RSS

Kamis, 10 Desember 2015

Remember *Flash Fiction*


“Ingatlah, bahwa aku akan selalu menunggumu, meski ada jarak yang tiba-tiba terbentang diantara kita. Yakinlah, jarak itu akan menghilang seiring dengan kepingan hati kita yang kembali utuh jika disatukan.”
***
“Aku tunggu pukul sembilan nanti. Sampai jumpa di depan Stade de France.”
Vega tak kuasa mengulum senyum setelah mendengar suara baritone yang kini terdengar familiar di telinganya.
Gadis itu bangkit dari tempat ia tidur, kemudian berjalan menuju rak pakaian. Jari-jari mungilnya bergerak terampil memilih pakaian yang ia anggap cocok untuk malam ini. Hingga pilihannya jatuh pada gaun berwarna biru muda dengan bunga kecil berwarna senada yang memutari pinggang.
Dengan senyum merekah dia mematut dirinya di depan cermin, ia memang tidak suka terlalu berlebihan, jadi ia hanya memoles wajahnya dengan make up tipis dan membiarkan rambutnya terurai.
***
Altair tidak dapat berhenti memasang senyum, pemuda itu melempar pandangan pada kotak berwarna merah marun dan setangkai mawar yang dia genggam. Tiga tahun sudah berlalu, ia rasa itu cukup untuk menjadikan gadisnya menjadi milik Altair seutuhnya.
Apartemen gadis itu dekat dengan Stade de France, ia terlalu gugup untuk menunggu di depan Apartemen gadis itu, dan memilih menunggu di Stade de France untuk menghilangkan kegugupannya.
Ia telah membayangkan saat-saat berdansa dengan Vega di bawah bintang, di dekat Menara Eiffel. Ia tidak sabar menunggu pipi pualam sang gadis yang merona, atau senyuman malu-malu yang nampak pada wajahnya. Altair mencintai gadis itu. Sungguh.
Lima menit menunggu Vega, dari sela-sela keramaian, Altair dapat melihat gadis itu terlihat kebingungan mencarinya. Spontan ia melambai, dan memanggil gadis itu.
“Vega!”
Gadis itu belum menoleh, saat ia akan memanggilnya lagi, tiba-tiba tubuhnya terasa terlempar, udara menjadi panas tidak terkira, suara teriakan bersahutan dengan suara ledakan yang maha dahsyat. Kemudian semuanya menggelap.
***
Altair terus menyalahkan diri sendiri. Setahun telah berlalu semenjak tragedi itu, dan sang kekasih hati sama sekali belum dia temukan. Kepala Kepolisian berkata banyak korban yang terlalu sulit untuk di identifikasi, dan Altair menolak tahu, karena dia percaya, Vega pasti masih hidup.
Andai dia menunggu di Apartemen gadis itu, Andai ledakan bom, dan aksi terorisme itu tidak pernah ada, andai dia tidak membuat janji bertemu di Stade de France, semua ini pasti tidak akan terjadi. Tidak akan.
Langkah tegap pemuda itu kian merapuh, punggungnya seakan hancur. Dipandangnya Stade de France yang masih menjulang dengan tatapan nanar. Andai gadisnya masih disini, disisinya.
Netra hitamnya mengerjap, ketika dia melihat sesosok gadis mengenakan gaun biru yang terasa familiar dimatanya. Itu… Vega, gadisnya.
Tanpa membuang banyak waktu, dia berlari kearah gadis itu lantas memeluknya erat.
“Kau kembali.”
Gadis itu tersenyum, lantas berkata, “Kamu harus ingat, bahwa aku akan selalu menunggumu.”
“Jangan pergi lagi.” Bisik Altair tepat di telinga Vega.
“Tidak akan, karena kepingan hati kita telah menjadi utuh.”
Seiring mengeratnya pelukan mereka, seiring hilangnya jarak antara tubuh mereka, sebilah cahaya melingkupi tubuh mereka, kemudian yang tersisa hanya embusan angin yang berbaur dengan kelopak mawar yang telah mengering.
***
“Mom, bisa ceritakan siapa Vega dan Altair?”
Sang ibu tersenyum, kemudian mengusap penuh sayang puncak kepala gadis kecilnya. “Mereka sepasang kekasih yang harus berpisah karena tragedi paris bertahun-tahun yang lalu.”
