RSS

Minggu, 10 Agustus 2014

True Love Wait

True Love Wait


Cinta tidak pernah memihak, pada siapa dia akan bertuan. Dia hadir tanpa bisa di tebak, dia ada dan melambungkan sebuah rasa yang mampu membungkam sebuah kenyataan.”
*
Setahun telah berlalu semenjak saat itu, Stella tidak akan melupakan kejadian yang telah terjadi di kota Tokyo, Jepang. Dirinya memang masih pendiam. Tetapi, bukan berarti dia masih menutup diri.
Stella tahu, pemuda itu telah mengubah sebagian hidupnya. Pemuda yang kebal menyikapi sifat dinginnya yang sudah mendarah daging. Bagaimana kabar pemuda itu sekarang? Mahasiswa Astronomi ya? bintang selalu mengingatkannya pada pemuda itu. Serius!
Disinilah Stella sekarang, di depan gedung Obervatorium Bosscha. Beruntunglah, sang Mama menganjurkan kota Bandung sebagai tempat berliburnya tahun ini. Bandung telah lama menjadi kota impiannya untuk berlibur, alasannya? Tentu saja karena ingin meneropong bintang dari Observatorium ini.
Setelah mengunjungi teropong Zeiss dan telah mendapatkan presentasi tentang astronomi, inilah saat-saat yang dia nantikan, melihat bintang lebih jelas, dengan teropong bintang.
Dia telah mengantri pada teleskop Bamberg, namun seseorang menepuk bahunya, membuatnya terperanjat di tempat.
“Hei,” sapa orang itu. “lama tidak berjumpa.”
Stella menoleh dibalik bahu, ia tersenyum tipis menyadari siapa yang ada dibelakangnya. “Vano?”
Pemuda itu tersenyum hangat padanya. Setahun tidak berjumpa, banyak perubahan fisik yang terjadi pada pemuda itu. Vano mengisyaratkan Stella untuk melihat ke depan, sedikit terkejut, ternyata sekarang adalah giliran Stella.
Stella berdecak kagum, ketika melihat bintang-bintang yang berpijar dengan jelas di depan matanya. Dia tersenyum lebar, kedua netranya berbinar, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan.
Vano tersenyum melihat gadis dihadapannya, tidak menyangka ia akan kembali bertemu dengan gadis ini disini. Ia merasakan takdir sedang bermain-main dengannya sekarang.
*
Stella tersenyum canggung, ketika Vano mengajaknya di salah satu restaurant yang lumayan dekat dengan Observatorium Bosscha. Kunjungannya sangat menarik, karena mahasiswa astronomi disampingnya, menjelaskan dengan sabar, setiap pertanyaan yang ditanyakan Stella.
“Kenapa kamu bisa disini?” tanya Stella, setelah berberapa waktu lalu memesan makanan.
“Saya mahasiswa astronomi tingkat akhir, wajar bila sering kesini. Kamu sendiri ngapain disini?” ucap Vano tanpa mengalihkan pandangan dari Stella.
“Berlibur.” Jawab Stella singkat.
Vano mengusap dagunya, sambil tersenyum jahil. “Biar saya tebak, anjuran berlibur Mama kamu ya?”
Stella memutar bola mata bosan. “Tepat.”
“Kamu apa kabar? Masih jadi anak Mama ya?” tanya Vano, ketika waiters meletakan pesanan mereka di atas meja.
Stella menjawab, “Baik. Seperti yang kamu lihat. Terimakasih, berkat kamu, aku lebih bisa mengungkapkan sekarang. Dan, setelah lulus dari jurusan farmasi nanti, aku akan mengambil jurusan sastra.”
Vano menggeleng, sembari tersenyum tipis. “Oh ya? bagus dong! Kamu kelihatannya masih jadi cewek beku ya?”
Gadis berponi pagar itu menyesap teh hijaunya, sebelum kembali berkata, “This is me.”
Vano tidak tahan untuk mengacak rambut gadis dihadapannya. satu hal, ia merasa nyaman.
“Sampai kapan disini?” Vano bertanya lagi.
“Besok pulang.”
Vano mendesah kecewa. Eh? Kenapa dia bisa kecewa? Pasti otaknya sedang bermasalah sekarang. “Mau aku antar ke bandara?” tawarnya, seperti menutupi rasa kecewa.
Lagi-lagi Stella menolak, membuat Vano berdecak kesal tanpa alasan. Ya dia sendiri tidak tahu, kenapa dia sedikit kesal ketika Stella menolak tawarannya.
“Kamu mahasiswi semester berapa?” dia bertanya sekali lagi, berupaya menghilangkan rasa kesal yang menyusup tiba-tiba.
“Empat.” Sahut gadis itu singkat.
Vano menyeringai. Sebenarnya dia telah lama sadar, gadis dihadapannya jauh lebih muda darinya. “Harusnya kamu panggil saya Kakak. Saya dua tahun diatas kamu.”
Tidak ada reaksi yang berarti dari Stella. Dia hanya tersenyum tipis sambil kembali menyesap tehnya. “Aku sudah menduga ini sebelumnya, emm… Kak?”
Vano terkekeh, menyadari raut ragu dari wajah gadis itu. “Kita sudah lama kenal, boleh minta pin? Atau nomor ponsel?
Stella mengangguk, kemudian menyerahkan smartphone miliknya kepada Vano. Mengisyaratkan agar pemuda itu menyalinnya.
Thanks.” ucap Pemuda itu dengan senyuman lebar.
Tak lama setelah itu, Stella undur diri, takut Mama dan Adiknya yang sedang menunggu di hotel terlalu lama dia tinggal.
“Saya antar. Tidak baik, anak gadis berjalan malam-malam sendirian. Lagipula, saya penasaran sama Mama kamu.” Tawar Vano lagi, kali ini tidak ada penolakan dari Stella.
Setelah mengantar Stella, dan berbincang sejenak dengan Ibu, dan Adik Stella, Vano undur diri, dengan alasan keluarganya yang telah menantinya di rumah. Meski sebenarnya ia masih ingin disana berlama-lama disana.
Tanpa disadari, Stella dan Vano mengharapkan sesuatu yang sama. Semoga bertemu kembali di lain waktu…
*
Vano merasa otaknya pasti sedang bermasalah. Dia tidak bisa mengalihkan wajah Stella dari pikirannya. Padahal tiga tahun sudah, dia tak bertemu dengan gadis pendiam itu. Meskipun terkadang Vano yang menyapanya dulu lewat jejaring sosial, atau sekedar meneleponnya jika sedang tidak ada tugas.
Pemuda dengan sorot mata tajam itu, tidak mau menyimpulkan ini lebih cepat. Dia-tidak-boleh-jatuh-cinta. Mimpinya belum selesai dia raih, dia belum pantas merasakan perasaan itu lagi. Dia memang telah menyelesaikan S2nya di Harvard, tetapi dia belum tahu akan bekerja dimana.
