Sabtu, 28 Oktober 2017
#DearPapa 3 [Anakmu Sudah Besar]
Dear Papa, di malam yang sunyi ini, aku kembali menyapa kamu.
Dan hari-hari kembali terlewat tanpa adanya kamu disisiku.
Dear Papa, seminggu yang lalu, aku berhasil mendapat gelar itu.
Hasil jerih payah dan keringatku selama ini.
Jalanku sendiri, yang aku pilih.
Saat aku naik podium, entah kenapa sesak itu semakin menggerogoti,
Ketika aku ingat, kamu tidak ada disisiku secara nyata.
Aku tidak bisa melihat senyum banggamu.
Dear Papa, farmasi tidak sedikitpun terbersit dalam bayangan cita-citaku.
Tetapi, nyatanya... ia menjadi pekerjaan hari-hariku.
Dear Papa. aku kembali mengingat pecahan dua puluh ribu, dan perjanjian kita.
Aku tidak bisa menjadi dokter, ataupun pegawai PLN yang kamu idamkan.
Apa konsekuensi yang harus aku terima ya Pa?
Dear Papa, kita sama-sama tahu, bahwa aku terikat dengan dunia fiksi sejak aku masih batita.
Dan kali ini, aku benar-benar meminta restumu, untuk mimpi yang sekarang sedang aku perjuangkan.
Menjadi penulis.
Mungkin banyak orang akan bilang aku egois, sudah mendapat pekerjaan bahkan ketika belum lulus di Rumah Sakit swasta terpercaya, aku masih tidak puas dengan apa yang aku raih.
Namun faktanya, ini mimpiku, sejak lima tahun yang lalu, meski kata gagal lebih banyak aku terima.
Dear Papa, sebentar lagi, usiaku 21 tahun, tidak inginkah kamu hadir di mimpiku?
Lagi-lagi aku rindu.
Aku ingin bercerita tentang banyak hal, termasuk... tahukah papa siapa pasangan masa depanku kelak?
Aku pikir, aku masih anak perempuan yang sedang dalam masa bertumbuh, faktanya, hampir menginjak 21, bukan angka kecil untuk anak perempuan. Aku sudah dewasa.
Dear Papa, detik ini, aku masih memegang komitmen itu.
Dan aku percaya, bahwa Tuhan sedang mempersiapkan seseorang yang terbaik untuk menjadi teman hidupku kelak.
Doakan aku agar setia dan bersabar menunggunya.
Seseorang yang bersedia membangun cinta. Seperti Papa dan Mama.
Dear Papa, masih banyak yang ingin aku ceritakan padamu.
Tetapi, semakin lama aku menulis untukmu, aku semakin rindu.
Bahagia selalu bersama Yesus di surga! dan semoga Papa bangga dengan apa yang aku raih karena Tuhan begitu luar biasa dihidupku.
with love, your daughter ;)
Label:
Dear Papa
Sesal
Sesal.
Teruntuk
kamu, seseorang yang tidak pernah aku perjuangkan.
“Saya beri salep, dan untuk mengompres lukanya, ada anti
nyeri, dan bengkak juga yang harus diminum. Ada yang masih dikeluhkan lagi?”
aku mendengarkan dokter muda itu beragumen. Sesekali melirik adik-ku yang
sedang diperban.
“Apa obat saya, dan adik saya sama dok?” aku bertanya
kemudian.
“Hampir semua sama, ada penenang untuk adik anda yang
sepertinya masih syok. Untungnya
tidak ada luka serius.”
Aku menghela napas lega. Undur diri setelahnya, karena
kami sudah diberi pertolongan pertama pasca kecelakaan.
Dengan kaki yang tertatih, Nesa menyusul langkahku. “Mas
Kia, Farmasinya rame, yakin mau ngantri?”
“Kita duduk dulu ya.” Jawabku sembari menenangkannya.
Niat awal menghabiskan waktu dengan adik kandungku gagal
total karena kecelakaan tunggal yang baru saja menimpa kami. Salahku, yang
menolak istirahat dulu setelah perjalanan Jakarta-Solo dan langsung mengajak
Nesa yang menjemputku berkeliling Solo saat itu juga.
“Tanggung jawab sama Coklat ya Mas, aku nggak mau dia
nginep di kantor Polisi lama-lama.”