“Apa sekarang mereka sudah bersama?”
“Vega dan Altair meninggal pada hari yang sama, setahun setelah tragedi itu. Konon, Vega koma selama setahun, dan Altair tidak mengetahuinya, tetapi saat Vega mengembuskan napas yang terakhir, disaat yang bersamaan Altair tewas di depan Stade de France, karena tertabrak mobil.”
Anak berambut ikal itu lantas tersenyum, “Apa itu yang dinamakan cinta sejati?”
Ibunya mengangguk. “Mungkin, kamu tahu? Setelah jasad Altair dilarikan ke Rumah Sakit untuk otopsi, bagian depan Stade de France tiba-tiba bercahaya, dan angin berembus kencang menerbangkan kelopak mawar kering.”
*END*

helooooo ini hutang pajak bday saya, maaf sad end, tp menurut saya ini happy end (?) 
btw specially thanks for @nitajulio_ & @alipia_rizky buat kadonya yg delivery order
buat teman2 sekelas yang gabisa disebutin satu-satu, makasih boneka, tempat kacamata, kupluk kecenya,
juga buat segala ucapan, dari panitia natal YPFNS, agen bumi, especially mama dan semuanya,
God bless us yaa :*
salam bintang dandelion!

Rabu, 11 November 2015

Kairos


Cinta mungkin bisa datang berkali-kali, tetapi kairos, hanya datang sekali.
***
“Aku cinta kamu.”
Shallom mengrenyit, setelah mendengar ucapan dari Pemuda jangkung dihadapannya.
“Apa? Bisa kamu ulangi perkataan kamu?”
Pemuda itu mengembuskan napas kasar. “Aku cinta kamu.” ulangnya lagi.

Minggu, 12 Juli 2015

Incredible Choice in Venice





**
Lautan manusia berlalu-lalang di sekitar Vania, gadis berambut sebahu yang sibuk menyeret koper juga sesekali membenahkan posisi ranselnya yang selalu merosot. Bising suara manusia yang saling bersahutan tidak juga membuatnya berhenti mengoceh sepanjang perjalanan menuju konter check in. Membuat Vatra, laki-laki di sebelahnya yang nampak tenang kini berubah menjadi sibuk mengamati, takut-takut gadis itu bisa saja tersandung.
Setelah menunjukan paspor pada petugas di bagian konter check in, Vania dan Vatra menuju ruang tunggu karena pesawat tujuan mereka akan boarding setengah jam lagi. Vania sibuk bermain gadget, tanpa memperhatikan jalan, ransel yang dikenakan gadis itu tidak luput dari pandangan Vatra. Akhirnya, karena gemas melihat gelagat gadis di depannya yang kesusahan, Vatra menarik ransel Vania dengan gerakan cepat, membuat gadis itu memekik spontan.
“Aku kira copet!” serunya.
Vatra tersenyum, melempar pandangan meminta maaf. “Habis kamu kelihatan ribet banget main gadget, ranselnya daritadi merosot terus,”
Vania melirik ransel biru yang kini tersampir di satu bahu Vatra. “Awas jagain ransel aku, banyak barang berharganya.”
Vatra menoyor Vania gemas. “Bukannya bilang terima kasih,” komentarnya.
Vania hanya tertawa. Ia melirik lagi layar gadget yang kini sudah tersambung dengan applikasi video call, lalu mengarahkan layar gadget nya lurus di depan wajah, wajah yang familiar muncul dibaliknya.
“Hai Voda!” seru Vania berapi-api, membuat Vatra menoleh ke arahnya dengan pandangan bertanya.
“Kita sebentar lagi boarding. Ini di sebelahku Vatra mukanya bete terus, coba kamu kasih nasihat. Straight face man, ngomong nih,” Vania memberikan gadgetnya pada Vatra.
“Wei sob, itu muka apa papan seluncur? Datar amat,” Voda bergurau, membuat Vania tertawa mencibir.
Vatra melotot geram. “Vod, kalau habis ini lo gak putusin sambungan, gue bersumpah gak akan pernah nemuin lo di Venice,”
Voda kembali tertawa di balik layar. “Bahasa Jakartanya keluar deh, ok, gue matiin, yang penting kalian gak video call sama gue pas di pesawat. Heboh amat,”
Vatra tidak menjawab lagi, ia justru memutuskan sambungan tanpa izin, lalu memilih opsi turn off. Vania mengerucutkan bibir kesal.
