RSS

Kamis, 17 Maret 2016

IRISH (무지개) Chapter Three



Chapter three
Rumah Arin berada di distrik Seongnam-gil, Seoul. Ia biasa pulang satu minggu sekali. Ayahnya yang seorang polisi bekerja di distrik Seongnam, dan harus bekerja disana, membuat A rin memutuskan untuk menyewa rumah kos dengan Cho Ha na di sekitar kampus, malas jika harus pulang-pergi dengan waktu tempuh dua jam lamanya. Hari ini, jadwal ia pulang. A rin sudah tidak sabar untuk mencicipi masakan Eomma-nya. Ia sudah hapal betul, Eommanya akan menyiapkan makanan layaknya untuk selusin tamu jika A rin pulang ke rumah.

Wangi sup rumput laut menyeruak lewat indra penciumannya ketika ia memasuki Rumah. Sengaja, A rin tidak memencet bel karena ingin memberi kejutan. A rin melongok ke Dapur, melihat Eomma-nya sedang serius memasak.
A rin berjalan kecil-kecil, berusaha tidak menimbulkan suara. Lalu, dengan cepat, ia memeluk Eomma-nya dari belakang.
“Sore Eomma,”
Eomma-nya reflek menoleh. Lalu mengelus dada pelan. “A rin, buat Eomma kaget saja...” Wanita itu menggantung kalimat sebentar, mengernyit heran. “Sejak kapan kamu berbicara bahasa Indonesia dengan Eomma?”
A rin tersenyum, menampilkan gigi kelincinya. “Sejak aku mulai tertarik dengan orang Indonesia-nya, Ma.” Arin berucap, meski logat Koreanya masih terdengar.
“Asal jangan bicara di depan Appa[1]-mu ya, nanti da memberengut karena bahasa Indonesia-nya buruk sekali…” Eommanya mengingatkan, yang justru membuat A rin terkikik geli.
“Eomma, boleh minta tolong sesuatu tidak?”
Tanpa berbalik dari wajan, Eomma-nya menyahut pelan, “Bantu apa A rin?”
“Masakin makanan Indonesia buat aku bawa pulang ke Gwanak besok.”
 “Tumben? Buat siapa?”
A rin berusaha mencari padanan kata yang tepat untuk diucapkan. “Umm… ada teman Indonesiaku di Kampus. Sepertinya dia sudah lama tidak pulang. Bagaimana kalau dia rindu masakan Indonesia?”
Eomma-nya mengangguk kecil. “Ne, ne[2]. Temannya perempuan apa laki-laki?”
Arin merasakan pipinya yang tiba-tiba panas. Bingung harus berkata jujur atau tidak. Tetapi, dengan kebaikan Eomma yang sudah mau memasakan makanan Indonesia untuknya, A rin tidak mungkin berbohong. “Ada Eomma, dia… laki-laki.”
Eomma sampai menaruh spatula demi mendengar kalimat A rin, lalu melirik putrinya dengan jahil. “Jadi… siapa laki-laki Indonesia yang membuatmu jatuh cinta itu, sayang?”
Arin membelalak, gelagapan. “Umm.. Eomma, tidak seperti yang Eomma bayangkan. Aku hanya berteman dengan Alfa Oppa.”
“Jadi namanya Alfa?”
Arin mengutuk diri sendiri, kenapa lidahnya justru terpeleset hingga spontan menyebutkan nama Alfa di depan Eommanya.
“Pokoknya dia hanya temanku, Eomma. Dan jangan lupa masakan Indonesianya… harus dibuat seenak mungkin,” setelah mengatakan serentetan kalimat itu dengan cepat, A rin melipir pergi menuju kamarnya. Tidak ingin Eomma melihat wajahnya yang seranum tomat.
Sementara itu, wanita bercelemek yang kini kembali berhadadapan dengan wajan dan spatula, tersenyum-senyum kecil, tidak bisa menyembunyikan rasa gelinya melihat putri tunggalnya yang sedang jatuh cinta.
