RSS

Jumat, 01 Mei 2015

Delusi *cerpen*



Delusi


Jika pertemuan denganmu adalah sebuah ilusi, maka ijinkan aku kembali masuk dalam dimensi tak kasat mata itu, dan menatapmu lebih lama.
**
               Calista merutuk dalam hati, akibat bangun kesiangan, ia harus rela berdiri berdesak-desakan di kereta, sesekali ia melirik jam tangan yang melingkar pada tangan kecilnya. Sial, sepertinya dia harus kena hukuman pagi ini.

               Ini bukan pertama kalinya ia menaiki kereta ketika berangkat sekolah. Tetapi, ini pertama kalinya dia merasa butuh oksigen lebih, untuk membuat tubuhnya terjaga. Gerbong yang dia tumpangi benar-benar sesak, dan membuatnya membuat angin buatan agar dapat meraup oksigen dengan rakus.

               Laju kereta, dan permukaan rel yang tidak rata, terkadang membuatnya terhuyung tanpa sengaja. Gadis itu terus saja merutuk dalam hati, hingga tanpa sengaja netra beningnya menangkap siluet pemuda yang sedang terlelap di samping pintu keluar.

               Calista mengerjapkan kedua netranya tidak percaya, wajah damai pemuda itu mengganggu pikirannya, bagaimana bisa pemuda itu tertidur ditempat penuh sesak seperti ini? namun setelah melihat lebih seksama, Calista menyadari, wajah pemuda itu… sedikit mirip dengan idolanya! Demi apapun, pukul kepalanya sekarang! Pasti dia sedang berhalusinasi!

               Menggelengkan kepalanya, ia menjadi teringat perkataannya. Kata-kata yang tanpa sadar membuat boomerang untuk dirinya sendiri. Sahabatnya pernah bertanya, alasan Calista belum pernah mengikat hubungan dengan laki-laki manapun, dengan polos gadis itu berkata, bahwa ia akan menunggu seseorang yang berwajah mirip dengan idolanya, entah kapan datangnya. Dan hei! Ini benar-benar terjadi!

               Menahan diri untuk tidak histeris, gadis itu menghela napas sejenak, bahkan ia dapat mendengar detak jantungnya yang berdetak melebihi ritme aturan. Dia pasti sedang kaget saja kan? Gadis itu kembali menyangkal, tidak akan ada jatuh cinta pandangan pertama, di kamus Calista Malvina.

               Ragu-ragu dia melirik kembali pemuda itu, hingga tanpa sengaja netranya berserobok dengan iris obsidian yang mulai memikat netranya. Iris bening milik pemuda itu. Terperangah, dia mendudukan wajah, sembari menampilkan senyum tipis.

               Sepertinya, hari ini tidak seburuk yang dia kira…
               **
               Jogjakarta sore ini begitu lenggang, Calista kembali melangkahkan kaki menuju stasiun terdekat dari kampusnya. Dengan langkah terburu-buru, dia bergegas menuju loket. Namun, sepertinya sang takdir sedang bermain-main lagi dengannya. Tanpa sengaja dia melihat pemuda tadi, sedang mengantri tepat di depannya. Membuatnya menundukan wajah piasnya.

               “Aaa… ladies first.” Ungkap suara berat itu.

               Dengan satu kali gerakan, Calista mengangkat wajahnya. Menyadari pemuda itu tersenyum ke arahnya, dan mempersilahkannya membeli tiket terlebih dahulu. 

               “Umm… terimakasih.” 

               Pemuda itu hanya tersenyum tipis, sembari memainkan ponsel genggamnya.

               Lagi-lagi, Calista tidak bisa menahan gejolak itu lebih lama.

               **

               Do you wish you had a second chance to meet someone again for the first time?

               Setelah pertemuan itu, semua tidak lagi sama. Entah konyol atau mencoba menghampiri takdir, Calista selalu berangkat dan pulang dengan menaiki transportasi umum bebas hambatan itu, tetapi… tidak sekalipun sosok itu tertangkap dalam bayangan retinanya.

               Hari lalu bagaikan delusi, tidak mengerti siapa, bahkan sama sekali tidak mengenalnya, tetapi pemuda itu telah terlampau jauh mengambil atensinya. Pemuda itu nyata, tetapi dalam sekejap mata hilang tanpa bekas.

               Suatu keanehan, ketika ia merasakan suatu kekosongan dalam rongga dadanya. Aneh, tetapi ada. rindu itu terus menelasak keluar, tanpa mengerti sebongkah hati merasakan siksa. Adakah yang lebih menyakitkan daripada menahan rindu dari sosok yang hanya terlihat dalam sekejap mata?

               Ia ingin memandang pemuda itu lagi, sekali lagi saja. hanya itu yang terngiang dalam pikirannya sekarang. Dengan langkah gontai, gadis berponi pagar itu, meninggalkan Stasiun dengan perasaan tidak menentu.

               **
               Anatomi, Morfologi, dan Fisiologi tumbuhan benar-benar membuat Calista pusing tujuh keliling, ia melangkahkan kaki dengan langkah gontai. hari ini, dia masih enggan membawa sepeda motor, atau bahkan mobil ke kampusnya. Sekali lagi, kereta menjadi pilihan terakhirnya untuk pulang.

