RSS

Kamis, 04 Juni 2015

Waiting For You *cerpen*


Waiting For You
*
            “Sahabatku, cinta adalah kata kerja. Cinta-perasaannya- merupakan buah dari cinta, kata kerjanya. Jadi, cintai dia. Layani dia. Berkorban. Dengarkan dia. Berempati. Hargai. Teguhkan dia. Apakah anda bersedia berbuat begitu?” – The 7 Habits of Highly Effective People.
*
            Shallom merapikan rambutnya yang terlihat acak-acakan. Baru saja mamanya meneleponnya untuk segera kembali ke rumah, karena ada hal penting yang akan dibicarakan. Dia yang baru saja selesai menjalani dua mata kuliah, langsung merasakan panik tidak terkira, dipacunya motor matik kesayangannya, menuju rumah kecilnya. Jika Mama menelepon tiba-tiba, pasti ada saja sesuatu yang terdesak.
            Mama adalah prioritasnya, begitu pikirnya. Setelah Papanya meninggal, apa yang akan dikatakan Mamanya adalah perintah mutlak. Bahkan pilihan perguruan tinggi –pun Shallom hanya menyetujui perintah Mamanya. Meski itu menanggalkan jauh-jauh citanya sebagai ahli astronom atau ahli sastra.
            Menghela napas pelan, gadis itu lantas mengrenyitkan dahi ketika satu mobil metallic yang sama sekali tidak ia kenal, terparkir rapi, di halaman depan rumahnya.
            “Aku pulang!” sapanya dengan riang setelah membuka pintu.
            Tiga pasang mata asing memandangnya dengan heran. Membuatnya menunduk malu, karena ada tamu asing yang tak dia kenal berada di ruang tamu rumahnya.
            “Dia Shallom, Tante?” ucap suara baritone, yang asing dalam pendengarannya. Pemilik suara itu, memiliki tubuh tinggi, dan wajah dengan rahang tegas, dan satu lesung pipi, di pipi kanannya. Tatapannya tajam, seakan mengintimidasi Shallom.
            Shallom melihat Mamanya mengangguk sambil tersenyum, lantas Pemuda itu bangkit, dan berdiri tepat dihadapannya. Setelah menatap Iris hitam Shallom dengan lembut, lantas merangkumnya dalam pelukan.
            “Setelah tujuh belas tahun berlalu, akhirnya kita bertemu lagi.” Bisik pemuda itu.
“Kamu… siapa?” gumam Shallom, membuat laki-laki itu melonggarkan pelukannya.
“Kamu lupa?” tanya Pemuda itu dengan raut kecewa, lantas dibukanya smartphone miliknya, dan menunjukannya pada Shallom.
“Aku Moses. Dan ini Kita, dulu Papamu pernah membawamu berberapa kali di Rumah kami, mungkin saat itu usiamu baru tiga tahun. Wajar kamu lupa, tidak sepertiku, yang sudah berumur lima tahun, lebih mudah untuk mengingat.”
Shallom mengrenyit, ia tidak pernah menyangka ini sebelumnya. Diliriknya wallpaper yang dijadikan laki-laki itu pada smartphone miliknya. Foto hasil scanning seorang anak laki-laki, dan perempuan. Terlihat anak perempuan itu mengecup pelan pipi kanan si anak laki-laki.
Hey! Apa benar itu dia? Tetapi… lesung pipi yang nampak pada foto itu membuatnya yakin jika itu dirinya, tetapi apa benar waktu kecil dia segenit itu? What the hell?!
“Umm… Maaf Mas, aku tidak mengingatnya sama sekali.”
“Tidak apa.” Sahut Moses dengan acakan pelan pada rambut Shallom.
“Sudahlah, kalian bisa saling mengenal lagi nanti. Dan, bisakah saya bertemu dengan Arsa? Apa dia masih bekerja?” suara berat laki-laki paruh baya menginterupsi mereka, Tomi. Ayah Moses.