**
Jika bukan karena kewajiban untuk menuntut ilmu dan menghargai jerih payah Appa demi menyekolahkannya, A rin tidak akan rela jika setiap hari harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk sampai Fakultasnya. Namun, ada satu hal lain juga yang akhir-akhir ini membuatnya sedikit senang dan tidak keberatan melewati rute ini. Setidaknya, ia punya semangat baru karena melewati Fakultas Ekonomi terlebih dulu.
Ia mengingat keputusaannya semalam jika kali ini kebetulan bertemu lagi dengan pemuda itu. A rin akan mengajaknya makan siang. Tentu, dengan masakan Indonesia yang sudah Eomma buatkan. Sayur asam, tempe goreng, rendang dan sambal. Ia sempat mencuri-curi pandang ke arah koridor, dan benar saja, ia menemukan orang yang diam-diam dicarinya. A rin yakin sekali, orang seperti Alfa memang satu dari segelintir mahasiswa yang amat sangat mencintai kuliah, hingga tidak heran jika berkeliaran di Kampus di jam berapapun.
Ia berniat mampir untuk menyapa, tapi apa yang dilihatnya sekarang mendadak membuat langkahnya berhenti. Tiga orang gadis menghampiri Alfa, menginterupsi pemuda itu yang sedang menerima telepon. Terlihat sekali wajah kesal Alfa dari kerutan didahinya ketika menutup telepon. Gadis-gadis itu menyerahkan tiga kotak berbeda yang A rin yakin sebagai coklat atau kue. Kendati Alfa sungguh kentara menerimanya dengan malas, gadis-gadis tetap menjerit, lalu pergi dengan wajah berbinar.
Alfa melirik lewat bahu, seperti memastikan gadis-gadis itu sudah hilang dibalik koridor. A rin lalu melihat Alfa berjalan menuju.... tong sampah? Arin mengernyit, memastikan penglihatannya. Alfa memang hendak membuang kotak-kotak coklat-kue itu.
Spontan, A rin berteriak dengan nyaring. “Yaaaa!!”
Alfa yakin teriakan itu mengarah kepadanya. Ia reflek mencari sumber suara dan melihat Arin sedang berjalan penuh amarah ke arahnya.
Apa yang Alfa lihat kini Arin yang melotot. Nampak siap mengeluarkan potongan kata-kata pedas.
“Alfa sunbae!”
Alfa mengernyit heran mendengar A rin berbicara kepadanya dalam bahasa Korea formal, bahkan memanggilnya senior.
“Kau..., kau yakin akan membuang pemberian orang lain? Ya! Mi cheo Sseo[3]? Mereka membeli itu pasti dengan uang.”
Afla tersenyum geli, mendengar A rin dengan secepat kilat kembali berbicara dengan bahasa Informal. “Yang penting bukan uangmu, kan? Kenapa berisik sekali.” Alfa mendengus, “Dan kamu lupa aturan. Aku minta kamu berbicara bahasa Indonesia jika sedang berbicara denganku.”
A rin memberengut. “Ya setidaknya, Umm… Kak Alfa tidak barus membuang makanan. Kan bisa dikasih ke orang la—”
Alfa memotong. “Apa itu sebuah kode? Kamu mau diberi coklat juga? Ambil saja yang ini,”
Arin gelagapan menerima kotak yang berpindah dari tangan Alfa ke tangannya. Sementara Alfa tersenyum senang melihatnya kesusahan, lantas melambaikan tangan sambil lalu.
Arin mendadak teringat maksudnya menemui Alfa. “Hei bukan begitu Kak... Yaaa!!! Kenapa kau pergi? Aku masih ada urusan!”
Alfa menahan langkah, berbalik menghadap A rin hingga menyisakan jarak yang cukup sempit diantara mereka. Membuat Arin berdebar-debar.
A rin membuka mulutnya, namun seluruh rangkaian kalimat yang sudah ia susun semalaman untuk senormal mungkin mengajak Alfa makan siang mendadak hilang.
Akhirnya ia hanya bisa menggumam, “Kau… dasar chaebol[4] gila.”
Alfa mendekatkan wajahnya ke wajah A rin, lalu melempar senyum simpul, yang menurut A rin adalah senyum terbaik sepanjang ia mengenal Alfa.
“Apa kalimat itu ungkapan lain dari ‘naega joayo’[5]?”