Coklat adalah nama Scoppy
milik Nesa yang baru saja bobrok
karena hasil perbuatanku. Tetapi aku masih bersyukur, kami tidak mengalami luka
serius.
“Iya Mas janji. Coklat nanti bakal mulus kayak baru lagi.” Janjiku padanya.
“Mas? Bukannya Mbak Beth kerja disini ya? Dia di farmasi
kan? Kenapa nggak minta tolong dia? Lagipula nih mas, tubuhku sakit semua
gara-gara kecium aspal.”
Beth ya? Nama itu… sosok pertama yang mengenalkanku
rasanya jatuh cinta. Dengan penuh
penyangkalan. Aku tesenyum miris.
“Tahu darimana kamu dek?” aku bertanya basa-basi. Jelas,
aku tahu betul, dia bekerja disini.
“Ibu cerita mas, tahu sendiri kan? Ibu sama Mamanya Mbak
Beth itu soulmate? Lagipula aku ambil
farmasi juga selain karena Mbak Raras, karena Mbak Beth juga, dia hebat banget
bisa organisasi padahal laporan dua tumpuk.”
Dia memang hebat, tetapi
aku sia-siakan.
“Ayolah mas, aku
sudah nggak tahan, kakiku cenut-cenut.”
Nesa masih saja merengek, dan aku masih sibuk berpikir.
“Kalau Mas Kia nggak gerak juga, aku ambil resepnya, biar
aku yang kesana.”
Aku masih diam.
“Kamu mau menyangkal lagi Mas? Aku nggak ngerti sama
jalan pikiran Mas. Aku tahu Mbak Beth itu cinta pertama mas, tapi begitu ketemu
seolah nggak peduli, Mbak Beth minta tolong, diabaikan. Malah jadian sama
perempuan lain. Aku nggak ngerti kenapa Mas bilang sama Ibu, di perusahaan Mas,
ada lowongan bidang QC, dan jelas-jelas Cuma Mbak Beth yang masuk kualifikasi
itu! Kenapa Mas nggak bilang langsung? Kenapa harus lewat Ibu? Udah hampir
sepuluh tahun lho Mas.”
Karena Masmu, nggak
punya muka untuk ketemu dia dek. Setelah apa yang Mas lakukan.
“Masih diam aja? Mana resepnya? Biar aku yang ambil.
Percuma punya kakak muka ganteng, tapi jaga hati cewek aja nggak bisa.” Sahut
Nesa dengan merampas lembaran resep ditanganku.
Terkesiap, aku menahannya. “Biar Mas aja.” Kataku, sambil
merapalkan diri, bahwa aku harus memperbaiki hubungan pertemananku dengan Beth
yang sempat jauh, karena ulahku yang tahu perasaan gamblangnya padaku.
Dengan perlahan, aku maju menuju loket penyerahan resep.
“Permisi mbak, Beth ada?”
Perempuan berkacamata yang ku yakini adalah rekan Beth,
langsung berbalik arah, setelah menerima resepku. Tidak lama setelah itu, sosok
gadis dengan rambut terurai, tertangkap dalam kornea mataku.
“Ada apa mbak? Aku mau pulang nih, udah jam, hehe.”
Katanya dengan senyum, membuat lesung pipinya nampak. Senyum menawan yang
diam-diam aku sangkal.
“Ada yang cari.”
Gadis itu menoleh kearahku. Senyumnya hilang. Tetapi
berberapa detik kemudian, ia berusaha kembali menampilkan senyum itu.
“Hizkia.” gumamnya singkat.
“Hai,” sapaku. Tanpa diduga, tanganku naik, menggaruk
tengkuk yang sama sekali tidak gatal karena akward
moment ini. “Boleh obatku dan Nesa, kamu yang bawa?”
Dahinya mengerut, lantas aku membaca sorot khawatir
darinya. “Jadi yang kecelakaan di sebelah Rumah Sakit itu kamu dan Nesa?”
Aku hanya mengangguk kaku. Diam-diam hatiku terasa
hangat, karena dia mengkhawatirkan kami.
“Tunggu sebentar ya. Aku sekalian kemas-kemas pulang.”
Aku semakin merasa bersalah dibuatnya. Aku siap jika Beth
pura-pura tidak mengenaliku, atau menolak mendahulukan obatku, dan melakukannya
sesuai prosedur. Mengingat apa saja yang pernah aku lakukan padanya dulu. Aku
bahkan meninggalkan ikatan pertemanan kami, hanya karena mengetahui perasaannya
padaku.
