sendiri kan? Ibu sama Mamanya Mbak Beth itu soulmate? Lagipula aku ambil farmasi juga selain karena Mbak Raras, karena Mbak Beth juga, dia hebat banget bisa organisasi padahal laporan dua tumpuk.”

            Dia memang hebat, tetapi aku sia-siakan.

            “Ayolah mas, aku sudah nggak tahan, kakiku cenut-cenut.” Nesa masih saja merengek, dan aku masih sibuk berpikir.

            “Kalau Mas Kia nggak gerak juga, aku ambil resepnya, biar aku yang kesana.”

            Aku masih diam.

            “Kamu mau menyangkal lagi Mas? Aku nggak ngerti sama jalan pikiran Mas. Aku tahu Mbak Beth itu cinta pertama mas, tapi begitu ketemu seolah nggak peduli, Mbak Beth minta tolong, diabaikan. Malah jadian sama perempuan lain. Aku nggak ngerti kenapa Mas bilang sama Ibu, di perusahaan Mas, ada lowongan bidang QC, dan jelas-jelas Cuma Mbak Beth yang masuk kualifikasi itu! Kenapa Mas nggak bilang langsung? Kenapa harus lewat Ibu? Udah hampir sepuluh tahun lho Mas.”

            Karena Masmu, nggak punya muka untuk ketemu dia dek. Setelah apa yang Mas lakukan.

            “Masih diam aja? Mana resepnya? Biar aku yang ambil. Percuma punya kakak muka ganteng, tapi jaga hati cewek aja nggak bisa.” Sahut Nesa dengan merampas lembaran resep ditanganku.

           Terkesiap, aku menahannya. “Biar Mas aja.” Kataku, sambil merapalkan diri, bahwa aku harus memperbaiki hubungan pertemananku dengan Beth yang sempat jauh, karena ulahku yang tahu perasaan gamblangnya padaku.

            Dengan perlahan, aku maju menuju loket penyerahan resep. “Permisi mbak, Beth ada?”

          Perempuan berkacamata yang ku yakini adalah rekan Beth, langsung berbalik arah, setelah menerima resepku. Tidak lama setelah itu, sosok gadis dengan rambut terurai, tertangkap dalam kornea mataku.

            “Ada apa mbak? Aku mau pulang nih, udah jam, hehe.” Katanya dengan senyum, membuat lesung pipinya nampak. Senyum menawan yang diam-diam aku sangkal.

            “Ada yang cari.”

            Gadis itu menoleh kearahku. Senyumnya hilang. Tetapi berberapa detik kemudian, ia berusaha kembali menampilkan senyum itu.

            “Hizkia.” gumamnya singkat.

            “Hai,” sapaku. Tanpa diduga, tanganku naik, menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal karena akward moment ini. “Boleh obatku dan Nesa, kamu yang bawa?”

            Dahinya mengerut, lantas aku membaca sorot khawatir darinya. “Jadi yang kecelakaan di sebelah Rumah Sakit itu kamu dan Nesa?”

            Aku hanya mengangguk kaku. Diam-diam hatiku terasa hangat, karena dia mengkhawatirkan kami.

            “Tunggu sebentar ya. Aku sekalian kemas-kemas pulang.”

            Aku semakin merasa bersalah dibuatnya. Aku siap jika Beth pura-pura tidak mengenaliku, atau menolak mendahulukan obatku, dan melakukannya sesuai prosedur. Mengingat apa saja yang pernah aku lakukan padanya dulu. Aku bahkan meninggalkan ikatan pertemanan kami, hanya karena mengetahui perasaannya padaku.

            “Kia, Ayo! Kita duduk di pintu IGD samping Pos Satpam ya. Kasih tau Nesa juga, ada obat yang harus aku edukasi.” Katanya sambil menggenggam handphone. Terlihat menghubungi seseorang.

            Enggan menjawab, aku hanya melihat punggung kecil itu berjalan mendahului. Punggung rapuh yang bahkan aku hancurkan hatinya.

            “Kassanya diganti setiap habis mandi, jangan lupa sebelumnya dikompres. Baru dikasih salep.” Aku mendengarkannya yang dengan telaten memberi pengarahan pada kami.”

            Aku melirik Nesa yang terlihat antusias. “Mbak, tubuhku nyeri semua, kalau obatnya aku minum sekarang nggak papa kan?”