A rin menjauhkan wajahnya, ketika nafas Alfa terasa menyentuh wajahnya. Dasar chaebol gila. Dia bahkan bisa membaca pikiranku. Arin menarik nafas panjang.
 “Ayo makan siang denganku! Makanan Indonesia!” Ia akhirnya hanya menyemburkan sederet kata yang keluar begitu saja dari bibirnya, lalu melipir pergi, berlari membawa kotak-kotak coklat-kue ditangannya.
**
Arin mendengus mengutuk diri. Taman Falkutas Ekonomi sudah sangat sepi. Seharusnya ia tahu dari awal, Alfa tidak akan datang. Gadis itu menatap kotak makannya dengan pandangan nanar. Sia-sia sudah, ia bangun pagi, rela jari manisnya teriris hanya untuk ketidakpastian yang membuat luka hatinya kembali menganga lebar. Dalam hati, rasa pesimisnya sudah mendominasi. Waktu telah menunjukkan bahwa sekarang sudah satu jam lebih dari jam makan siang. Itu artinya Alfa tidak akan datang.
Dengan perlahan, dibukanya kotak bekal yang tadi dia bawa, lauk makan sederhana kata Eommanya, hanya sup jagung dengan tempe goreng. Sejujurnya, A rin tak begitu suka, karena indera pengecapnya sudah terbiasa dengan masakan-masakan korea. Tetapi, jika dimasak dengan Eomma, ia percaya pasti rasanya menggugah selera.
Di sendoknya kuah sup dengan perlahan, gadis berambut coklat pekat itu mulai makan siang dengan khidmat, daripada tidak jadi dimakan, lebih baik dia habiskan.
“Kenapa kamu melanggar janji yang bahkan kamu buat sendiri?”
A rin menoleh, suara baritone itu… benar saja.
“Oppa? Oppa datang?”
Gadis itu mengerjapkan matanya, terlihat berbinar. Lucu. Hanya itu yang ada dibenak Alfa. Sendok yang belum sempat A rin masukkan dalam mulut, masih mengambang di udara. Membuat Alfa menyeringai tipis.
Tanpa pernah A rin duga sebelumnya, tangan kokoh itu terulur, melingkupi jemarinya yang masih dengan erat memegang sendok, lantas mengarahkannya tepat ke mulut Alfa.
Pipi A rin terasa panas, Alfa barusan memakan sup jagung yang ia buat bersama Eomma. Lagi-lagi dadanya bergemuruh memikirkan itu.
“Mana jatah makan siangku?”
Gadis itu kembali mengerjap. Yang dia makan barusan adalah bekal yang harusnya ia berikan pada Alfa. Ia tadinya hanya berniat melihat Alfa makan, karena ia tidak terlalu suka masakan indonesia. Tetapi, sekarang ia berada dalam posisi serba salah.
“Um, Mianhae Oppa. Sebenarnya yang ku makan ini adalah milik Oppa, tadi aku kira Oppa tidak akan datang, jadi aku makan saja.”
Alfa menahan tawa ketika melihat raut wajah A rin yang begitu lucu. “Kalau begitu aku ambil jatahku lagi.” Ujarnya sambil mengambi sendok, dan kotak bekal yang A rin bawa.
A rin merasakan pipinya semakin memerah. Alfa tanpa sungkan memakan bekal yang baru saja di makan olehnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa, jadi ia hanya diam dan sesekali melirik Alfa yang sedang menyantap makan siangnya.
“Kau tidak makan?” tanya Alfa sambil mengacungkan sendok tepat di depan mulut A rin.
Gadis itu menggeleng pelan. “Untuk Oppa saja, sepertinya Oppa rindu masakan indonesia.”
Alfa mendengus. “Aku tidak terima penolakan.”
Hingga setelahnya, A rin menyadari, rasa gurih sup jagung yang ia buat bersama Eommanya telah berada dalam mulutnya. Barusan… Alfa menyuapinya?
“Maaf Oppa, Oppa pasti masih terasa lapar karena berbagi denganku.”
Alfa masih menahan senyumnya. Kenapa gadis disampingnya begitu polos? “Berhenti memanggilku Oppa. Tadi pagi kau sudah menyebutku Kakak. Kau harus terbiasa.”
A rin menunduk malu. “Maaf.”
