Intensi
Sebuah janji yang tak ubahnya jadi mimpi.
Pertama kali kubuka mata, yang kulihat adalah senyum
diwajah Papa yang telah menggunakan seragam dinas kebanggaannya. Papa mendekat
kearahku, lantas tangannya terulur, mengusap pelan puncak kepalaku. “Mbak Lala,
bangun, katanya hari ini masuk pagi? Mau bolos kerja?”
Mengumpulkan nyawa, aku tersadar,
bahwa aku bukanlah anak kecil lagi. Aku yang baru saja wisuda, telah diterima
menjadi pegawai salah satu Rumah Sakit swasta di kota Surakarta. Segera mungkin
aku bergegas bergabung dengan keluarga kecilku. Adik laki-lakiku telah menginjak
masa SMK, tingginya telah melebihi Papa, dan tentu saja lebih tinggi dariku.
“Nanti antar Orion dulu baru antar
Mbak Pelangi ya.” ucap Papa usai kami sarapan pagi.
“Nggak kerasa ya, kalian udah besar.
Mbak Lala udah bisa cari duit sendiri, Mas Rion dua tahun lagi juga kuliah.”
kata Mama yang sedang merapikan keperluan Papa.
Jangan
bayangkan ada adegan Mama yang membetulkan dasi Papa atau memakaikan jas
padanya. Papaku bukan pegawai kantoran, Papa juga bukan pelindung negara yang
memiliki badan kekar ataupun pahlawan tanpa tanda jasa, mendidik ratusan
penerus bangsa. Papa adalah salah satu pegawai di Perusahaan Listrik Negara.
Oknum yang pertama disalahkan ketika listrik padam, namun bekerja demi terang
bangsa.
Rion
mengambil tasnya dan menggenggam kunci mobil Papa. “Yuk berangkat, nanti Mama
baper lagi ditinggal sendiri tiap pagi.” Kami bertiga serempak menggeleng
melihat perlakuan anggota paling muda keluarga Arsana. Setelahnya, aku dan Papa
menyusulnya yang telah duduk dalam mobil.
“Rion langsung pulang naik bus nanti? Nggak bablas sampai kantor Papa kayak Mbak
Lala?” tanya Papa tanpa mengalihkan pandang dari kursi kemudi.
Rion
hanya melirik sebentar, dia masih terpaku pada game online yang ada di smartphone-nya.
“Nggak, kurang kerjaan banget ke kantor Papa, udah beda provinsi, aku juga
nggak tahu mesti ngapain di sana.”
Ya,
kantor Papa berada di Kalasan, Yogyakarta. Jarak yang cukup jauh dari Sekolah
Rion dan Rumah Sakit tempatku berkerja.
Saat lampu menunjukan warna merah, Papa menyempatkan diri menoleh pada anak
laki-laki kesayangannya. “Hitung-hitung belajar, kan kamu ambil jurusan
listrik, katanya mau jadi penerus Papa?”
“Iya
sih, tapi kalau nanti, aku nggak yakin free
buat besoknya. Hari minggu aja, tanggal satu, Papa jadwal keliling Kalasan
‘kan? Aku bantu nanti. Lagi pula, Mbak Lala ngapain juga ke Kantor Papa? Naik
bus aja bisa turun depan rumah.”
Aku
melirik Papa yang terlihat santai. “Tanya Papa tuh! Papa yang maksa Mbak ke
Kantornya.”
“Mumpung
Mbak Pelangi masuk pagi, kapan bisa main ke Kantor Papa lagi? Papa tuh iri sama
teman-teman Papa yang anaknya kadang pada jemput di Kantor.”
Rion
mencibir, “Aku mencium ada hal terselubung Mbak, hati-hati! Kayaknya ada yang
nggak beres dikantor Papa.”
Papa
tertawa, tangannya menepuk kepala Rion yang duduk disamping kemudi. “Rion mau
kuota sepuluh giga dari pelanggan Papa yang naik daya kemarin nggak?”
Wajah
Rion berubah sumringah, dan aku mencium hal tidak beres. “Ya maulah Pa! bisa battle Mobile Legend sampai puas!” katanya, kemudian menoleh kearahku.