Shallom mengambil langkah sigap mendekati Mamanya. Keluarga kecilnya memang lebih sensitive jika membicarakan tentang Papanya.
“Mas Arsa… sudah meninggal… delapan tahun yang lalu.” ucap Mara, Mama Shallom. Dengan nada bergetar.
Setelahnya, yang terdengar hanyalah isak tangis setiap pribadi yang ada disana.
“Arsa sudah seperti Adik saya sendiri. Tetapi, kenapa disaat terakhirnya, bahkan saya tidak ada disisinya. Saya sudah hilang kontak dengannya lima belas tahun lalu. Rasanya, saya seperti orang yang tidak berguna.” Isak Tomi.
“Om Arsa orang baik. Dia pernah membelikanku mainan yang aku inginkan, sebelum Ayah membelikannya.” imbuh Moses.
“Arsa selalu membawa buah ketika berkunjung ke rumah kami. Persahabantannya dengan Mas Tomi bukan persahabatan biasa. Tetapi saya tidak menyangka akhirnya akan seperti ini.” Sahut Ira, isteri Tomi.
“Bisakah mengantar kami ke tempat peristirahatan terakhir Arsa?” tanya Tomi.
Melihat Mamanya yang masih berurai air mata, Shallom mengusap setitik air mata yang jatuh dari pelupuk matanya, lantas menjawab “Bisa Om. Mari saya antar.”
Gadis itu menghela napas, ia memang tidak bisa menangis di depan orang lain. Hanya satu tetes air mata yang jatuh tadi. Tetapi mungkin tidak untuk malam nanti, persahabatan Papanya bahkan membuat hatinya teriris. Delapan tahun berlalu, ternyata semua tidak baik-baik saja.
Gadis itu lantas bangkit setelah mengusap pelan punggung Ibunya. Tersenyum singkat pada keluarga sahabat Papanya, mengisyaratkan mereka mengikutinya. Lagi-lagi gadis itu tersentak, setelah sebuah tangan kokoh melingkari tangan mungilnya.
“Kamu gadis yang kuat.” Bisik pemuda itu. Pemuda yang sepertinya akan mengambil atensinya sebentar lagi.
Setibanya di pemakaman, sahabat Papanya itu kembali menangis. Mungkin laki-laki itu merasakan rasa kehilangan yang sama seperti yang Shallom rasakan. Moses dan Ibunya menepuk pundak sang Ayah berulangkali berupaya untuk menenangkan. Sedangkan Shallom, hanya memandang keluarga itu dengan tatapan sendu.
Berapa banyak orang lagi, yang merasa sebegini dalam merasa kehilangan sosok Papanya?
Shallom terperangah, ketika melihat Moses tersenyum tulus kepadanya. Pemuda itu… Ah, Shallom tidak bisa mendefinisikannya, apa yang ada dibenak kalian, ketika Pemuda yang sama sekali tidak merasa kamu kenal, menrengkuhmu, kemudian berkata, kamu adalah bagian masa lalunya, lantas memberikan senyuman manis yang membuat darahmu berdesir tiba-tiba?
Pemuda itu seakan memperlakukan Shallom secara spesial. Tetapi, apa pemuda itu bersikap seperti ini hanya pada Shallom? Atau pada semua gadis? Dan Shallom yakin, sedari tadi dia hanya kaget saja. Tidak mungkin dia jatuh cinta dalam waktu singkat kan?
“Kamu jangan melamun!” lagi-lagi suara baritone itu menginterupsi.
Shallom hanya tersenyum canggung.
“Besok… kamu ada pelayanan?” tanya pemuda itu dengan raut ragu.
Shallom hanya menggeleng pelan, kebetulan dia besok free.
Moses tersenyum puas. “Setelah ibadah, aku akan mengajakmu ke suatu tempat.”
“Memang Mas Moses tidak pelayanan?” gadis itu bertanya.
“Besok free. Makanya aku bisa ikut Ayah ke sini.” Jawab pemuda itu dengan senyuman tipis.
