Dear Altair.
Jika ia adalah seorang yang layak kau tunggu, ia tidak akan memberimu
hanya sebuah kadang – Bernard Batubara.
*
Aku
mengeratkan sweteerku dari udara
malam yang benar-benar menusuk tulang. Melihat cahaya bintang yang mulai redup,
dan bulan yang sama sekali tak nampak, membuatku mengingat akan satu hal. Hal
yang terus saja mengusik alam bawah sadarku.
Bahwa mulai hari ini, semua akan terasa berbeda.
Kau,
anak laki-laki yang sekarang telah menjadi seorang pemuda, sosok telah tumbuh
melebihi batas atas ekpektasiku. Pemuda jangkung, dengan raut datar yang
menjadi ciri khasmu. Tetapi, bukan itu yang menggangguku, melainkan… perasaan
bagaimana mencintai dan dicintai.
Bonaventura Altair, sosok yang
telah aku kenal selama lebih dari separuh usiaku. Sahabat kecilku, anak
laki-laki misterius yang aku jumpai di sudut perpustakaan. Sosok yang akhirnya…
membuatku jatuh cinta untuk pertama kali.
Jatuh cinta itu menyedihkan.
Mungkin seperti itulah yang tengah aku pikirkan sekarang. Karena jatuh cinta,
membuatku menunggu dalam ketidakpastian. Ketidakpastian untuk mendapatkan
hatimu.
Kau pernah berkata, “Aku tidak
ingin jatuh cinta dulu, karena aku ingin meraih mimpiku, untuk sesuatu yang
lebih tinggi dari mimpiku sendiri. Cintaku, sosok yang akan menutup hatiku
untuk orang lain kelak.”
Saat itu, aku hanya tersenyum
tipis. Tidak mengerti bagaimana harus menanggapi. Tetapi, aku setuju dengan
prinsipmu, prinsip yang akhirnya aku pegang erat-erat dalam hatiku.
Dengan senyuman tipis, kau
menatapku dengan teduh. Kemudian berkata lagi, “Aku ingin seorang gadis
menungguku dengan tulus, menunggu hinga aku menjadi sosok yang dia banggakan
kelak. Menyambutku dengan senyuman lebar, saat aku kembali pulang untuknya.”
Saat itulah, tekadku telah bulat,
menunggumu hingga aku bisa menjadi gadis yang kau idamkan itu. Tanpa aku
mengerti. Sesungguhnya, menunggu adalah hal yang sia-sia aku lakukan seumur
hidupku.
Kau tahu? aku mulai merasakan
perasaan itu, ketika kau… sosok yang aku kenal dingin, dan misterius,
menghiburku disaat aku sedang dilanda keterpurukan. Kau datang bagai angin,
yang meniup aku –si dandelion yang rapuh- dan membuatku terbang pada padang
subur, sehingga aku dapat hidup menjadi jiwa baru.
Itu berarti, sudah lebih dari
setengah windu, aku memendam perasaan itu. Perasaan yang tiba-tiba hadir, tanpa
membuatku mengerti. Jatuh cinta. Jatuh cinta dengan cara menyedihkan.
Hubungan persahabatan kita,
sangat berlangsung baik. Karena upayaku yang selalu ingin mempertahankan
persahabatan ini, berupaya menunggumu dalam diam, tanpa mau mengungkapkan
bagaimana perasaanku sesungguhnya.
Hingga suatu malam, di tengah
pendar bintang yang membias wajah kita. kau kembali berujar lembut, katamu,
“Kau tahu? aku terkadang membayangkan kisah cintaku seperti roman picisan yang baru
saja aku baca. Kisah tentang seseorang yang jatuh cinta pada sahabatnya
sendiri.”
Aku memandangmu dengan raut ragu.
“Jatuh cinta pada sahabat? Apa kamu tengah merasakannya sekarang?” tanyaku
takut-takut.
Tanganmu terulur, mengacak pelan
rambutku. Kau kembali memandang langit malam, sambil berkata. “Aku tidak tahu,
tetapi aku berharap seperti itu.”
Aku memandangmu heran, karena
tidak biasanya kau terbuka seperti ini, karena biasanya, kau selalu menyimpan
misteri dibalik kata. “Siapa? Dan kenapa kamu menjadi sedikit aneh malam ini?
Bonaventura Altair lebih banyak bicara.”
Kau mengangkat kedua bahumu
sekilas, kemudian kembali menatap bulan yang hanya tinggal seperempat. “Aku
hanya memiliki satu sahabat perempuan. Dan kau tahu itu siapa.” Katamu.
Lagi-lagi perkataanmu membuat
ribuan kupu-kupu di perutku serasa terbang, rasanya menggelitik, dan membuatku
menampilkan senyum lebar. Tetapi aku tidak ingin menarik kesimpulan lebih
cepat, takut-takut membuatku terluka pada akhirnya.
“Altair,” panggilku saat itu.
“aku tidak mengerti maksudmu.” ujarku polos.