“Mbakku yang cantik! Ingat perintah baginda raja, pulang kerja ke kantor
baginda raja. Jangan mlipir ke Mall, atau malah langsung pulang ke Rumah! Oke
oke?”
Aku
memutar bola mata bosan, sedang Papa mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya,
aku yakin itu adalah kartu perdana berisi kuota yang Papa janjikan. Lantas,
tangan Papa terulur, diberikannya pada Rion. “Nih! Belajar yang bener, malu
Papa kalau bapaknya pegawai PLN tapi anaknya remidi dasar listik elektronika!”
“Yes!”
ucap Rion girang, lantas diciumnya tangan Papa, dan bergegas keluar dari mobil
begitu mobil Papa menepi di depan gerbang sekolahnya. “Anak ganteng belajar
dulu ya!”
“Manjain
aja Rion terus Pa. Dia tuh lagi kecanduan game
online malah Papa kasih kuota gratisan, kalau Mama marah, Lala nggak bakal
belain Papa ya!” ucapku tak terima.
Lagi-lagi
Papa tertawa. “Sekali-kali, daripada adikmu minta motor baru, atau malah
ngrokok-ngrokok nggak jelas?”
Aku
mengangkat bahu, tanda menyerah dengan argumen Papa. Memang pergaulan sekarang
mengerikan, rokok adalah hal lumrah, balapan liar jadi ajang kehebatan, dan main
cewek adalah wajar. Mental penerus bangsa akan semakin jongkok jika begini.
Mobil
Papa menepi ketika kami tiba di Rumah Sakit tempatku bekerja. “Kerja yang
benar, ingat tanggung jawab moral kamu melayani pasien. Kesembuhan pasien juga
ditangan kamu Mbak, selain ditangan dokter, kamu yang kasih obatnya. Pasien
nggak tahu maksud dokter pasti juga tanya ke kamu. Jadi kerjanya harus pakai
hati.”
“Siap
bos!” kataku, lalu mengecup punggung tangan Papa. Ya! Aku bukan dokter, aku farmasis. Penerjemah surat cinta dokter
untuk pasiennya. Pemberi obat untuk kesembuhan mereka.
“Jangan
lupa mampir ke Kantor Papa!” ucap Papa lagi, yang aku balas dengan tanda hormat
seiring kaca mobil yang menutup.
**
Pekerjaanku
hari ini telah usai. Resep tak menumpuk sebanyak tadi. Aku bergegas mencari bus
yang searah dengan kantor Papa. Jalanan yang tak begitu lenggang membuat
perjalanan tak begitu lama.
Aku
menyebrang menuju kantor Papa, tak jarang berberapa mobil dengan logo tiga
gelombang air dan petir ditengahnya berlalu-lalang. Memasuki gedung, aku menuju
bagian informasi dan layanan masyarakat, bermaksud menanyakan keberadaan Papa.
“Permisi
bu, Pak Arsana ada?” tanyaku pada wanita paruh baya berkacamata.
“Siapanya
ya?” ia balik bertanya.
“Anaknya,
mau ketemu.” Sahutku dengan senyuman kecil.
Wanita
itu tiba-tiba memelukku, meski meja masih membatasi kami. “Oalah! Mbak Pelangi toh!
Udah gedhe, tambah cantik, pangling*
aku. Pak Arsa ki yo punya anak wedok ayu* nggak pernah dibawa
kesini, eh tapi, nek sering dibawa
kesini, malah nggo rebutan deng!*Untung
Mbak Pelangi kesini pas jam mau pulang, jadi junior baru yang pada masih single nggak rebutan kenalan.” katanya
dengan logat jawa yang kental, membuatku tertawa tertahan.
“Duduk
dulu sana, Papamu lagi jalan-jalan sama Mas Bos ganteng, bentar lagi pasti
datang, tak pesenin minum dulu ya! Kalau ada apa-apa cari Budhe Santi!”
ujarnya, sambil berlalu pergi.
Dan,
benar saja, berberapa waktu kemudian, segerombolan pemuda yang mungkin berusia
2-5tahun lebih tua dariku, menatapku heran, membuatku sedikit risih.
“Cari
siapa mbak?” tanya salah satu dari mereka.