Setelahnya, Shallom kembali mengantar mereka kembali ke rumahnya. Tomi, dan Ira terlihat mengenang setiap kenangan mereka dengan sang Papa. Begitupun dengan Mamanya. Shallom hanya menghela napas bosan. Adiknya, satu-satunya laki-laki dirumahnya sekarang, belum pulang sekolah. Membuat Shallom tidak tahu apa yang akan dia lakukan.
“Shallom?” sapa Moses, membuat gadis itu menoleh kearah sang Pemuda.
“Ya?”
“Kamu… mau aku ceritakan masa kecil kita?”
Shallom mengangguk sebagai jawaban.
Moses mulai bercerita. “Dulu, Papamu memang sering berkunjung ke Rumahku. Yang aku tahu, saat itu Papamu dinas di kota kami selama berberapa bulan. Tetapi pada satu waktu, dia membawa gadis kecil yang lucu. Gadis kecil ceria, dengan rambut di ikat dua, tidak lupa poni yang menutupi sebagian jidatnya.”
Moses terkekeh, ketika Shallom dengan spontan memengang poninya dengan tangan. “Saat itu, gadis kecil itu, menghampiriku dengan dua lesung pipinya yang membuatku juga tersenyum melihatnya, setelah itu, kami main bersama.”
“Kenapa… Mas Moses tidak lupa?”
“Mana mungkin aku melupakan gadis kecil yang mengecup pipiku?” ucap Pemuda itu dengan seringai jahil.
Dengan spontan, Shallom mencubit pelan lengan laki-laki itu, “Jangan bahas itu, aku bahkan tidak mengingatnya.”
Moses kembali mengacak pelan rambut Shallom. “Bercanda, aku hanya menjaga perasaan yang memang seharusnya aku jaga.”
Shallom semakin mengrenyit heran. Ingin bertanya lebih lanjut, tetapi Tomi dan Ira telah berpamitan pada Mamanya.
“Sampai jumpa besok, adik kecil.” Pamit Moses dengan senyuman tipis.
Oh God! Shallom merasa jantungnya berdetak cepat!
***
Moses tidak dapat menahan senyumnya disepanjang perjalanan, sang Ayah yang menyetir hanya menggeleng tidak habis pikir. Dasar anak muda.
“Senang bertemu cinta pertamamu Nak? Merasa apa yang kamu tunggu selama ini tidak sia-sia?” ujar Sang Ayah.
Moses menggeleng kecil, “Meski dia tidak ingat… aku yakin dia juga menjaga, apa yang telah aku jaga. Maka dari itu, semuanya harus aku pastikan.”
“Apa kamu… jatuh cinta dengannya?” imbuh sang Ibu.
Moses memutar bola matanya bosan, sekarang dia tahu, kenapa Mas Doni, sang Kakak selalu menasehatinya tentang terbukalah pada Ayah dan Ibu, atau kamu akan habis dengan pertanyaan mereka.
“Dari dulu aku merasa sesuatu yang berbeda dengannya. Sekarang dia cantik, dan aku lihat dia adalah perempuan yang kuat, bagaimana mungkin aku bisa menolak?”
Moses menghela napas, setelah menyadari Ayah dan Ibunya menyeringai. “Memangnya dia juga merasakan apa yang kamu rasakan?” tanya Ayahnya dengan mengedipkan sebelah mata.
“Anak Ibu sudah besar. Sosok yang selalu dingin pada wanita, tiba-tiba saja berubah lembut pada seorang gadis.” Lanjut Ibunya.
“Ayah, Ibu… berhentilah menggodaku.” ujar Moses sambil membuang muka kearah jendela mobil. Jika dipikir-pikir, dia tadi nekat juga memeluk seorang gadis dengan spontan. Tetapi dia hanya mengikuti nalurinya, tujuh belas tahun menahan rindu itu tidak mudah bukan?
Ayah dan Ibunya hanya tertawa pelan, menyadari anak bungsunya telah beranjak dewasa.
