RSS

Sabtu, 28 Februari 2015

LOMBA TEMA POHON KENANGAN DAN RINDU - DL 15 Maret 2015

LOMBA TEMA POHON KENANGAN DAN RINDU - DL 15 Maret 2015

OLEH : RISTY ARVEL DAN OCHA THALIB

A. LOMBA TEMA RINDU (Oleh : Risty Arvel)
Jumpa lagi di tahun 2015. Ini event pertama dari Meta Kata di tahun ini. Kali ini event yang dipandu oleh Risty Arvel mengangkat tema tentang kerinduan. Kerinduan seseorang, bisa kepada kekasih, sahabat, orang tua, nenek, kakek atau siapa pun itu. Kerinduan yang digambarkan dengan luar biasa dalam kepada orang lain. Kepada siapakah kerinduanmu tertaut?
Tak perlu berpanjang-lebar ini dia persyaratannya :
  1. Lomba terbuka untuk umum.
  2. Lomba dibuka dari tanggal 15 Februari sampai dengan 15 Maret 2015 (pukul 23:59 WIB).
  3. Membagikan info lomba ke minimal 20 teman facebook, twitter, atau posting di blog pribadi (pilih salah satu).
  4. Like FansPage “Penerbit Meta Kata” dan bergabung dalam grup “Pena Meta Kata”.
  5. Naskah dalam bentuk  :
Flash Fiction : panjang naskah maksimal 700 kata, ditambah biodata narasi maksimal 50 kata (lengkapi dengan akun facebook dan alamat email). Naskah dan biodata narasi tidak boleh dipisahkan.
Atau Puisi : panjang naskah 16 baris boleh ditulis dalam 4 bait boleh lebih dan ditambahkan biodata narasi maksimal 50 kata (lengkapi dengan akun facebook dan alamat e-mail) Biodata narasi tidak boleh dipisah dengan naskah.

  1. File naskah menggunakan format Ms. Word 2003/2007, A4, Time New Roman 12pt, spasi 1.5cm, batas margin rata-rata 3 cm (1,18 inci) untuk setiap sisi.
  2. Tulis subjek email dan nama file: Puisi/ff_judul_nama penulis jika dikirim ke arvelristy13@gmail.com
  3. Setiap peserta hanya boleh mengirimkan satu naskah terbaiknya bisa dalam bentuk Flash Fiction atau puisi.
  4. Update peserta bisa dilihat di dokumen grup “pena meta kata” dengan nama “Update Peserta event Rindu” yang dilakukan oleh Risty Arvel setiap hari senin dan kamis.
10.  Akan dipilih 2 (dua) naskah pemenang masing-masing event yang akan mendapatkan hadiah berikut:
FF terbaik : souvenir dari penerbit meta kata + Voucer Penerbitan Senilai Rp 100.000 + E-sertifikat
Puisi terbaik : souvenir dari penerbit meta kata + Voucer Penerbitan Senilai Rp 100.000 + E-sertifikat
#Catatan: Hadiah dalam bentuk VOUCHER PENERBITAN, hanya berlaku selama 6 bulan setelah pengumuman pemenang dan tidak dapat diuangkan juga tidak dapat digabungkan dengan voucher lainnya.
11.  Selain naskah pemenang, juga akan dipilih puluhan naskah nominator yang akan dibukukan bersamaan dengan naskah pemenang dan setiap nominator akan mendapatkan diskon 10% dalam pembelian buku terbit dan kontributor yang membeli akan memperoleh sertifikat cetak dan e-sertifikat yang dikirim ke e-mail.
12.  Hasil lomba akan diumumkan pada tanggal 28 maret 2015.


B. LOMBA TEMA POHON KENANGAN (AKU, KAMU DAN POHON KENANGAN KITA) oleh Bunda Ocha Thalib
Jumpa lagi di tahun 2015. Ini event pertama dari Meta Kata di tahun ini. Kali ini event yang dipandu oleh Bunda Ocha Thalib mengangkat tema tentang aku, kamu dan pohon kenangan kita.

…Ingatkah kamu pada pohon ketapang yang kita tanam mengelilingi ladang Ayahku? Pohon-pohon itu telah melebarkan ranting-rantingnya, menjulur hingga ke jalan. Mereka kini meneduhkan siapa pun yang melewatinya, mereka melindungi siapa pun dari panas atau pun hujan, seperti impian kita.
Sayangnya, mereka tak mau menghapuskan rasa takutku kehilanganmu….