“Jangan macam-macam, ini aku sita dulu. Bahaya kalau diam-diam di pesawat nanti kamu bikin vlog,”
Vania diam. Suara peringatan keberangkatan pesawat tujuan mereka terdengar dari speaker pengumuman. Vatra menarik tangan Vania, tidak sadar menenggelamkan tangan gadis itu dalam genggamannya.
**
Venice, Italia.
Setelah mendapat pesan dari Vania saat gadis itu transit. Voda sering mematut diri di cermin. Entah kenapa rasa-rasanya ia seperti sangat ingin memperhatikan penampilannya. Enam bulan tidak bertemu dua sahabatnya, membuatnya menjadi tidak karuan, terlebih karena ia akan bertemu Vania…. Ah bahkan gadis itu masih merenggut seluruh atensinya. Teman-teman wanita di kampusnya bisa dibilang banyak yang lebih cantik daripada Vania, tapi bagi Voda tidak ada yang bisa menggetarkan hatinya selain Vania. Tentu, bukan dalam hubungan pertemanan, tapi lebih dari itu.
Bahkan, sejujurnya ia menyesali keputusannya melanjutkan kuliah S2 di kota kelahiran Ayahnya, karena justru hal itu merenggut kesempatan terbaiknya untuk terus berada di samping Vania.
Voda merasakan debaran gila di jantungnya. Ia sudah berjanji dalam hati, jika bertemu Vania nanti, tidak peduli apa jawaban dan tanggapan gadis itu, Voda akan mengutarakan perasaannya.
**
Setelah melakukan perjalan panjang yang memakan waktu hampir satu setengah hari, akhirnya Vania dan Vatra sampai di kota Venice. Mereka memutuskan berjanji bertemu dengan Voda di Canal Grande, karena mereka tidak berani ambil resiko, menyadari Venice adalah kota yang paling memungkinkan membuat mereka tersesat dengan minimnya informasi.
“Kampus Voda gak jauh dari sini,” Vania menunjukan letak Universitas Ca’ Foscari dipeta yang dibawanya.
Vatra mengangguk. “Enaknya si Voda tinggal di kota seindah ini. Aku juga bakal betah kalau begitu,”
Vania mendelik. “Aku nggak,” membuat Vatra menunggu alasan gadis itu.
“Soalnya aku gak bakal sering ketemu kamu sama Voda. Aku gak suka jauh-jauhan sama kalian,”
Vatra tidak berkomentar. Hanya tertegun melihat Vania yang kini tersenyum.
Tidak lama, Vania merasa tubuhnya terengkuh penuh oleh seseorang dari belakang. Gadis itu menjerit, membuat Vatra spontan mendorong seseorang yang memeluk Vania, yang tidak lain adalah Voda.
Voda terbahak melihat sikap dua sahabatnya yang sangat paranoid. “Sumpah! Emang kalian kira aku kriminal?”
Voda tersenyum lebar, hendak memeluk kembali Vania yang sudah sempurna berhadapan dengannya, namun tiba-tiba saja Vatra menggeser tubuhnya sendiri hingga berdiri di antara Vania dan Voda.
Vatra berdeham. “Jangan meluk-meluk, dia bau. Perjalanan kita hampir dua hari tanpa mandi.” Katanya, mencari-cari alasan.
Vania mengerucutkan bibir kesal. “Bilang aja kamu iri gak dipeluk rindu sama Voda! Sini kaliaaaaan!” Vania berjinjit, merangkul dua sahabatnya yang tinggi. Hanya jika ia peka sedikit aja, detak jantung kedua laki-laki itu berpacu sama kencangnya.
Voda berusaha menahan keinginannya untuk menarik Vania dalam rengkuhannya seorang. Terlalu dini jika ia secara gamblang menunjukan perasaannya sekarang. Sementara Vatra sibuk menetralisir degup jantungnya sendiri, yang akhir-akhir ini selalu tidak mau di ajak berkomproni jika ia berada dekat-dekat dengan Vania.