Dan Perancis adalah negara tujuannya. Entah kenapa dia lebih menginginkan kerja disini daripada di Amerika, atau bahkan di negaranya sendiri. Ia merasa, Prancis akan menemukannya pada calon isterinya. –mungkin-
Ah, sial. Pikirannya kembali kepada gadis dingin yang sering membuatnya tertawa karena tingkah lucunya. Vano menerawang sejenak, pertemuan pertamanya dengan gadis itu. Gadis yang belum bisa melupakan cinta pertamanya, (meskipun sekarang Vano tidak tahu, gadis itu sudah melupakan cinta pertamanya atau belum.)
Vano terperangah, sepertinya ia bodoh, jika jatuh cinta pada seorang gadis yang tidak mungkin melihatnya. Ia menatap langit kamar inapnya untuk berberapa waktu ke depan, ia akan di Paris, sampai ia mendapat kepastian dari lamaran pekerjaannya yang ia kirimkan di Centre National d'études Spatiales. Atau bahasa indonesianya, badan antariksa Prancis.
Dengan perlahan, dibukanya koper yang sedari tadi ada disampingnya. ia mengeluarkan buku kecil setengah lusuh dari sana, kemudian membaca halaman yang paling depan.
Aku ingin seorang isteri yang mencintai Tuhan dengan segenap hatinya, setelahnya baru dia mencintaiku.
Vano membulatkan mata, begitu ia meneruskan tulisan cakar ayamnya ketika ia masih duduk dibangku sekolah putih-merah.





Vano terperangah melihat tulisannya di masa lampau. Dia menulis ini? benarkah? Bahkan dia sudah lupa, kapan ia menulis ini! atas dasar apa anak SD menulis seperti ini eh?
Pemuda itu ingat! Kakak sepupu kesayangannya yang meracuninya membuat list seperti ini, bahkan melarang keras Vano untuk mengenal cinta. Saat itu, kakak sepupunya memaksa untuk menulis list ini, Vano yang dulu hanya anak sekolah dasar, hanya mengikuti alur permainan yang disuguhkan kakak sepupunya, meniru hampir semua list yang sama, seperti yang ditulis kakak sepupunya.
Meskipun saat SMA Vano sempat mengenal cinta, tetapi tidak berlangsung lama, karena setelah itu dia membuat komitmen baru, bahwa dia tidak akan mengenal cinta sebelum sukses.
Kenapa semua yang dia tuliskan merupakan penggambaran dari Stella? Semua, bahkan ciri yang utama. Mencintai Tuhan dengan segenap hatinya.  Jika seperti ini Vano bisa gila. Apa Stella memang jodohnya?
*
Ke esokan harinya, di Museum Louvre, yang merupakan bekas istana kerajaan Prancis, yang sekarang menjadi museum yang paling banyak dikunjungi di dunia. dan, disinilah Vano sekarang, menatap figure Piramida Louvre, dan Piramida terbalik. Dua icon yang menjadi setting novel dan film The Da Vinci Code.
Dia berjalan menuju karya-karya lain yang tidak kalah elok. Lukisan Monalisa, karya Leonardo da Vinci. Dan ia tersentak, setelah mengetahui siapa sosok gadis yang sedang menatap kagum lukisan itu.
Stella.
Takdir mempertemukan mereka secara tidak sengaja untuk yang kesekian kali. Dia tersenyum, sambil mencoba menjinakan deburan halus yang menyerang jantungnya. Sial. Dia benar-benar jatuh cinta. Dan, gadis itulah yang berhasil menggenggam hatinya.
Bonjour.” Sapanya dalam bahasa prancis.
Stella tersentak, menyadari suara baritone yang familiar berberapa tahun terakhir ini. apa Tuhan mempertemukannya lagi dengan pemuda itu? Dia menoleh dibalik bahu, menyadari pemuda tinggi yang sedang tersenyum ke arahnya.
“Lama tidak berjumpa. Liburan lagi?” Vano bertanya dengan menaikan sebelah alis.
Stella hanya mengangguk.
Vano mengulurkan tangan. “Mau berkeliling bersama? Saya takut gadis kutub utara tersesat disini.”
Stella mengerucutkan bibir, enggan menyambut uluran tangan pemuda didepannya.
“Ngambek nih? Saya bercanda. Senyum lagi dong! Saya suka senyum kamu.” Kata Vano, sambil menarik tangan kanan Stella yang belum bergerak.
Stella merutuk dalam hati, pemuda yang dua tahun lebih tua darinya ini kenapa tengil banget sih! mati-matian ia mempertahankan mukanya agar tidak memerah.
*
Vano bosan setengah mati, memandangi gadis disampingnya yang sedari tadi membaca novel fantasi cukup tebal, karya Percy Jackson. Dia dianggap ada nggak sih disini?
“Kamu betah banget baca ya?”
Stella menoleh ke arah Vano. “Namanya juga hobi, memang Kakak nggak suka baca? Kenapa punya buku aku?”
Vano memandang pemandangan indah di depan mereka. “Memang nggak suka, saya tertarik aja di novel kamu, kamu mengangkat dunia saya. Saya suka.”
Stella tersenyum tipis, dengan senang hati ia pasti menerima komentar dari pembacanya, itu membuatnya lebih maju untuk berkarya lebih baik lagi. Gadis itu menghentikan aksi membacanya sejanak, memandang Bois de Boulogne di pagi hari, paru-paru di kota prancis, yang sungguh nyaman untuk di kunjungi.
Merci.” Sahutnya dalam bahasa prancis.
“Kamu sudah bisa melupakan cinta pertama kamu?” tanya Vano hati-hati. Batinnya was-was, takut hatinya hancur sebentar lagi.
“Sudah,” Sahut gadis itu, “Bahkan aku lupa rasanya jatuh cinta.” Lanjutnya kemudian.
Vano mendesah lega, dia tersenyum sambil mengacak rambut gadis disampingnya. “Saya kira kamu nggak bakal move on.
Stella terkikik. “Ngapain aku nunggu yang nggak pasti? Bukannya kata Kakak cinta pertama itu nggak ada? Kakak sendiri belum cari pacar?”
Vano yang sedari tadi bosan, mengambil buku lusuhnya dari balik saku jaket, menulis abstrak, di lembaran kosong yang ada disana. “Saya kira, kamu bakal lupa sama omongan saya. Saya nggak nyari pacar. Saya nyari isteri.”
Iris hitam Stella membulat mendengar pernyataan pemuda disampingnya. Vano pemuda yang memberi kepastian, bukan harapan. Memberi kejelasan hubungan, bukan memberi permainan. Pemuda ini, memilih hubungan yang tidak akan bisa dilepaskan dengan mudah. Dia tahu kemana arah pembicaraan pemuda disampingnya.
“Kamu nggak berminat cari cinta yang baru? Yang mungkin seorang penulis yang seprofesi sama kamu? Atau tenaga medis?” tanya Vano lagi, dalam hati dia merutuki kata-katanya yang menurutnya benar-benar nista.
Stella mengangkat bahu. “Bukankah yang lama itu nggak termasuk cinta? Kakak bilang cinta pertama nggak pernah ada, yang ada hanya mereka yang ingin mengikatkan diri, bukan terikat. Jadi, aku ralat pertanyaan kakak, bukan cinta yang baru, tetapi cinta sejati.”
“Terserah kamu saja.” sahut Vano kemudian.