Punyakah kalian kenangan tentang pohon kenangan? Atau pengalaman menggugah rasa tentang menanam pohon? Mungkin saja kan dari fiksi kalian akan menggerakkan seseorang untuk menanam pohon lebih banyak lagi, dan bukan mencoret-coretnya apalagi apabila bisa mencegah seseorang menebangnya secara sembarangan. Oke tak perlu berpanjang-panjang, ya, yuk ikutan dan simak aja persyaratannya sebagai berikut :
1. Lomba terbuka untuk umum.
2. Lomba dibuka dari tanggal 15 februari sampai dengan 15 maret 2015 (pukul 23:59 WIB).
3. Membagikan info lomba ke minimal 20 teman facebook, twitter, atau posting di blog pribadi (pilih salah satu).
4. Like FansPage “Penerbit Meta Kata” dan bergabung dalam grup “Pena Meta Kata”.
4 Naskah dalam bentuk  : Flash Fiction panjang naskah maksimal 700 kata, ditambah biodata narasi maksimal 50 kata (lengkapi dengan akun facebook dan alamat email). Naskah dan biodata narasi tidak boleh dipisahkan.
5. File naskah menggunakan format Ms. Word 2003/2007, A4, Time New Roman 12pt, spasi 1.5cm, batas margin rata-rata 3 cm (1,18 inci) untuk setiap sisi.
6. Tulis subjek email dan nama file: ff_judul_nama penulis dikirim ke pena.metakata@gmail.com
7. Setiap peserta hanya boleh mengirimkan satu naskah terbaiknya.
8. Update peserta bisa dilihat di dokumen grup “pena meta kata” dengan nama “Update Peserta event pohon kenangan”.
9. Akan dipilih 2 (dua) naskah pemenang masing-masing event yang akan mendapatkan hadiah berikut: Dua FF terbaik : souvenir dari penerbit meta kata + Voucer Penerbitan Senilai Rp 100.000 + E-sertifikat
#Catatan: Hadiah dalam bentuk VOUCHER PENERBITAN, hanya berlaku selama 6 bulan setelah pengumuman pemenang dan tidak dapat diuangkan juga tidak dapat digabungkan dengan voucher lainnya.
10. Selain naskah pemenang, juga akan dipilih puluhan naskah nominator yang akan dibukukan bersamaan dengan naskah pemenang dan setiap nominator akan mendapatkan diskon 10% dalam pembelian buku terbit dan kontributor yang membeli akan memperoleh sertifikat cetak dan e-sertifikat yang dikirim ke e-mail.
11. Hasil lomba akan diumumkan pada tanggal 28 Maret 2014



Oke, Selamat berkarya….
Salam,
a.n.
Penanggungjawab
Risty Arvel dan Bunda Ocha Thalib

15 February 2015 at 21:56
https://www.facebook.com/notes/meta-kata/lomba-tema-pohon-kenangan-dan-rindu/406355049536084?pnref=story

Minggu, 08 Februari 2015

True Love.