Sebuah gondola yang berlayar menuju tepian Canal Grande, menepis tiga petualangan hati berbeda disana. Vania melepas rangkulannya, lalu berlari menuju pinggir jembatan, takjub dengan apa yang dilihatnya.
Vania membuka mulutnya lebar. “Vod, kapan kita bisa naik itu?”
Voda balas berseru, “Nanti,” jika saatnya sudah tepat bersamaan dengan perasaan ini. Tambahnya dalam hati.
Sementara Vatra hanya memandang Vania dan Voda secara bergantian. Tahu betul Vania adalah gadis drama yang menginginkan hal-hal romantis dalam hidupnya. Salah satunya adalah berlayar di sepanjang Canal Grande dengan gondola. Tiba-tiba saja sesuatu terbayang dalam pikirannya. Bagaimana jika….
“Vat, besok kasih gue waktu sama Vania berdua ya? Ada sesuatu yang harus gue bilang ke dia,” Vatra tersadar dari khayalannya, beralih menatap Voda yang juga serius menatapnya.
“Mau ngomong apa?” Vatra bertanya ingin tahu. Merasa sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi.
“Gue yakin lo tahu, man.” Voda tersenyum tipis, lalu melanjutkan. “gue tahu,  friendzone kecil kemungkinan buat jadi seperti yang diharapkan, tapi gue cuman mau berusaha gentle dengan gak cuman mendem perasaan doang.”
Vatra terdiam beberapa lama. Voda melempar senyum simpul, lalu menepuk bahu Vatra, mengambil langkah menuju Vania yang jauh di depannya. Belum genap langkah keduanya, Voda merasakan lengannya ditahan, laki-laki itu menoleh dibalik bahu.
Then, let’s do it together. Do the same in our way. Karena kalau cuman lo yang ungkapin, rasanya gak adil. Gue juga akan merasa gak gentleman,” Rahang Vatra mengeras setelah mengutarakan kalimatnya.
Voda mematung, menatap Vatra dengan berjuta tanda tanya. “Lo…”
I love her too.” Gumam Vatra. Voda memekik tertahan.
“Voda, Vatra! Kalian ngapain berdiri disitu terus? Cepet sini, kita susun list to do selama di Venice!” Vania berseru lantang di depan mereka. Tidak tahu bahwa ada dua laki-laki yang mulai mengambil langkah untuk saling merebut perasaannya. Vania tidak tahu, mulai detik itu mungkin semuanya nyaris tidak akan sama lagi. Vania juga tidak tahu, bahwa salah satu laki-laki disana yang juga sama dicintainya sudah memberikan jawaban atas pertanyaan hatinya selama ini.
**
Piazza San Marco, menjadi tempat tujuan Voda, Vania, dan Vatra kali ini. Setelah singgah sebentar pada Apartement milik Voda yang terletak dijantung Kota Venesia, satu-satunya manusia yang ber-gender wanita, yang tidak lain, tidak bukan adalah Vania, menyeret paksa lengan milik kedua sahabatnya, tanpa tahu, kedua jantung kedua laki-laki itu berdetak sama kencang.
Piazza San Marco, merupakan salah satu alun-alun utama di kota Venesia, tidak heran, baik turis lokal, mancanegara, bahkan penduduk asli sekitar, begitu beramai-ramai mengunjungi tempat ini.
Vania tidak berhenti berdecak kagum, Venesia benar-benar melebihi batas ekspektasinya! Sungguh indah, dan meski ia tidak mau mengakui ini, tetapi… Venesia benar-benar romantis!
Gadis itu terkesiap ketika sebuah tangan kokoh menggenggam tangannya erat. Dia mendongak, mencari tahu, siapa pemilik tangan itu. Tanpa diduga, kedua pipi gadis itu menghangat, setelah ia tahu, Voda yang menggenggam tangannya.
“Jangan jauh-jauh dariku. Aku tidak mau kamu tersesat. Venice dibulan Maret terlalu banyak turis. Aku tidak mau kamu hilang.”
Gadis itu mengrenyit, ketika menyadari perbendaharaan kata Voda yang terkesan lebih lembut dari terakhir mereka bertemu. Perasaan ini? Bolehkah?