***
Shallom tidak bisa memejamkan mata, meski kantuk telah menguasainya sekarang. Pikirannya teralih pada Pemuda yang tadi siang memeluk, dan menggenggam erat tangannya. Itu kontak pertamanya dengan laki-laki selain Ayah dan Adiknya –tentu saja-
Dia memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat sosok kecil yang sempat ia lihat di wallpaper smartphone milik laki-laki itu. Namun, semakin dia ingin mengingat, bayangan itu tidak ada.
Dia menelungkupkan dirinya dibawah gundukan selimut. Benarkah apa yang dikatakan laki-laki itu tadi?
***
Moses mencium punggung tangan Mara, sebelum memasuki Rumah yang kini telah terasa familiar sejak kemarin. Entah kenapa, dia merasa gugup jika berhadapan lagi dengan Shallom. Ah, perasaannya tidak sekalipun berubah.
Pemuda itu kembali terperangah, ketika melihat Shallom menggunakan Rok lipit berbahan jeans dengan kemeja putih sederhana yang nampak pas pada tubuhnya. Rambut gadis itu dibiarkan terurai. Moses yakin, Shallom benar-benar manis siang ini.
“Sudah? Ayo.” Ajaknya kemudian.
Shallom hanya mengangguk malu-malu.
“Tante, saya pinjam Shallom sebentar ya.” Pamit Moses pada Mara.
Mara tersenyum, lantas mengangguk. Putri kecilnya sudah dewasa… Andai, Arsa disini bersamanya, pasti dia tertawa menyaksikan kencan pertama anak gadisnya, dengan anak sahabatnya sendiri.
***
Moses membawa Shallom pada sebuah Taman yang tidak jauh berada dari Rumah Shallom. Duduk bersama pada satu bangku, dan membelikan gadis itu satu cup ice cream.
“Mas Moses kuliah di jurusan apa?” tanya Shallom mengawali percakapan.
“Tehnik, aku ingin seperti Ayahku. Juga Papamu.” Terang pemuda itu.
Shallom mengangguk tanda mengerti. “Kenapa Mas Moses seakan menjaga kenangan masa lalu kita dengan baik? Bahkan aku sama sekali tidak mengingatnya. Maaf, semalaman aku mencoba mengingat masa kecilku. Tetapi aku… tetap saja tidak ingat.”
Moses tersenyum singkat. “Because… You’re special.”
Gadis itu kembali bertanya. “Memang pacar Mas Moses nggak marah?” dia bertanya dengan raut polos, membuat Moses geli melihatnya.
“Aku hanya menjaga perasaanku pada satu gadis. Gadis kecil yang selama tujuh belas tahun menarik atensiku, gadis yang membuatku tidak kenal lelah menunggunya, gadis yang membuatku nyaris putus asa, karena kedua orang tua kami hilang kontak, dia… gadis kuat yang duduk disampingku sekarang.” Jelas Moses, tanpa mengalihkan pandangannya pada Shallom.
Mengetahui arah pembicaraan Moses, Shallom hanya menunduk. Dia belum siap mengikat suatu komitmen baru dengan siapapun. Dia juga… menganggap semuanya terlalu cepat.
“Aku belum pernah mengikat komitmen apapun pada seorang Pria. Dan, aku tahu kemana arah pembicaraan Mas Moses sekarang. Tidak kah ini terlalu cepat? Kita baru saja kembali bertemu. Dan aku bahkan tidak mengingat apapun yang terjadi antara kita sebelumnya, aku childish. Aku cengeng, aku ini fans fanatik berberapa idola. Aku bukan gadis anggun, malah terkesan urakan, walau aku ini cenderung pendiam jika belum mengenal seseorang dengan baik. Apa Mas Moses masih akan mempertahankan perasaan itu?”
Moses tersenyum, lantas menjawab. “Aku tidak semudah itu, melepas apa yang telah aku tunggu selama belasan tahun. Aku, tidak memaksamu merasakan apa yang juga aku rasakan sekarang. Karena akupun juga perlu waktu untuk mengokohkan apa yang aku rasakan, setelah ini… bagaimana jika kita mencoba bersahabat?”