True Love


Aku lebih memilih dicintai, karena dicintai membuatku mengerti berbagai rasa dari kesungguhan.
**
Namanya Arsa. Pemuda pemilik lesung pipit yang entah mengapa akhir-akhir ini menarik atensiku, dia memang pernah muncul saat aku mengenakan seragam abu-abu dulu. Dengan seragam biru tua kebanggaan kantornya, ia yang selalu melempar senyum padaku entah karena apa.
       Yang aku tahu, dia teman Kakak pertamaku yang bekerja di Perusahaan Listrik Negara. Dia memang pernah menampakan diri berberapa kali dirumahku, tidak jarang dia menampilkan diri juga di gereja yang sama denganku.
Dan lagi-lagi senyum itu sama, senyum berbeda yang dia tunjukan kepadaku.
Aku kembali saat-saat dimana aku masih duduk dibangku sekolah. Aku ingat betul, ketika Rana, teman sepermainanku, selalu menyenggol lenganku saat ia diam-diam memandangku.
Saat itu, aku tidak mau mengambil kesimpulan dari pandangan diam-diamnya. Karena seminggu setelah itu, dia tidak lagi menampakan batang hidungnya. Hingga aku tahu, dia dipindah tugaskan. Bukan lagi di Semarang, bukan di kota ini.
Hingga aku tersadar, empat tahun telah berlalu setelah itu. Aku telah menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri. Dan kini, dia kembali menampakan diri dihadapanku dengan senyum yang sama.
“Hai.” sapanya sedikit kaku.
Deheman Ayahku, mengalihkan pandangan kami sejenak. “Kamu masih ingat dia Mara? Teman Mas Leksa.”
Aku hanya mengangguk dengan senyuman tipis.
Tiba-tiba dia menyodorkan se-parcel buah padaku. “Untukmu.” Katanya dengan senyuman yang masih sama.
“Terimakasih.” balasku, kemudian berlalu dari hadapannya.
Aku mengintip dari balik celah gorden. Aku tidak tahu dia siapa, tetapi dia terlihat sangat dekat dengan Ayah. Bahkan Ayah seperti kembali bernyawa, setelah seluruh Kakakku, merantau pergi ke luar kota. Aku sadar, dia berbeda.
“Kamu lihat apa Mar?” tanya Ibu yang tiba-tiba saja sudah dibelakangku.
Aku hanya menggeleng kaku, kepalang basah mengintip Ayah dan Pemuda itu berbincang.
“Dia Arsa. Teman Kakak pertamamu. Usianya tiga tahun diatasmu. Kau tahu? Dia benar-benar hebat, di usia semuda itu telah menjadi pegawai tetap di perusahaan milik Negara.”
Aku hanya memutar bola mata bosan, tidak mengerti kenapa kedua orangtuaku antusias sekali jika membahas dia.
Hari-hari setelah itu, dia semakin sering ke rumah. Dan aku tahu, buah adalah ciri khasnya. Dan jangan lupakan, dia selalu berbincang dengan Ayah.
Suatu ketika, sewaktu aku akan pergi dengan teman laki-lakiku, dia sedang bertamu di Rumah, dia masih melempar senyum padaku. Senyum yang kali ini berbeda. Aku tidak merasakan hangat dari senyuman itu, tetapi aku tidak mau ambil pusing.
Menghampiri Ayah yang ada di sampingnya, aku berpamitan dan mengecup punggung tangan Ayah. “Jangan pulang malam. Ayah tidak percaya, jika kamu pergi dengan dia.” Ucapnya. Mengerling pada pemuda yang telah menungguku di luar.
Aku hanya diam, tidak mengerti harus menanggapi.
Hingga saat menyedihkan itu tiba, Ibu pergi meninggalkan dunia karena penyakitnya. Dia ada, menggenggam tanganku, dan menepuk pelan kepalaku. “Jangan menyalahkan keadaan. Sekarang Ibumu sudah bahagia disana. Aku rasa dia telah bertemu Ayahku.”
Aku mendongak, memberanikan diri mendongak menatapnya. Mengerti arti tatapanku, dia berkata, “Ayahku sudah lama meninggal. Saat aku masih kecil.” ucapnya dengan senyuman sendu.
Mungkin, hal ini juga yang membuatnya sangat dekat dengan Ayahku. Dia telah terlalu lama kehilangan figure itu.
“Jika kamu benar-benar merindukan sosok Ibu, kamu bisa bermain ke Rumahku. Anggaplah Ibuku seperti Ibumu sendiri.” katanya lagi.
Aku hanya tersenyum kecil, hatiku kepalang hancur, ketika rasa kehilangan itu terus saja membengkak dalam relung diriku.
*
Setelah kepergian Ibu, Mas Arsa lebih terang-terangan memberikan perhatiannya padaku. Dia lebih sering ke Rumah untuk sekedar mencariku. Dia pendiam, hingga tak jarang kami membunuh senja dengan keheningan.
Ketika satu senja lagi hampir aku bunuh bersama dia, Ia menyodorkanku satu parcel buah. Hingga tanpa sengaja tangan kami bersentuhan.
“Uhm, Mara ada yang ingin aku bicarakan.”
“Sebentar, aku taruh ini di dalam dulu ya.” sahutku.
Dia menggeleng. “Tidak usah, aku hanya sebentar. Aku dinas malam.”
“Memangnya, mau berbicara tentang apa? Tenang saja, gereja masih terbuka untukmu, jika itu yang kamu takutkan.”
“Bukan, bukan soal itu.” Dia menghela napas berat, menatapku lurus. “Aku mencintaimu. Sejak melihatmu mengenakan seragam kebanggaanmu saat sekolah dulu. Maukah kamu jadi kekasihku?”
Iris hitamku membulat. Tidak menyangka pria pendiam ini, mengatakan perasaannya segamblang itu. “Aku… aku belum bisa menjawabnya.”
Dia mengangguk dengan senyuman. “Aku mengerti, tetapi aku selalu menunggu jawabanmu.” Katanya. Kemudian melangkah menjauhiku.
Aku belum bisa menjawab, karena aku belum bisa memilih. Bukan hanya dia laki-laki yang mendekatiku saat ini, aku ini wanita yang cukup peka, bisa membedakan mana rasa tertarik, dan hanya berteman biasa.
“Mara.” suara berat Ayah membuatku menoleh.
“Ayah tahu, gadis kecil Ayah satu-satunya, kini telah beranjak dewasa. Ayah yakin kamu telah merasakan cinta. Tetapi Ayah harap kamu tidak pernah salah memilih.”
Aku memandang Ayah dengan tatapan tidak mengerti. Tetapi aku yakin, dia pasti tahu, Mas Arsa baru saja menyatakan perasaannya padaku tadi.