“Pak
Arsa.” Jawabku singkat.
“Siapanya?
Bukan simpanan toh?” tanya seorang lagi.
Membuatku
spontan menjawab dan berdiri. “Papa saya nggak begitu ya! Mulutnya dijaga.”
Ia
menunduk dengan raut bersalah. “Maaf-maaf Mbak, nggak bermaksud. Saya juga
percaya kok Pak Arsa nggak begitu, orang baik banget. Cuma kemarin baru ada
kejadian begitu Mbak, sama salah satu pegawai disini, pelakornya dibawa
ngantor, ya langsung kick lah dari
sini.”
Aku
menggeleng tak habis pikir. Moral manusia semakin hancur, dan napsu sering di
salah artikan menjadi cinta. “Saya maafkan, tetapi lebih berhati-hatilah dalam
berbicara.”
“Pelangi!”
suara baritone yang sangat aku kenal memanggilku.
“Papa!”
sahutku, kemudian menghampirinya, meninggalkan gerombolan pemuda yang masih
mematung.
Papa
langsung memenjaraku dalam rangkulannya. “Kamu ini, Papa belum dateng aja
junior Papa sudah pada antri kenalan sama kamu!”
Aku
mencibir. “Siapa juga yang kenalan, malah aku disangka pelakor! Emang aku nggak
ada mirip-miripnya gitu ya sama Papa?”
Pemuda
yang datang bersama Papa tertawa, sedang Papa mengerutkan alis. “Pelakor itu
apa?”
“Ih
Papa! Aku disangka selingkuhan Papa tahu!”
Diluar
dugaanku, Papa malah tertawa, sedang pemuda dengan mulut tanpa penyaring itu
mendekat pada Papa dengan raut bersalah. “Pak Arsa ngapunten* Pak, mulut saya ini emang sukanya nyeblak, nggak
disaring, saya nggak maksud kok Pak, beneran.” Katanya memelas. Kemudian,
netranya bergulir pada Pemuda disamping Papa. “Bos, jangan SP ya! Kasihan pacar
saya yang nunggu saya lamar tapi belum ada duit.”
“Santai
saja Joni kalau sama saya. Nggak usah diambil hati, anak saya ini cantik, tapi
bisa jadi singa kalau Papanya dinilai buruk.” Papa berkata sambil menepuk pelan
punggung pemuda yang baru aku ketahui bernama Joni.
“Pak
Arsa memang senior favorit! Sekali lagi maaf ya Pak, Mbak cantik, saya tadi
khilaf.” ucap Joni, sambil berlalu pergi, di ikuti gerombolan pemuda yang
bersamanya tadi.
“Maklum
ya Mbak Pelangi, disini itu yang namanya perempuan jarang. Jadi begitu ada yang
bening sedikit pada cari perhatian, tapi aslinya mereka asik kok.” Kata pemuda
disamping Papa, yang aku balas dengan anggukan singkat.
Papa
kembali tertawa, “Kamu tuh jangan judes-judes sama laki, sekarang udah kerja
lho Mbak, Papa juga pengin punya mantu. Kalau gitu, siapa yang mau sama kamu.” membuatku
cemberut.
Kemudian,
tatapan Papa beralih ke pemuda itu. “Pak Arain panggil Pelangi, dek aja, kan lebih tua empat tahun dari
Pelangi.”
Pemuda
yang baru aku tahu bernama Arain itu tersenyum tipis, “Nggak enak Pa, belum
kenal udah panggil dek. Kalau lagi
nggak ada pegawai lain panggilnya Arain aja Pa, nggak usah pakai Pak. Rasanya aneh kalau yang bilang
Papa.”
Tunggu-tunggu!
Pemuda ini memanggil Papaku, Papa?
“Nggak
enak, masih di tempat kerja, harus professional dong kita! Ah iya, Ini tuh Pak Arain,
Manager Area Papa yang baru Mbak Lala.
Dulunya, dia itu junior Papa yang paling patuh dan ganteng. Ayo kalian salim* dulu.” kata Papa sambil
menyatukan tangan kanan kami.
