True Love Wait
“Cinta
tidak pernah memihak, pada siapa dia akan bertuan. Dia hadir tanpa bisa di
tebak, dia ada dan melambungkan sebuah rasa yang mampu membungkam sebuah
kenyataan.”
*
Setahun telah berlalu semenjak saat itu, Stella
tidak akan melupakan kejadian yang telah terjadi di kota Tokyo, Jepang. Dirinya
memang masih pendiam. Tetapi, bukan berarti dia masih menutup diri.
Stella tahu, pemuda itu telah mengubah sebagian
hidupnya. Pemuda yang kebal menyikapi sifat dinginnya yang sudah mendarah
daging. Bagaimana kabar pemuda itu sekarang? Mahasiswa Astronomi ya? bintang
selalu mengingatkannya pada pemuda itu. Serius!
Disinilah Stella sekarang, di depan gedung
Obervatorium Bosscha. Beruntunglah, sang Mama menganjurkan kota Bandung sebagai
tempat berliburnya tahun ini. Bandung telah lama menjadi kota impiannya untuk
berlibur, alasannya? Tentu saja karena ingin meneropong bintang dari
Observatorium ini.
Setelah mengunjungi teropong Zeiss dan telah
mendapatkan presentasi tentang astronomi, inilah saat-saat yang dia nantikan,
melihat bintang lebih jelas, dengan teropong bintang.
Dia telah mengantri pada teleskop Bamberg,
namun seseorang menepuk bahunya, membuatnya terperanjat di tempat.
“Hei,” sapa orang itu. “lama tidak berjumpa.”
Stella menoleh dibalik bahu, ia tersenyum tipis
menyadari siapa yang ada dibelakangnya. “Vano?”
Pemuda itu tersenyum hangat padanya. Setahun
tidak berjumpa, banyak perubahan fisik yang terjadi pada pemuda itu. Vano
mengisyaratkan Stella untuk melihat ke depan, sedikit terkejut, ternyata
sekarang adalah giliran Stella.
Stella berdecak kagum, ketika melihat
bintang-bintang yang berpijar dengan jelas di depan matanya. Dia tersenyum
lebar, kedua netranya berbinar, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan
mainan.
Vano tersenyum melihat gadis dihadapannya,
tidak menyangka ia akan kembali bertemu dengan gadis ini disini. Ia merasakan
takdir sedang bermain-main dengannya sekarang.
*
Stella tersenyum canggung, ketika Vano
mengajaknya di salah satu restaurant yang lumayan dekat dengan Observatorium Bosscha.
Kunjungannya sangat menarik, karena mahasiswa astronomi disampingnya,
menjelaskan dengan sabar, setiap pertanyaan yang ditanyakan Stella.
“Kenapa kamu bisa disini?” tanya Stella,
setelah berberapa waktu lalu memesan makanan.
“Saya mahasiswa astronomi tingkat akhir, wajar
bila sering kesini. Kamu sendiri ngapain disini?” ucap Vano tanpa mengalihkan
pandangan dari Stella.
“Berlibur.” Jawab Stella singkat.
Vano mengusap dagunya, sambil tersenyum jahil.
“Biar saya tebak, anjuran berlibur Mama kamu ya?”
Stella memutar bola mata bosan. “Tepat.”
“Kamu apa kabar? Masih jadi anak Mama ya?”
tanya Vano, ketika waiters meletakan
pesanan mereka di atas meja.
Stella menjawab, “Baik. Seperti yang kamu
lihat. Terimakasih, berkat kamu, aku lebih bisa mengungkapkan sekarang. Dan, setelah
lulus dari jurusan farmasi nanti, aku akan mengambil jurusan sastra.”
Vano menggeleng, sembari tersenyum tipis. “Oh
ya? bagus dong! Kamu kelihatannya masih jadi cewek beku ya?”
Gadis berponi pagar itu menyesap teh hijaunya,
sebelum kembali berkata, “This is me.”
Vano tidak tahan untuk mengacak rambut gadis
dihadapannya. satu hal, ia merasa nyaman.
“Sampai kapan disini?” Vano bertanya lagi.
“Besok pulang.”
Vano mendesah kecewa. Eh? Kenapa dia bisa
kecewa? Pasti otaknya sedang bermasalah sekarang. “Mau aku antar ke bandara?”
tawarnya, seperti menutupi rasa kecewa.