Alfa sudah tidak bisa menahan senyumnya. “Berhenti minta maaf, aku sudah bosan mendengarnya. A rin, apa kau yang membuat masakan ini?”
“O, aku tidak membuat sepenuhnya, Eomma yang lebih banyak ambil bagian. Aku tidak terlalu mahir memasak.”
“Dari mana Ibumu mendapat bahan makanan untuk membuat ini semua?”
A rin menggeleng pelan, “Tidak tahu, tapi Eomma selalu mendapat bahan makanan yang ia mau.”
Tanpa sadar, tangan kokoh Alfa kembali terulur mengacak pelan rambut A rin. “Terimakasih. Ini sedikit mengobati rinduku. Aku tidak akan menolak, jika kau membawakan makanan seperti ini setiap hari.”
A rin tidak dapat menahan senyum tulusnya, senyum yang diam-diam membuat hati Alfa berdesir, tanpa pemuda itu menyadarinya. Tangan Alfa perlahan turun, membingkai paras ayu yang ada dihadapannya. Lantas diusapnya perlahan pipi sedikit tembam milik gadis itu. Tanpa mereka sadari, kedua jantung mereka berdetak seirama.
Alfa tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya, rasanya begitu betah melihat wajah A rin dari jarak yang sangat dekat. Ia tahu, ia semakin mendekatkan diri pada sang gadis. Bahkan, ia sudah dapat merasakan embusan napas teratur dari gadis dihadapannya. Alfa tahu, gadis itu telah menutup mata, hingga ia pun juga mengikuti nalurinya, menutup mata, dan memiringkan wajah. Mengecup pelan pipi kanan gadis itu dengan singkat. Tersadar apa yang baru saja ia lakukan, dan sejak detik kembali mengambil jiwa Alfa, Alfa yakin, gadis ini telah mengembalikan sebuah rasa yang ia tinggal sejak lama.


[1] Ayah.
[2] Ya, ya.
[3] Hei! Apa kau sudah gila?
[4] Sebutan untuk anak seorang konglomerat; pewaris.
[5] Aku menyukaimu.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Finallyy! chapiee 3rd posted! wdtyt? Alfaa bakal php nggak yaaa hmm--
crita serupa akan diposting juga di Irish Nita ^^ enjoy reading :$

Sabtu, 05 Maret 2016

IRISH (무지개) - Chapter Two



Chapter Two


Alfa menyalakan mesin penghangat di Apartemen, lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Setelah seharian penuh menghabiskan waktu di kota Paju, ia hanya ingin beristirahat dengan tenang.
Sekonyong-konyong, rangkaian kejadian hari ini melintas dipikirannya. Ia merubah posisi tubuhnya menjadi duduk di atas kasur, sambil memijat pelipis yang sama sekali tidak pusing. Gadis-gadis fan girl di Kafe itu sudah merusak rencana liburannya yang tenang, terutama satu gadis  berambut coklat tua yang bahkan ditemuinya dua kali dalam sehari. Pertama, gadis itu menyapanya dengan bahasa Indonesia di Toko Buku. Kedua, gadis itu bahkan menindihnya di Kafe. Alfa mengerutkan kening, bahkan saat ini wajah polos itu terekam jelas dalam ingatannya. Ia menggeleng kecil, berusaba menghapus bayangan wajah itu dengan memejamkan mata, memilih tidur.
**

Alfa memang gila dalam belajar, tapi ia tidak sampai hati untuk mengambil semester panjang di musim liburan. Ia hanya ingin menikmati sisa-sisa libur musim semi dengan tenang tanpa perlu pusing memikirkan kontrak perkuliahan. Meski begitu, tidak sedikit mahasiswa Seoul University yang mengambil semester panjang ataupun mahasiswa yang hanya sekedar nongkrong, membuat kampus tidak pernah sepi. Alfa salah satu mahasiswa itu. Diam di Apartemen hanya akan membuat pikirannya dipenuhi hal-hal berat seperti mengurus saham, jadi ia memilih duduk-duduk di rerumputan sekitar Taman fakultas yang teduh sambil membaca buku yang sempat dibeli di kota Paju.