“Kia, Ayo! Kita duduk di pintu IGD samping Pos Satpam ya.
Kasih tau Nesa juga, ada obat yang harus aku edukasi.” Katanya sambil
menggenggam handphone. Terlihat
menghubungi seseorang.
Enggan menjawab, aku hanya melihat punggung kecil itu
berjalan mendahului. Punggung rapuh yang bahkan aku hancurkan hatinya.
“Kassanya diganti setiap habis mandi, jangan lupa
sebelumnya dikompres. Baru dikasih salep.” Aku mendengarkannya yang dengan
telaten memberi pengarahan pada kami.”
Aku melirik Nesa yang terlihat antusias. “Mbak, tubuhku
nyeri semua, kalau obatnya aku minum sekarang nggak papa kan?”
Beth tersenyum kecil. “Nggak papa, tapi yang ini jangan, tidur
di jalan kamu nanti! Lagipula, kok bisa sih, sampai jatuh gitu?”
“Mas Kia nih, ngeyel!
Ngajak muter-muter Solo dulu, karena setahun nggak pulang.”
Dan ketika menyebut namaku, senyum gadis itu luntur.
“Mbak Beth, kalau mau pulang, duluan aja, kami masih
nunggu kabar Bapak, dari tadi nggak bisa dihubungi.” Nesa kembali berucap, ya.
Adikku satu-satunya ini memang cerewet.
“Mbak nunggu temen dulu.” Sahutnya singkat.
Dan tidak lama setelah itu, seorang pemuda, menepuk pelan
puncak kepala Beth. “Nunggu lama? Maaf ya, aku jaga di IGD, dokter Ando telat
datang, jadi aku handle dulu.”
Dan pemuda itu, adalah dokter yang memeriksaku tadi. Jadi
apa Beth…?
“Nggak papa Mas, namanya juga pelayanan.” Sahut Beth, dan
aku kembali melihat senyum tulusnya yang hilang, dan raut lega, seakan dia baru
saja diselamatkan dari badai. Dan aku tahu, aku-lah, badai itu.
Dokter muda itu melirik kearahku dan Nesa. “Loh? Bukannya
kalian yang saya periksa tadi ya? Sudah diambil obatnya? Sebaiknya segera
istirahat di rumah.”
Aku dan Nesa hanya mengangguk kaku.
“Itu Hizkia, teman kecilku, dan Nesa adiknya. Aku kenal
mereka Mas. Jadi selagi nunggu Mas, aku menemani mereka disini. Dan, ini Mas
El, Elliot. Tunanganku.” Ucap Beth menjelaskan.
Aku tidak tahu, kenapa rasa sesak memenuhi sanubariku.
Yang pasti, aku terlambat jika
mengharapkan Beth untuk menjadi lebih dari teman.
Elliot kembali menoleh kearah kami. “Kalian sudah
dijemput? Saya dengar motornya rusak parah. Untung tidak ada luka serius.”
“Rumahnya searah dengan kita kan? Kita antar temanmu
pulang Beth.” Elliot kembali bersuara.
“Nggak merepotkan dok?” sahut Nesa, dan lagi-lagi aku
hanya diam, sedang menata kembali hatiku.
“Teman Beth, teman saya juga. Ayo ke basement. Mobil saya dibawah.”
Aku hanya diam menutupi kecanggunganku. Berada satu mobil
dengan cinta pertama dan tunangannya merupakan hal yang paling getir dalam hidupku.
Namun, mungkin ini salah satu ganjaran yang setimpal setelah hati Beth yang
dulu tak pernah aku perjuangkan, melainkan aku sangkal mati-matian.
“Syukurin! Mbak Beth udah ada tunangan, mana ganteng,
tanggung jawab, dokter lagi! Mas Kia mah lewat!” dan aku mencubit pelan tangan
kanan Nesa yang sedang berbisik ke arahku.
Setelah memakan berberapa waktu, mobil Elliot memasuki
pekarangan rumahku. Dan sudah saatnya aku menjadi laki-laki sejati. Aku tidak
mau mengurung Beth dengan kecanggungan kami. Dan aku tahu, dia pantas
berbahagia.