Lagi-lagi Stella menolak, membuat Vano berdecak
kesal tanpa alasan. Ya dia sendiri tidak tahu, kenapa dia sedikit kesal ketika
Stella menolak tawarannya.
“Kamu mahasiswi semester berapa?” dia bertanya
sekali lagi, berupaya menghilangkan rasa kesal yang menyusup tiba-tiba.
“Empat.” Sahut gadis itu singkat.
Vano menyeringai. Sebenarnya dia telah lama
sadar, gadis dihadapannya jauh lebih muda darinya. “Harusnya kamu panggil saya
Kakak. Saya dua tahun diatas kamu.”
Tidak ada reaksi yang berarti dari Stella. Dia
hanya tersenyum tipis sambil kembali menyesap tehnya. “Aku sudah menduga ini
sebelumnya, emm… Kak?”
Vano terkekeh, menyadari raut ragu dari wajah
gadis itu. “Kita sudah lama kenal, boleh minta pin? Atau nomor ponsel?”
Stella mengangguk, kemudian menyerahkan smartphone miliknya kepada Vano. Mengisyaratkan
agar pemuda itu menyalinnya.
“Thanks.”
ucap Pemuda itu dengan senyuman lebar.
Tak lama setelah itu, Stella undur diri, takut
Mama dan Adiknya yang sedang menunggu di hotel terlalu lama dia tinggal.
“Saya antar. Tidak baik, anak gadis berjalan
malam-malam sendirian. Lagipula, saya penasaran sama Mama kamu.” Tawar Vano
lagi, kali ini tidak ada penolakan dari Stella.
Setelah mengantar Stella, dan berbincang
sejenak dengan Ibu, dan Adik Stella, Vano undur diri, dengan alasan keluarganya
yang telah menantinya di rumah. Meski sebenarnya ia masih ingin disana
berlama-lama disana.
Tanpa disadari, Stella dan Vano mengharapkan
sesuatu yang sama. Semoga bertemu kembali
di lain waktu…
*
Vano merasa otaknya pasti sedang bermasalah.
Dia tidak bisa mengalihkan wajah Stella dari pikirannya. Padahal tiga tahun
sudah, dia tak bertemu dengan gadis pendiam itu. Meskipun terkadang Vano yang
menyapanya dulu lewat jejaring sosial, atau sekedar meneleponnya jika sedang
tidak ada tugas.
Pemuda dengan sorot mata tajam itu, tidak mau
menyimpulkan ini lebih cepat. Dia-tidak-boleh-jatuh-cinta. Mimpinya belum
selesai dia raih, dia belum pantas merasakan perasaan itu lagi. Dia memang
telah menyelesaikan S2nya di Harvard, tetapi dia belum tahu akan bekerja
dimana.
Dan Perancis adalah negara tujuannya. Entah
kenapa dia lebih menginginkan kerja disini daripada di Amerika, atau bahkan di
negaranya sendiri. Ia merasa, Prancis akan menemukannya pada calon isterinya.
–mungkin-
Ah, sial. Pikirannya kembali kepada gadis
dingin yang sering membuatnya tertawa karena tingkah lucunya. Vano menerawang
sejenak, pertemuan pertamanya dengan gadis itu. Gadis yang belum bisa melupakan
cinta pertamanya, (meskipun sekarang Vano tidak tahu, gadis itu sudah melupakan
cinta pertamanya atau belum.)
Vano terperangah, sepertinya ia bodoh, jika
jatuh cinta pada seorang gadis yang tidak mungkin melihatnya. Ia menatap langit
kamar inapnya untuk berberapa waktu ke depan, ia akan di Paris, sampai ia
mendapat kepastian dari lamaran pekerjaannya yang ia kirimkan di Centre National
d'études Spatiales. Atau bahasa indonesianya, badan antariksa Prancis.
Dengan perlahan, dibukanya koper yang sedari
tadi ada disampingnya. ia mengeluarkan buku kecil setengah lusuh dari sana,
kemudian membaca halaman yang paling depan.
Aku
ingin seorang isteri yang mencintai Tuhan dengan segenap hatinya, setelahnya
baru dia mencintaiku.
Vano membulatkan mata, begitu ia meneruskan
tulisan cakar ayamnya ketika ia masih duduk dibangku sekolah putih-merah.