Gadis berponi pagar itu menghela napas. “Sepertinya belum. Mimpiku masih banyak yang belum tercapai. Memang sih, sudah sarjana sastra bulan depan, tetapi novel baru, kerja di Rumah Sakit, dan yang terpenting, belum semua yang aku lakukan, seiring sama detak jantung Tuhan. Aku mau seirama dulu sama detak jantung Tuhan, baru aku menunggu cinta sejatiku, menunggu Kak. Bukan mencari, Ah iya, aku nggak berminat sama penulis. Aku nggak suka sama laki-laki yang obral kata-kata manis. Aku juga nggak berminat sama anak kesehatan.”
Vano yakin, ia tidak salah memilih sekarang. Gadis idamannya sejak masa putih-merah berdiri dihadapannya sekarang! Sial, jantungnya berdetak lima kali lebih cepat ketika melihat senyuman manis dari gadis itu! Ternyata list yang ia buat benar-benar terwujud, dan terpampang nyata dihadapannya.
“Menurutmu, bagaimana dengan cinta satu sisi?” tanya Vano lagi, sukses mendapat tatapan heran dari Stella.
“Bertepuk sebelah tangan maksudnya?” tanya Stella sambil menaikan sebelah alis. Dibalas anggukan dari Vano.
Stella kembali angkat bicara. “Setiap orang merasa dirinya disakiti, padahal tanpa sadar mereka yang menyakiti dirinya sendiri. Seperti cinta satu sisi. Belum tentu orang yang menolak mereka berniat menyakiti mereka, mereka terkadang mengganggap kebaikan orang yang menolak mereka menjadi sebuah harapan. padahal, sesungguhnya harapan itu nggak pernah ada. dan lagi, yang namanya harapan, itu nggak akan pasti.”
Stella mengembuskan napas sejenak, sambil menatap langit biru yang ada diatas mereka. “Padahal cinta tidak akan menyakiti.”
Vano masih belum mengalihkan pandangan dari paras ayu gadis disampingnya, hingga tanpa sadar, buku yang dia pegang jatuh di sela-sela rumput yang mereka pijak.
Dengan cekatan, Stella mengambil buku kecil yang telah lusuh itu, tanpa sengaja Stella membacanya. Bagian yang menjadi aib hidup seorang Stevano Ananta.
Ciri-ciri Pasangan Masa Depan Vano. Membuatnya tertawa terpingkal-pingkal, meskipun otaknya kembali mengingat surat yang dulu sempat ia tulis untuk pasangan masa depannya, yang dia sendiri tidak tahu siapa. Jelasnya, surat itu akan ia berikan pada pasangan masa depannya kelak.
Hampir serupa, namun tentu saja maknanya berbeda, surat miliknya jauh lebih anggun daripada list  Vano ini! tetapi, jika dipikir-pikir, kenapa list ini menuju padanya ya?
Muka Vano pucat pasi, menyadari kenapa Stella terpingkal-pingkal membaca buku lusuhnya itu, salahnya tidak meninggalkannya di hotel. Sial, image coolnya hilang.
“Jangan tertawa. Itu tulisan absurd-ku waktu Sekolah Dasar.”
Stella masih tidak menghiraukan rutukan Vano, sampai pemuda itu berkata, “Tertawa saja terus. Nggak papa, asal kamu tertawa seperti ini, saya suka kamu tertawa.”
Gadis berambut sebahu itu mulai salah tingkah. Pemuda ini mempunyai sesuatu yang tidak Stella temukan dari pemuda lain.
*
Stella menatap secarik kertas yang ada di genggamannya. Surat yang ia selipkan di buku hariannya, surat untuk pasangan masa depannya. Surat yang dia tulis saat berada di tingkat dua, sekolah menengah umum.
Sejak dulu dia memang tidak pernah berniat pacaran sebelum meraih semua mimpinya, tetapi salahkan cinta yang memang hadir tak diduga, hingga dia sempat ingin melanggar komitmennya, beruntung dia bertemu dengan Vano, yang membuatnya membuka mata hatinya.
Dia mendesah, kenapa pemuda bermata tajam itu menjadi pusat gravitasinya sekarang? Dia teringat list pemuda itu yang tidak sengaja ia baca. Anak farmasi? Mengobati bukan menyakiti? Boleh juga. Kenapa dia merasa sosok yang tergambar disana adalah dirinya?
Stella akui, pemuda itu semakin menawan. Tubuhnya yang tinggi, tidak sekurus dulu saat pertama kali bertemu, alis hitam lebat dan sorot mata tajam, tidak lupa wajah tirus, rahang tegas, hidung tidak begitu mancung, juga bibir tipis pemuda itu, yang memberikan kesan maskulin.
Dia tahu, cepat atau lambat, dia pasti akan jatuh dalam pesona pemuda itu. Pemuda yang memberikan warna baru dalam hidupnya.
Segera mungkin, ia memasukan ponsel dan dompetnya pada tas jinjing yang ia bawa nanti, hari ini, hari terakhir ia di Paris. Dan Vano, mengajaknya mengunjungi Menara Eiffel di malam hari.
*
Ditempat lain, Vano mendadak gelisah. Bahagianya karena diterima di Centre National d'études Spatiales, mendadak menguap, hilang entah kemana berganti rasa gelisah yang berlipat-lipat.
Hari ini, di Menara Eiffel Paris. Ia akan menyatakan perasaannya pada gadis yang telah menyedot perhatiannya berberapa tahun terakhir. Lewat pertemuan-pertemuan tak terduga, tanpa sadar memupuk benih-benih cinta dihatinya.
Masa bodoh ia mau ditolak atau di terima, umurnya sudah tidak muda. Dua puluh enam tahun. Berberapa temannya bahkan sudah menikah. Dan ia rasa, ini gilirannya.
Ia menatap kotak beludru berwarna merah yang telah ada di genggamannya. Cincin yang ia beli di Paris, berberapa waktu yang lalu. Yang akan dia berikan pada pujaan hatinya malam ini.
Merasa semuanya telah baik, ia mengambil teleskopnya yang berada di sudut ruangan. Dia akan menyatakan perasaannya, lewat rahasia sebuah rasi bintang.
*
Dan, disinilah mereka, pada tingkat tiga Menara Eiffel, melihat keindahan kota Paris di malam hari, dari atas gedung. Vano membiarkan gadis disampingnya berdecak kagum. Dia memang tahu sejak lama, bahwa kota Paris memang indah.
Setelah puas berkeliling, Vano menggandeng tangan Stella menuju taman Camp de Mars, taman yang menjadi tempat Menara Eiffel menjulang tinggi. Pemuda itu menarik sang gadis dari pusat keramaian.
Setelah menemukan tempat yang ia anggap sepi, Vano memasang teleskop yang sedari tadi ia bawa. Sedangkan Stella mulai memandang heran. Vano melirik Stella, hingga akhirnya kedua mata mereka berserobok.
Vano tersenyum tipis, menyadari Stella yang begitu menawan malam ini, ia mengenakan dress biru laut berenda, rambut hitam sebahunya di biarkan terurai, wajah gadis itu tidak menggunakan banyak make up. Membuat kecantikan alami gadis itu semakin terpancar.