Arain
tersenyum, dan aku balas dengan senyum seadanya. Lagi-lagi aku mencium hal yang
tidak beres dari Papa. “Kita makan dulu ya Mbak, udah laper belum? Pasiennya
tadi banyak nggak?”
“Ayo
deh! Ya banyaklah, kan Rumah Sakit aku, Rumah Sakit paling rame satu Solo.”
kataku sambil mengamit lengan Papa.
“Bentar,
Papa ambil tas dulu. Pak Arain mau ikut?” dia bertanya pada pemuda yang berdiri
disampingku.
Arain
memandangku ragu, “Boleh?” mungkin dia merasa canggung padaku.
“Kalau
Pak Arain mau ikut boleh kok, biar aku nggak disangka pelakor lagi. Masih bete tahu! Sekarang kalau jalan sama Papa
kok bukan disangka anak.”
Arain
tertawa, sedang Papa telah berlalu pergi menuju ruangannya. “Terus, kalau ada
saya, saya nanti disangka apa? Pacar kamu? Atau malah suami?”
Irisku
membulat, spontan aku memukul pelan bahunya. “Ya nggak gitu juga lah Pak,
bercandanya garing.”
Dia
kembali tertawa. Selanjutnya, hal yang tidak aku duga terjadi, dengan pelan,
dia mengusap pelan rambutku, seperti yang biasa Papa lakukan. “Jangan panggil Pak, saya ‘kan bukan atasan kamu.”
Mataku
mengerjap bingung, sedangkan tangan miliknya masih berada di puncak kepalaku.
“Ah
kalian cepat banget akrabnya. Bagus deh, makin mulus jalan Papa.”
Refleks,
Arain menarik tangannya, terlihat canggung pada Papa. “Saya ambil tas dulu di
ruangan saya.”
“Arain
itu pernah main lho ke Rumah, Orion saja udah kenal.” ucap Papa tiba-tiba.
Aku
mengerutkan alis. “Apa iya?”
Papa
mengangguk. “Iya, kamunya aja yang molor kalau dia datang. Pernah kamu nengok
sekali ke ruang tamu. Tapi habis itu balik molor lagi. Anak gadis Papa nih,
bener-bener, gimana mau dapet mantu kalau gini.”
Malu
juga kalau atasan Papa itu melihatku bergelung di kasur. Mana kalau tidur pasti
di ruang santai yang transparan terlihat dari ruang tamu. “Ya aku kan realistis
Pa, badan capek ya tidur. Aku mau menikmati masa sendiriku dulu.”
“Untung,
Arain itu low profile banget, dia
cuma ketawa pas Papa tunjukin kamu lelap banget di ruang santai. Mau Papa
bangunin buat kenalan, katanya jangan, kasian kamunya. Paket lengkap banget
anak satu itu.”
Aku
merasa pipiku memanas. Papa kadang kelewat polos pada orang yang ia anggap
dekat. Nggak tahu kayaknya, kalau harga diri anaknya mengikis dengar cerita
Papa itu. “Papa! kok baru cerita sih! Malu tahu Pa, anak sendiri lagi bobok
cantik dipamerin.”
“Ya
Papa itu cuma mau tes aja, reaksi alamiahnya Arain. Belum tentu lho Mbak,
dokter ganteng yang kamu ceritain bisa menerima sifatmu yang suka tidur nggak
tahu tempat.”
Nah
kan! Aku yakin Papa sedang merencanakan sesuatu disini! “Ya ampun Papa, Dokter
Erlangga itu cuma sebatas tahu karena dia bikin gempar RS karena
kegantengannya.”
Aku
masih sangat ingin mendebat Papa, tetapi suara Arain menginterupsi. “Maaf lama,
tadi ada berkas yang harus saya tanda tangani.”
“Ya
udah yuk, keburu malem nanti. Di warung bakso yang biasa aja ya. Arain bawa
motor ‘kan, bareng kita aja.” sahut Papa yang berjalan disamping Arain.
Begitu
aku duduk di kursi samping kemudi, suara Papa membuatku mengerucutkan bibir.
Sepertinya aku sudah tahu sedikit banyak tentang rencana Papa.
“Mas
Arain yang nyetir ya, Papa capek, mau tidur. Mbak Lala jangan tidur ya! Temenin
Mas Arain ngobrol.” ucapnya, kemudian menutup mata, tanda Papa tidak ingin di
ganggu.