“Ketahuilah, di dunia ini ada dua hal tentang cinta. Tentang mencintai dan dicintai. Kamu harus tahu, mencintai tidak selamanya manis. Karena belum tentu orang yang kamu cintai merasakan hal yang sama. Berbeda dengan dicintai, dicintai mengajarkanmu bagaimana arti dari kesungguhan.”
Aku masih mendengarkan Ayah yang sedang berbagi pengalamannya.
“Sebagai wanita, seharusnya kamu lebih memilih dicintai, karena wanita ditakdirkan untuk dikejar, bukan mengejar. Cinta memang tidak salah memilih, tetapi memilih cinta itu susah. Masih ingat pepatah jawa withing tresno jalaran soko kulino? Saat kamu dicintai, kamu juga bisa mencintai dia seiring berjalannya waktu.”
Aku hanya mengangguk paham.
“Ayah harap, kamu tidak salah menentukan pilihan.”
*
Setelah seminggu penuh aku mencari jawaban atas hatiku, akhirnya aku temukan jawaban itu. Dan entah suatu kebetulan atau tidak, aku berpapasan dengannya, ketika akan pulang.
“Mas Arsa!” panggilku padanya.
Dia tersenyum padaku. Senyum yang sama saat kami pertama kali bertemu.
“Aku ingin mendengar lagi pernyataanmu saat senja waktu itu. Dan aku akan menjawabnya.”
Aku terkikik, ketika menyadari ada guratan merah di kedua pipinya.
“Aku… aku mencintaimu, sejak kamu mengenakan seragam kebanggaanmu ketika sekolah dulu. Maukah kamu… jadi kekasihku?”
Aku menatapnya, dan mengangguk penuh semangat. Dan dia tersenyum lebih hangat dari biasanya.
*
Hubungan kami, selalu berjalan baik. Sikap pendiamnya yang berkebalikan dengan sikap cerewetku ini, membuat kami jarang memiliki konflik. Dia selalu mempunyai cara untuk membuatku luluh. Hingga tanpa terasa hubungan kami berada pada jenjang yang lebih serius. Ikatan pertunangan.
Pada suatu malam, diantara bintang-bintang, aku memberanikan diri bertanya kepadanya, “Apa yang membuat Mas Arsa jatuh cinta kepadaku?”
Dia tersenyum, kemudian menjawab. “Pada awalnya, rambut panjangmu membuatku tertarik, kemudian sikapmu, membuatku jatuh cinta.”
Aku memandangnya heran, “Jika kamu jatuh cinta sejak aku di bersekolah di masa putih abu-abu, kenapa kamu tidak pernah mendekatiku?”
Dia menepuk puncak kepalaku. Kemudian berkata, “Aku tidak mau mengganggu mimpi seorang gadis. Saat itu, aku juga masih pegawai baru, belum ada yang bisa aku banggakan dari diriku. Aku berani mendekatimu setelahnya, karena aku tahu, kamu hampir wisuda.”
Entah kenapa, hatiku menghangat setelahnya. Aku mulai paham arti dicintai, seperti yang Ayah katakan. Aku mulai memahami arti kesungguhan.
Dia memandang jam tangannya. Kemudian kembali menatapku. “Sudah malam sekali, aku harus pulang, aku tidak mau ketinggalan Bus.”
Aku mengrenyitkan alis heran.
“Aku pulang ke Delanggu malam ini. aku sudah tidak kost.” Sahutnya, begitu paham arti dari tatapanku.
Setelah berpamitan dengan Ayah, dan Kakak-kakakku, ia undur diri.
“Tidak menginap saja? Kamu tunangannya, Bapak rasa tidak masalah.” tanya Ayah ketika dia berpamitan.
Dia menggeleng. “Tidak Pak. Belum saatnya.”
Hatiku kembali menghangat setelah aku menyadari, dia benar-benar menghargaiku sebagai wanita, dan dia juga menjujung etika. Membuatku yakin, bahwa aku tidak salah memilih.
Karena malam benar benar larut, Aku memaksa adik bungsuku untuk turut serta mengantarnya bersamaku.
Setelah menunggu hampir dua jam, dan merasa malam semakin larut, ia menyuruh kami pulang. Tetapi aku tentu saja menolak.
“Kamu jangan keras kepala. Alan masih banyak tugas kuliah, dia harus segera pulang juga. Aku tidak papa. Mungkin ada pengalihan jalan, jadi Bus tidak lewat sini. Aku rasa aku harus berjalan ke lain tempat.” katanya sambil menatapku.
Pandangannya beralih pada Alan. “Alan, pulanglah bersama Kakak perempuanmu yang cerewet ini. Tolong jaga dia.”
“Tapi Mas…” Alan juga tampak tidak setuju, tetapi dia telah berjalan menjauhi kami, hingga punggungnya hilang, ditelan kegelapan malam.
*
Berberapa hari setelah itu, barusan aku tahu, Mas Arsa pulang ke Delanggu menggunakan Truk angkutan barang. Dia tidak mendapat Bus malam itu, maka daripada tidak bisa pulang, dia memilih menumpang truk yang kebetulan melintas dihadapannya.
Dan dicintai membuatku mengerti, apa arti menghargai.
Berberapa minggu setelah dia mengajakku berkenalan dengan keluarganya, aku melihatnya lagi. Dia telihat berbeda karena pakaian yang dikenakannya lebih rapih dari biasanya. Dan kali ini, dia membawa satu parcel buah lagi. Berbeda dari yang biasa dia bawa, kali ini lebih banyak variasi entah karena apa.
Dia mengajakku duduk pada teras Rumah. Entah kenapa aku melihat ada yang mengganjal dalam pikirannya. Dia lebih sering menghela napas kali ini.
“Ada sesuatu yang mengganggumu?”
Dia menggeleng kecil, lantas mengenggam tanganku. “Setelah apa yang terjadi selama ini denganmu, aku sadar, aku tidak lagi dalam proses jatuh cinta padamu seperti saat pertama kali kita bertemu, tidak juga dalam proses mencintaimu, karena kamu sudah jadi kekasihku. Aku yang sekarang… ingin membangun cinta denganmu. Memupuk cinta yang ada, agar selalu tumbuh dan berkembang. Menikahlah denganku, dan hiduplah bersamaku.”
Mataku mulai berkristal, ketika menyadari dia melamarku Malam ini. Dan aku bersumpah, barusan adalah kata terpanjang yang dia ucapkan untukku. Melihatnya yang sudah menanti jawabanku, lantas aku mengangguk. Kemudian berbisik lirih. “Aku mau, karena aku juga ingin membangun cinta denganmu.”
Aku kini mengerti, apa yang dikatakan Ayah. Dicintai membuatku mengerti berbagai rasa dari kesungguhan, dan dicintai membuatku mengerti, betapa bahagianya mencintai.
-END-
-----------------------------------------------------------------------------------------------