Vano terperangah melihat tulisannya di masa
lampau. Dia menulis ini? benarkah? Bahkan dia sudah lupa, kapan ia menulis ini!
atas dasar apa anak SD menulis seperti ini eh?
Pemuda itu ingat! Kakak sepupu kesayangannya
yang meracuninya membuat list seperti
ini, bahkan melarang keras Vano untuk mengenal cinta. Saat itu, kakak sepupunya
memaksa untuk menulis list ini, Vano yang dulu hanya anak sekolah dasar, hanya
mengikuti alur permainan yang disuguhkan kakak sepupunya, meniru hampir semua list yang sama, seperti yang ditulis
kakak sepupunya.
Meskipun saat SMA Vano sempat mengenal cinta,
tetapi tidak berlangsung lama, karena setelah itu dia membuat komitmen baru,
bahwa dia tidak akan mengenal cinta sebelum sukses.
Kenapa semua yang dia tuliskan merupakan
penggambaran dari Stella? Semua, bahkan ciri yang utama. Mencintai Tuhan dengan segenap hatinya.
Jika seperti ini Vano bisa gila. Apa Stella memang jodohnya?
*
Ke esokan harinya, di Museum Louvre, yang merupakan
bekas istana kerajaan Prancis, yang sekarang menjadi museum yang paling banyak
dikunjungi di dunia. dan, disinilah Vano sekarang, menatap figure Piramida Louvre, dan Piramida terbalik.
Dua icon yang menjadi setting novel
dan film The Da Vinci Code.
Dia berjalan menuju karya-karya lain yang tidak
kalah elok. Lukisan Monalisa, karya Leonardo da Vinci. Dan ia tersentak,
setelah mengetahui siapa sosok gadis yang sedang menatap kagum lukisan itu.
Stella.
Takdir mempertemukan mereka secara tidak
sengaja untuk yang kesekian kali. Dia tersenyum, sambil mencoba menjinakan
deburan halus yang menyerang jantungnya. Sial. Dia benar-benar jatuh cinta. Dan,
gadis itulah yang berhasil menggenggam hatinya.
“Bonjour.”
Sapanya dalam bahasa prancis.
Stella tersentak, menyadari suara baritone yang
familiar berberapa tahun terakhir
ini. apa Tuhan mempertemukannya lagi dengan pemuda itu? Dia menoleh dibalik
bahu, menyadari pemuda tinggi yang sedang tersenyum ke arahnya.
“Lama tidak berjumpa. Liburan lagi?” Vano
bertanya dengan menaikan sebelah alis.
Stella hanya mengangguk.
Vano mengulurkan tangan. “Mau berkeliling
bersama? Saya takut gadis kutub utara tersesat disini.”
Stella mengerucutkan bibir, enggan menyambut
uluran tangan pemuda didepannya.
“Ngambek nih? Saya bercanda. Senyum lagi dong!
Saya suka senyum kamu.” Kata Vano, sambil menarik tangan kanan Stella yang
belum bergerak.
Stella merutuk dalam hati, pemuda yang dua
tahun lebih tua darinya ini kenapa tengil
banget sih! mati-matian ia mempertahankan mukanya agar tidak memerah.
*
Vano bosan setengah mati, memandangi gadis
disampingnya yang sedari tadi membaca novel fantasi cukup tebal, karya Percy
Jackson. Dia dianggap ada nggak sih disini?
“Kamu betah banget baca ya?”
Stella menoleh ke arah Vano. “Namanya juga
hobi, memang Kakak nggak suka baca? Kenapa punya buku aku?”
Vano memandang pemandangan indah di depan
mereka. “Memang nggak suka, saya tertarik aja di novel kamu, kamu mengangkat
dunia saya. Saya suka.”
Stella tersenyum tipis, dengan senang hati ia
pasti menerima komentar dari pembacanya, itu membuatnya lebih maju untuk
berkarya lebih baik lagi. Gadis itu menghentikan aksi membacanya sejanak,
memandang Bois de Boulogne di pagi
hari, paru-paru di kota prancis, yang sungguh nyaman untuk di kunjungi.
“Merci.”
Sahutnya dalam bahasa prancis.
“Kamu sudah bisa melupakan cinta pertama kamu?”
tanya Vano hati-hati. Batinnya was-was, takut hatinya hancur sebentar lagi.
“Sudah,” Sahut gadis itu, “Bahkan aku lupa rasanya
jatuh cinta.” Lanjutnya kemudian.