               Lalu lalang calon penumpang, membuat Calista lebih memperhatikan langkah, dan barang bawaannya. Sesekali dia menunduk, memeriksa apakah tasnya masih utuh.

               “Calista Malvina? Mahasiswa Fakultas Farmasi UGM?”

               Suara baritone itu… gadis itu mendongak, mendapati sepasang netra hitam menatapnya tajam. “Aa.. iya. Kenapa?”

               Pemuda itu menyeringai, “Kau… memperhatikanku saat tidur dikereta kan? Ah, tidak. Lebih tepatnya, kau selalu memperhatikan gerak-gerikku saat dikereta.”

               Tertangkap basah. Rasanya Calista lebih baik menelan emulsi minyak ikan tanpa corrigen saporis dan odoris sekarang. Dia benar-benar malu! “Itu… tidak, aku hanya memperhatikanmu sebentar, setelah itu aku berhenti memperhatikanmu asal kau tahu.” elaknya. “hei! Darimana kau tahu namaku?” protes gadis itu, sambil menggembungkan pipinya.

               Lagi-lagi pemuda itu menampilkan smirk andalannya, tangannya terjulur menyentil kening lebar milik gadis dihadapannya. “Bodoh,” rutuknya. “disaat kau berhenti memperhatikanku, itu berarti, saatnya aku memperhatikanmu.”

               Calista menatap pemuda dihadapannya dengan pandangan bertanya-tanya.

               “Aku, Alexander Adelais. Salam kenal…”

               Calista hanya tersenyum canggung, tidak mengerti bagaimana harus bersikap.

               **
               Alex memandang gadis dihadapannya dengan seulas senyum tipis, akhirnya dia punya nyali juga, berkenalan dengan gadis itu, meski dengan cara yang terbilang buruk. Ya, diam-diam dia telah memperhatikan gadis itu semenjak ia duduk di kelas sebelas. Meski berbeda sekolah, karena keaktifannya mengikuti organisasi, dia dapat bertandang ke sekolah gadis itu untuk mengadakan kerjasama dengan sekolahnya.

               Pemuda itu tersenyum, mengingat pertemuan pertamanya dengan gadis itu. Gadis ceroboh penghuni resmi perpustakaan sekolah. Jangan tanya kenapa dia bisa mengerti, karena Alex memilih perpustakaan, daripada Ruang OSIS sekolah Calista, alasannya simple. Karena dia tidak mau repot-repot menaiki 200 anak tangga untuk mencapai ruangan itu. Beruntungnya usulnya diterima, meski perpustakaan sedikit terbuka untuk umum, tetapi cukup tenang dan effesien.

               Saat itu, gadis itu sedang mencoba mengambil buku di rak tertinggi. Karena postur yang tidak sesuai, gadis itu memilih menyerah dan mengambil buku lain yang bisa terjangkau olehnya. Alex yang sedang bosan menunggu ketua Osis SMA Batara, -SMA Calista- ia berinisiatif mengambilkan buku yang sempat diinginkan Calista, melirik bangku Calista yang masih kosong, -karena sang pemilik masih sibuk mencari buku- pemuda itu meletakannya tepat diatas meja sang gadis. Kemudian segera pergi, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

               Entah kenapa, melihat seulas senyum dari bibir gadis itu, membuat dirinya tenang. Lagi-lagi ada sedativum tak kasat mata yang dia rasakan. Dan mulai sejak itu, Alexander Adelais, memperhatikan Calista Malvina dari jauh.

               “Umm, Alex… darimana kamu mengerti aku kuliah dimana? Apakah kamu juga satu fakultas denganku?”

               Alex kembali menampakan senyumnya, senyum yang hanya bisa terukir jika berada didekat gadis ini. “Lebih tepatnya satu universitas, aku dari fakultas tehnik. Semester empat.”

               Gadis itu kembali terperangah. “Oh, maaf. Aku rasa aku harus memanggilmu Kakak, atau malah… Mas?” ungkap gadis itu dengan raut ragu.

               “Terserah kau saja.”

               Calista menaikan alis. “Baiklah, tetapi aku masih penasaran, bagaimana bisa kau… ah, maksudku Mas Alex mengetahui… aku? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

               Lagi-lagi Alex menampilkan senyum tipisnya, lalu tangannya terulur mengacak pelan surai hitam milik gadis di hadapannya. “Lumayan sering, diperpustakaan. Alexander Adelais, selalu bertemu gadis ceroboh yang tidak bisa mengambil buku di tumpukan rak teratas.”

               END or TBC?
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 haiii akhirnya bisa post entri lagi. sebenarnya ini cerpen lawas, tetapi blm sempet posting :( sebagai ganti saya posting 2 entri hari ini. dengan lirik OMG-cupid akibat saya ikut demam korea krn dicekokki icha :))
enjoy reading! salam bintang dandelion :)
regards,
            giardanila_

1 komentar:

Unknown mengatakan...

setting lokasi pendidikan kok beda ya, kadang sebut sekolah, kadang sebut kuliah...berhati2 saja dalam menyajikan hal-hal kecil yang justru jadi kunci...

bingung juga bacanya antara UGM dan SMA Batara,

anyway : cakep ... remaja banget

Posting Komentar