Shallom mengangguk yakin. Meski sebagian hatinya merasa bersalah, dia tidak pernah mengikat komitmen pada siapapun, dia pasti juga pernah jatuh cinta kan? Padahal sebenarnya ada pemuda yang menunggunya tanpa merasakan lelah. Andaikan dia mengingat Moses juga sampai sekarang, apa perasaannya sama dengan pemuda ini?
***
Setelah hari itu, rasanya kehidupan Shallom berubah. Selalu ada pesan berisi selamat pagi di pagi hari, dan ucapan sebelum tidur di malam hari. Bahkan, pemuda itu sering datang disaat yang tidak terduga. Menyusup di kampus Shallom, atau bahkan mengantarnya kemanapun Shallom melaksanakan kegiatan organisasinya. Entahlah, padahal jarak tempuh dari kota Pemuda itu, dan kotanya lumayan jauh, dan Shallom berulangkali mengomeli Pemuda itu agar tidak bersikap seperti ini.
Pemuda itu paham dengan diri Shallom terlalu cepat, pemuda itu tahu, saat dia ingin menangis ketika merindukan Ayahnya. Pemuda itu tahu, saat ia sedang kesal dengan rekan satu timnya, pemuda itu tahu, dia belum menyantap sesuap nasi, karena mengerjakan laporan, dan naskahnya yang terus tertunda. Pemuda itu… terlalu baik.
Gadis itu terkesiap, ketika melihat lembaran kertas berwarna kuning, jatuh dari alkitab yang baru saja dia baca. True love… waiting. Dia tersenyum, membaca coretan tangannya saat berada di tingkat putih abu-abu. Lantas, dibacanya list yang telah dia hapal di luar kepala. List yang selalu dia doakan tiap malam. Dia rasa… dia sudah menemukan jawaban hatinya. Meski dia harus menunggu untuk berberapa tahun kedepan. Karena dia tidak akan mengingkari komitmennya sendiri.
Hari ini, Shallom bertemu Moses. Pemuda itu tiba-tiba saja muncul di depan rumahnya. Mengajaknya makan siang bersama, dengan dalih perutnya lapar. Meski Shallom menolak halus dengan menyuruh pemuda itu makan di rumahnya saja. Tetapi, pemuda itu terlanjur menariknya menuju mobil putih kesayangannya.
Setelah menyantap makanannya, Moses mengrenyit, menyadari raut muka Shallom yang dari tadi murung. “Hei, kenapa? Rindu Papa?”
Shalom mengangkat bahu. “Sedikit.”
Tangan Moses terulur, mengacak pelan rambut Shallom, kebiasaan yang tidak bisa ia hilangkan sejak pertama kali bertemu. “Papamu tidak akan kemana-mana, dia selalu berada, tepat dimana hatimu berada. Jangan murung, nanti Om Arsa sedih.”
Shallom tersenyum tipis. Bahkan, pemuda ini yang selalu mengertinya kan? Dan entah kali berapa dia menangis di depan Moses karena merindukan Ayahnya, atau kesal karena suatu hal. Bagaimana mungkin, dia tidak jatuh cinta pada pemuda ini?
“Shallom, setelah semua yang terjadi… sudah adakah perasaan itu?” tanya Moses.
Shallom tersenyum menggenggam erat tangan kokoh yang ada didepannya, “Ajari aku… ajari aku menunggu Mas Moses, dan jangan berhenti menungguku. Aku masih punya banyak mimpi yang ingin aku raih dengan tanganku, agar aku menjadi layak, untuk yang aku cinta kelak.”
Moses menarik sudut bibirnya, ketika memandang wajah ayu yang ada dihadapannya. “Doakan aku.”
“Doakan aku juga.”

**
Setelahnya, Moses memang tidak bisa sesering mungkin bertemu dengan Shallom, atau gadis itu akan mengancamnya tidak akan mau menemuinya lagi. Memang merepotkan baginya, tetapi dia sudah berjanji, menggapai dulu semua mimpinya, baru cintanya. Dia tidak pernah menyesal untuk menunggu sebelumnya.