Vano mendesah lega, dia tersenyum sambil
mengacak rambut gadis disampingnya. “Saya kira kamu nggak bakal move on.”
Stella terkikik. “Ngapain aku nunggu yang nggak
pasti? Bukannya kata Kakak cinta pertama itu nggak ada? Kakak sendiri belum
cari pacar?”
Vano yang sedari tadi bosan, mengambil buku
lusuhnya dari balik saku jaket, menulis abstrak, di lembaran kosong yang ada
disana. “Saya kira, kamu bakal lupa sama omongan saya. Saya nggak nyari pacar.
Saya nyari isteri.”
Iris hitam Stella membulat mendengar pernyataan
pemuda disampingnya. Vano pemuda yang memberi kepastian, bukan harapan. Memberi
kejelasan hubungan, bukan memberi permainan. Pemuda ini, memilih hubungan yang
tidak akan bisa dilepaskan dengan mudah. Dia tahu kemana arah pembicaraan pemuda
disampingnya.
“Kamu nggak berminat cari cinta yang baru? Yang
mungkin seorang penulis yang seprofesi sama kamu? Atau tenaga medis?” tanya
Vano lagi, dalam hati dia merutuki kata-katanya yang menurutnya benar-benar
nista.
Stella mengangkat bahu. “Bukankah yang lama itu
nggak termasuk cinta? Kakak bilang cinta pertama nggak pernah ada, yang ada
hanya mereka yang ingin mengikatkan diri, bukan terikat. Jadi, aku ralat
pertanyaan kakak, bukan cinta yang baru, tetapi cinta sejati.”
“Terserah kamu saja.” sahut Vano kemudian.
Gadis berponi pagar itu menghela napas.
“Sepertinya belum. Mimpiku masih banyak yang belum tercapai. Memang sih, sudah
sarjana sastra bulan depan, tetapi novel baru, kerja di Rumah Sakit, dan yang
terpenting, belum semua yang aku lakukan, seiring sama detak jantung Tuhan. Aku
mau seirama dulu sama detak jantung Tuhan, baru aku menunggu cinta sejatiku,
menunggu Kak. Bukan mencari, Ah iya, aku nggak berminat sama penulis. Aku nggak
suka sama laki-laki yang obral kata-kata manis. Aku juga nggak berminat sama
anak kesehatan.”
Vano yakin, ia tidak salah memilih sekarang.
Gadis idamannya sejak masa putih-merah berdiri dihadapannya sekarang! Sial,
jantungnya berdetak lima kali lebih cepat ketika melihat senyuman manis dari
gadis itu! Ternyata list yang ia buat
benar-benar terwujud, dan terpampang nyata dihadapannya.
“Menurutmu, bagaimana dengan cinta satu sisi?”
tanya Vano lagi, sukses mendapat tatapan heran dari Stella.
“Bertepuk sebelah tangan maksudnya?” tanya
Stella sambil menaikan sebelah alis. Dibalas anggukan dari Vano.
Stella kembali angkat bicara. “Setiap orang
merasa dirinya disakiti, padahal tanpa sadar mereka yang menyakiti dirinya
sendiri. Seperti cinta satu sisi. Belum tentu orang yang menolak mereka berniat
menyakiti mereka, mereka terkadang mengganggap kebaikan orang yang menolak
mereka menjadi sebuah harapan. padahal, sesungguhnya harapan itu nggak pernah
ada. dan lagi, yang namanya harapan, itu nggak akan pasti.”
Stella mengembuskan napas sejenak, sambil
menatap langit biru yang ada diatas mereka. “Padahal cinta tidak akan
menyakiti.”
Vano masih belum mengalihkan pandangan dari
paras ayu gadis disampingnya, hingga tanpa sadar, buku yang dia pegang jatuh di
sela-sela rumput yang mereka pijak.
Dengan cekatan, Stella mengambil buku kecil
yang telah lusuh itu, tanpa sengaja Stella membacanya. Bagian yang menjadi aib
hidup seorang Stevano Ananta.
Ciri-ciri
Pasangan Masa Depan Vano.
Membuatnya tertawa terpingkal-pingkal, meskipun otaknya kembali mengingat surat
yang dulu sempat ia tulis untuk pasangan masa depannya, yang dia sendiri tidak
tahu siapa. Jelasnya, surat itu akan ia berikan pada pasangan masa depannya
kelak.
