RSS

Kamis, 18 Desember 2014

Dear Altair


Dear Altair.


               Jika ia adalah seorang yang layak kau tunggu, ia tidak akan memberimu hanya sebuah kadang – Bernard Batubara.
               *
               Aku mengeratkan sweteerku dari udara malam yang benar-benar menusuk tulang. Melihat cahaya bintang yang mulai redup, dan bulan yang sama sekali tak nampak, membuatku mengingat akan satu hal. Hal yang terus saja mengusik alam bawah sadarku. Bahwa mulai hari ini, semua akan terasa berbeda.
               Kau, anak laki-laki yang sekarang telah menjadi seorang pemuda, sosok telah tumbuh melebihi batas atas ekpektasiku. Pemuda jangkung, dengan raut datar yang menjadi ciri khasmu. Tetapi, bukan itu yang menggangguku, melainkan… perasaan bagaimana mencintai dan dicintai.
           Bonaventura Altair, sosok yang telah aku kenal selama lebih dari separuh usiaku. Sahabat kecilku, anak laki-laki misterius yang aku jumpai di sudut perpustakaan. Sosok yang akhirnya… membuatku jatuh cinta untuk pertama kali.
               Jatuh cinta itu menyedihkan. Mungkin seperti itulah yang tengah aku pikirkan sekarang. Karena jatuh cinta, membuatku menunggu dalam ketidakpastian. Ketidakpastian untuk mendapatkan hatimu.
             Kau pernah berkata, “Aku tidak ingin jatuh cinta dulu, karena aku ingin meraih mimpiku, untuk sesuatu yang lebih tinggi dari mimpiku sendiri. Cintaku, sosok yang akan menutup hatiku untuk orang lain kelak.”
               Saat itu, aku hanya tersenyum tipis. Tidak mengerti bagaimana harus menanggapi. Tetapi, aku setuju dengan prinsipmu, prinsip yang akhirnya aku pegang erat-erat dalam hatiku.
         Dengan senyuman tipis, kau menatapku dengan teduh. Kemudian berkata lagi, “Aku ingin seorang gadis menungguku dengan tulus, menunggu hinga aku menjadi sosok yang dia banggakan kelak. Menyambutku dengan senyuman lebar, saat aku kembali pulang untuknya.”
              Saat itulah, tekadku telah bulat, menunggumu hingga aku bisa menjadi gadis yang kau idamkan itu. Tanpa aku mengerti. Sesungguhnya, menunggu adalah hal yang sia-sia aku lakukan seumur hidupku.
               Kau tahu? aku mulai merasakan perasaan itu, ketika kau… sosok yang aku kenal dingin, dan misterius, menghiburku disaat aku sedang dilanda keterpurukan. Kau datang bagai angin, yang meniup aku –si dandelion yang rapuh- dan membuatku terbang pada padang subur, sehingga aku dapat hidup menjadi jiwa baru.
            Itu berarti, sudah lebih dari setengah windu, aku memendam perasaan itu. Perasaan yang tiba-tiba hadir, tanpa membuatku mengerti. Jatuh cinta. Jatuh cinta dengan cara menyedihkan.
          Hubungan persahabatan kita, sangat berlangsung baik. Karena upayaku yang selalu ingin mempertahankan persahabatan ini, berupaya menunggumu dalam diam, tanpa mau mengungkapkan bagaimana perasaanku sesungguhnya.
               Hingga suatu malam, di tengah pendar bintang yang membias wajah kita. kau kembali berujar lembut, katamu, “Kau tahu? aku terkadang membayangkan kisah cintaku seperti roman picisan yang baru saja aku baca. Kisah tentang seseorang yang jatuh cinta pada sahabatnya sendiri.”
          Aku memandangmu dengan raut ragu. “Jatuh cinta pada sahabat? Apa kamu tengah merasakannya sekarang?” tanyaku takut-takut.
               Tanganmu terulur, mengacak pelan rambutku. Kau kembali memandang langit malam, sambil berkata. “Aku tidak tahu, tetapi aku berharap seperti itu.”
               Aku memandangmu heran, karena tidak biasanya kau terbuka seperti ini, karena biasanya, kau selalu menyimpan misteri dibalik kata. “Siapa? Dan kenapa kamu menjadi sedikit aneh malam ini? Bonaventura Altair lebih banyak bicara.”
                 Kau mengangkat kedua bahumu sekilas, kemudian kembali menatap bulan yang hanya tinggal seperempat. “Aku hanya memiliki satu sahabat perempuan. Dan kau tahu itu siapa.” Katamu.
        Lagi-lagi perkataanmu membuat ribuan kupu-kupu di perutku serasa terbang, rasanya menggelitik, dan membuatku menampilkan senyum lebar. Tetapi aku tidak ingin menarik kesimpulan lebih cepat, takut-takut membuatku terluka pada akhirnya.
               “Altair,” panggilku saat itu. “aku tidak mengerti maksudmu.” ujarku polos.