Pemuda itu memutuskan kontak matanya. Ia kembali berkutat dengan teleskopnya. Tangan kokohnya mengarahkan teleskop ke belahan bumi selatan. Setelah mencari perbesaran yang sesuai, ia tersenyum puas.
Stella memandang langit. “Aku memang seperti langit.” Katanya tiba-tiba.
Vano mengrenyit heran. “Terlalu mustahil untuk digapai?”
Gadis itu menggeleng. “Kelihatannya perkasa, tetapi sebenarnya dia butuh sesuatu untuk membuatnya indah, seperti langit siang yang indah karena ada awan, juga langit malam, yang membuatnya indah karena ada bintang.”
Vano menyadari, arah pembicaraan gadis disampingnya. gadis itu masih butuh tempat berbagi sepertinya, dan ia tahu. ia pasti bisa melengkapi gadis itu.
“Lihatlah.” Katanya pada Stella yang masih mematung.
“Indah.” gumam gadis itu.
Vano tersenyum. Kemudian kembali bertanya, “Itu rasi bintang Scorpio yang berada di belahan bumi selatan. Menurut kamu bagaimana bentuknya?”
Stella menggigit bibir bawahnya. Nampak berpikir. “Seperti huruf ‘J’?” jawabnya ragu.
Tepat, seperti jawaban yang di harapkan Vano. Pemuda itu berjalan menekati Stella, kemudian menggenggam kedua tangannya. “Kamu tahu? rasi bintang itu menggambarkan kata yang ingin aku sampaikan malam ini, meski perasaanku lebih dalam dari kata itu sendiri.”
Stella memandang tidak mengerti. Meskipun jantungnya serasa meledak saat ini. ia memandang pemuda dihadapannya. hingga tanpa sadar, ia terjerat dalam black hole yang tercipta dari kedua mata pemuda itu.
“Huruf ‘J’ untuk Je t'aime.”
Tubuh Stella menegang, setelah mendengar pernyataan pemuda itu. Sebuah rasa, yang membungkam kenyataan sekarang. Kenyataan bahwa dia belum boleh jatuh cinta.
“Maaf untuk perasaan yang lebih dari sekedar persahabatan ini. ijinkan saya menjadi awan dan bintang yang menghias kamu.”
Stella menghela napas. Dia tidak boleh melanggar komitmennya lagi. Mimpinya belum selesai dia raih. “Tunggulah.”
Vano mengrenyit, mendengar kata ambigu yang terucap pada mulut gadis itu. Dia belum selesai berkata, bahkan kalimat menikahlah denganku, se marier avec moi… sama sekali belum dia ucapkan.
“Satu tahun lagi. Aku akan memberikan jawabanku, saat musim semi, di tempat bunga sakura banyak berguguran, tetapi di waktu malam. Kita harus sama-sama saling mendoakan, sebelum membuat keputusan.”
Vano tersenyum miris. Dia harus menunggu satu tahun ya? tidak masalah. Ke Jepang tahun depan? Bukan hal buruk. Dia akan tetap menunggu gadis itu.
J'attendrai.” Ucapnya lirih. Ternyata, rasi bintang scorpio masih menyimpan maksud lain.  J untuk J'attendrai yang berarti ia akan menunggu Stella sampai kapanpun.
*
Satu tahun berlalu. Ueno Park, Tempat sepuluh ribu pohon sakura memamerkan keindahan mereka, terletak di dekat Stasiun Ueno, yang merupakan pusat kota Tokyo, dulunya merupakan bagian kuil Edi Kaneiji, Vano siap menerima keputusan yang di berikan Stella.
Pemuda itu memandang bintang-bintang yang dari tadi terlihat mengejeknya. Padahal dia belum tentu ditolak. Jika dia diterima, dia rasa, dia harus berterimakasih pada kakak sepupunya yang mengajarkan membuat list itu padanya, Stella benar-benar orang yang diberikan Tuhan untuk mendapinginya. Karena, gadis itu menepati semua list yang tertulis disana. Ah semoga saja!
Setahun tidak berjumpa, membuatnya benar-benar rindu gadis sedingin kutub utara itu. Rindu senyumnya, rindu tingkah lucunya, semuanya. Vano memegang dada kirinya, ada sesuatu disana, yang bergejolak keras.
“Sudah lama menunggu?” suara lembut seorang gadis membuatnya menoleh, obat penenangnya datang.
Stella tahu, semua mimpi telah selesai ia raih. Dia tahu, awan, sekaligus bintangnya. Telah lama membuat hatinya bertaut. Stella tahu, ia sudah lama jatuh hati pada semua yang ada pada diri pemuda itu. Pemuda yang mempunyai caranya sendiri untuk membuat Stella menjadi manusia teristimewa.
Vano hanya tersenyum canggung. Menatap Stella was-was. Meskipun tidak dipungkiri, kardiotonik masih menyerang jantungnya hingga kini, sehingga ia begitu menyadari, Stella begitu cantik malam ini.
“Kakak bisa carikan rasi bintang Andromeda? Rasi bintang itu akan memberikan Kakak jawaban.” Kata gadis itu dengan senyuman andalannya.
Vano menunjuk langit belahan bumi utara, menghubungkan tiap titik bintang yang ada disana. “Ini, rasi bintang Andromeda, yang membentuk huruf ‘A’.” terang pemuda itu.
Stella tersenyum malu-malu. “Rasi bintang itu jawabannya Kak. ‘A’ untuk Aishiteru.
Vano terperangah. Penantiannya terbalas manis. “Arigatou.” Dia kembali mengulang pernyataannya saat di Prancis. “Je t'aime” katanya, sambil menjumput kelopak sakura, yang terselip di helaian rambut gadisnya.
Stella tersenyum. “Je t'aime aussi.” gadis itu kembali menatap langit malam. “Jadi kita pacaran nih Kak?” ucapnya kemudian menunduk malu.
Vano yang kembali melihat tingkah lucu Stella menyeringai, kemudian mengeluarkan kotak beludru berwarna merah yang sejak setahun lalu ia simpan. “Siapa bilang?”
Stella mendongak, ia terkejut melihat kotak beludru berwarna merah yang ada di depannya.
“Dari awal, saya kan sudah pernah bilang. Saya nggak berniat cari pacar. Saya cari isteri. So… would you marry me?”
Stella merasakan lidahnya terlalu kelu untuk menjawab, sebagai gantinya, ia mengangguk. Hatinya menghangat ketika Vano menyematkan cincin pada jari manisnya. Tidak lama setelah itu, pemuda itu membawanya dalam dekapan panjang.