Hampir serupa, namun tentu saja maknanya
berbeda, surat miliknya jauh lebih anggun daripada list Vano ini! tetapi, jika
dipikir-pikir, kenapa list ini menuju
padanya ya?
Muka Vano pucat pasi, menyadari kenapa Stella
terpingkal-pingkal membaca buku lusuhnya itu, salahnya tidak meninggalkannya di
hotel. Sial, image coolnya hilang.
“Jangan tertawa. Itu tulisan absurd-ku waktu Sekolah Dasar.”
Stella masih tidak menghiraukan rutukan Vano,
sampai pemuda itu berkata, “Tertawa saja terus. Nggak papa, asal kamu tertawa
seperti ini, saya suka kamu tertawa.”
Gadis berambut sebahu itu mulai salah tingkah.
Pemuda ini mempunyai sesuatu yang tidak Stella temukan dari pemuda lain.
*
Stella menatap secarik kertas yang ada di
genggamannya. Surat yang ia selipkan di buku hariannya, surat untuk pasangan
masa depannya. Surat yang dia tulis saat berada di tingkat dua, sekolah
menengah umum.
Sejak dulu dia memang tidak pernah berniat
pacaran sebelum meraih semua mimpinya, tetapi salahkan cinta yang memang hadir
tak diduga, hingga dia sempat ingin melanggar komitmennya, beruntung dia
bertemu dengan Vano, yang membuatnya membuka mata hatinya.
Dia mendesah, kenapa pemuda bermata tajam itu
menjadi pusat gravitasinya sekarang? Dia teringat list pemuda itu yang tidak sengaja ia baca. Anak farmasi? Mengobati
bukan menyakiti? Boleh juga. Kenapa dia merasa sosok yang tergambar disana
adalah dirinya?
Stella akui, pemuda itu semakin menawan.
Tubuhnya yang tinggi, tidak sekurus dulu saat pertama kali bertemu, alis hitam
lebat dan sorot mata tajam, tidak lupa wajah tirus, rahang tegas, hidung tidak
begitu mancung, juga bibir tipis pemuda itu, yang memberikan kesan maskulin.
Dia tahu, cepat atau lambat, dia pasti akan
jatuh dalam pesona pemuda itu. Pemuda yang memberikan warna baru dalam hidupnya.
Segera mungkin, ia memasukan ponsel dan dompetnya pada tas jinjing
yang ia bawa nanti, hari ini, hari terakhir ia di Paris. Dan Vano, mengajaknya
mengunjungi Menara Eiffel di malam hari.
*
Ditempat lain, Vano mendadak gelisah. Bahagianya
karena diterima di Centre National d'études Spatiales, mendadak menguap, hilang
entah kemana berganti rasa gelisah yang berlipat-lipat.
Hari ini, di Menara Eiffel Paris. Ia akan
menyatakan perasaannya pada gadis yang telah menyedot perhatiannya berberapa
tahun terakhir. Lewat pertemuan-pertemuan tak terduga, tanpa sadar memupuk
benih-benih cinta dihatinya.
Masa bodoh ia mau ditolak atau di terima,
umurnya sudah tidak muda. Dua puluh enam tahun. Berberapa temannya bahkan sudah
menikah. Dan ia rasa, ini gilirannya.
Ia menatap kotak beludru berwarna merah yang
telah ada di genggamannya. Cincin yang ia beli di Paris, berberapa waktu yang
lalu. Yang akan dia berikan pada pujaan hatinya malam ini.
Merasa semuanya telah baik, ia mengambil
teleskopnya yang berada di sudut ruangan. Dia akan menyatakan perasaannya,
lewat rahasia sebuah rasi bintang.
*
Dan, disinilah mereka, pada tingkat tiga Menara
Eiffel, melihat keindahan kota Paris di malam hari, dari atas gedung. Vano
membiarkan gadis disampingnya berdecak kagum. Dia memang tahu sejak lama, bahwa
kota Paris memang indah.
Setelah puas berkeliling, Vano menggandeng
tangan Stella menuju taman Camp de Mars,
taman yang menjadi tempat Menara Eiffel menjulang tinggi. Pemuda itu menarik
sang gadis dari pusat keramaian.
Setelah menemukan tempat yang ia anggap sepi,
Vano memasang teleskop yang sedari tadi ia bawa. Sedangkan Stella mulai
memandang heran. Vano melirik Stella, hingga akhirnya kedua mata mereka
berserobok.