              Kau hanya tersenyum kecil. “Kau akan tahu suatu saat nanti. Belum saatnya kita membicarakan ini, kau pasti tahu dengan prinsipku. Tetapi… semoga saja perasaan aneh itu tidak berubah, karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi dimasa yang akan datang.” ucapmu, setelah kita dilanda keheningan cukup lama.
         Saat itu aku mengerti, itulah rasanya dihampiri. Tanpa sadar, itulah terakhir kali sosokmu menghampiriku dengan hati.
               *
            Kita pasti sama-sama tahu, berapa malam yang kita bunuh bersama untuk menatap langit, kau tahu? itu kembali mengingatkanku pada malam terakhir yang kita bunuh berdua, membuatku tersadar, bahwa kau… sama sekali tidak pernah mengharapkanku.
             Aku bertanya, “Menurutmu, bagaimana fase jatuh cinta?”
            Kau menjawab tak acuh, “Apa perlu aku jawab? Bukankah aku pernah berkata, bahwa aku tidak ingin jatuh cinta dulu?”
          Aku mengrenyit heran. Memandangmu yang kembali terlihat dingin, seperti es di belahan bumi utara. “Bagaimana dengan kisah cinta yang kau inginkan? Masihkah berharap seperti roman picisan yang kau baca?”
       Kau mendengus, kemudian berdiri memunggungiku. “Bukan urusanmu,” tandasmu. “aku tidak memedulikannya lagi.” lanjutmu kemudian.
      Dan kau ingat apa yang terjadi di malam selanjutnya? Kau datang dengan senyuman tipis dan menawan, mengatakan sesuatu yang membuatku merasakan betapa menyakitkannya jatuh cinta.
         Katamu, “Kau tahu Stella? Aku jatuh cinta, dan menyatakan perasaanku pada seorang gadis. Maaf kemarin aku terkesan berbeda. Karena aku sedang bingung, bagaimana menyatakan perasaan pada seorang gadis. Kau tahu, ini yang pertama kali buatku.”
         Aku tersenyum miris, memberanikan diri untuk bertanya. “Bagaimana dengan prinsipmu? Meraih mimpi untuk sesuatu yang lebih tinggi dari mimpi itu?”
       Kau tersenyum kecil, senyum yang kini bukan untukku. “Aku yakin dia mengerti, sebaiknya kau juga segeralah menyusulku.”
      Hancur sudah, kepastian itu sudah aku dapatkan. Bahwa aku bukanlah yang ada dihatimu. Kau tahu? penantianku ternyata hanyalah sia-sia belaka.
        Seharusnya aku tahu, perkataanmu tempo hari adalah penolakan halus bagiku, harusnya aku telah berhenti berharap sebelum ini. karena faktanya, Angin itu meniup biji dandelion pada tanah gersang. Membuat biji itu akhirnya mati, dan menghilang.
               *
      Setelah malam itu, jarak itu terasa kian ketara. Hingga kau kembali mengatakan hal yang membuatku tersadar, aku tidak pernah ada dihatimu dari awal.
            Sambil memunggungiku kau berkata, “Stella, aku mengerti betapa berat rasanya menunggu. Kau harusnya mengerti. Kebahagiaanmu bukan aku.”
          Kau tahu? aku rasa dinding es yang sedari dulu kau pasang telah meleleh, tetapi malangnya, air itu menimpaku dan menenggelamkanku sekarang. Tetapi aku tidak butuh pelampung. Karena rasanya aku sudah mati.
            Mungkin memang benar, jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri.
            Terimakasih untuk setiap luka, kebohongan yang indah, dan jatuh cinta untuk yang pertama kali dengan cara menyedihkan.
          Dear Altair, terimakasih membuatku mati. Mati untuk merasakan perasaan yang lain. Perasaan yang membuatku takut jatuh cinta lagi.

 end-

*
huaa akhirnya bisa post.. :'D yuhuu saya kembali^^ setelah merenung, akhirnya saya memutuskan ini cerpen terakhir saya dengan tema chldhood! maaf tante mar dan tante2 yang lain, uthe nggak bisa tepatin wish 18thbornday, dan coretantintanirmala telah berubah menjadi giardanila. meski nama itu telah memiliki banyak kenangan karena saya banyak kode lupakan* intinya saya tidak mau terjebak dalam masa lalu. fict ini terinsipirasi dari novel teranyar Benard Batubara. "Jatuh Cinta adalah Cara
 Terbaik untuk Bunuh Diri." itu kata-katanya dalemmm banget, dan saya berniat mau membelinya suatu saat nanti haruss! intinya hits banget kata2 menunggunya, dan lagi-lagi cerpen ini ---- *sudalah teteh agen yang tahu* 2015 saya mau buka buku baruu, lembaran aja udah mainstream wkwk

dan yang masih mengingat Stella, ini adalah cerpen penghubung antara It's Not First Love dan Kabar Dalam Angan, yang pengen baca bisa ubek-ubek hehe, makasih! salam bintang dandelion^^

0 komentar:

Posting Komentar