-END-

*
cuap-cuap uthe : VANOOO ILYSM ({})  HAHAHAA, ini adalah karya saya paling mainstream, dimana saya nggak bisa berhenti senyum-senyum sendiri waktu bikin scane ini, emang alurnya cepet karena mereka nggak ketemu dalam kurun waktu lama, HEHE, aduhh Vano </3 ahli astronomi, sorot mata tajem, tengil, tapi baikkkk~ idaman sekaleehhh--- hehehe, saya nggak mau bohong, Vano ini karakter favorit saya, selama saya menulis, -meskipun Titan juga- semoga karakter Vano bakal hadir dihidup saya lima tahun yang akan datang yaa~ aminnn* *apasih* dan untuk ciri2 pasangan masa depan yang anak farmasi itu, saya terinspirasi karena angkatan 53 berberapa waktu lalu pasang dp kek gitu bareng2 (tapi saya nggak ikutan karena dp saya promo cerpen ;D ) wkwk terimakasih sudah membaca karya yang jauh dari kata sempurna ini! *kasih sakura satu-satu*  
especially buat temen2 GRATIA, anggap aja ini hadiah dari saya untuk 2thnan ktbk kita yang udah lewat lama banget, saya kangen kalian *peyukk*
juga buat sahabat-sahabat saya di pulau-pulau berbeda, teteh agen, Kch, dan semuanyaa~ juga teman2 rempongs yang belum muvon dari jaman kapan itu -_-
salam bintang dan dandelion dari peri nirmala!
regards, @ruthenirmalaa :)

Jumat, 08 Agustus 2014

It's not First Love



It’s Not First Love
*
“Cinta adalah ia yang memberi kepastian, tidak dengan memberi sebutir harapan.”
            *
Sebuah ruangan dengan ukiran kelopak sakura pada setiap dinding yang ada disana, kini dihuni oleh tujuh orang dari berbagai usia, Salah seorang diantaranya mengerucut menahan kesal. Tidak mengerti apa yang sedang di tunggu kawanannya sebelum melakukan tour pertama mereka.
Dia tidak tahu, kenapa dia menurut saja, ketika sang Mama menganjurkannya berlibur ke negeri bunga sakura ini. Padahal sejujurnya, dia tidak suka negara ini, karena berhubungan dengan seseorang dari masa lalunya. Cinta pertama, yang memberi luka tanpa sosok itu pernah sadari.
Sorry! I’m late!” seru seseorang dengan langkah kaki tidak sabaran.
Vano tersenyum tipis, menyadari keterlambatannya yang hampir tidak bisa di tolelir. “Saya minta maaf, saya terlambat bangun tadi.” katanya sekali lagi, dengan bahasa dari negara asalnya.
Salah seorang pemuda bermata sipit mengangguk maklum,  kemudian kembali angkat bicara. “Ohayou minna-san! Karena peserta dari Indonesia sudah siap, kita akan menuju tempat pertama tour ini. Yoyogi Park, kalian bisa melakukan hanami disana.”
Derap langkah kaki, mulai meninggalkan hotel yang memamerkan keindahan bunga sakura itu. Tak terkecuali seorang gadis yang sedari tadi tidak memperlihatkan ekspresi apapun. Ia tidak peduli, rombongannya telah berada lima langkah jauh kedepan, yang ia inginkan sekarang adalah pulang ke tanah air.
Vano memandang heran, seorang gadis yang dari tadi sama sekali tidak terlihat menikmati perjalanan Tour in Tokyo ini. dia memelankan langkah besarnya, sehingga menyamai langkah kecil gadis itu.
“Hai.” sapanya singkat.
Gadis itu masih diam, meliriknya tanpa ekspresi.
“Patah hati?” katanya lagi, hingga sukses mendapat delikan dari gadis itu.
Perempuan memang merepotkan, ucap batinnya. Beruntunglah kakak sepupunya adalah seorang psikolog, Vano belajar banyak tentang perubahan raut wajah, dan sepertinya sangat berguna sekarang.
Vano kembali berkata, “Saya nggak lagi bicara sama batu.”
“Apa urusanmu?” kata gadis itu sinis.
Vano tak memedulikan sentakan kecil dari tangan mungil gadis itu, ketika dia menariknya. “Kamu mau kita tersesat disini? Rombongan udah jalan jauh tuh!”
Gadis itu tetap saja tidak peduli, raut mukanya datar, tidak memperlihatkan emosi, tetapi Vano tahu, gadis itu menyimpan sesuatu dalam hatinya, sehingga ia berlagak seperti air di belahan bumi utara.
*
Yoyogi Park, Tokyo, Jepang. Sebuah taman dengan ribuan bunga sakura yang mekar pada saat musim semi, pada tengah-tengah taman, terdapat sebuah sungai kecil yang benar-benar di jaga kebersihannya, sehingga taman itu terlihat begitu memikat.
Dan, disinilah Stella sekarang, sama sekali tidak tertarik pada bunga sakura yang mencoba menggodanya. Sudah berulang kali dia katakan, dia tidak suka tempat ini. dan sebuah kesalahan ketika ia menurut perintah Mamanya untuk kali ini.
“Stevano Ananta. Yoroshiku onegai shimasu.
Suara baritone seorang pemuda yang sedari tadi mengganggunya, membuatnya menoleh ke sumber suara. Ia mendelik, begitu menyadari tangan kanan pemuda itu telah menggantung di udara.
“Stella Dandelion. Saya nggak ngerti kamu ngomong apa.” katanya datar, tanpa membalas uluran tangan dari sang pemuda.
Vano dongkol setengah mati, ini hati perempuan disampingnya terbuat dari apasih? Dingin, dan tak tersentuh. Tetapi, pemuda itu menyeringai menyadari satu hal.
“Kamu… penulis yang ceritanya pasti tentang cinta pertama itu kan?” dia bertanya, sambil menaikan sebelah alis.
“Tahu apa kamu tentang saya?” jawab Stella sinis. Hatinya sensitif, mendengar kata ‘cinta pertama’ membuatnya tidak bisa melupakan bayang-bayang masa lalu saja.
“Benar kan? Saya punya buku kamu lho.” pemuda itu berkata sekali lagi, tetapi Stella bergeming tidak menjawab.
Vano mengembuskan napas berat, ia menyapu pemandangan Yoyogi Park, dengan netra hitamnya. Sesekali ia melirik gadis dingin disampingnya yang sedari tadi hanya diam.
“Kamu nggak keliling? Percuma bayar mahal kalau kamu disini aja. Waktu bebas hanya tiga jam.”
Stella membuang muka, mengalihkan pandangan dari netra hitam tajam yang memandangnya dari tadi. “Saya nggak suka tempat ini. lagi pula, kenapa kamu masih disini sama saya?”
Vano mencibir, percuma ada musim semi, kalau gadis disampingnya mengeluarkan aura musim dingin. “Kalau nggak suka, kenapa kamu liburan kesini? Saya nggak mau ada gadis dingin tersesat di tempat seindah ini.”
Stella memicing, memandang Vano seakan dia adalah manusia berbahaya yang harus dimusnahkan. “Mama saya yang suruh saya kesini. Awalnya saya juga nggak tahu kalau saya liburan di Tokyo.”
Pemuda dengan mata tajam itu menahan tawa. Dingin-dingin anak mama juga, dasar tsundere. Dia menarik tangan mungil gadis itu dengan tidak sabaran, membawanya di salah satu bangku yang menghadap pada sungai kecil yang ada disana.
“Apa?” gertak Stella, memandang Vano kesal.
“Duduklah, nikmati saja angin musim seminya.” kata Pemuda itu, kemudian berlalu meninggalkan Stella.
Stella menunduk, merutuk dalam hati, kenapa ada pria menyebalkan seperti itu eh? Harusnya dia di rumah saja, melanjutkan naskah barunya. Ah, dia ingat. Pasti ini cara sang Mama, agar dia bisa menghentikan diri sejenak dari dunia menulisnya. Huh. Menyebalkan!