Alfa sempat larut dalam bacaannya, sampai suara nyaring perempuan terdengar sedang menyanyikan sebuah lagu yang asing ditelinganya, membuatnya mendongak mencari sumber suara. Alfa mengedarkan pandangan, lalu melihat seorang gadis berkuncir kuda yang berjalan dengan langkah kelewat ceria ke arahnya. Gadis itu nampak asik mendengarkan lagu lewat earphone.
Banyak yang berkata, jika kita sampai bertemu dengan seseorang hingga tiga kali berturut-turut, itu berarti jodoh. Alfa hafal primbon tua itu, tapi ia tidak ingin memercayai yang satu ini. Gadis itu, yang sedang berjalan ke arah Taman dimana dirinya sedang duduk selonjoran adalah gadis yang sama dengan yang ditemuinya di Toko buku kota Paju dan yang menindihnya di Kafe. Alfa seratus persen yakin karena ia masih mengingat penuh wajahnya.
Mata Alfa tidak lepas melihat gadis yang sedang menggumamkan lagu dalam bahasa Korea itu, sampai mata mereka bertemu karena gadis itu mendongak dari ponselnya dan melihat tepat pada Alfa.
Alfa mengalihkan dengan cepat pandangannya ke sembarang arah, tanpa tahu gadis itu justru memghampirinya dengan senyum yang terpatri diwajah.
“Oppa! Kita ketemu lagi. Wow ini sangat membuatku terkejut!”
“Oppa?” Alfa mengulang dalam hati. Ia akhirnya tidak punya pilihan untuk tidak melihat gadis yang kini berdiri dihadapannya.
Gadis itu ikut duduk menyila dihadapan Alfa.
“Kenalkan, namaku Kim A Rin, nama Indonesiaku cukup Arin. Aku tahu Oppa orang Indonesia. Senang bisa berkenalan!” Kim A rin, gadis itu, menyodorkan tangannya, menunggu untuk dijabat.
Alfa yang sempat ragu untuk menyambut tangan itu, akhirnya menjabat. “Alfa.” Jawabnya singkat.
“Wow...” A rin membulatkan suara, “kau tidak sesombong yang aku pikir. Aku kira kau akan bangkit berdiri dan pergi seperti di toko buku kemarin. Mian[1], untuk pikiran yang sempat terlintas itu, Alfa Oppa.”
“Saya memang sempat punya pikiran untuk pergi dan niat itu sampai sekarang masih berlaku,” Alfa bangkit berdiri, membuat A rin mengerutkan kening. Pemuda itu menatap A rin sebelum pergi. “Saya tidak tahu kamu stalker atau terserah apapun namanya hingga kita bisa ketemu lagi bahkan di Kampus ini. Tapi satu hal, stop panggil saya Oppa. Itu terdengar seperti kita berteman akrab.”
A rin bergegas berdiri ketika Alfa melangkah pergi menjauhinya. “Yaa![2]” Ia berseru keras, berlari mengekori Alfa.
“Kenapa kau begitu menyebalkan? Oh jeongmall!” A rin mengikuti langkah besar-besar Alfa.
“Dan jangan sebut aku stalker! Aku juga kuliah disini. Dan aku datang ke Fakultas ini untuk bertemu temanku, jangan seserius itu. Aku bukan penguntit.” A rin menuntaskan kalimatnya, lalu pergi setelah sebelumnya menjulurkan lidah karena kesal.
Alfa mendadak menghentikan langkahnya demi melihat sikap A rin yang seperti anak kecil. Bahkan tinggi perempuan itu mengingatkannya pada sepupunya di Indonesia yang baru masuk sekolah menengah. Ia sempat ragu mendengar A rin mengaku sebagai mahasiswa di Kampus ini juga.
Melihat punggung A rin yang berayun kesana-kemari seirama dengan langkah kakinya yang ceria, Alfa mengukir senyum tipis. Tidak tahu dorongan darimana.
**
A rin memasukkan uang koin ke dalam mesin minuman, lalu mengambil dua soft drink. Ia kembali menyusuri koridor Fakultas ekonomi bisnis sembari menunggu Ha Na yang sedang mengambil SKS tambahan. A rin berhenti di depan sebuah mading, melihat tulisan-tulisan yang didominasi oleh hangul. Ia tertarik melihat pojok tulisan bahasa Inggris, lalu melihat sebuah artikel yang menempel dengan nama yang tidak asing. Alfa Wira Utomo.