Vano tersenyum tipis, menyadari Stella yang begitu
menawan malam ini, ia mengenakan dress
biru laut berenda, rambut hitam sebahunya di biarkan terurai, wajah gadis itu
tidak menggunakan banyak make up.
Membuat kecantikan alami gadis itu semakin terpancar.
Pemuda itu memutuskan kontak matanya. Ia kembali
berkutat dengan teleskopnya. Tangan kokohnya mengarahkan teleskop ke belahan
bumi selatan. Setelah mencari perbesaran yang sesuai, ia tersenyum puas.
Stella memandang langit. “Aku memang seperti
langit.” Katanya tiba-tiba.
Vano mengrenyit heran. “Terlalu mustahil untuk
digapai?”
Gadis itu menggeleng. “Kelihatannya perkasa,
tetapi sebenarnya dia butuh sesuatu untuk membuatnya indah, seperti langit
siang yang indah karena ada awan, juga langit malam, yang membuatnya indah
karena ada bintang.”
Vano menyadari, arah pembicaraan gadis
disampingnya. gadis itu masih butuh tempat berbagi sepertinya, dan ia tahu. ia
pasti bisa melengkapi gadis itu.
“Lihatlah.” Katanya pada Stella yang masih
mematung.
“Indah.” gumam gadis itu.
Vano tersenyum. Kemudian kembali bertanya, “Itu
rasi bintang Scorpio yang berada di belahan bumi selatan. Menurut kamu
bagaimana bentuknya?”
Stella menggigit bibir bawahnya. Nampak
berpikir. “Seperti huruf ‘J’?”
jawabnya ragu.
Tepat, seperti jawaban yang di harapkan Vano.
Pemuda itu berjalan menekati Stella, kemudian menggenggam kedua tangannya.
“Kamu tahu? rasi bintang itu menggambarkan kata yang ingin aku sampaikan malam ini, meski perasaanku lebih dalam dari kata itu sendiri.”
Stella memandang tidak mengerti. Meskipun
jantungnya serasa meledak saat ini. ia memandang pemuda dihadapannya. hingga
tanpa sadar, ia terjerat dalam black hole
yang tercipta dari kedua mata pemuda itu.
“Huruf ‘J’
untuk Je t'aime.”
Tubuh Stella menegang, setelah mendengar
pernyataan pemuda itu. Sebuah rasa, yang membungkam kenyataan sekarang.
Kenyataan bahwa dia belum boleh jatuh cinta.
“Maaf untuk perasaan yang lebih dari sekedar
persahabatan ini. ijinkan saya menjadi awan dan bintang yang menghias kamu.”
Stella menghela napas. Dia tidak boleh
melanggar komitmennya lagi. Mimpinya belum selesai dia raih. “Tunggulah.”
Vano mengrenyit, mendengar kata ambigu yang
terucap pada mulut gadis itu. Dia belum selesai berkata, bahkan kalimat menikahlah denganku, se
marier avec moi… sama
sekali belum dia ucapkan.
“Satu tahun lagi. Aku akan memberikan
jawabanku, saat musim semi, di tempat bunga sakura banyak berguguran, tetapi di
waktu malam. Kita harus sama-sama saling mendoakan, sebelum membuat keputusan.”
Vano tersenyum miris. Dia harus menunggu satu
tahun ya? tidak masalah. Ke Jepang tahun depan? Bukan hal buruk. Dia akan tetap
menunggu gadis itu.
“J'attendrai.”
Ucapnya lirih. Ternyata, rasi bintang scorpio masih menyimpan maksud lain. J untuk
J'attendrai yang berarti ia akan
menunggu Stella sampai kapanpun.
*
Satu tahun berlalu. Ueno Park, Tempat sepuluh
ribu pohon sakura memamerkan keindahan mereka, terletak di dekat Stasiun Ueno,
yang merupakan pusat kota Tokyo, dulunya merupakan bagian kuil Edi Kaneiji,
Vano siap menerima keputusan yang di berikan Stella.
Pemuda itu memandang bintang-bintang yang dari
tadi terlihat mengejeknya. Padahal dia belum tentu ditolak. Jika dia diterima,
dia rasa, dia harus berterimakasih pada kakak sepupunya yang mengajarkan
membuat list itu padanya, Stella
benar-benar orang yang diberikan Tuhan untuk mendapinginya. Karena, gadis itu
menepati semua list yang tertulis
disana. Ah semoga saja!