Gadis itu hanya mengangguk ragu. Membiarkan Voda membimbingnya, kemanapun ia melangkah, tanpa mengerti, ada sosok lain di belakangnya yang sedang menatap ke arah mereka, dengan begitu terluka.
**
Vatra menghela napas lega, ketika Vania begitu kelelahan, dan segera beranjak ke kamarnya, untuk segera tidur. Ia harus segera menyelesaikan urusannya dengan Voda. Secepatnya. Mana yang ia pilih, persahabatan, atau cinta?
“Gue mau ngomong.” ucapnya, ketika melihat Voda yang sedang menuang kopi dalam cangkir berwarna coklat.
Voda hanya menyeringai, sebuah tanda sebenarnya laki-laki itu tidak terlalu berminat dalam perbincangan ini.
“Perasaan gue ke Vania, itu bukan suatu hal yang main-main.” Ujarnya kemudian.
Voda menaikan alis. “Lo pikir perasaaan gue juga main-main? Gue tahu, gue memang bukan pemuda yang baik untuk Vania. Tetapi… baru kali ini gue punya perasaan yang begini dalam pada wanita. Dan gue mau jadi yang terbaik untuk dia.”
Vatra mencibir, “Apa lo masih punya muka buat mengungkapkan apa yang lo rasa ke Vania sekarang, setelah lo tiba-tiba pindah ke Venice?  Dan gue jamin, lo pasti main wanita disini.”
Voda menghela napas, mencoba mengontrol emosinya. “Vania cinta pertama gue. Sahabat pertama gue, sahabat kecil gue satu-satunya. Bahkan sebelum lo hadir dan jadi sahabat kami.”
Meletakan cangkirnya diatas meja, Pemuda itu kembali berkata, “-meski gue akui, gue brengsek. Gue playboy. Tetapi… itu semata-mata agar gue dapat perhatian dia. Dan harusnya lo inget, lo nggak ada bedanya sama gue. Atau mungkin… malah lebih buruk?”
Vatra merasa emosinya memuncak, ditariknya kerah pemuda dihadapannya, kemudian ditatapnya dengan sengit. “I love her!”
Iris coklat tua Voda memicing. “And I love her too!” bentaknya.
“A-apa… Voda? Vatra? Kalian?”
Suara lembut itu menginterupsi mereka. Vania, gadis yang telah singgah dalam hati mereka, menatap dua sahabat itu dengan terkejut.
“Apa maksudnya? Bisakah kalian jelaskan? Bukankah kita harusnya bersahabat dengan baik?”
Vatra melepaskan kerah baju milik Voda, kemudian berkata, “Vania, lihat kami sebagai laki-laki. Bukan hanya sebatas sahabatmu. Pilihlah salah satu dari antara kami. Kamu pasti tahu, apa yang sedang kami debatkan tadi.”
Gadis itu melipat tangannya di depan dada. “Apa bedanya, jika aku memilih, ataupun tidak memilih salah satu dari antara kalian? Apakah persahabatan kita tetap bisa kembali seperti dulu?”
Vatra menyeletuk, “Jangan harap. Kami bukan sahabat lagi, semenjak kami sama-sama tahu, perasaan kami padamu, lebih dari sekedar sahabat.”
Voda menghela napas. “Kita akan bersahabat, apapun yang terjadi.” Irisnya bergulir pada Vatra, “lo jangan egois!” tandasnya kemudian.
Vatra mencibir, “Lo yang bikin gue egois!” ucapnya, kemudian bangkit dan meninggalkan kedua sahabatnya.
Vania menunduk, tangannya terkepal erat, hingga tanpa sadar dia menangis, menangisi persahabatannya untuk pertama kali.
Melihat itu, Voda mendekati gadis yang begitu dia sayangi, kemudian direngkuhnya erat dalam pelukan. “Kita akan baik-baik saja, persahabatan kita tidak akan serendah itu. Tetapi Vania, kamu harus tetap memilih, apapun yang terjadi. Pada akhirnya, harus ada yang terluka, karena kita tidak bisa hidup dalam kebohongan.”
Setelahnya, Voda mengacak pelan rambut Vania, suatu kebiasaan yang sudah lama tidak ia lakukan.  Be happy, Cherry.” Kemudian melangkah meninggalkan Vania yang masih setengah terisak.