            Beth tersenyum kecil. “Nggak papa, tapi yang ini jangan, tidur di jalan kamu nanti! Lagipula, kok bisa sih, sampai jatuh gitu?”

            “Mas Kia nih, ngeyel! Ngajak muter-muter Solo dulu, karena setahun nggak pulang.”

            Dan ketika menyebut namaku, senyum gadis itu luntur.

            “Mbak Beth, kalau mau pulang, duluan aja, kami masih nunggu kabar Bapak, dari tadi nggak bisa dihubungi.” Nesa kembali berucap, ya. Adikku satu-satunya ini memang cerewet.

            “Mbak nunggu temen dulu.” Sahutnya singkat.

            Dan tidak lama setelah itu, seorang pemuda, menepuk pelan puncak kepala Beth. “Nunggu lama? Maaf ya, aku jaga di IGD, dokter Ando telat datang, jadi aku handle dulu.”

            Dan pemuda itu, adalah dokter yang memeriksaku tadi. Jadi apa Beth…?

            “Nggak papa Mas, namanya juga pelayanan.” Sahut Beth, dan aku kembali melihat senyum tulusnya yang hilang, dan raut lega, seakan dia baru saja diselamatkan dari badai. Dan aku tahu, aku-lah, badai itu.

            Dokter muda itu melirik kearahku dan Nesa. “Loh? Bukannya kalian yang saya periksa tadi ya? Sudah diambil obatnya? Sebaiknya segera istirahat di rumah.”

            Aku dan Nesa hanya mengangguk kaku.

          “Itu Hizkia, teman kecilku, dan Nesa adiknya. Aku kenal mereka Mas. Jadi selagi nunggu Mas, aku menemani mereka disini. Dan, ini Mas El, Elliot. Tunanganku.” Ucap Beth menjelaskan.

            Aku tidak tahu, kenapa rasa sesak memenuhi sanubariku. Yang pasti, aku terlambat jika mengharapkan Beth untuk menjadi lebih dari teman.

            Elliot kembali menoleh kearah kami. “Kalian sudah dijemput? Saya dengar motornya rusak parah. Untung tidak ada luka serius.”

             “Gimana Nes? Om udah ada kabar?” Beth bertanya. Dan hanya dijawab gelengan oleh Nesa.

          “Rumahnya searah dengan kita kan? Kita antar temanmu pulang Beth.” Elliot kembali bersuara.

            “Nggak merepotkan dok?” sahut Nesa, dan lagi-lagi aku hanya diam, sedang menata kembali hatiku.
            “Teman Beth, teman saya juga. Ayo ke basement. Mobil saya dibawah.”

            Aku hanya diam menutupi kecanggunganku. Berada satu mobil dengan cinta pertama dan tunangannya  merupakan hal yang paling getir dalam hidupku. Namun, mungkin ini salah satu ganjaran yang setimpal setelah hati Beth yang dulu tak pernah aku perjuangkan, melainkan aku sangkal mati-matian.

            “Syukurin! Mbak Beth udah ada tunangan, mana ganteng, tanggung jawab, dokter lagi! Mas Kia mah lewat!” dan aku mencubit pelan tangan kanan Nesa yang sedang berbisik ke arahku.

            Setelah memakan berberapa waktu, mobil Elliot memasuki pekarangan rumahku. Dan sudah saatnya aku menjadi laki-laki sejati. Aku tidak mau mengurung Beth dengan kecanggungan kami. Dan aku tahu, dia pantas berbahagia. 

            “Dok, boleh setelah ini, saya meminta waktu sebentar dengan Beth? Ada yang ingin saya bicarakan berdua dengannya. Dan terimakasih atas tumpanganya.” ungkapku. 

            “Silahkan, tidak usah formal, El saja. Sudah saya bilang, teman Beth, teman saya juga.” Jawab Elliot dengan senyum tulus.

            Aku mengangguk sebagai jawaban. Dan setelahnya, Beth mengikutiku kemana aku melangkah.

            “Aku minta maaf.” Kataku dengan yakin.

            Beth yang sedari tadi menunduk, mengangkat wajahnya. “Untuk apa?”