“Dok, boleh setelah ini, saya meminta waktu sebentar
dengan Beth? Ada yang ingin saya bicarakan berdua dengannya. Dan terimakasih
atas tumpanganya.” ungkapku.
“Silahkan, tidak usah formal, El saja. Sudah saya bilang,
teman Beth, teman saya juga.” Jawab Elliot dengan senyum tulus.
Aku mengangguk sebagai jawaban. Dan setelahnya, Beth
mengikutiku kemana aku melangkah.
“Aku minta maaf.” Kataku dengan yakin.
Beth yang sedari tadi menunduk, mengangkat wajahnya.
“Untuk apa?”
Aku menghela napas. “Kelakuanku bertahun-tahun lalu,
egoisku yang membuat kita jauh, dan bahkan terlalu jauh dari pertemanan.”
“Aku yang seharusnya minta maaf, pasti kamu risih dengan
apa yang aku lakukan dulu. Lupakan saja, semua sudah berlalu. Aku sudah tak
punya perasaan itu ke kamu.”
Aku tersenyum getir. “Apa kamu bahagia dengan tunanganmu
Beth?”
Gadis itu tersenyum tanpa beban. “Aku sangat bahagia. Perwujudan
pasangan masa depan, dari segala yang aku doakan tiap malam, ada pada Mas
Elliot. Mas Elliot adalah bukti, dari baiknya Tuhan.”
Aku menghela napas mencoba merangkai kata. “Aku senang
mendengarnya. Tetapi, kamu perlu tahu, bahwa kamu adalah cinta pertamaku, meski
aku menentangnya habis-habisan. Dan bertahun-tahun aku tidak bisa tidur nyenyak
karena memikirkan betapa aku yang bodoh menentang perasaan itu. Aku masih
mencintaimu Beth, meski ribuan kali aku menyangkalnya, dan tahun berganti
setelahnya.”
Beth tertawa hambar. “Aku tidak tahu bagaimana aku harus
menanggapinya, Kia. Tanpa mengelak, kamu-pun tahu, bahwa kamu adalah cinta
pertamaku. Dan aku sangat senang mendengarnya, jika kamu mengatakan ini sepuluh
tahun yang lalu. Tetapi, hatiku sudah tidak sama Kia. Mas El datang dan
memenuhi semuanya. Tanpa sisa.”
Dan aku tahu, tak ada
lagi setitikpun aku di hatimu.
Tanganku
mengepal erat. Sesal yang hinggap memang tiada guna. Dia tak pernah
kuperjuangkan, dia selalu aku abaikan, bahkan ketika dia meminta bantuan, aku
menolaknya, dan sangat egois jika aku tidak melepasnya menjemput kebahagian
yang hakiki. Bersama dengan pria yang ia cinta.
“Aku tahu Beth, rasa sesal yang memenuhi diriku tidak ada
artinya dengan kesakitanmu saat mencintaiku dulu. Dan aku minta maaf untuk
segala yang aku lakukan, walau aku tahu, kata maaf tidak akan cukup.
Berbahagialah dengan Elliot, Pria yang kaucinta.”
Tanganku terulur, menepuk pelan puncak kepalanya.
“Aku sudah memaafkanmu, sejak dulu. Dan selamanya kamu
akan jadi temanku, Kia. Terimakasih, kamu juga berhak bahagia, pasti ada gadis
yang mendoakanmu tiap malam untuk menjemputnya.” Beth berujar tulus, setelahnya
melangkah meninggalkanku, dan memeluk Elliot dengan erat. Wajahnya terlihat
cerah.
Aku berjalan menyusulnya. Tidak enak jika Elliot salah
paham. Apalagi, aku sempat menepuk pelan puncak kepala Beth.
“Aku menunggu undangan dari kalian.” ucapku tulus, “dan
maaf, Mas, aku meminjam Beth sebentar, juga terimakasih, urusan kami sudah
selesai.” Aku memutuskan memanggil Elliot dengan sebutan mas karena aku tahu, dia pasti jauh berada diatasku, mungkin
sekitar empat tahun, karena Beth-pun memanggilnya demikian.
“Terimakasih doanya Kia. Doakan secepatnya, karena saya
sangat mencintai teman kecilmu ini.” dan aku tahu, Beth merona setelahnya.
Sesak dan sesal itu masih hinggap, tetapi tidak ada yang
lebih melegakan dibandingkan dengan melihat Beth bahagia.