Setahun tidak berjumpa, membuatnya benar-benar
rindu gadis sedingin kutub utara itu. Rindu senyumnya, rindu tingkah lucunya,
semuanya. Vano memegang dada kirinya, ada sesuatu disana, yang bergejolak
keras.
“Sudah lama menunggu?” suara lembut seorang
gadis membuatnya menoleh, obat penenangnya datang.
Stella tahu, semua mimpi telah selesai ia raih.
Dia tahu, awan, sekaligus bintangnya. Telah lama membuat hatinya bertaut. Stella
tahu, ia sudah lama jatuh hati pada semua yang ada pada diri pemuda itu. Pemuda
yang mempunyai caranya sendiri untuk membuat Stella menjadi manusia
teristimewa.
Vano hanya tersenyum canggung. Menatap Stella
was-was. Meskipun tidak dipungkiri, kardiotonik
masih menyerang jantungnya hingga kini, sehingga ia begitu menyadari,
Stella begitu cantik malam ini.
“Kakak bisa carikan rasi bintang Andromeda?
Rasi bintang itu akan memberikan Kakak jawaban.” Kata gadis itu dengan senyuman
andalannya.
Vano menunjuk langit belahan bumi utara,
menghubungkan tiap titik bintang yang ada disana. “Ini, rasi bintang Andromeda,
yang membentuk huruf ‘A’.” terang
pemuda itu.
Stella tersenyum malu-malu. “Rasi bintang itu
jawabannya Kak. ‘A’ untuk Aishiteru.”
Vano terperangah. Penantiannya terbalas manis.
“Arigatou.” Dia kembali mengulang
pernyataannya saat di Prancis. “Je t'aime”
katanya, sambil menjumput kelopak sakura, yang terselip di helaian rambut
gadisnya.
Stella tersenyum. “Je t'aime aussi.” gadis itu kembali menatap langit malam. “Jadi
kita pacaran nih Kak?” ucapnya kemudian menunduk malu.
Vano yang kembali melihat tingkah lucu Stella
menyeringai, kemudian mengeluarkan kotak beludru berwarna merah yang sejak
setahun lalu ia simpan. “Siapa bilang?”
Stella mendongak, ia terkejut melihat kotak
beludru berwarna merah yang ada di depannya.
“Dari awal, saya kan sudah pernah bilang. Saya
nggak berniat cari pacar. Saya cari isteri. So… would you marry me?”
Stella merasakan lidahnya terlalu kelu untuk
menjawab, sebagai gantinya, ia mengangguk. Hatinya menghangat ketika Vano
menyematkan cincin pada jari manisnya. Tidak lama setelah itu, pemuda itu
membawanya dalam dekapan panjang.
-END-
*
cuap-cuap uthe : VANOOO ILYSM ({}) HAHAHAA, ini adalah karya saya paling mainstream, dimana saya nggak bisa berhenti senyum-senyum sendiri waktu bikin scane ini, emang alurnya cepet karena mereka nggak ketemu dalam kurun waktu lama, HEHE, aduhh Vano </3 ahli astronomi, sorot mata tajem, tengil, tapi baikkkk~ idaman sekaleehhh--- hehehe, saya nggak mau bohong, Vano ini karakter favorit saya, selama saya menulis, -meskipun Titan juga- semoga karakter Vano bakal hadir dihidup saya lima tahun yang akan datang yaa~ aminnn* *apasih* dan untuk ciri2 pasangan masa depan yang anak farmasi itu, saya terinspirasi karena angkatan 53 berberapa waktu lalu pasang dp kek gitu bareng2 (tapi saya nggak ikutan karena dp saya promo cerpen ;D ) wkwk terimakasih sudah membaca karya yang jauh dari kata sempurna ini! *kasih sakura satu-satu*
especially buat temen2 GRATIA, anggap aja ini hadiah dari saya untuk 2thnan ktbk kita yang udah lewat lama banget, saya kangen kalian *peyukk*
juga buat sahabat-sahabat saya di pulau-pulau berbeda, teteh agen, Kch, dan semuanyaa~ juga teman2 rempongs yang belum muvon dari jaman kapan itu -_-
salam bintang dan dandelion dari peri nirmala!
regards, @ruthenirmalaa :)