RSS

Senin, 29 Desember 2014

Memoar Akhir Tahun : "Tampan Tak Tergenggam."









Tampan Tak Tergenggam.

Kenyataan itu, kini tengah menggenggam sebuah perasaan. Perasaan yang tidak tahu kapan ia datang, kapan ia dapat dikecap, dan kapan ia ada. perasaan yang tidak pernah terduga, dan dapat dirasakan siapa saja.

Tentang Cinta.

Apa yang dimaksud dengan jatuh cinta, dan membangun cinta? Atau…

Apa yang diharapkan dari mencintai, dan dicintai?

Aku tidak mengerti, kenapa Tuhan menciptakan rasa cinta, jika pada akhirnya ada segelintir orang merasakan luka. Apakah itu yang dimaksud dengan cinta? Bahkan segelintir orang berkata, orang yang sering menyakitimu, adalah orang yang paling mencintaimu. Tetapi apa benar?

Jatuh cinta itu mudah, kamu tahu? hanya sekian detik dari sekian banyak waktu, dapat membuatku jatuh cinta kepadamu. Aku tidak mengerti bagaimana perasaan itu datang. yang jelas, kamu adalah, satu-satunya anak laki-laki yang pernah menghabiskan waktu terlama dengan Ayahku. Laki-laki yang aku sayang seumur hidupku.

Kamu, anak laki-laki yang datang dengan kesederhanaan, yang dengan senyuman tipis khasmu, mencoba membuatku bangkit dari keterpurukan itu, keterpurukan saat orang yang paling aku sayang pergi dari dunia.

Kamu bahkan tidak mengucapkan kata pada saat itu, tetapi sorot matamu seakan berkata segalanya, sorot matamu seakan memperlihatkan rasa kehilangan yang sama. Dan genggaman lembut dari tanganmu, membuatku tersadar pada hatiku. Bahwa aku jatuh cinta dengan kamu.

Hubungan kita memang tak selalu berjalan dengan baik, kita sama-sama tahu, bahwa aku pergi dengan mimpiku, dan kamu pergi dengan mimpimu. Hingga, suatu senja kembali mempertemukan kita.

Kamu telah tumbuh menjadi pemuda yang melebihi batas atas ekspektasiku. Kamu… Tampan. 

Dan satu hal lagi yang membuatku semakin jatuh cinta lagi padamu, kamu berkata; kamu tidak akan mengikat hubungan khusus dengan seseorang sebelum kamu berhasil meraih mimpimu. Sebuah prinsip yang dari awal telah aku pegang juga.

Aku tidak mengerti, setiap cerita yang aku ciptakan lagi-lagi selalu tergambar sosokmu. Ribuan bait dan kata yang tertulis rapi dalam sebongkah kertas, selalu aku ciptakan untuk kamu.

Sosok yang hanya bisa aku pandang sebatas punggung.

Aku selalu diam-diam menyelipkan sosokmu, dalam tiap alur cerita yang aku buat. Entah kenapa… aku tidak ingin penantian yang aku rasakan berlalu begitu saja, tanpa bisa aku rekam.

Ironis, ketika orang-orang terdekatku membaca tiap kata yang aku tuliskan, mereka selalu tahu, aku… tidak bisa berhenti menuliskan sosokmu dalam rangkaian kata yang aku buat. Malangnya… dari sekian banyak cerita yang aku buat, sampai detik inipun, menggenggam namamu saja aku tidak mampu.

Aku hanya terdiam, menggumamkan namamu pada bintang, yang acapkali membias wajahku ketika malam. Menunggumu dalam diam, mengharapkanmu dari jauh. Karena dari awal, aku tidak mau mengganggu mimpimu.

Membiarkan kita berjalan pada mimpi masing-masing, tanpa tahu pada akhirnya persimpangan jalan itu tidak akan menemui ujung. Kita… tidak bisa bersatu.

Aku tidak pernah tahu berapa malam yang telah aku bunuh untuk menunggu kamu, meski kita tumbuh di tempat berbeda, tetapi kita sama-sama tahu, bahwa kita tetap berada pada langit yang sama.