wohooo :D akhirnya saya bener-bener nggarap cerita based on true story lagi. ini kisah cinta papa dan mama saya :D betapa papa sayang bgt sma mamaa :* aku nggak bisa berhenti membayangkan kisah cinta mereka setelah mama bercerita, uthe juga dapet wejangan move on secara nggak langsung
but Papa keren, dia nggak nembak pakek bunga, pakek buah broo =))
kata salah satu sodara gue, gue nggak normal krn 18th blm pacaran, minta digorok kali ya, untung sodara, kalau nggak udah gue piting -_- gue normal kalesssss
nih, gue jawab secara logis, dan dengan hati. aku true love waits. komitmen dari awal masuk SMK. dan puji Tuhan sekarang masih bertahan.
dan cerita diatas benar-benar menginspirasiku, Papa adalah sosok laki-laki yang aku idamkan di masa depan. maka dengan lantang aku menjawab, aku sedang menunggu seseorang yang seperti Papa. entah kapan datangnya. Tuhan pasti sediakan, cuma belum waktunya, kan emang uthe masih kecil, mimpi masih banyak yg harus uthe raih untuk masa depan uthe sendiri. pada rempong amat ngurusin hidup -.-?
lagi pula aku belum berpikiran menjalin hubungan dengan seseorang. nanti kalau uthe punya pacar, pacarnya cemburu, soalnya uthe bakal lebih sayang sama Mario & L oppa haahaha :D krn aku tidak akan bebas lagi ngefans sama orang. dan aku belum siap jika dilarang-larang. koe sopo -_-
intinya, saya belum mau mikir pacaran. sibuk. nggak ada waktu buat mikir begituan. aktivitas saya padat, kuliah, nulis, pelayanan, jurnalistik, komparem, kmf, dan MnGriosolo. dan tentu saja karena hati saya tidak kosong. because, Jesus in here. *nunjuk hati*
yah malah curhat,
kunjungi juga catatan kecilku disini  Let You Go
tentang melepaskan seseorang.
enjoy, salam bintang dandelion.
warm regards, @ruthenirmalaa

