Chapter
three
Rumah
Arin berada di distrik Seongnam-gil, Seoul. Ia biasa pulang satu minggu sekali.
Ayahnya yang seorang polisi bekerja di distrik Seongnam, dan harus bekerja
disana, membuat A rin memutuskan untuk menyewa rumah kos dengan Cho Ha na di sekitar
kampus, malas jika harus pulang-pergi dengan waktu tempuh dua jam lamanya. Hari
ini, jadwal ia pulang. A rin sudah tidak sabar untuk mencicipi masakan
Eomma-nya. Ia sudah hapal betul, Eommanya akan menyiapkan makanan layaknya
untuk selusin tamu jika A rin pulang ke rumah.
Wangi
sup rumput laut menyeruak lewat indra penciumannya ketika ia memasuki Rumah.
Sengaja, A rin tidak memencet bel karena ingin memberi kejutan. A rin melongok
ke Dapur, melihat Eomma-nya sedang serius memasak.
A
rin berjalan kecil-kecil, berusaha tidak menimbulkan suara. Lalu, dengan cepat,
ia memeluk Eomma-nya dari belakang.
“Sore
Eomma,”
Eomma-nya
reflek menoleh. Lalu mengelus dada pelan. “A rin, buat Eomma kaget saja...” Wanita
itu menggantung kalimat sebentar, mengernyit heran. “Sejak kapan kamu berbicara
bahasa Indonesia dengan Eomma?”
A
rin tersenyum, menampilkan gigi kelincinya. “Sejak aku mulai tertarik dengan
orang Indonesia-nya, Ma.” Arin berucap, meski logat Koreanya masih terdengar.
“Asal
jangan bicara di depan Appa[1]-mu
ya, nanti da memberengut karena bahasa Indonesia-nya buruk sekali…” Eommanya
mengingatkan, yang justru membuat A rin terkikik geli.
“Eomma,
boleh minta tolong sesuatu tidak?”
Tanpa
berbalik dari wajan, Eomma-nya menyahut pelan, “Bantu apa A rin?”
“Masakin
makanan Indonesia buat aku bawa pulang ke Gwanak besok.”
“Tumben? Buat siapa?”
A
rin berusaha mencari padanan kata yang tepat untuk diucapkan. “Umm… ada teman
Indonesiaku di Kampus. Sepertinya dia sudah lama tidak pulang. Bagaimana kalau
dia rindu masakan Indonesia?”
Eomma-nya
mengangguk kecil. “Ne, ne[2].
Temannya perempuan apa laki-laki?”
Arin
merasakan pipinya yang tiba-tiba panas. Bingung harus berkata jujur atau tidak.
Tetapi, dengan kebaikan Eomma yang sudah mau memasakan makanan Indonesia
untuknya, A rin tidak mungkin berbohong. “Ada Eomma, dia… laki-laki.”
Eomma
sampai menaruh spatula demi mendengar kalimat A rin, lalu melirik putrinya
dengan jahil. “Jadi… siapa laki-laki Indonesia yang membuatmu jatuh cinta itu,
sayang?”
Arin
membelalak, gelagapan. “Umm.. Eomma, tidak seperti yang Eomma bayangkan. Aku
hanya berteman dengan Alfa Oppa.”
“Jadi
namanya Alfa?”
Arin
mengutuk diri sendiri, kenapa lidahnya justru terpeleset hingga spontan
menyebutkan nama Alfa di depan Eommanya.
“Pokoknya
dia hanya temanku, Eomma. Dan jangan lupa masakan Indonesianya… harus dibuat
seenak mungkin,” setelah mengatakan serentetan kalimat itu dengan cepat, A rin
melipir pergi menuju kamarnya. Tidak ingin Eomma melihat wajahnya yang seranum
tomat.
Sementara
itu, wanita bercelemek yang kini kembali berhadadapan dengan wajan dan spatula,
tersenyum-senyum kecil, tidak bisa menyembunyikan rasa gelinya melihat putri
tunggalnya yang sedang jatuh cinta.
**
Jika
bukan karena kewajiban untuk menuntut ilmu dan menghargai jerih payah Appa demi
menyekolahkannya, A rin tidak akan rela jika setiap hari harus menempuh jarak
yang cukup jauh untuk sampai Fakultasnya. Namun, ada satu hal lain juga yang
akhir-akhir ini membuatnya sedikit senang dan tidak keberatan melewati rute
ini. Setidaknya, ia punya semangat baru karena melewati Fakultas Ekonomi
terlebih dulu.
Ia
mengingat keputusaannya semalam jika kali ini kebetulan bertemu lagi dengan
pemuda itu. A rin akan mengajaknya makan siang. Tentu, dengan masakan Indonesia
yang sudah Eomma buatkan. Sayur asam, tempe goreng, rendang dan sambal. Ia sempat
mencuri-curi pandang ke arah koridor, dan benar saja, ia menemukan orang yang
diam-diam dicarinya. A rin yakin sekali, orang seperti Alfa memang satu dari
segelintir mahasiswa yang amat sangat mencintai kuliah, hingga tidak heran jika
berkeliaran di Kampus di jam berapapun.