**
 Vania mengeratkan sweater-nya dari dingin Venesia di malam hari, gadis itu tidak bisa berbohong, bahwa ia sedang tidak baik-baik saja sekarang. Persahabatan yang telah ia bangun dengan dua lelaki berbeda itu, terancam kandas, meski tidak ada yang dinamakan mantan sahabat.
Pikirannya beralih pada dua lelaki yang sedang memenangkan hatinya, Vatra adalah sosok yang tegas dan temperamental, seperti namanya yang berarti Api, dalam bahasa Kroat, Vania masih ingat betul, pada masa mudanya, Vatra mempunyai banyak daftar hitam, sering berganti pacar, tak segan memamerkan kemesraannya pada Vania dulu, meski begitu, pemuda itu selalu ada kapanpun ia inginkan, bahkan ketika Voda pergi.
Sedangkan Voda, pemuda itu cenderung pendiam, dan tenang. Seperti namanya yang berarti Air. Voda adalah sahabat pertamanya, laki-laki itu memanggilnya Cherry diawal bertemu, saat usia mereka masih lima tahun, kata Voda, pipi Vania seperti Cherry, maka anak laki-laki itu menyebutnya Cherry. Dan ia tidak bisa berbohong, semenjak bertemu Voda, hidupnya bergantung pada lelaki itu, meski laki-laki itu pernah mempunyai kekasih, tetapi Vania tetap menjadi prioritasnya. Bahkan laki-laki itu sering bersikap dingin pada kekasihnya sendiri. Meski ia tidak bisa memungkiri, bahwa ia kecewa ketika Voda menetap di Venice.
Ini semua membuatnya bingung, kedua laki-laki itu mempunyai tempat yang sama dihatinya, masih sulit baginya untuk memilih. Tetapi benar apa yang dikatakan Voda, ia juga tidak bisa terus-terusan berbohong pada dirinya sendiri, atau bahkan pada kedua laki-laki itu, karena ia tersadar, salah satu dari mereka telah memenangkan hatinya dari awal.
Ia tahu, jika dia tidak segera memberi keputusan, pasti kedua laki-laki itu akan berseteru lebih hebat dari ini, ia tahu, jika ia harus benar-benar memilih, meski sama saja ia akan menyakiti salah satu dari mereka. Pada akhirnya harus ada seseorang yang terluka. Bukan— Vania lebih suka menyebutnya, seseorang yang harus mencari kebahagiaannya sendiri. Ia tidak mau menyakiti siapapun.
Semuanya sudah bulat, hatinya sudah mantap sekarang.
**
Dengan langkah ringan, Vania dengan paksa menyeret Vatra hingga ke ruang tengah. Ruangan yang begitu dihindari oleh Vatra, karena ada Voda disana. Meski dia suka, tangannya ditarik Vania seperti ini.
Gadis itu berdeham sejenak, ketika menyadari kedua sahabatnya yang saling melempar pandangan sengit. “Aku tahu perasaan kalian padaku, dan pada akhirnya aku harus memilih. Meski terasa sulit.”
“Jika terasa sulit, tidak usah memilih. Biarkan saja seperti ini.” ungkap Vatra kemudian.
Vania menghela napas. “Aku harus memilih, karena tidak selamanya kita harus hidup dalam kebohongan. Tidak selamanya kita berada dalam sketsa abu-abu. Bukan maksudku untuk menyakiti salah satu dari kalian. Kita semua sudah dewasa, aku tidak mau persahabatan kita hancur hanya cinta.”
“Pada akhirnya akan ada yang terluka, dan aku tidak mau itu terjadi, persahabatan kita… akan sulit untuk kembali.” ucap Vatra lagi.
Vania tersenyum tipis, “Vatra, mana yang akan kamu pilih? Hidup dalam kebohongan yang menyenangkan, atau dalam kebenaran yang menyakitkan?”
Vatra hanya membuang mukanya, membiarkan gadis itu kembali berbicara. Sedangkan Voda, sedari tadi hanya terdiam.
Tangan gadis itu terulur, menyatukan tangan kedua sahabatnya. “Hey, setelah bertahun-tahun, apa perasahabatan kita serendah itu? Umur kita tidak lagi muda. Aku akan memilih sekarang, dan aku harap kalian terima.”
Iris coklat madu milik gadis itu bergulir kearah Voda. “Voda, te amo. Aku tidak bisa berbohong pada diriku sendiri.”