A rin membaca tulisan itu sampai habis. Hingga Ha Na yang muncul dibalik koridor menyerukan namanya. “A rin-ya!”
A rin menghampiri Ha Na, lantas memberikan sekaleng soft drink yang dibelinya. Ia terdorong untuk bertanya satu hal yang baru saja membuatnya penasaran. A rin menatap sahabatnya itu dengan serius. “Ha Na-ya, aku boleh tanya sesuatu?”
Ha Na balas menatap A rin dengan bingung. “Sejak kapan kau ingin bertanya kepadaku sampai harus izin dulu?”
“Anyo, bukan begitu. Aku hanya penasaran satu hal,”
“Tentang apa?” Ha Na ikut penasaran.
“Tadi aku tidak sengaja baca artikel dalam bahasa Inggris di mading. Nama penulisnya Alfa Wira Utomo. Kau kenal dia?”
Ha Na mengangguk. “Tentu saja kenal. Siapa juga di fakultas ini yang tidak mengenalnya.”
Air wajah A rin berubah. Ia menunggu informasi selanjutnya.
“Memangnya dia terkenal?” A rin berusaha memancing.
“Sangat terkenal. Mahasiswa di fakultas ini bahkan menjuluki Alfa sunbae[3] sebagai Incredible namja[4]. Ah jeongmall, aku kadang-kadang heran dengan peribahasa mereka.” Ha Na mengedikan bahu sekali, lalu menegak habis sisa soft drink-nya.
“Dia seniormu?”
“O[5]. Kakak tingkatku. Tunggu, kenapa kau begitu tertarik dengan Alfa sunbae? Kau kenal dia?”
Arin menggeleng keras. “Anyo. Hanya penasaran. Sepertinya dia orang pintar.”
Ha Na mengangguk lagi. “Alfa sunbae memang sangat pintar. Di fakultas ini banyak sekali yang menyukainya. Kau pasti terkejut Arin-ya, jika gadis seperti kita tergila-gila dengan idol, gadis-gadis di fakultas ini akan lebih sibuk berebut perhatian Alfa Sunbae.”
“Daebak![6]” Mata A rin membelalak tidak percaya. Jadi pemuda Indonesia yang baru dikenalnya itu sangat berpengaruh di Kampus ini?
Ia kembali menatap Ha Na dengan wajah penasaran. “Apa kau salah satu gadis yang menyukai dia?”
Ha Na terkekeh pelan. Ia mengibaskan tangan kanannya di depan wajah A rin. “Anyo, karena aku tahu Alfa sunbae tidak tertarik dengan gadis Korea.”
“Mwo?[7]” Kening A rin berkerut, terkejut dengan pernyataan Ha Na.
“Dia bahkan hanya berbicara dengan gadis-gadis bule di kampus ini A rin-ya. Ah iya, aku dengar dia orang Indonesia. Bukankah Eomma-mu dari Indonesia juga?”
A rin tidak merespon lebih jauh, tidak tertarik dengan informasi yang terakhir. Ia hanya memikirkan pernyataan Ha Na sebelumnya. Alfa tidak suka dengan gadis Korea? Kenapa mendadak ia merasa kalah sebelum perang?
**
A rin menyusuri Fakultas Ekonomi, Seoul University dengan langkah gontai. Perkataan Ha Na membuatnya berpikir dan merasa, sehingga pusing tengah melandanya sekarang.
Alfa Wira Utomo, lagi-lagi nama Pemuda yang tiga kali bertemu tanpa sengaja dengannya, kembali mengusik batinnya, hingga ia merasa hatinya berdesir, disusul rasa sesak yang ia sendiri tidak tahu apa.
Alfa tidak suka gadis korea. Lagi-lagi pernyataan itu sangat membuat hatinya sesak. Apa benar A rin jatuh cinta? Gadis itu meletakan kedua tangan di depan dada, merasakan jantungnya berdegup cepat, tiap kali wajah Alfa hadir dalam pikiran.