Arain
menoleh sekilas kearahku. “Kalau capek, tidur aja. Omongan Papa nggak usah
dipikirin.”
“Mas.”
Aku memanggilnya ragu. Membuatnya melirik sekilas meski fokusnya tetap pada
kemudi. “Sedekat itu ya sama Papa?”
Dia
tersenyum, kemudian menjawab. “Pak Arsa itu senior yang paling baik dan
terbuka. Waktu saya masih jadi pegawai baru, Papamu itu selalu bantu kalau saya
lagi dalam masa sulit. Apalagi saya anak rantau, di sini cuma modal sepeda
motor sama bawa diri. Papa kamu itu udah seperti Bapak saya sendiri.”
Aku
bertanya lagi. “Ceritanya jadi Manager
Area?” jujur aku penasaran, usia Arain mungkin masih 27 tahun, masih sangat
muda untuk jadi Manager Area PLN.
“Saya
juga nggak nyangka. Sayapun merasa kalau saya ini belum pantas. Banyak yang
lebih senior dari saya, tetapi SK dari pusat itu mutlak, saya hanya bisa
menjalani. Maka dari itu, saya sebenarnya sungkan, kalau pada panggil saya Pak Manager dan sebangsanya.”
Entah
kenapa, aku semakin penasaran dengan Arain, semakin lama, aku semakin merasa
bahwa dia berbeda dari pemuda-pemuda
receh yang suka menanyakan kabar, atau menanyakan sedang apa dan dimana.
“Jujur
ya Mas, aku penasaran, setahuku, Manager
Area itu gaya hidupnya tinggi. Pergi aja pakai mobil, tapi kenapa Mas Arain
masih pakai motor, dan ya… aku lihat low
profile banget. Nggak pencitraan ‘kan ya?
Arain
tertawa lagi, entah kenapa dia ini lama-lama jadi semakin mirip dengan Papa
yang kadang selera humornya sedikit receh. Nggak lucu aja diketawakan. “Ya
percuma dong, gaya hidup tinggi tapi bukan milik sendiri? Gaji saya belum cukup
buat beli roda empat. Cicilan rumah masa depan belum lunas, nanti juga kalau
nikah sama pasangan, modalnya banyak, dan tabungan saya juga belum cukup buat
saya yakin bisa bikin bahagia orang yang saya cinta.”
Entah
kenapa hatiku berdesir mendengar pernyataan Arain. Laki-laki seperti dia
rasa-rasanya sudah punah. Aku yakin, wanita yang dicintainya pasti sangat
beruntung. Tetapi, aku jadi ingat sesuatu. “Kalau kita pergi gini, pacar Mas
Arain nggak marah?”
Dia
tersenyum misterius. “Saya single,
harusnya saya yang tanya sama kamu, pacar kamu nggak marah?”
Aku
mencibir, “Pacaran aja belum pernah! Bodyguard-ku
tuh nyeremin, pada mundur semua sebelum perang.” ucapku sambil melirik pada
Papa yang tertidur pulas.
“Ya
bagus, berarti cuma saya yang bikin bodyguard
kamu luluh.” Arain berkata sambil mengedipkan mata.
“Ayo
turun, sudah sampai, kamu bangunin Papa ya, nggak enak kalau saya.” Ucapnya
sambil menepuk lagi puncak kepalaku dan keluar dari mobil. Tadi itu maksudnya
apa ya?
Rasanya,
sesuatu begitu cepat berganti. Aku tidak tahu, apa yang membuat Arain dan Papa
duduk manis di kursi tunggu depan Instalasi Farmasi tempatku kerja. Semenjak acara makan bakso, tiba-tiba bos Papa itu jadi familiar dalam hidupku. Ya, sepertinya aku sudah bisa menebak
rencana Papa.
“Kok
Papa sama Mas Rain disini?” kataku menghampiri mereka.
“Ya
jemput tuan puteri dong! Cuma pangerannya malu kalau datang sendiri.” Kata Papa
sambil melirik Arain, membuatnya salah tingkah.