Ia
berniat mampir untuk menyapa, tapi apa yang dilihatnya sekarang mendadak
membuat langkahnya berhenti. Tiga orang gadis menghampiri Alfa, menginterupsi
pemuda itu yang sedang menerima telepon. Terlihat sekali wajah kesal Alfa dari
kerutan didahinya ketika menutup telepon. Gadis-gadis itu menyerahkan tiga
kotak berbeda yang A rin yakin sebagai coklat atau kue. Kendati Alfa sungguh
kentara menerimanya dengan malas, gadis-gadis tetap menjerit, lalu pergi dengan
wajah berbinar.
Alfa
melirik lewat bahu, seperti memastikan gadis-gadis itu sudah hilang dibalik
koridor. A rin lalu melihat Alfa berjalan menuju.... tong sampah? Arin
mengernyit, memastikan penglihatannya. Alfa memang hendak membuang kotak-kotak
coklat-kue itu.
Spontan,
A rin berteriak dengan nyaring. “Yaaaa!!”
Alfa
yakin teriakan itu mengarah kepadanya. Ia reflek mencari sumber suara dan
melihat Arin sedang berjalan penuh amarah ke arahnya.
Apa
yang Alfa lihat kini Arin yang melotot. Nampak siap mengeluarkan potongan
kata-kata pedas.
“Alfa
sunbae!”
Alfa
mengernyit heran mendengar A rin berbicara kepadanya dalam bahasa Korea formal,
bahkan memanggilnya senior.
“Kau...,
kau yakin akan membuang pemberian orang lain? Ya! Mi cheo Sseo[3]?
Mereka membeli itu pasti dengan uang.”
Afla
tersenyum geli, mendengar A rin dengan secepat kilat kembali berbicara dengan
bahasa Informal. “Yang penting bukan uangmu, kan? Kenapa berisik sekali.” Alfa
mendengus, “Dan kamu lupa aturan. Aku minta kamu berbicara bahasa Indonesia
jika sedang berbicara denganku.”
A
rin memberengut. “Ya setidaknya, Umm… Kak Alfa tidak barus membuang makanan.
Kan bisa dikasih ke orang la—”
Alfa
memotong. “Apa itu sebuah kode? Kamu mau diberi coklat juga? Ambil saja yang
ini,”
Arin
gelagapan menerima kotak yang berpindah dari tangan Alfa ke tangannya.
Sementara Alfa tersenyum senang melihatnya kesusahan, lantas melambaikan tangan
sambil lalu.
Arin
mendadak teringat maksudnya menemui Alfa. “Hei bukan begitu Kak... Yaaa!!!
Kenapa kau pergi? Aku masih ada urusan!”
Alfa
menahan langkah, berbalik menghadap A rin hingga menyisakan jarak yang cukup
sempit diantara mereka. Membuat Arin berdebar-debar.
A
rin membuka mulutnya, namun seluruh rangkaian kalimat yang sudah ia susun
semalaman untuk senormal mungkin mengajak Alfa makan siang mendadak hilang.
Akhirnya
ia hanya bisa menggumam, “Kau… dasar chaebol[4]
gila.”
Alfa
mendekatkan wajahnya ke wajah A rin, lalu melempar senyum simpul, yang menurut
A rin adalah senyum terbaik sepanjang ia mengenal Alfa.
“Apa
kalimat itu ungkapan lain dari ‘naega joayo’[5]?”
A
rin menjauhkan wajahnya, ketika nafas Alfa terasa menyentuh wajahnya. Dasar chaebol gila. Dia bahkan bisa membaca
pikiranku. Arin menarik nafas panjang.
“Ayo makan siang denganku! Makanan Indonesia!”
Ia akhirnya hanya menyemburkan sederet kata yang keluar begitu saja dari bibirnya,
lalu melipir pergi, berlari membawa kotak-kotak coklat-kue ditangannya.
**
Arin
mendengus mengutuk diri. Taman Falkutas Ekonomi sudah sangat sepi. Seharusnya
ia tahu dari awal, Alfa tidak akan datang. Gadis itu menatap kotak makannya
dengan pandangan nanar. Sia-sia sudah, ia bangun pagi, rela jari manisnya
teriris hanya untuk ketidakpastian yang membuat luka hatinya kembali menganga
lebar. Dalam hati, rasa pesimisnya sudah mendominasi. Waktu telah menunjukkan
bahwa sekarang sudah satu jam lebih dari jam makan siang. Itu artinya Alfa
tidak akan datang.
Dengan
perlahan, dibukanya kotak bekal yang tadi dia bawa, lauk makan sederhana kata
Eommanya, hanya sup jagung dengan tempe goreng. Sejujurnya, A rin tak begitu
suka, karena indera pengecapnya sudah terbiasa dengan masakan-masakan korea.
Tetapi, jika dimasak dengan Eomma, ia percaya pasti rasanya menggugah selera.
Di
sendoknya kuah sup dengan perlahan, gadis berambut coklat pekat itu mulai makan
siang dengan khidmat, daripada tidak jadi dimakan, lebih baik dia habiskan.