True Love.



True Love


Aku lebih memilih dicintai, karena dicintai membuatku mengerti berbagai rasa dari kesungguhan.
**
Namanya Arsa. Pemuda pemilik lesung pipit yang entah mengapa akhir-akhir ini menarik atensiku, dia memang pernah muncul saat aku mengenakan seragam abu-abu dulu. Dengan seragam biru tua kebanggaan kantornya, ia yang selalu melempar senyum padaku entah karena apa.
       Yang aku tahu, dia teman Kakak pertamaku yang bekerja di Perusahaan Listrik Negara. Dia memang pernah menampakan diri berberapa kali dirumahku, tidak jarang dia menampilkan diri juga di gereja yang sama denganku.
Dan lagi-lagi senyum itu sama, senyum berbeda yang dia tunjukan kepadaku.
Aku kembali saat-saat dimana aku masih duduk dibangku sekolah. Aku ingat betul, ketika Rana, teman sepermainanku, selalu menyenggol lenganku saat ia diam-diam memandangku.
Saat itu, aku tidak mau mengambil kesimpulan dari pandangan diam-diamnya. Karena seminggu setelah itu, dia tidak lagi menampakan batang hidungnya. Hingga aku tahu, dia dipindah tugaskan. Bukan lagi di Semarang, bukan di kota ini.
Hingga aku tersadar, empat tahun telah berlalu setelah itu. Aku telah menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri. Dan kini, dia kembali menampakan diri dihadapanku dengan senyum yang sama.
“Hai.” sapanya sedikit kaku.
Deheman Ayahku, mengalihkan pandangan kami sejenak. “Kamu masih ingat dia Mara? Teman Mas Leksa.”
Aku hanya mengangguk dengan senyuman tipis.
Tiba-tiba dia menyodorkan se-parcel buah padaku. “Untukmu.” Katanya dengan senyuman yang masih sama.
“Terimakasih.” balasku, kemudian berlalu dari hadapannya.
Aku mengintip dari balik celah gorden. Aku tidak tahu dia siapa, tetapi dia terlihat sangat dekat dengan Ayah. Bahkan Ayah seperti kembali bernyawa, setelah seluruh Kakakku, merantau pergi ke luar kota. Aku sadar, dia berbeda.
“Kamu lihat apa Mar?” tanya Ibu yang tiba-tiba saja sudah dibelakangku.
Aku hanya menggeleng kaku, kepalang basah mengintip Ayah dan Pemuda itu berbincang.
“Dia Arsa. Teman Kakak pertamamu. Usianya tiga tahun diatasmu. Kau tahu? Dia benar-benar hebat, di usia semuda itu telah menjadi pegawai tetap di perusahaan milik Negara.”
Aku hanya memutar bola mata bosan, tidak mengerti kenapa kedua orangtuaku antusias sekali jika membahas dia.
Hari-hari setelah itu, dia semakin sering ke rumah. Dan aku tahu, buah adalah ciri khasnya. Dan jangan lupakan, dia selalu berbincang dengan Ayah.
Suatu ketika, sewaktu aku akan pergi dengan teman laki-lakiku, dia sedang bertamu di Rumah, dia masih melempar senyum padaku. Senyum yang kali ini berbeda. Aku tidak merasakan hangat dari senyuman itu, tetapi aku tidak mau ambil pusing.
Menghampiri Ayah yang ada di sampingnya, aku berpamitan dan mengecup punggung tangan Ayah. “Jangan pulang malam. Ayah tidak percaya, jika kamu pergi dengan dia.” Ucapnya. Mengerling pada pemuda yang telah menungguku di luar.
Aku hanya diam, tidak mengerti harus menanggapi.
Hingga saat menyedihkan itu tiba, Ibu pergi meninggalkan dunia karena penyakitnya. Dia ada, menggenggam tanganku, dan menepuk pelan kepalaku. “Jangan menyalahkan keadaan. Sekarang Ibumu sudah bahagia disana. Aku rasa dia telah bertemu Ayahku.”
Aku mendongak, memberanikan diri mendongak menatapnya. Mengerti arti tatapanku, dia berkata, “Ayahku sudah lama meninggal. Saat aku masih kecil.” ucapnya dengan senyuman sendu.
Mungkin, hal ini juga yang membuatnya sangat dekat dengan Ayahku. Dia telah terlalu lama kehilangan figure itu.
“Jika kamu benar-benar merindukan sosok Ibu, kamu bisa bermain ke Rumahku. Anggaplah Ibuku seperti Ibumu sendiri.” katanya lagi.
Aku hanya tersenyum kecil, hatiku kepalang hancur, ketika rasa kehilangan itu terus saja membengkak dalam relung diriku.
*
Setelah kepergian Ibu, Mas Arsa lebih terang-terangan memberikan perhatiannya padaku. Dia lebih sering ke Rumah untuk sekedar mencariku. Dia pendiam, hingga tak jarang kami membunuh senja dengan keheningan.
Ketika satu senja lagi hampir aku bunuh bersama dia, Ia menyodorkanku satu parcel buah. Hingga tanpa sengaja tangan kami bersentuhan.
“Uhm, Mara ada yang ingin aku bicarakan.”
“Sebentar, aku taruh ini di dalam dulu ya.” sahutku.
Dia menggeleng. “Tidak usah, aku hanya sebentar. Aku dinas malam.”
“Memangnya, mau berbicara tentang apa? Tenang saja, gereja masih terbuka untukmu, jika itu yang kamu takutkan.”
“Bukan, bukan soal itu.” Dia menghela napas berat, menatapku lurus. “Aku mencintaimu. Sejak melihatmu mengenakan seragam kebanggaanmu saat sekolah dulu. Maukah kamu jadi kekasihku?”
Iris hitamku membulat. Tidak menyangka pria pendiam ini, mengatakan perasaannya segamblang itu. “Aku… aku belum bisa menjawabnya.”
Dia mengangguk dengan senyuman. “Aku mengerti, tetapi aku selalu menunggu jawabanmu.” Katanya. Kemudian melangkah menjauhiku.
Aku belum bisa menjawab, karena aku belum bisa memilih. Bukan hanya dia laki-laki yang mendekatiku saat ini, aku ini wanita yang cukup peka, bisa membedakan mana rasa tertarik, dan hanya berteman biasa.
“Mara.” suara berat Ayah membuatku menoleh.
“Ayah tahu, gadis kecil Ayah satu-satunya, kini telah beranjak dewasa. Ayah yakin kamu telah merasakan cinta. Tetapi Ayah harap kamu tidak pernah salah memilih.”
Aku memandang Ayah dengan tatapan tidak mengerti. Tetapi aku yakin, dia pasti tahu, Mas Arsa baru saja menyatakan perasaannya padaku tadi.