A rin belum pernah jatuh cinta sebelumnya, selama dua puluh tahun hidupnya, Ia hanya memuja tokoh idol kesayangannya. Ia tak pernah mencinta karena ia takut terluka. Tetapi takdir tak selalu menyenangkan, karena faktanya ia telah merasakan segenggam luka, bahkan ketika ia pertama kali berusaha untuk mencinta.
“Kalau jalan hati-hati.”
A rin mendongak, ketika suara baritone yang kini mulai tak asing, berbicara dengannya menggunakan bahasa Indonesia. Alfa.
“Kau membuat buku yang aku bawa jatuh.”
A rin mengerjapkan mata, tersadar ia tadi menyenggol bahu seseorang, yang sekarang ia yakini adalah Alfa.
“Joesonghabnida[8], Oppa.”
Gadis itu berjongkok, membantu Alfa memunguti bukunya yang tercecer. Sedangkan Alfa mendengus, memalingkan muka.
“Kenapa kau bisa ceroboh sekali?”
Mata A rin terasa panas, perkataan Alfa membuatnya ingin menangis.
“Mianhae[9], Oppa.” ucapnya dengan suara bergetar, sambil menyerahkan buku milik Alfa kepada sang empunya.
“Asal kautahu, Korea terasa begitu sempit, ketika aku bertemu denganmu.”
Rasanya, A rin sekarang ingin menangis keras, rasanya lebih menyakitkan dibanding dengan kehabisan tiket konser idolanya.
“Apa Oppa membenci gadis Korea? Apa Oppa… membenciku?”
Alfa mendengus, menggeleng pelan, lalu meninggalkan A rin sendirian. Dan saat itu juga, satu tetes air, jatuh dari pelupuk mata A rin.
**
Sudah setengah jam Alfa menyibukkan diri di Perpustakaan. Tetapi, ia sama sekali tidak bisa fokus. Gadis yang ia ketahui bernama Kim A rin terus saja mengacaukan pikirannya hingga saat ini.
Pikirannya kembali melayang saat gadis itu tidak sengaja menyenggol bahunya, hingga buku-bukunya terjatuh. Setelah itu, ia kembali melihat gadis itu dalam jarak dekat, ketika gadis itu membantunya mengambil buku miliknya yang tercecer.
Seketika itu pula ia memalingkan muka, karena saat itu juga ia merasakan wajahnya memanas. Dan ia tertegun ketika gadis itu berubah murung, dan sepert menahan tangis, ketika kembali berbicara dengannya. Apa Alfa salah bicara?
Alfa mengacak rambutnya kuat-kuat. Kemudian memtuskan menutup buku yang sempat ia baca. Pemuda itu berdiri, bermaksud mengembalikannya ke rak. Tetapi yang ia sadari, perpustakaan menjadi sangat sepi lebih dari sebelumnya.
“Apa yang terjadi? Kenapa di perpustakaan ini hanya tersisa kita berdua?” katanya pada Jo Hyuk, rekan satu fakultasnya.
“O, gadis-gadis sedang berlarian ke Taman Fakultas Ekonomi. Ada Shinee Minho yang sedang syuting drama terbarunya.”
Alfa mendengus tak habis pikir, kemudian menyambar tasnya, dan meninggalkan perpustakaan dengan rasa gejolak yang ia tidak tahu karena apa.
**
Alfa yakin, ia tidak bisa pulang sekarang, karena sepertiga penghuni universitas pasti sedang memenuhi Taman Fakultasnya. Maka ia memilih jalan memutar, mungkin beristirahat di Fakultas Farmasi bukan pilihan buruk, karena banyak orang yang tidak mengenalnya disana.
Ia lantas mendudukan diri pada salah satu bangku di Fakultas Farmasi, tanpa menyadari, sesosok gadis telah duduk disana terlebih dahulu. Merasa bosan, ia memilih melihat video keponakan lucunya yang dikirimkan kakak sepupunya kemarin.
“Oppa? Kenapa ada disini?”
Alfa menoleh, saat itu juga gadis berambut coklat tua, dengan iris hitam yang sama dengan miliknya yang tergambar dalam retina. Satu hal yang ia sadari, gadis itu terlihat sehabis menangis.
“Kau yang kenapa ada disini?”
A rin tersenyum, meski mata sembabnya tidak bisa tertutupi. “Ini Fakultasku Oppa.”