Lagi-lagi,
aku terjebak dengan Arain, Papa memilih duduk dibangku belakang karena ingin
tidur. Meski tidak secanggung dulu, kadang aku masih gugup jika berdua dengan
Arain seperti ini.
“Kamu
tahu? Nama kita berhubungan. Pelangi dan hujan.” Katanya tiba-tiba.
Aku
menautkan alis tidak mengerti, dan dia tersenyum maklum. “Arain berarti hujan,
dan kamu adalah pelangi. Saya berharap, seperti hujan dengan pelangi, hati
kitapun berhubungan. Saya ingin lebih mengenal kamu Pelangi. Dan saya tidak
akan mundur sebelum saya memenangkan hatimu.”
Aku
akui, dia memang berbeda dari kebanyakan lelaki yang hanya bermodal tampang dan
milik. Walau aku tahu, sebenarnya
Arain pasti lebih dari mampu. Sejauh ini, aku dan dia berdiskusi tentang banyak
hal termasuk pandangan kami tentang masa depan. Belum lagi Papa yang
terang-terangan mengatakan bahwa Arain adalah menantu idamannya. Pemuda itu cerdik, lebih dulu memenangkan hati bodyguardku.
“Saya tahu ini terlalu cepat, tapi Papa bilang,
kalau saya tidak cepat kamu diambil orang. Saya serius dengan kamu. Kamu ingat
lagu Pelangi sehabis hujan? Pelangi
sehabis hujan adalah lambang dari janji setia Tuhan, dan saya berharap, jika
nanti kita-pun akan mengucapkan janji setia dihadapan Tuhan. Kamu mau ‘kan
menikmati segala proses dengan saya?”
Mengerjap bingung, aku mencoba meraba hatiku. Namun
sampai detik inipun, tak ada laki-laki segigih dia. Melihat apa yang ada dalam
dirinya, membuatku yakin mengambil keputusan, bahwa dia adalah entitas dari
sosok yang selama ini aku doakan.
“Aku mau mas.”
Wajah Arain berubah sangat cerah, ketika lampu
berubah menjadi warna merah, dia mengecup keningku singkat. Tetapi deheman Papa
membuat kami salah tingkah.
“Inget ya, masih ada Papa disini. Meski Papa udah
kasih restu kalian, Mas Arain tetap nggak boleh macam-macam sama anak gadis
kesayangan Papa, sampai Mas Arain bawa Pelangi ke altar.”
Kami tertawa bersama, namun sedetik kemudian
segalanya berubah gelap. Hingga serberkas sinar kembali saat aku membuka mata.
**
Aku memegang kepalaku yang terasa pusing, mengerjap
bingung, aku terheran ketika aku menjumpai langit-langit kamar yang begitu
familiar. Bukankah terakhir kali aku sedang bersama Papa, dan Arain?
“Mbak, anak gadis lho kamu itu, tapi kok jam sebelas
siang baru bangun.” Kata Mama yang membuatku semakin bingung.
“Papa mana?”
Raut wajah Mama berubah sedih. “Kamu lupa Mbak? Papa
kamu sudah di surga karena Tuhan lebih sayang dia.”
“Tapi aku tadi habis sama Papa, sama laki-laki juga
namanya—“ tetapi Mama menyela, sebelum aku selesai berbicara. “Mbak, kamu pasti
masih ngigau. Kalau capek tidur lagi saja. Pasti Papa dateng ke mimpimu ya?
Duh, Mama kan jadi ikut kangen. Mama ke dapur dulu ya.”
Aku jadi tidak enak hati, aku menoleh dan mendapati
potret diriku dan Papa saat aku berumur dua belas tahun. Foto terakhir kami.
Dan ingatanku kembali, bahwa Papa benar-benar pergi.
Memandang potret terakhir kami, aku jadi ingat, pada
satu senja Papa pernah berjanji. Katanya saat itu, “Mbak, belajar yang tekun
ya, bikin Papa sama Mama bangga, nggak usah pacaran dulu sampai udah bisa cari
uang sendiri. Nanti kalau sudah besar, junior Papa makin banyak, kali aja ada
satu yang jodoh kamu, Papa nanti seleksi.”