Kamu jatuh cinta terlebih dahulu, itu wajar, karena jatuh cinta selalu datang tanpa bisa diharapkan. Ironisnya, kamu tidak jatuh cinta denganku. parahnya lagi, kamu mengabaikan prinsipmu dan mengikat hubungan dengan seseorang.

Pada akhirnya, apa yang aku nanti hanya kembali dengan sebuah angan. Kamu… telah dimiliki orang lain. Kamu mengabaikan prinsipmu yang dulu kamu pegang teguh. Kamu bukan lagi yang aku nantikan dulu.

Orang bilang jatuh cinta adalah interaksi sepadan antara menghampiri, dan dihampiri. Hingga pada akhirnya, seseorang akan berpetualang dari dari daratan satu, ke daratan yang lain, bahkan dari satu samudera, ke samudera yang lain hingga akhirnya dia berlabuh. dan singgah disana untuk selamanya.
Kata seorang sahabatku, kamu sedang berpetualang. Hingga pada akhirnya nanti kamu akan mencari tempat, dimana sesungguhnya kamu akan kembali pulang.

Aku hanya tertawa hambar, ketika sahabatku bertanya. Maukah aku menjadi tempat untukmu pulang?

Faktanya, kamu bukan lagi kamu yang aku tunggu. Kamu hanya meninggalkan luka-luka kecil yang aku tidak tahu kapan luka itu akan sembuh dan menghilang.

Aku bahkan ingin menelan segenggam benzokain, agar seluruh organ tubuhku mati rasa melihat kamu. Ini terlalu sakit untuk dirasa, kamu membuat sakit tanpa kamu sendiri sadari.

Terkadang, aku meratapi hidupku. Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada sosok seperti kamu? Hingga pada akhirnya, aku sendiri juga tersiksa dengan perasaan yang hanya membuatku merana kemudian.

Kamu membuatku jatuh terlalu dalam. Tanpa tahu aku begitu susah menggapai permukaan itu lagi.

Kamu membuatku tenggelam dalam samudera, tanpa tahu aku hampir menghabiskan napasku, hanya untuk menunggu kamu yang tidak  pernah menghampiriku.

Kamu bahkan seperti narkotika. Membuat candu tapi mematikan.

Kamu, pemuda yang membuatku jatuh cinta dengan cara menyedihkan. Cinta pertama yang mengandung seribu luka.

Kamu… terlalu sulit untuk aku gapai. 

Kamu terlalu sempurna untuk aku genggam. 

Ketika apa yang diharapkan, tidak kunjung dapat digapai, kita pasti memilih menyerahkan? 

Begitupun aku. Aku sudah tidak bisa mengokohkan perasaan ini lagi. Perasaan yang selalu membuatku tersiksa.

Karena perasaan ini telah tertanam, dan tumbuh sendiri dalam hati ini, maka aku juga berusaha, agar perasaan ini bisa terkikis seiring berjalannya waktu.

Aku sadar, bahwa aku bukan siapa-siapa.

Tidak selamanya, aku harus mengejar sosok yang terus berlari tanpa ia mau menoleh ke arahku, aku tidak ingin seperti Eros, yang menghabiskan seluruh hidupnya, untuk seseorang yang selalu terlihat punggungnya saja.

Maka dari itu, jika kamu membaca tiap kata yang aku tuliskan ini, anggaplah ini tidak pernah ada.

Aku minta maaf, untuk enam tahunku yang selalu menunggu kamu, dan untuk setiap perasaan yang membebani setiap kita, tanpa bisa aku cegah.

Aku memilih mundur. Mencoba menganggap perasaan yang telah aku pupuk selama enam tahun itu tidak pernah ada.

Kamu tahu? pada akhirnya, aku bisa menjawab apa yang ditanyakan sahabatku sebelumnya, aku tidak mau menjadi tempat untuk kamu pulang.

Sesederhana Dandelion yang ditiup angin, aku membiarkan juga harapan sederhanaku terbang untuk terwujud, harapan untuk dapat melupakan kamu.