Sekarang pikirannya beralih pada pria sebayanya, yang bernama Stevano itu. Apa maksudnya sih? tadi pemuda itu berkata tidak mau meninggakannya agar dia tidak tersesat, sekarang dia di tinggal juga. Dasar alibi.
Gadis itu mendongak, ketika mendapati nasi kepal berbentuk segitiga hampir menyentuh hidungnya. Onigiri? Irisnya membulat, mengetahui siapa pemberi nasi kepal itu.
“Makanlah, ini tidak beracun.”
Stella masih tidak memperlihatkan ekspresi apapun. Membuat sang pemberi mendelik kesal. “Ambil, atau mau aku suap hm?”
Tangan kecil Stella akhirnya mengambilnya juga. Dia benar-benar tidak mengerti pemuda yang sekarang duduk disampingnya ini.
“Mahasiswa kan?” Stella mengangguk.
Pemuda itu bertanya lagi. “Jurusan apa?”
“Jurusan yang dianjurkan Mama saya.” Sahut Stella tak acuh.
Vano tidak tahan untuk terkikik. “Universitas mana?”
“Universitas yang buat Mama saya jatuh hati.” Sahut gadis itu lagi.
Sambil melahap onigiri-nya, Vano kembali berkata, “Saya nggak tanya tentang Mama kamu ya! anak Mama.”
Stella meninju pelan, bahu pemuda disampingnya. “Saya mahasiswa kesehatan tahu! dan saya rasa kamu nggak waras.” katanya sambil tersenyum tipis.
Sudut bibir Vano tertarik, melihat senyum samar gadis disampingnya. entah apa yang mendorongnya, dia sedikit penasaran dengan gadis disampingnya. dia ingin tahu lebih jauh sisi dalam gadis itu.
“Saya kira kamu anak sastra, kamu kan penulis.”
Stella menggeleng pelan. “Sebenarnya, saya lebih tertarik sama sastra, apalagi dengan astronomi, tetapi… kata Mama, jadi anak kesehatan lebih cocok buat saya, lagipula saya punya janji pribadi sama mendiang Papa, mengobati orang-orang yang sakitnya seperti Papa.”
Stella merutuk mulutnya, berbicara begitu banyak pada orang asing. Kenapa dia bisa kelepasan?
Vano kini mengerti, kenapa gadis itu menjadi dingin seperti ini, meski ia tak yakin, hanya kematian sang ayah yang membuat gadis itu seperti ini. “Saya mahasiswa Astronomi, di ITB.”
Stella menaikan alis, tidak menyangka akan bertemu mahasiswa astronomi yang begini menyebalkan. Ah, jurusan keinginannya dulu, yang kini hanya tinggal harapan.
Vano menyadari, sorot mata gadis itu kembali dingin. Sebenarnya gadis ini kenapa sih? bukankah kebanyakan penulis mahir berbicara? Kenapa gadis ini sebaliknya? Bahkan untuk sekedar berbicara dia terlihat enggan. Ada apa dengan masa lalu gadis itu?
“Kamu nyaman dengan pilihan Ibumu?” pemuda itu bertanya dengan hati-hati, takut gadis disampingnya memandangnya tajam.
Stella tersenyum tipis. “Sejak Papa nggak ada, apa yang menjadi pilihan Mama itu saya anggap yang terbaik, suka nggak suka, nyaman ataupun enggak.”
Vano menaikan alis, melihat sebuah figure kosong dari sorot mata gadis itu. Teman berbagi, gadis itu telah banyak memendam semuanya sendiri. “Kamu berhak menentukan jalan hidupmu sendiri, pernah mengutarakan pendapatmu pada Ibumu?”
Gadis berambut sebahu itu menggeleng. “Saya memilih diam.”
“Sampai kapan?” gumam Vano ambigu.
“Sampai kapan kamu memendam semuanya sendiri? Bicaralah apa yang ingin kamu utarakan.” ulang Vano dengan aksen lebih jelas.
Stella hanya diam, pandangannya kosong. Aku juga tidak tahu.
Vano mengembuskan napas berat, menjuput kelopak sakura yang jatuh dipucuk kepala gadis itu. “Saya sekarang teman kamu, kamu bisa cerita apapun sama saya.” Katanya, seiring lembayung senja yang mulai menampakan diri disana.
*
Stella tersenyum, entah kenapa dia merasa hari-hari kemarin tidak begitu buruk, sadar atau tidak, pemuda bernama Stevano itu telah sedikit merubah pandangannya tentang Jepang, meskipun ia belum bisa lupa dari bayang-bayang masa lalu itu.
Tangan mungilnya membuka list perjalanan hari ini, tertera Disneyland Tokyo disana, dia akan bertemu Putri Salju dan Cinderella eh? Dia harap, sosok yang sangat mengagumi negeri ini tidak akan muncul.
Belum sampai ia mengunci pintu kamar, sosok tinggi di belakangnya membuatnya terperanjat. “Kamu mau bikin saya kaget?” hardiknya dengan nada sinis.
Pemuda itu tertawa, mengacak rambut hitam gadis dihadapannya. “Saya kira kamu akan terlambat, semuanya sudah kumpul di lobi.”
Stella mendelik, menyadari kekehan Vano yang dari tadi tidak kunjung berhenti. “Kamu tuh yang kemarin terlambat! Sorry saja, anak kesehatan selalu tepat waktu.”
Vano mencibir, melihat gaya bicara Stella yang mulai dingin. “Ayo, Daichi-kun bilang, kita harus segera bersiap.”
“Daichi siapa?” tanya Stella dengan dahi berkerut.
Udik," cela Vano,  "Dia Tour Guide kita.” jawab Vano, tidak memedulikan Stella yang memandangnya tidak suka.
*
Stella merutuk dalam hati, kenapa harus Vano yang ada disampingnya? pemuda itu terlihat berbincang akrab dengan pemuda paruh baya yang duduk di depannya. Gadis itu memilih membuang pandangan ke arah jendela. Melihat bunga sakura yang perlahan jatuh di tiup angin.
“Hei, kamu nggak kenal sama rombongan kita ini selain saya?” bisik Vano, membuat Stella bergidik.
“Saya nggak peduli.” Sahut gadis itu tak acuh.
Vano mencibir, menyadari sikap dingin Stella yang sudah mendarah daging. “Kamu kenapa bersikap dingin seperti ini?”
“Apa pedulimu? Kamu mau, saya bersikap seperti anak kecil yang habis mendapatkan permen?” balas Stella sengit.
“Saya peduli sama kamu.” Tegas Vano, kemudian tangannya menarik tangan mungil gadis itu agar bangkit dari tempatnya duduk. “Sudah sampai ayo turun.” Ia membimbing gadis menuju gerbang Disneyland Tokyo. Tidak peduli, gadis itu meronta ingin di lepaskan.
Tidak menunggu banyak waktu, Vano menyeret gadis disampingnya menuju berberapa wahana yang menurutnya menarik, seperti Pirates of Caribbiean yang merupakan perahu berkapasitas dua puluh orang, yang mengajaknya mengelilingi area Adventureland, dan melihat live action  dari Captain Jack Sparrow.