Raut wajah Voda menjadi terkejut, sedangkan Vatra, menatap gadis itu dengan pandangan terluka.
“Vatra, maaf. Aku menghargai perasaanmu, tetapi kebahagiaanmu bukan aku. Carilah kebahagiaanmu sendiri.”
Vatra menyentak genggaman tangan Vania. “Aku mau bukti bahwa kalian saling mencintai. Sakiti aku lebih dari ini, agar semua lebih mudah untuk dilupakan.”
Vania menatap Vatra dengan pandangan tidak percaya. Sedangkan Voda menatap Vatra sengit.
“Sebulan lagi kami bertunangan, dan gue harap…ini lebih dari cukup dijadikan bukti, bahwa kami saling mencintai.” ujar Voda kemudian.
Vatra menghela napasnya. Ia tahu ia sudah kalah dari awal, dia kalah semenjak dia terlambat masuk dalam kehidupan Vania, meski Voda pergi, itu tidak akan mengubah apapun.
Kemudian, laki-laki itu melangkah menjauhi kedua sahabatnya itu. “Lakukan sesuka kalian.” ucapnya.
“Vatra!”
Suara Voda, kembali membuat langkah kakinya tertahan.
“Lo, ikut pertandingan Polo yang diadain bokapnya Vania lusa ‘kan?” tanya Voda.
Tanpa menoleh dibalik bahu, Vatra menjawab, “Tentu saja, tanpa aku, team-mu akan kalah.” Katanya, lalu kembali melangkah meninggalkan kedua sahabatnya.
Jawaban dari Vatra, membuat Voda dan Vania tersenyum lega, pasti sahabat mereka itu akan mendapat kebahagiaannya sendiri.
**
Menaiki gondola di senja hari, bersama sang pemilik hati, terasa menakjubkan bagi Vania, hampir melewati jembatan Rialto diiringi nyanyian lembut dari Gondolier, membuat waktu terasa melambat.
Gondolier itu berkata dalam bahasa itali pada Voda, “Konon katanya, jika sepasang kekasih berciuman di bawah jembatan ini sewaktu senja, mereka akan mendapat hadiah yang menakjubkan.”
Voda tersenyum kikuk, ia tidak mau melakukan hal berlebihan, sebelum Vania menyandang namanya juga. “Apa ciuman di kening, memiliki efek yang sama?”
Gondolier itu mengangguk. “Saya rasa sama, Tuan.”
Saat Gondolier kembali menyanyikan lagunya, Voda mengambil kedua tangan Vania lantas menggenggamnya erat, “Cherry, te amo.” ucapnya lirih. Kemudian dikecupnya kening gadis itu dengan penuh perasaan.
**
Vatra berjalan tak tentu arah, sambil mengacak rambutnya frustasi, meski sulit baginya untuk menerima semua ini, ia harus terima. Vania benar, usianya tak lagi muda. Dan mungkin saatnya dia mencari kebahagiaannya sendiri.
Hingga tanpa sengaja ia menyenggol bahu seorang gadis, dan tanpa sadar menjatuhkan semua barang yang dibawa gadis itu.
Oh my God! Apa lagi kali ini? Oh no! kamu menghancurkan barang yang saya bawa untuk Ibu saya! Kamu harus menggantinya!” bentak gadis itu.
Vatra hanya memutar bola mata bosan. “I’m sorry. Tapi tidak bisa hari ini, saya butuh waktu untuk sendiri.”
Gadis itu mengacak rambutnya frustasi. “Anda patah hati? Harusnya anda bersyukur, meski ditolak, anda masih bisa melihat wajahnya.” ucap gadis itu, kemudian raut wajahnya berubah sendu.
Gadis berambut hitam itu, lantas merogoh tasnya, kamudian memberikan selembar kartu nama. “Aku tidak mau tahu, kamu harus ganti rugi.” Kata gadis itu, kemudian berlalu begitu saja.
Vatra mengrenyit heran, lantas terkejut. “Althea? Orang Indonesia? Pantas saja.”


End
 next to Milan :)
enjoy reading, salam bintang dandelion dan hakunanitata!
kalian bisa menemukan cerita ini disini juga Collaborate with Nita thankyou! see you in next story!