            Aku menghela napas. “Kelakuanku bertahun-tahun lalu, egoisku yang membuat kita jauh, dan bahkan terlalu jauh dari pertemanan.”

            “Aku yang seharusnya minta maaf, pasti kamu risih dengan apa yang aku lakukan dulu. Lupakan saja, semua sudah berlalu. Aku sudah tak punya perasaan itu ke kamu.”

            Aku tersenyum getir. “Apa kamu bahagia dengan tunanganmu Beth?”

            Gadis itu tersenyum tanpa beban. “Aku sangat bahagia. Perwujudan pasangan masa depan, dari segala yang aku doakan tiap malam, ada pada Mas Elliot. Mas Elliot adalah bukti, dari baiknya Tuhan.”

            Aku menghela napas mencoba merangkai kata. “Aku senang mendengarnya. Tetapi, kamu perlu tahu, bahwa kamu adalah cinta pertamaku, meski aku menentangnya habis-habisan. Dan bertahun-tahun aku tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan betapa aku yang bodoh menentang perasaan itu. Aku masih mencintaimu Beth, meski ribuan kali aku menyangkalnya, dan tahun berganti setelahnya.”

            Beth tertawa hambar. “Aku tidak tahu bagaimana aku harus menanggapinya, Kia. Tanpa mengelak, kamu-pun tahu, bahwa kamu adalah cinta pertamaku. Dan aku sangat senang mendengarnya, jika kamu mengatakan ini sepuluh tahun yang lalu. Tetapi, hatiku sudah tidak sama Kia. Mas El datang dan memenuhi semuanya. Tanpa sisa.”

            Dan aku tahu, tak ada lagi setitikpun aku di hatimu.

        Tanganku mengepal erat. Sesal yang hinggap memang tiada guna. Dia tak pernah kuperjuangkan, dia selalu aku abaikan, bahkan ketika dia meminta bantuan, aku menolaknya, dan sangat egois jika aku tidak melepasnya menjemput kebahagian yang hakiki. Bersama dengan pria yang ia cinta.

            “Aku tahu Beth, rasa sesal yang memenuhi diriku tidak ada artinya dengan kesakitanmu saat mencintaiku dulu. Dan aku minta maaf untuk segala yang aku lakukan, walau aku tahu, kata maaf tidak akan cukup. Berbahagialah dengan Elliot, Pria yang kaucinta.”

            Tanganku terulur, menepuk pelan puncak kepalanya. 

            “Aku sudah memaafkanmu, sejak dulu. Dan selamanya kamu akan jadi temanku, Kia. Terimakasih, kamu juga berhak bahagia, pasti ada gadis yang mendoakanmu tiap malam untuk menjemputnya.” Beth berujar tulus, setelahnya melangkah meninggalkanku, dan memeluk Elliot dengan erat. Wajahnya terlihat cerah.

            Aku berjalan menyusulnya. Tidak enak jika Elliot salah paham. Apalagi, aku sempat menepuk pelan puncak kepala Beth.

            “Aku menunggu undangan dari kalian.” ucapku tulus, “dan maaf, Mas, aku meminjam Beth sebentar, juga terimakasih, urusan kami sudah selesai.” Aku memutuskan memanggil Elliot dengan sebutan mas karena aku tahu, dia pasti jauh berada diatasku, mungkin sekitar empat tahun, karena Beth-pun memanggilnya demikian.

            “Terimakasih doanya Kia. Doakan secepatnya, karena saya sangat mencintai teman kecilmu ini.” dan aku tahu, Beth merona setelahnya.

            Sesak dan sesal itu masih hinggap, tetapi tidak ada yang lebih melegakan dibandingkan dengan melihat Beth bahagia.
**

Kamu mempertahankan rasa meski aku enggan.
Kamu memupuk rasamu, sedangkan aku memangkasnya sebelum mekar.
Kamu, seseorang yang tidak pernah aku perjuangkan.
Kamu, cinta pertama yang aku sangkal hadirnya.
Sesal tak ada arti.
Waktu tidak dapat kembali.
Aku kembali memangkas hati,
Untuk kamu, yang bahagia dengan cinta sejati.
Terimakasih telah pernah singgah,
Meski tak tertambat.
Terimakasih pernah bersabar.
Meski tak menggengam asa.
Dan, terimakasih… karena menunggu.
Meski tak pernah acuh.