Sesekali Vano melirik gadis disampingnya yang terlihat biasa saja, dia mengacak rambutnya dengan tidak sabaran, ayolah, mereka sudah menaiki semua wahana di Adventureland! Dan tidak ada wajah berbinar dari gadis itu.
Tidak menyerah, ia kembali menarik tangan gadis itu menuju Fantasyland. Dan, benar saja, sudut bibir gadis itu tertarik, ketika menaiki mini car pada wahana Snow White’s Adventure.
Gadis itu terlihat begitu hidup ketika memasuki wahana Cinderella’s Fairy Tale Hall. Vano menyeringai. “Ingin berdansa dengan pangeran?”
Membuat bibir gadis itu melengkung ke atas.
Vano terkekeh. “Bercanda. Kamu nggak punya selera humor sih.”
Tanpa permisi, Vano kembali menarik tangan gadis itu, untuk mengistirahatkan diri sejenak pada salah satu bangku kosong yang ada disana. “Kamu kapan nggak bertingkah nyebelin sih?” rutuk Stella.
“Kamu kapan nggak bersikap dingin?” ujar Vano, membuat gadis itu kembali bungkam.
Vano kembali melirik gadis disampingnya yang sedari tadi menunduk. “Kamu bisa cerita sama saya. Saya tahu, kamu itu lagi patah hati, juga… kamu kesepian.”
Stella mendelik. “Tahu dari mana kamu?”
Vano mengetukkan telunjuknya pada pelipis. “Think.” Jeda sejenak, sebelum ia kembali angkat bicara. “Semua terlihat dari sorot mata kamu.”
Stella menghela napas sejenak. “Oke, aku menyerah. Aku akan cerita.”
Vano tersenyum, menyadari usahanya berhasil.
“Aku nggak suka Jepang, Jepang mengingatkanku pada seseorang.” kata Stella, memecah keheningan yang tercipta siang itu.
Vano menaikan sebelah alis. “Your love?
Stella mengangkat bahu, “Aku menyebutnya cinta pertama, orang bilang cinta pertama nggak bisa dilupakan, dan mungkin benar adanya. Aku nggak bisa lupa sama dia, padahal dia tanpa sadar buat aku sakit hati. Dia suka sekali dengan negeri ini. maka dari itu, aku nggak suka berada di Jepang. Jepang buat aku ingat lagi sama dia.”
Vano tersenyum tipis. “Jadi itu alasan kamu nggak suka sama negara ini? jangan membenci negara ini, sebenarnya orang itu nggak ada kaitannya sedikitpun sama negara ini. kalau kamu sayang kenapa putus?”
Stella kembali menghela napas, sambil memainkan botol kemasan yang berisi ocha. “Aku nggak pernah tahu perasaan dia. You know, aku nggak pernah berani mengungkapkan sesuatu. Sejauh apapun melupakan tapi nggak bisa, rasanya seperti terikat.”
Vano terkekeh. Ia kembali memandang langit biru dihadapannya. “Cinta pertama itu nggak ada, yang ada hanya mereka yang ingin mengikatkan diri pada seseorang. Bukan terikat, tapi mengikatkan diri.”
Stella mencibir, memandang Vano heran. “Kamu nggak pernah pacaran?”
Tawa Vano meledak, tidak tahan mengacak surai hitam gadis disampingnya. “Memang kamu pernah pacaran? Saya belum pernah pacaran, tetapi saya pernah jatuh cinta, meskipun saya lupa, bagaimana rasanya jatuh cinta.”
Stella mendengus, merapikan rambutnya yang sudah teracak tidak beraturan. “Pantes, kamu lupa bagaimana rasanya sih. kamu harus jatuh cinta dulu, baru bisa kasih nasehat ke aku.”
Vano tersenyum tipis, melihat tingkah lucu gadis disampingnya. “Saya nggak akan jatuh cinta, selama cinta yang dikasih Tuhan, dan keluarga saya, masih cukup buat saya.”
Stella masih diam, menunggu Vano kembali berbicara, “Cinta pertama itu nggak ada, yang ada adalah cinta sejati. Coba saja kamu bayangkan, suami kamu tahu, kalau kamu nggak bisa melupakan cinta pertama kamu? Bukankah dia akan sakit hati? Bagus, jika cinta pertama kamu akan jadi yang sejati. Tapi sayangnya, nggak semua orang, memiliki kisah  sama seperti kisah fiksi yang kamu buat.”
Gadis berambut sebahu itu kembali bertanya. “Emang kamu tahu cinta itu apa?”
Vano mendelik, menyadari gadis disampingnya sedikit terbuka. “Cinta itu tulus, memberi kepastian, bukan memberi harapan, dia selalu membawa kebaikan.”
Stella membuka keripik kentang yang ia bawa dari hotel. “Lalu bagaimana dengan perasaan terikat dan tidak bisa melupakan?”
Vano memutar bola mata bosan. “Itu bukan cinta. Kalian yang terikat, atau kamu yang mengikatkan diri?”
Stella mendelik, “Aku nggak tahu perasaan dia.”
Pria bermata tajam itu kembali memandang gadis disampingnya. “Kenapa kamu mau menunggu dalam ketidakpastian?”
Stella mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. kamu sendiri kenapa nggak mau jatuh cinta?”
Vano menaikan sebelah alis. “Saya menunggu cinta sejati. Berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Saya mau hati saya bersih, bukan yang berbekas. Saya mau meraih semua mimpi saya, agar layak untuk orang yang saya cinta nanti.”
Mata hati Stella terketuk, sial. Bagaimana jika pasangan masa depannya bukan cinta pertamanya? Bukankah membuat hati orang itu –entah siapa nanti- sakit?
“Kamu tahu caranya melupakan?” tanya gadis itu ambigu.
Vano terkekeh, melihat Stella memainkan tali jaketnya. “Minta sama Tuhan dong, di kuduskan hatinya.”
Stella melahap keripik kentangnya, kemudian bertanya, “Bagaimana jika ada perempuan yang menyatakan perasaan ke kamu? Secara ada emansipasi sekarang.”
Lagi-lagi Vano tertawa, mendengar pertanyaan lucu yang terlontar dari mulut gadis itu. “Kamu mau nembak saya?” jawabnya, sukses mendapat delikan dari Stella.
“Nggak lah, aku pilih jual mahal.” Sahut Stella kesal.
“Jadi kamu maunya saya yang nembak kamu? Boleh tuh! Tapi tunggu ya, lupakan dulu cinta pertama kamu.” Kata Vano lagi, sukses mendapat hantaman sebotol ocha dari tas gadis itu.
“Siapa yang mau sama kamu!” ujar Stella sambil membuang muka, tidak tahan kedua mukanya memerah. Nyebelin banget jadi orang, rutuk batinnya kesal. Apanya yang bukan tipe eh Stella? Wajah sedikit tirus, sorot mata tajam, hidung sedikit mancung, tubuh tinggi tegap, meskipun sedikit kurus untuk ukuran laki-laki, tetapi punya pesona maskulin yang tidak bisa ditolak, apanya yang bukan tipe?
“Bercanda. Lagian siapa yang mau sama gadis dingin seperti kamu?” sahut Vano, sambil memutar bola mata bosan, sesekali ia melirik gadis disampingnya yang sedang membuang muka.