Nyatanya, semua itu tidak akan terjadi. Apa yang
terjadi semalam hanya bunga tidur dan tidak mungkin terwujud. Meskipun semuanya
terihat sangat jelas dan begitu nyata. Papa tidak akan bisa mengenalkanku pada
siapapun, ataupun memilihkan lelaki pilihannya untukku. Dan Papa tidak akan
bisa campur tangan atas kisah cintaku. Tidak,
tidak akan terjadi. Dan mengingatnya, membuat air mataku luruh.
**
Dengan mata yang masih sembab karena menangis siang
tadi, aku menuju ruang pertemuan. Entah beruntung atau tidak, kali ini aku
menjadi panitia baksos yang diadakan Rumah Sakit tempatku bekerja.
Aku dengar, pada kesempatan ini, Rumah Sakit akan
bekerja sama dengan PLN APJ Surakarta, hal itu tentu saja membuat hatiku
semakin campur aduk, kembali teringat mimpi semalam yang begitu nyata tentang Papa-PLN-dan Pemuda itu.
Aku tidak tahu berapa lama aku melamun, hingga tiba
giliranku untuk memperkenalkan diri. Aku mendongak sembari tersenyum gugup. “Perkenalkan,
Saya Carlissa Pelangi Asmara Putri, perwakilan dari Farmasi, semoga kita bisa
bekerja sama dengan baik nanti.”
Belakangan aku baru tahu, bahwa nantinya aku akan
bekerja sama dengan dua dokter umum, empat perawat, dan Arneta seorang
partnerku dari farmasi tentunya. Aku menopang dagu bosan, sedang tangan kanan
mencoret kertas dengan tidak pentingnya. Tapi Arneta terus saja mencubit
lenganku untuk membuatku fokus. Dan sekarang adalah giliran dari PLN APJ
Surakarta memperkenalkan diri.
“Perkenalkan, saya Timotius Araino Setyawan. Salah
satu wakil dari PLN APJ Surakarta.”
Suara pemuda itu membuatku mendongak. Dan entah
kapan tatapan kami saling mengunci. Aku tersentak ketika dia memberi seulas
senyum. Dia Arain, sosok yang aku jumpai
dalam mimpi.
-END
Berberapa waktu lalu, Papa datang ke mimpi saya, beliau datang dengan seragam kebanggaannya, begitupun saya yang sudah pakai seragam dinas saya sekarang. ada sosok pemuda misterius yang terlihat dekat dengan Papa. tetapi ketika bangun, saya sama sekali tidak ingat wajahnya.
Semakin campur aduk ketika saya berangkat dengan posisi hujan deras, saya berpikir, andaikan Papa masih ada, mungkin saya tidak bersusah payah menembus hujan dengan motor kesayangan saya, dan sayapun semakin mengandaikan jika papa masih ada.
Tentang janji, meskipun janji itu tidak akan terwujud. memang benar, sebelum pergi, Papa sempat bilang pada saya, jika dia akan turun tangan sendiri dalam kisah cinta saya, jika saya sudah cukup umur. dan sejak kecil, saya selalu diberi mindset olehnya, bahwa laki-laki idaman, adalah pegawai PLN seperti beliau!
Saya dan Papa sangatlah dekat, dan bagi kalian yang telah membaca karya saya, mungkin heran, kenapa dari sekian banyak profesi, saya lumayan banyak memakai pegawai PLN disetiap kisah yang saya buat. jawabanya, because him. my papa. ketika saya menciptakan karakter dengan profesi seperti Papa, rindu saya sedikit tersalur.
Jadi melalui kisah ini, saya ingin mengingatkan pada kalian yang masih memiliki orangtua secara utuh. jangan sia-siakan mereka, untuk kalian yang memberontak karena keputusan orangtua, renungkan dulu, apa keputusan yang kalian ambil benar-benar yang terbaik. tidak ada orang tua yang memberikan pilihan buruk untuk anaknya. ingatlah bahwa ketika kalian tak lagi menjumpai raga, segalanya akan terasa berbeda.
mungkin, itu sedikit uneg-uneg dari saya, semoga kisah ini bisa menghibur.
ini adalah visual dari Arain. Oppa aku, tentu saja. untuk Pelangi, kira-kira visual siapa yang cocok?
-giardanila