“Ketahuilah, di dunia ini ada dua hal tentang cinta. Tentang mencintai dan dicintai. Kamu harus tahu, mencintai tidak selamanya manis. Karena belum tentu orang yang kamu cintai merasakan hal yang sama. Berbeda dengan dicintai, dicintai mengajarkanmu bagaimana arti dari kesungguhan.”
Aku masih mendengarkan Ayah yang sedang berbagi pengalamannya.
“Sebagai wanita, seharusnya kamu lebih memilih dicintai, karena wanita ditakdirkan untuk mengejar, bukan dikejar. Cinta memang tidak salah memilih, tetapi memilih cinta itu susah. Masih ingat pepatah jawa withing tresno jalaran soko kulino? Saat kamu dicintai, kamu juga bisa mencintai dia seiring berjalannya waktu.”
Aku hanya mengangguk paham.
“Ayah harap, kamu tidak salah menentukan pilihan.”
*
Setelah seminggu penuh aku mencari jawaban atas hatiku, akhirnya aku temukan jawaban itu. Dan entah suatu kebetulan atau tidak, aku berpapasan dengannya, ketika akan pulang.
“Mas Arsa!” panggilku padanya.
Dia tersenyum padaku. Senyum yang sama saat kami pertama kali bertemu.
“Aku ingin mendengar lagi pernyataanmu saat senja waktu itu. Dan aku akan menjawabnya.”
Aku terkikik, ketika menyadari ada guratan merah di kedua pipinya.
“Aku… aku mencintaimu, sejak kamu mengenakan seragam kebanggaanmu ketika sekolah dulu. Maukah kamu… jadi kekasihku?”
Aku menatapnya, dan mengangguk penuh semangat. Dan dia tersenyum lebih hangat dari biasanya.
*
Hubungan kami, selalu berjalan baik. Sikap pendiamnya yang berkebalikan dengan sikap cerewetku ini, membuat kami jarang memiliki konflik. Dia selalu mempunyai cara untuk membuatku luluh. Hingga tanpa terasa hubungan kami berada pada jenjang yang lebih serius. Ikatan pertunangan.
Pada suatu malam, diantara bintang-bintang, aku memberanikan diri bertanya kepadanya, “Apa yang membuat Mas Arsa jatuh cinta kepadaku?”
Dia tersenyum, kemudian menjawab. “Pada awalnya, rambut panjangmu membuatku tertarik, kemudian sikapmu, membuatku jatuh cinta.”
Aku memandangnya heran, “Jika kamu jatuh cinta sejak aku di bersekolah di masa putih abu-abu, kenapa kamu tidak pernah mendekatiku?”
Dia menepuk puncak kepalaku. Kemudian berkata, “Aku tidak mau mengganggu mimpi seorang gadis. Saat itu, aku juga masih pegawai baru, belum ada yang bisa aku banggakan dari diriku. Aku berani mendekatimu setelahnya, karena aku tahu, kamu hampir wisuda.”
Entah kenapa, hatiku menghangat setelahnya. Aku mulai paham arti dicintai, seperti yang Ayah katakan. Aku mulai memahami arti kesungguhan.
Dia memandang jam tangannya. Kemudian kembali menatapku. “Sudah malam sekali, aku harus pulang, aku tidak mau ketinggalan Bus.”
Aku mengrenyitkan alis heran.
“Aku pulang ke Delanggu malam ini. aku sudah tidak kost.” Sahutnya, begitu paham arti dari tatapanku.
Setelah berpamitan dengan Ayah, dan Kakak-kakakku, ia undur diri.
“Tidak menginap saja? Kamu tunangannya, Bapak rasa tidak masalah.” tanya Ayah ketika dia berpamitan.
Dia menggeleng. “Tidak Pak. Belum saatnya.”
Hatiku kembali menghangat setelah aku menyadari, dia benar-benar menghargaiku sebagai wanita, dan dia juga menjujung etika. Membuatku yakin, bahwa aku tidak salah memilih.
Karena malam benar benar larut, Aku memaksa adik bungsuku untuk turut serta mengantarnya bersamaku.
Setelah menunggu hampir dua jam, dan merasa malam semakin larut, ia menyuruh kami pulang. Tetapi aku tentu saja menolak.
“Kamu jangan keras kepala. Alan masih banyak tugas kuliah, dia harus segera pulang juga. Aku tidak papa. Mungkin ada pengalihan jalan, jadi Bus tidak lewat sini. Aku rasa aku harus berjalan ke lain tempat.” katanya sambil menatapku.
Pandangannya beralih pada Alan. “Alan, pulanglah bersama Kakak perempuanmu yang cerewet ini. Tolong jaga dia.”
“Tapi Mas…” Alan juga tampak tidak setuju, tetapi dia telah berjalan menjauhi kami, hingga punggungnya hilang, ditelan kegelapan malam.
*
Berberapa hari setelah itu, barusan aku tahu, Mas Arsa pulang ke Delanggu menggunakan Truk angkutan barang. Dia tidak mendapat Bus malam itu, maka daripada tidak bisa pulang, dia memilih menumpang truk yang kebetulan melintas dihadapannya.
Dan dicintai membuatku mengerti, apa arti menghargai.
Berberapa minggu setelah dia mengajakku berkenalan dengan keluarganya, aku melihatnya lagi. Dia telihat berbeda karena pakaian yang dikenakannya lebih rapih dari biasanya. Dan kali ini, dia membawa satu parcel buah lagi. Berbeda dari yang biasa dia bawa, kali ini lebih banyak variasi entah karena apa.
Dia mengajakku duduk pada teras Rumah. Entah kenapa aku melihat ada yang mengganjal dalam pikirannya. Dia lebih sering menghela napas kali ini.
“Ada sesuatu yang mengganggumu?”
Dia menggeleng kecil, lantas mengenggam tanganku. “Setelah apa yang terjadi selama ini denganmu, aku sadar, aku tidak lagi dalam proses jatuh cinta padamu seperti saat pertama kali kita bertemu, tidak juga dalam proses mencintaimu, karena kamu sudah jadi kekasihku. Aku yang sekarang… ingin membangun cinta denganmu. Memupuk cinta yang ada, agar selalu tumbuh dan berkembang. Menikahlah denganku, dan hiduplah bersamaku.”
Mataku mulai berkristal, ketika menyadari dia melamarku Malam ini. Dan aku bersumpah, barusan adalah kata terpanjang yang dia ucapkan untukku. Melihatnya yang sudah menanti jawabanku, lantas aku mengangguk. Kemudian berbisik lirih. “Aku mau, karena aku juga ingin membangun cinta denganmu.”
Aku kini mengerti, apa yang dikatakan Ayah. Dicintai membuatku mengerti berbagai rasa dari kesungguhan, dan dicintai membuatku mengerti, betapa bahagianya mencintai.
-END-
-----------------------------------------------------------------------------------------------