Ia kembali angkat bicara. “Kalau saya juga cinta sama dia, ya saya suruh nunggu, sampai saya berhasil meraih semua mimpi saya. Kalau enggak, ya saya tolak.” ujar Vano, kembali mengacak rambut gadis disampingnya.
“Apasih?!” sungut gadis itu, kesal setengah mati.
Tanpa sadar, Vano memandang lekat gadis yang sedang bersungut-sungut disampingnya, wajah oriental, rambut hitam lebat dengan poni pagar yang menutupi dahinya, kedua lesung pipit yang nampak jika dia berbicara, sikapnya yang dingin, berkebalikan dengan sikapnya, seperti jadi pelengkap dalam hidupnya, tunggu! Apa yang Vano pikirkan? Sial. Dia harus meralat dirinya yang mendeklarasikan Stella bukan tipenya! Apanya yang bukan tipe?
Vano berdeham, mencairkan suasana yang mendadak canggung. “Kamu… kenapa bersikap dingin sama semua orang? Bagaimana kamu menghadapi pasienmu nanti? Juga seperti ini?”
Gadis itu kembali menoleh ke arah Vano. “Asal kamu tahu, sebelum Papa meninggal, aku bukanlah sosok yang seperti ini, ada sesuatu hal yang membuatku terlanjur tumbuh seperti ini.”
Vano kembali menaikan alis, kenapa banyak hal yang dipendam gadis ini sendiri? Entah kenapa, dia jadi ingin selalu ada disamping gadis ini. “Kenapa?”
Sorot mata gadis itu kembali terlihat hampa. “Dulu, aku pernah membenci berberapa orang setelah kematian beliau, meskipun aku telah memaafkan mereka semua, tetapi kebencian itu telah berbuah dengan sikapku yang sekarang. Aku susah bersosialisasi, aku punya duniaku sendiri, dan aku tidak memperbolehkan siapapun memasukinya.”
“Biar aku tebak, liburan ke Tokyo ini, adalah salah satu usaha Mama-mu, agar kamu tidak hanyut dalam duniamu?” tanya Vano dengan dahi berkerut.
Stella meringis. “Ya mungkin seperti itu. Seperti namaku kan? Dandelion, aku memang rapuh.”
Tangan Vano terulur, menggenggam kedua tangan gadis itu. “Bukan itu maksudnya, orang tuamu ingin kamu mempunyai keajaiban seperti dandelion.”
“Dandelion itu nggak berguna, dia pasrah aja ditiup angin.” Sahut gadis itu, memalingkan muka, tak berani memandang mata tajam pemuda dihadapannya.
“Siapa bilang dandelion nggak berguna? Kamu anak kesehatan bukan sih? dandelion itu tanaman obat. Dia juga berguna, dan asal kamu tahu, angin yang buat dandelion menjadi lebih hidup.” Jelas Vano, mencoba mencairkan dinding es yang dipasang gadis itu.
Hening, manusia berbeda gender itu merasakan keheningan di tempat yang penuh sesak dengan ribuan orang disana, Vano melirik jam tangannya yang menunjukan pukul tiga belas waktu setempat, ia segera menarik tangan gadis yang ada disampingnya. mereka pasti telah ditunggu rombongan mereka.
Vano dan Stella tidak menyadari, kardiotonik alami, dan sedativum alami, telah menyerang tubuh alam bawah sadar mereka. Mereka tidak tahu, ada benang merah tak kasat mata yang akan mengikat mereka di masa yang akan datang.
*
Hari-hari setelah itu, dirasa menyenangkan bagi Stella, entah kenapa, pandangannya tentang Jepang, telah berubah drastis, ia nyaman berada di negeri sakura ini, melihat bunga sakura yang berguguran di sepanjang jalan setapak, membuat hatinya tenang.
Ada sesuatu yang telah lama bergejolak panas dihatinya, semua yang dia pendam kini hilang. Berganti dengan deburan-deburan halus, yang menghujam tiap inchi peredaran darahnya.
Tidak terasa, seminggu telah berlalu. Stella enggan meninggalkan Tokyo, dia suka tempat ini, dan segala keramahan penduduknya. Bahkan, Stella berminat memperlajari bahasa jepang.
Ohayou Gozaimasu.” suara baritone yang akhir-akhir ini begitu familiar di telinganya, membuatnya tersenyum lebar.
Ohayou Gozaimasu.” sahutnya, dengan senyuman manis.
Vano terperangah menyadari senyuman tak biasa dari Stella, sudut bibirnya ikut tertarik, entah perasaannya atau bukan, gadis itu terlihat lebih terbuka sekarang, sorot matanya menjadi lebih hidup, jika dibanding dengan yang dulu.
“Sebentar lagi sudah kembali ke Indonesia kan?” dia bertanya.
Stella mengangguk. “Kalau kita ketemu lagi, kamu harus ajak aku lihat bintang.”
Vano tersenyum canggung. “Tentu.”
Daichi, tour guide mereka selama di jepang tersenyum tipis, “Vano-kun dan Stella-chan mau foto berdua di bawah pohon sakura? Di Indonesia nggak ada loh. Sayang kalau dilewatkan.
Keduanya mengangguk ragu, dan memasang senyum canggung.
Klik. Satu gambar tercipta.
Tak memerlukan waktu berberapa lama, Daichi telah kembali dengan berberapa lembar foto, dan dibagikannya pada peserta tour-nya yang sedang menunggu mobil jemputan menuju bandara.
*
Bandara Sukarno-Hatta sore itu terlihat sangat ramai, Stella tidak menyangka perjalanan pulang terasa cepat, dia telah berpisah dari kota Tokyo, dan Jepang. Dan itu berarti, sebentar lagi dia akan berpisah dengan… Vano. Pemuda yang telah mengubah pandangannya dari bayang-bayang masa lalunya. Pemuda itu membuatnya mengeluarkan semua yang ia pendam selama ini, pemuda itu, menjadi sosok baru yang menerangi gelap hatinya.
Ia harus berterimakasih, sebelum siluet pemuda itu menghilang.
“Vano!” teriaknya pada pemuda yang sedang menjijing koper.
Vano berbalik, memandang Stella heran.
Arigatō gozaimasu.” Ucap Stella dengan senyuman lebar. Senyuman yang lebih indah dari senyuman yang biasa Vano lihat.
 Belum sempat Vano menjawab, Stella telah melangkah menjauhinya, dan hilang dibalik keramaian bandara sore itu. Semoga kita bertemu lagi.
-TBC -> it’s True Love

*
HEHEHE ini cerpen saya paling mainstream, saya nggak mau terjebak di genre yang itu-itu aja, dan ini, cerpen pertama saya tanpa bayang-bayang cinta pertama, wkwk jangan bosen sama analogi saya yang always tentang dandelion, saya udah jatuh cinta sama bunga itu, wkwk ini Vano idaman banget yakk {} tengil tapi bisa ngubah orang HEHEHE :")) dan saya akan ngangkat astronomi dan farmasi untuk yang kesekian kali, dua dunia itu manisss banget buat sayaa~
semoga suka! salam bintang dan dandelion dari peri nirmalaa~