**
Kamu
mempertahankan rasa meski aku enggan.
Kamu
memupuk rasamu, sedangkan aku memangkasnya sebelum mekar.
Kamu,
seseorang yang tidak pernah aku perjuangkan.
Kamu,
cinta pertama yang aku sangkal hadirnya.
Sesal
tak ada arti.
Waktu
tidak dapat kembali.
Aku
kembali memangkas hati,
Untuk
kamu, yang bahagia dengan cinta sejati.
Terimakasih
telah pernah singgah,
Meski
tak tertambat.
Terimakasih
pernah bersabar.
Meski
tak menggengam asa.
Dan,
terimakasih… karena menunggu.
Meski
tak pernah acuh.
Label:
New Fict
Rabu, 27 September 2017
SUMMER RAIN
SUMMER
RAIN
Karena
hujan musim panas, selalu mengingatkanku pada kenangan yang telah lalu.
Kenangan
yang mengingatkanku, pada kamu.
Butiran
air kembali meluruh dari langit. Namun aku enggan beranjak, membiarkan tubuhku
perlahan basah karenanya. Ini masih musim panas, dan matahari masih sedikit
menampakan sinarnya. Tadi cuaca begitu panas, dan hujan baru saja mengubahnya
perlahan. Aku suka hujan di musim panas, karena harum petrichor yang lebih tajam. Pun, hujan musim panas, kembali
mengingatkanku pada dia.
Dia,
pemuda yang hadir tak terduga, seperti hujan di musim panas, cinta pertamaku.
Ya,
setiap manusia punya cerita tersendiri bagaimana mereka bertemu dengan cinta
pertamanya.
Begitupun
denganku. Semua berawal dari hujan di musim panas. Aku saat itu nekat menerobos
hujan karena tak kunjung reda, dan dia yang sama sekali tidak aku kenal,
berjalan menghampiriku, dan rela berbagi payung denganku.
“Tidak
baik anak gadis berlari di tengah hujan. Bajumu hampir basah seluruhnya.” Dia berujar
dengan senyuman, senyum yang mengingatkanku pada petrichor, meneduhkan.
Aku
tidak tahu apa yang membuatnya mengikutiku, kemanapun aku melangkah, padahal
kami tidak saling mengenal. Dan diam-diam, aku melihat parasnya. Dia selalu
tersenyum, dan menyapa semua orang yang ia jumpai. Padahal, aku tidak
sepenuhnya yakin dia mengenal semua orang yang ia sapa.
“Kenapa
melihatku seperti itu? Menyukaiku?” saat itu, dia bertanya lagi, sembari
menaikan alis.
Saat
itu, aku membuang muka, memasang wajah garang. “Apa kamu orang jahat yang
sedang mengambil kesempatan pada seorang gadis? Aku tidak mengenalmu. Dan kamu
dengan suka rela membagi payungmu denganku.”
Aku
kembali berlari, dan ia kembali menyamakan langkah denganku. Dan ditengah
guyuran air yang jatuh, ia mengucapkan namanya, Revan. Dan aku tak tahu, bahwa
setelahnya, nama itulah yang terukir dihatiku untuk kali pertama.
Revan,
yang kutahu dia dan aku berasal dari sekolah yang berbeda. Dia berada dua
tingkat di atasku. Aku, tidak tahu darimana dia muncul dengan payung biru
dongker miliknya, dan berbagi payung denganku. Tidak ada yang spesial, selain
kami adalah partner berbagi payung
saat hujan turun.
Aku
tidak tahu, bagaimana, dan kapan tepatnya aku mulai menyadari perasaan asing
yang menyapaku untuk kali pertama, yang pasti, ketika tiba-tiba hujan turun,
aku berharap dia dihadapanku, dan mengulang kejadian pada senja berhujan itu,
lagi, dan lagi.
Namun
aku lupa, jika jatuh cinta, akan diberikan sekaligus dengan rasa sakitnya. Apalagi,
cinta yang dirasakan dengan diam-diam. Pada satu hujan di musim panas, dia
tidak ada. Dia tidak berlari kearahku dengan senyuman meneduhkan miliknya. Satu
jam berlalu, hujan masih turun, dan dia sama sekali tidak ada.