“Kenapa
kamu melanggar janji yang bahkan kamu buat sendiri?”
A
rin menoleh, suara baritone itu… benar saja.
“Oppa?
Oppa datang?”
Gadis
itu mengerjapkan matanya, terlihat berbinar. Lucu. Hanya itu yang ada dibenak
Alfa. Sendok yang belum sempat A rin masukkan dalam mulut, masih mengambang di
udara. Membuat Alfa menyeringai tipis.
Tanpa
pernah A rin duga sebelumnya, tangan kokoh itu terulur, melingkupi jemarinya
yang masih dengan erat memegang sendok, lantas mengarahkannya tepat ke mulut
Alfa.
Pipi
A rin terasa panas, Alfa barusan memakan sup jagung yang ia buat bersama Eomma.
Lagi-lagi dadanya bergemuruh memikirkan itu.
“Mana
jatah makan siangku?”
Gadis
itu kembali mengerjap. Yang dia makan barusan adalah bekal yang harusnya ia
berikan pada Alfa. Ia tadinya hanya berniat melihat Alfa makan, karena ia tidak
terlalu suka masakan indonesia. Tetapi, sekarang ia berada dalam posisi serba
salah.
“Um,
Mianhae Oppa. Sebenarnya yang ku makan ini adalah milik Oppa, tadi aku kira
Oppa tidak akan datang, jadi aku makan saja.”
Alfa
menahan tawa ketika melihat raut wajah A rin yang begitu lucu. “Kalau begitu
aku ambil jatahku lagi.” Ujarnya sambil mengambi sendok, dan kotak bekal yang A
rin bawa.
A
rin merasakan pipinya semakin memerah. Alfa tanpa sungkan memakan bekal yang
baru saja di makan olehnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa, jadi ia hanya diam
dan sesekali melirik Alfa yang sedang menyantap makan siangnya.
“Kau
tidak makan?” tanya Alfa sambil mengacungkan sendok tepat di depan mulut A rin.
Gadis
itu menggeleng pelan. “Untuk Oppa saja, sepertinya Oppa rindu masakan
indonesia.”
Alfa
mendengus. “Aku tidak terima penolakan.”
Hingga
setelahnya, A rin menyadari, rasa gurih sup jagung yang ia buat bersama
Eommanya telah berada dalam mulutnya. Barusan… Alfa menyuapinya?
“Maaf
Oppa, Oppa pasti masih terasa lapar karena berbagi denganku.”
Alfa
masih menahan senyumnya. Kenapa gadis disampingnya begitu polos? “Berhenti
memanggilku Oppa. Tadi pagi kau sudah menyebutku Kakak. Kau harus terbiasa.”
A
rin menunduk malu. “Maaf.”
Alfa
sudah tidak bisa menahan senyumnya. “Berhenti minta maaf, aku sudah bosan
mendengarnya. A rin, apa kau yang membuat masakan ini?”
“O,
aku tidak membuat sepenuhnya, Eomma yang lebih banyak ambil bagian. Aku tidak
terlalu mahir memasak.”
“Dari
mana Ibumu mendapat bahan makanan untuk membuat ini semua?”
A
rin menggeleng pelan, “Tidak tahu, tapi Eomma selalu mendapat bahan makanan
yang ia mau.”
Tanpa
sadar, tangan kokoh Alfa kembali terulur mengacak pelan rambut A rin.
“Terimakasih. Ini sedikit mengobati rinduku. Aku tidak akan menolak, jika kau
membawakan makanan seperti ini setiap hari.”
A
rin tidak dapat menahan senyum tulusnya, senyum yang diam-diam membuat hati
Alfa berdesir, tanpa pemuda itu menyadarinya. Tangan Alfa perlahan turun,
membingkai paras ayu yang ada dihadapannya. Lantas diusapnya perlahan pipi
sedikit tembam milik gadis itu. Tanpa mereka sadari, kedua jantung mereka
berdetak seirama.
Alfa
tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya, rasanya begitu betah melihat
wajah A rin dari jarak yang sangat dekat. Ia tahu, ia semakin mendekatkan diri
pada sang gadis. Bahkan, ia sudah dapat merasakan embusan napas teratur dari
gadis dihadapannya. Alfa tahu, gadis itu telah menutup mata, hingga ia pun juga
mengikuti nalurinya, menutup mata, dan memiringkan wajah. Mengecup pelan pipi
kanan gadis itu dengan singkat. Tersadar apa yang baru saja ia lakukan, dan sejak
detik kembali mengambil jiwa Alfa, Alfa yakin, gadis ini telah mengembalikan
sebuah rasa yang ia tinggal sejak lama.
[1] Ayah.
[2] Ya,
ya.
[3] Hei!
Apa kau sudah gila?
[4]
Sebutan untuk anak seorang konglomerat; pewaris.
[5]
Aku menyukaimu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Finallyy! chapiee 3rd posted! wdtyt? Alfaa bakal php nggak yaaa hmm--
crita serupa akan diposting juga di Irish Nita ^^ enjoy reading :$