Aku yang sekarang tidak mau jatuh cinta, yang aku inginkan hanya membangun cinta. 

Aku memilih membangun cinta, karena membangun cinta memerlukan waktu seumur hidup, tidak seperti jatuh cinta yang hanya membutuhkan waktu sekejap.

Aku ingin membangun cinta bersama seseorang yang menghampiriku kelak, seseorang yang tidak pernah memberiku sebuah kata ‘kadang’. Seseorang yang memang pantas aku tunggu, seseorang yang setiap malam aku doakan, dan kini belum aku temukan.

Lanjutkanlah hidupmu yang sekarang, Selama itu membuatmu berbahagia. Jagalah dia, seseorang yang kamu pilih. 

Suatu kenyataan yang kembali membungkam anganku, selama enam tahun ini, kamu tampan… tetapi tidak bisa aku genggam.

………………
Malam ini,
Ditengah bintang yang bertaburan dilangit,
Aku menulis sajak tak berarti,
Untuk laki-laki yang tidak pernah bisa aku gapai,
Enam tahun yang aku rangkai dalam mimpi,
Kini terbongkar mengikis misteri,
Aku memantapkan hati,
Bahwa aku… tidak akan menunggu kamu lagi,
Cukup jadilah kemarin,
Jangan pernah datang lagi,
……………………………
Diantara angin yang tak lagi membisikan kata rindu,
Aku……………………….
…. Tidak lagi butuh kamu



Tertanda,
Gadis yang pernah menanti kehadiranmu dalam diam.

-----------------------------------------------------------------------------------------------

akhirnyaa dengan ini saya dan teteh agen menyatakan bahwa kami akan sama-sama berhenti, dan melanjutkan hidup yang sesungguhnya tanpa bayang-bayang masa lalu.
2015 kami mau sama-sama membuka  buku baru, bukan lembaran, karena udah mainstream.
kami mau move up! yeayy! selamat menyongsong tahun baru 2015^^
ini link surat dari teteh agen purwakarta  Tampan Tak Tergenggam By Nita
Gb us :D salam bintang dandelion~


Kamis, 18 Desember 2014

Dear Altair


Dear Altair.