Aku,
kembali menerobos hujan, dan kekecewaanku berlipat ganda ketika mendapati dirinya
menepuk kepala seorang gadis. Mereka berjalan beriringan dan memasuki Toko
Aksesoris. Seharusnya, aku tidak pernah jatuh cinta kepada dia. Kami hanya dua
orang yang kebetulan bertemu sewaktu hujan. Kami bukan sahabat yang telah lama
mengenal, dan bahkan disebut sebagai teman, rasanya hubungan kami-pun sangat
jauh dari itu.
Maka,
yang aku bisa lakukan adalah menyimpannya sebagai kenangan. Kenangan yang aku
dapat dikala hujan musim panas. Berterimakasih diam-diam padanya yang seperti
pelangi, keindahan yang hanya bisa dirasakan dalam sekejap, dan juga untuk luka
yang diam-diam dia beri tanpa menyadarinya. Cinta pertama yang kurasakan
delapan tahun yang lalu.
“Alea?”
Aku
kembali membuka mata, tersadar akan lamunan masa pertama putih abu-abu.
“Kamu
benar Alea? Ternyata, setelah delapan tahun berlalu, kamu masih suka
hujan-hujanan ya.”
Aku
mendongak kearahnya, Pemuda dengan wajah tegas, dan lesung pipi yang rupawan,
mengingatkanku lagi pada kenangan di hujan musim panas.
“Saya
Revan, kamu lupa?”
Ah,
benar dia rupanya. Dan aku baru benar-benar tersadar, bahwa hujan tak lagi
menyentuh kulitku, karena dia kembali merelakan payungnya untuk tidak membuatku
terkena air hujan.
Aku
hanya tersenyum tipis. Tidak tahu harus menanggapi bagaimana.
“By the way, selamat untuk peluncuran
buku ketiga kamu, meski yang pertama tetap jadi favorit. Saya ini, penggemar
beratmu lho.”
Aku
terkesiap, jika Revan membaca semua karya milikku, bisa jadi dia sadar, bahwa
aku sedang menuliskan kisah kami, dibuku pertamaku.
Dia
memintaku membawakan payungnya. Setelahnya, ia melepas jaket hitam miliknya,
dan menyampirkannya pada bahuku.
“Kamu
sudah menggigil, ayo saya antar pulang.” Ujarnya sambil menggenggam erat
tanganku.
“Saya
selalu membaca karya kamu. Dan saya selalu hadir dalam peluncuran buku kamu. Tetapi,
saya kecewa, kamu sama sekali tidak mengenali saya.”
Aku
kembali mendongak menatap dirinya yang lebih tinggi. Menyadari, bahwa pemuda
ini memang familiar dalam
pandanganku. “Maaf.” Ucapku singkat.
“Tidak
masalah, selama saya bisa menjadi Pangeran Hujan milik Alea.”
Aku
menghentikan langkah, membuatnya melakukan hal yang sama. “Maksud kamu?”
“Saya
tidak suka berbasa-basi Alea, mungkin ini terlalu mengejutkan untuk kamu. Saya
sudah mencintai kamu sejak delapan tahun yang lalu. Saya yang tiba-tiba muncul
selama hujan turun, bukanlah suatu kebetulan. Saya sahabat Adimas, kakak sepupu
kamu.”
Pengakuannya
membuatku membelalak tak percaya. “Kalau kamu benar mencintai saya selama itu,
kenapa saya pernah melihat kamu dengan seorang gadis waktu hujan turun
dipertengahan bulan Mei? Dan kenapa setelah itu, kamu tidak pernah terlihat lagi
dalam pandangan saya?”
Dia
menaikan alis. “Kamu cemburu?”
Aku
menggeleng keras, berusaha mengelak. “Saya hanya merasa tidak pantas jika
berjalan dengan seorang pemuda yang memiliki kekasih. Meski niat kamu hanya
untuk menolong saya.”
“Wanita
yang dekat dengan saya, hanya Ibu dan Aira, sepupu perempuan saya. Tiga hari
setelah pertemuan terakhir kita, saya meminta Aira untuk menemani saya ke Toko
Aksesoris. Saya berniat memberikan ini pada kamu. Tapi, setelahnya saya merasa
bahwa saya belum pantas.” Revan berkata dengan menunjukan gelang sederhana
berwarna biru dongker. Khas dirinya.