Kau hanya tersenyum kecil. “Kau
akan tahu suatu saat nanti. Belum saatnya kita membicarakan ini, kau pasti tahu
dengan prinsipku. Tetapi… semoga saja perasaan aneh itu tidak berubah, karena
kita tidak pernah tahu apa yang terjadi dimasa yang akan datang.” ucapmu,
setelah kita dilanda keheningan cukup lama.
Saat itu aku mengerti, itulah
rasanya dihampiri. Tanpa sadar, itulah terakhir kali sosokmu menghampiriku
dengan hati.
*
Kita pasti sama-sama tahu, berapa
malam yang kita bunuh bersama untuk menatap langit, kau tahu? itu kembali
mengingatkanku pada malam terakhir yang kita bunuh berdua, membuatku tersadar,
bahwa kau… sama sekali tidak pernah mengharapkanku.
Aku bertanya, “Menurutmu,
bagaimana fase jatuh cinta?”
Kau menjawab tak acuh, “Apa perlu
aku jawab? Bukankah aku pernah berkata, bahwa aku tidak ingin jatuh cinta
dulu?”
Aku mengrenyit heran. Memandangmu
yang kembali terlihat dingin, seperti es di belahan bumi utara. “Bagaimana
dengan kisah cinta yang kau inginkan? Masihkah berharap seperti roman picisan
yang kau baca?”
Kau mendengus, kemudian berdiri
memunggungiku. “Bukan urusanmu,” tandasmu. “aku tidak memedulikannya lagi.”
lanjutmu kemudian.
Dan kau ingat apa yang terjadi di
malam selanjutnya? Kau datang dengan senyuman tipis dan menawan, mengatakan
sesuatu yang membuatku merasakan betapa menyakitkannya jatuh cinta.
Katamu, “Kau tahu Stella? Aku
jatuh cinta, dan menyatakan perasaanku pada seorang gadis. Maaf kemarin aku
terkesan berbeda. Karena aku sedang bingung, bagaimana menyatakan perasaan pada
seorang gadis. Kau tahu, ini yang pertama kali buatku.”
Aku tersenyum miris, memberanikan
diri untuk bertanya. “Bagaimana dengan prinsipmu? Meraih mimpi untuk sesuatu
yang lebih tinggi dari mimpi itu?”
Kau tersenyum kecil, senyum yang
kini bukan untukku. “Aku yakin dia mengerti, sebaiknya kau juga segeralah
menyusulku.”
Hancur sudah, kepastian itu sudah
aku dapatkan. Bahwa aku bukanlah yang ada dihatimu. Kau tahu? penantianku ternyata
hanyalah sia-sia belaka.
Seharusnya aku tahu, perkataanmu
tempo hari adalah penolakan halus bagiku, harusnya aku telah berhenti berharap
sebelum ini. karena faktanya, Angin itu meniup biji dandelion pada tanah
gersang. Membuat biji itu akhirnya mati, dan menghilang.
*
Setelah malam itu, jarak itu
terasa kian ketara. Hingga kau kembali mengatakan hal yang membuatku tersadar,
aku tidak pernah ada dihatimu dari awal.
Sambil memunggungiku kau berkata,
“Stella, aku mengerti betapa berat rasanya menunggu. Kau harusnya mengerti.
Kebahagiaanmu bukan aku.”
Kau tahu? aku rasa dinding es
yang sedari dulu kau pasang telah meleleh, tetapi malangnya, air itu menimpaku
dan menenggelamkanku sekarang. Tetapi aku tidak butuh pelampung. Karena rasanya
aku sudah mati.
Mungkin memang benar, jatuh cinta
adalah cara terbaik untuk bunuh diri.
Terimakasih untuk setiap luka,
kebohongan yang indah, dan jatuh cinta untuk yang pertama kali dengan cara
menyedihkan.
Dear Altair, terimakasih
membuatku mati. Mati untuk merasakan perasaan yang lain. Perasaan yang
membuatku takut jatuh cinta lagi.
end-
*
huaa akhirnya bisa post.. :'D yuhuu saya kembali^^ setelah merenung, akhirnya saya memutuskan ini cerpen terakhir saya dengan tema chldhood! maaf tante mar dan tante2 yang lain, uthe nggak bisa tepatin wish 18thbornday, dan coretantintanirmala telah berubah menjadi giardanila. meski nama itu telah memiliki banyak kenangan karena saya banyak kode lupakan* intinya saya tidak mau terjebak dalam masa lalu. fict ini terinsipirasi dari novel teranyar Benard Batubara. "Jatuh Cinta adalah Cara
Terbaik untuk Bunuh Diri." itu kata-katanya dalemmm banget, dan saya berniat mau membelinya suatu saat nanti haruss! intinya hits banget kata2 menunggunya, dan lagi-lagi cerpen ini ---- *sudalah teteh agen yang tahu* 2015 saya mau buka buku baruu, lembaran aja udah mainstream wkwk
dan yang masih mengingat Stella, ini adalah cerpen penghubung antara It's Not First Love dan Kabar Dalam Angan, yang pengen baca bisa ubek-ubek hehe, makasih! salam bintang dandelion^^
0 komentar:
Posting Komentar