wohooo :D akhirnya saya bener-bener nggarap cerita based on true story lagi. ini kisah cinta papa dan mama saya :D betapa papa sayang bgt sma mamaa :* aku nggak bisa berhenti membayangkan kisah cinta mereka setelah mama bercerita, uthe juga dapet wejangan move on secara nggak langsung
but Papa keren, dia nggak nembak pakek bunga, pakek buah broo =))
kata salah satu sodara gue, gue nggak normal krn 18th blm pacaran, minta digorok kali ya, untung sodara, kalau nggak udah gue piting -_- gue normal kalesssss
nih, gue jawab secara logis, dan dengan hati. aku true love waits. komitmen dari awal masuk SMK. dan puji Tuhan sekarang masih bertahan.
dan cerita diatas benar-benar menginspirasiku, Papa adalah sosok laki-laki yang aku idamkan di masa depan. maka dengan lantang aku menjawab, aku sedang menunggu seseorang yang seperti Papa. entah kapan datangnya. Tuhan pasti sediakan, cuma belum waktunya, kan emang uthe masih kecil, mimpi masih banyak yg harus uthe raih untuk masa depan uthe sendiri. pada rempong amat ngurusin hidup -.-?
lagi pula aku belum berpikiran menjalin hubungan dengan seseorang. nanti kalau uthe punya pacar, pacarnya cemburu, soalnya uthe bakal lebih sayang sama Mario & L oppa haahaha :D krn aku tidak akan bebas lagi ngefans sama orang. dan aku belum siap jika dilarang-larang. koe sopo -_-
intinya, saya belum mau mikir pacaran. sibuk. nggak ada waktu buat mikir begituan. aktivitas saya padat, kuliah, nulis, pelayanan, jurnalistik, komparem, kmf, dan MnGriosolo. dan tentu saja karena hati saya tidak kosong. because, Jesus in here. *nunjuk hati*
yah malah curhat,
kunjungi juga catatan kecilku disini  Let You Go
tentang melepaskan seseorang.
enjoy, salam bintang dandelion.
warm regards, @ruthenirmalaa