Aku
semakin tidak mengerti dengan hatiku, rasanya campur aduk, dan ada rasa lega
terseip didalamnya entah karena apa. Revan masih mengingat semua kisah kami
dengan baik, padahal delapan tahun sudah berlalu, dan kami tidak terlalu dekat.
“Adimas
berulangkali melarang saya mendekati kamu. Nyatanya, saya melanggarnya, dan
melakukan hal konyol seolah-olah pertemuan kita adalah sebuah kebetulan. Tetapi
perkataan Adimas kembali menampar saya, dan saya mungkin juga melakukan hal ini
jika itu juga terjadi pada Aira.”
“Memang
apa yang dikatakan Mas Dim?”
“Adimas
bilang, saya tidak pantas untuk kamu. Kamu adalah perempuan mandiri, bahkan di
tahun pertama SMA, kamu sudah mempunyai usaha sendiri, dan semakin mapan ketika
karya-karyamu diterbitkan. Sedangkan saya? Uang jajan saja masih minta orang
tua. Saya malu dengan diri saya sendiri selain itu, saya masih jauh dari
pangeran impian kamu.”
Aku
tidak percaya, Mas Adimas seprotektif itu padaku. Bahkan sampai melarang sahabatnya
sekeras itu. Dan aku tahu, itu melukai harga diri Revan sebagai lelaki. Rasanya
rasa sakit yang aku buat sendiri karenanya, tidak sebanding dengan luka yang ia
rasakan untuk memperjuangkanku.
“Dan
puncaknya saat saya ingin memberikan gelang ini pada kamu. Adimas melarang saya
bertemu kamu. Karena saya belum pantas untuk kamu. Maka setelah kelulusan, saya
menghilang, berusaha keras menjadi dokter dan melakukan apapun agar saya bisa
pantas bersamamu. Dan sekarang, saya sudah ada pada batas diam-diam saya. Saya tidak
mau sembunyi lagi dari kamu, dan melihat kamu dari jauh seperti yang saya
lakukan selama ini.”
Revan
menjatuhkan payungnya, membiarkan kedua tubuh kami kembali terguyur air hujan. “Alea,
jangan menyerah mempertahankan cintamu.”
Aku
tersentak, kata-kata ini adalah salah satu komentar dari salah satu pembaca
setia di buku pertamaku yang menceritakan cinta pertama yang tidak pernah bisa
diungkapkan, sekaligus quote’s yang
aku tuliskan dibuku ketigaku. Kata-kata yang entah kenapa, sederhana tetapi terasa
luar biasa. Jadi Revan ini…
Entah
apa yang mendorongku memeluknya erat, dan aku rasa, aku telah tahu jawaban
hatiku, Pemuda ini adalah cinta pertamaku, sekaligus akhirnya.
***
Aku sangka, aku yang menyimpan rasa
ini sendiri
Nyatanya,kamu telah menyimpannya
lebih lama untuk dirimu sendiri.
Aku kira, aku yang hanya merasakan
luka ini.
Tetapi, kamu merasakan luka yang
jauh lebih besar, dan tidak peduli dirimu yang tersakiti.
Yang aku tahu, kamu adalah pelangi.
Hanya sekejap untukku merasakan indahnya gradasi.
Faktanya, kamu adalah langit,
diam-diam selalu ada, tanpa mau pergi.
Awalnya, bagiku kamu adalah luka. Cinta pertama sebatas angan.
Tetapi, pada akhirnya kamu adalah keajaiban. Pembawa kenangan, penuntun masa depan.
Pangeran Hujanku.
***
Voilaa akhirnyaa saya post cerpen lagi. Dan ini terinspirasi dari lagu summer rain dr Gfriend. Jadi saya sarankan ketika membacanya, dengarkan lagu itu, karena akan pas banget... Cinta pertama pembawa kenangan di musim panas.
Awalnya, bagiku kamu adalah luka. Cinta pertama sebatas angan.
Tetapi, pada akhirnya kamu adalah keajaiban. Pembawa kenangan, penuntun masa depan.
Pangeran Hujanku.
***
Voilaa akhirnyaa saya post cerpen lagi. Dan ini terinspirasi dari lagu summer rain dr Gfriend. Jadi saya sarankan ketika membacanya, dengarkan lagu itu, karena akan pas banget... Cinta pertama pembawa kenangan di musim panas.
Label:
New Fict