               Jika ia adalah seorang yang layak kau tunggu, ia tidak akan memberimu hanya sebuah kadang – Bernard Batubara.
               *
               Aku mengeratkan sweteerku dari udara malam yang benar-benar menusuk tulang. Melihat cahaya bintang yang mulai redup, dan bulan yang sama sekali tak nampak, membuatku mengingat akan satu hal. Hal yang terus saja mengusik alam bawah sadarku. Bahwa mulai hari ini, semua akan terasa berbeda.
               Kau, anak laki-laki yang sekarang telah menjadi seorang pemuda, sosok telah tumbuh melebihi batas atas ekpektasiku. Pemuda jangkung, dengan raut datar yang menjadi ciri khasmu. Tetapi, bukan itu yang menggangguku, melainkan… perasaan bagaimana mencintai dan dicintai.
           Bonaventura Altair, sosok yang telah aku kenal selama lebih dari separuh usiaku. Sahabat kecilku, anak laki-laki misterius yang aku jumpai di sudut perpustakaan. Sosok yang akhirnya… membuatku jatuh cinta untuk pertama kali.
               Jatuh cinta itu menyedihkan. Mungkin seperti itulah yang tengah aku pikirkan sekarang. Karena jatuh cinta, membuatku menunggu dalam ketidakpastian. Ketidakpastian untuk mendapatkan hatimu.
             Kau pernah berkata, “Aku tidak ingin jatuh cinta dulu, karena aku ingin meraih mimpiku, untuk sesuatu yang lebih tinggi dari mimpiku sendiri. Cintaku, sosok yang akan menutup hatiku untuk orang lain kelak.”
               Saat itu, aku hanya tersenyum tipis. Tidak mengerti bagaimana harus menanggapi. Tetapi, aku setuju dengan prinsipmu, prinsip yang akhirnya aku pegang erat-erat dalam hatiku.
         Dengan senyuman tipis, kau menatapku dengan teduh. Kemudian berkata lagi, “Aku ingin seorang gadis menungguku dengan tulus, menunggu hinga aku menjadi sosok yang dia banggakan kelak. Menyambutku dengan senyuman lebar, saat aku kembali pulang untuknya.”
              Saat itulah, tekadku telah bulat, menunggumu hingga aku bisa menjadi gadis yang kau idamkan itu. Tanpa aku mengerti. Sesungguhnya, menunggu adalah hal yang sia-sia aku lakukan seumur hidupku.
               Kau tahu? aku mulai merasakan perasaan itu, ketika kau… sosok yang aku kenal dingin, dan misterius, menghiburku disaat aku sedang dilanda keterpurukan. Kau datang bagai angin, yang meniup aku –si dandelion yang rapuh- dan membuatku terbang pada padang subur, sehingga aku dapat hidup menjadi jiwa baru.
            Itu berarti, sudah lebih dari setengah windu, aku memendam perasaan itu. Perasaan yang tiba-tiba hadir, tanpa membuatku mengerti. Jatuh cinta. Jatuh cinta dengan cara menyedihkan.
          Hubungan persahabatan kita, sangat berlangsung baik. Karena upayaku yang selalu ingin mempertahankan persahabatan ini, berupaya menunggumu dalam diam, tanpa mau mengungkapkan bagaimana perasaanku sesungguhnya.
               Hingga suatu malam, di tengah pendar bintang yang membias wajah kita. kau kembali berujar lembut, katamu, “Kau tahu? aku terkadang membayangkan kisah cintaku seperti roman picisan yang baru saja aku baca. Kisah tentang seseorang yang jatuh cinta pada sahabatnya sendiri.”
          Aku memandangmu dengan raut ragu. “Jatuh cinta pada sahabat? Apa kamu tengah merasakannya sekarang?” tanyaku takut-takut.
               Tanganmu terulur, mengacak pelan rambutku. Kau kembali memandang langit malam, sambil berkata. “Aku tidak tahu, tetapi aku berharap seperti itu.”
               Aku memandangmu heran, karena tidak biasanya kau terbuka seperti ini, karena biasanya, kau selalu menyimpan misteri dibalik kata. “Siapa? Dan kenapa kamu menjadi sedikit aneh malam ini? Bonaventura Altair lebih banyak bicara.”
                 Kau mengangkat kedua bahumu sekilas, kemudian kembali menatap bulan yang hanya tinggal seperempat. “Aku hanya memiliki satu sahabat perempuan. Dan kau tahu itu siapa.” Katamu.
        Lagi-lagi perkataanmu membuat ribuan kupu-kupu di perutku serasa terbang, rasanya menggelitik, dan membuatku menampilkan senyum lebar. Tetapi aku tidak ingin menarik kesimpulan lebih cepat, takut-takut membuatku terluka pada akhirnya.
               “Altair,” panggilku saat itu. “aku tidak mengerti maksudmu.” ujarku polos.