“Sudah kubilang jangan panggil aku begitu. Aku terlihat sangat tua. Aku tidak percaya, gadis pecicilan sepertimu adalah calon tenaga medis.”
A rin memukul pelan bahu Alfa. “Perkataan Oppa menyakiti hatiku. Aku tidak tahu memanggil Oppa apa, karena sepertinya Oppa adalah senior.”
“Panggil saja Alfa.”
A rin menggeleng. “Tidak, aku tidak bisa memanggil senior dengan hanya memanggil nama, kata Eomma itu tidak sopan.”
Alfa menghela napas, berharap setelah ia mengatakan ini, semburat merah tidak nampak pada wajah tirusnya.
“Kalau begitu panggil aku, seperti orang indonesia menyebut laki-laki yang lebih tua.”
A rin mendekatkan wajahnya pada Alfa, yang spontan membuat lelaki itu memundurkan wajah. “Jeongmall? O, akan kucoba. Jadi, aku akan memanggilmu Kakak?”
Alfa mendengus, “Kau menyebalkan.” rutuknya, kemudian menyentil pelan dahi gadis itu, bermaksud membuat sedikit jarak yang lebih lebar untuk keduanya. Kenapa gadis ini begitu polos?
“Dan berbicaralah dengan bahasa indonesia ketika denganku.” Imbuhnya.
“Aku tidak begitu mahir menggunakan bahasa indonesia. Eomma belum mengajarkanku banyak. Mungkin terlihat aneh jika aku berbicara denganmu. Kalau begini, Kak Alfa yang menyebalkan!”
Alfa sedikit geli ketika gadis itu memanggilnya dengan sebutan Kakak. “Panggil aku sesukamu. Kau terlihat aneh ketika memanggilku begitu,”
Gadis itu mendengus, memalingkan muka. Membuat Alfa mengacak pelan poni gadis itu.
“Ini kenapa?” tanya Alfa ketika menyadari sebuah plester tertempel di dahi sebelah kanan sang gadis.
“Terkena meja ketika bertemu dengan Oppa kali kedua.”
Alfa menaikan alis. “Oppa lagi?”
“Aku terlihat aneh memanggilmu Kakak, rasanya lidahku geli saat mengucapkan itu. Mungkin besok aku akan memanggilmu Alfa saja.”
Alfa mendengus, “Dan kenapa kau ada disini? Bukankah idolamu sedang syuting di Taman Fakultasku?”
“Tadi suasana hatiku sedang buruk.”
“Patah hati?”
A rin mengangguk. “O, tapi sekarang tidak lagi. Sepertinya aku punya harapan baru.”
Alfa terkekeh melihat raut muka A rin, “Gadis freak sepertimu, bisa jatuh cinta? Yang benar saja!”
Arin mencubit lengan Alfa, membuat pemuda itu kesakitan. “Kau membuat hatiku sakit lagi Oppa! Asal kau tahu, aku jatuh cinta pada pemuda dingin yang lebih menyebalkan dariku!”
“Kau jatuh cinta dengan siapa itu bukan urusanku.” Sahut Alfa.
“Untung aku tidak membawa benzokain kali ini, lain kali akan kubawa dan kuberikan untukmu, supaya kata-kata pedasmu tidak keluar lagi Oppa! Jika lidahmu mati rasa, sepertinya itu bukan ide buruk.”
A rin kembali mencubit lengan Alfa, kemudian berdiri menyambar tas punggungnya dan meninggalkan Alfa.
“Mau kemana?” tanya Alfa sedikit berteriak.
“Belajar bahasa indonesia dengan Eomma, agar aku tidak merasa aneh jika berbicara dengamu Oppa!”


[1] Maaf.
[2] Hei!
[3] Panggilan untuk senior.
[4] Pemuda, laki-laki.
[5] Ya.
[6] Luar biasa!
[7] Apa?
[8] Maaf.
[9] Maafkan aku.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Finnalyyy! Irish chappie 2 updated! sudah kelihatan farmasi-farmasinyaa kan? *naik turun alis*
cerita dalam raingkaian serupa dapat kalian lihat juga disini -> Irish Nita
sampai jumpa di cerita selanjutnya!