              Kau hanya tersenyum kecil. “Kau akan tahu suatu saat nanti. Belum saatnya kita membicarakan ini, kau pasti tahu dengan prinsipku. Tetapi… semoga saja perasaan aneh itu tidak berubah, karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi dimasa yang akan datang.” ucapmu, setelah kita dilanda keheningan cukup lama.
         Saat itu aku mengerti, itulah rasanya dihampiri. Tanpa sadar, itulah terakhir kali sosokmu menghampiriku dengan hati.
               *
            Kita pasti sama-sama tahu, berapa malam yang kita bunuh bersama untuk menatap langit, kau tahu? itu kembali mengingatkanku pada malam terakhir yang kita bunuh berdua, membuatku tersadar, bahwa kau… sama sekali tidak pernah mengharapkanku.
             Aku bertanya, “Menurutmu, bagaimana fase jatuh cinta?”
            Kau menjawab tak acuh, “Apa perlu aku jawab? Bukankah aku pernah berkata, bahwa aku tidak ingin jatuh cinta dulu?”
          Aku mengrenyit heran. Memandangmu yang kembali terlihat dingin, seperti es di belahan bumi utara. “Bagaimana dengan kisah cinta yang kau inginkan? Masihkah berharap seperti roman picisan yang kau baca?”
       Kau mendengus, kemudian berdiri memunggungiku. “Bukan urusanmu,” tandasmu. “aku tidak memedulikannya lagi.” lanjutmu kemudian.
      Dan kau ingat apa yang terjadi di malam selanjutnya? Kau datang dengan senyuman tipis dan menawan, mengatakan sesuatu yang membuatku merasakan betapa menyakitkannya jatuh cinta.
         Katamu, “Kau tahu Stella? Aku jatuh cinta, dan menyatakan perasaanku pada seorang gadis. Maaf kemarin aku terkesan berbeda. Karena aku sedang bingung, bagaimana menyatakan perasaan pada seorang gadis. Kau tahu, ini yang pertama kali buatku.”
         Aku tersenyum miris, memberanikan diri untuk bertanya. “Bagaimana dengan prinsipmu? Meraih mimpi untuk sesuatu yang lebih tinggi dari mimpi itu?”
       Kau tersenyum kecil, senyum yang kini bukan untukku. “Aku yakin dia mengerti, sebaiknya kau juga segeralah menyusulku.”
      Hancur sudah, kepastian itu sudah aku dapatkan. Bahwa aku bukanlah yang ada dihatimu. Kau tahu? penantianku ternyata hanyalah sia-sia belaka.
        Seharusnya aku tahu, perkataanmu tempo hari adalah penolakan halus bagiku, harusnya aku telah berhenti berharap sebelum ini. karena faktanya, Angin itu meniup biji dandelion pada tanah gersang. Membuat biji itu akhirnya mati, dan menghilang.
               *
      Setelah malam itu, jarak itu terasa kian ketara. Hingga kau kembali mengatakan hal yang membuatku tersadar, aku tidak pernah ada dihatimu dari awal.
            Sambil memunggungiku kau berkata, “Stella, aku mengerti betapa berat rasanya menunggu. Kau harusnya mengerti. Kebahagiaanmu bukan aku.”
          Kau tahu? aku rasa dinding es yang sedari dulu kau pasang telah meleleh, tetapi malangnya, air itu menimpaku dan menenggelamkanku sekarang. Tetapi aku tidak butuh pelampung. Karena rasanya aku sudah mati.
            Mungkin memang benar, jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri.
            Terimakasih untuk setiap luka, kebohongan yang indah, dan jatuh cinta untuk yang pertama kali dengan cara menyedihkan.
          Dear Altair, terimakasih membuatku mati. Mati untuk merasakan perasaan yang lain. Perasaan yang membuatku takut jatuh cinta lagi.

 end-

*
huaa akhirnya bisa post.. :'D yuhuu saya kembali^^ setelah merenung, akhirnya saya memutuskan ini cerpen terakhir saya dengan tema chldhood! maaf tante mar dan tante2 yang lain, uthe nggak bisa tepatin wish 18thbornday, dan coretantintanirmala telah berubah menjadi giardanila. meski nama itu telah memiliki banyak kenangan karena saya banyak kode lupakan* intinya saya tidak mau terjebak dalam masa lalu. fict ini terinsipirasi dari novel teranyar Benard Batubara. "Jatuh Cinta adalah Cara
 Terbaik untuk Bunuh Diri." itu kata-katanya dalemmm banget, dan saya berniat mau membelinya suatu saat nanti haruss! intinya hits banget kata2 menunggunya, dan lagi-lagi cerpen ini ---- *sudalah teteh agen yang tahu* 2015 saya mau buka buku baruu, lembaran aja udah mainstream wkwk

dan yang masih mengingat Stella, ini adalah cerpen penghubung antara It's Not First Love dan Kabar Dalam Angan, yang pengen baca bisa ubek-ubek hehe, makasih! salam bintang dandelion^^