Dia tumbuh menjadi laki-laki tidak peduli. Menjadi anak bungsu membuatnya lebih diperhatikan keluarganya, dan entah mengapa dari sakian banyak gadis yang dia lihat, tidak ada yang bisa menarik perhatiannya seperti Shallom, yang lain hanya ketertarikan sesaat. Atau hanya sekedar jatuh cinta, dan tidak berminat menjadikannya kekasih. Ia hanya menganggap semuanya seperti angin lalu. Mungkin itu yang dimaksud Doni, menemukan radar yang dijanjikan Tuhan itu.
Mengenal Shallom selama dua tahun ini, membuatnya tahu, gadis itu mempunyai asam lambung yang bisa kambuh tiba-tiba, gadis itu menyukai bintang, dan mukanya terlihat sangat bahagia ketika melihat dandelion, gadis itu selalu histeris ketika melihat artis-artis idola luar negerinya dikabarkan akan ke Indonesia. Moses tahu, semua tentang gadis itu, dan baru kali ini, dia memerhatikan seorang gadis dengan sangat detail.
“Dek, lagi seneng ya? Senyum-senyum sendiri, mentang-mentang udah punya gebetan.” Ujar Kakaknya, yang sedang menggendong anak semata wayangnya.
“Apa sih Mas?” ucapnya sambil memutar bola mata bosan.
“Pesan Mas, kalau jika memang ingin hatimu terikat dengan dia, jagalah dia dengan tulus. Cinta bukan tentang jatuh, tetapi tentang bangun. jika kamu serius, bangunlah cinta dengan dia, karena membangun cinta… butuh waktu seumur hidup.”
“Apa itu yang Mas Doni rasakan terhadap Mbak Nessa?”
Doni mengangguk. “Nah, adikku tentu sudah dewasa, pasti dapat membedakan, mana radar yang dari Tuhan.” Katanya sambil terkekeh.
*
Shallom tersenyum, mengingat apa yang dilontarkan Moses dua tahun lalu, semua mimpinya, sudah selesai dia raih, dan hatinya sudah mantap sekarang. dia berharap dia tidak akan salah memilih. Gadis itu memang pernah jatuh cinta, satu kali. Dan parahnya terlalu dalam, hingga sosok Moses hadir dan bisa menguburnya.
Dulu dia jatuh cinta, dan orang itu tidak pernah tahu, hingga dia sadar, dia telah jatuh cinta pada orang yang salah. Sejak itu, Shallom tidak mau lagi berurusan dengan cinta, terlebih dia telah mengikat komitmen, menjaga hatinya, sampai waktunya tiba..
Cinta itu perlu waktu, cinta tidak memaksa, dan tulus untuk menunggu. -True love wait
“Moses anak yang baik, perjuangannya hingga detik ini, mengingatkan perjuangan Papamu dulu untuk mendapatkan Mama.” Kata Mara, yang tiba-tiba telah berada di belakang Shallom.
Shallom hanya tersenyum, Mamanya memang pernah bercerita tentang kisahnya dengan Papanya. Tahun berlalu begitu cepat, hingga dia sendiri yang memutuskan bagaimana kisahnya nanti.
“Dia sepertinya dewasa ya. Buktinya, bisa sabar menghadapi sikapmu yang terkadang childish dan keras kepala ini. Mama harap, jika dia pilihan kamu, dia bisa menjaga kamu.”
Shallom berusaha menahan tangisnya, jika Mamanya bicara seperti itu, rasanya seperti dia akan diambil oleh orang saja.
***
Hari yang ditunggu Moses tiba, dengan kemeja kotak-kotak berwarna biru, dan celana jeans hitam, dia siap menyatakan perasaannya sekali lagi. Jika pada saat pertama mengutarakan perasaannya dia hanya tertarik, dan pada kedua kalinya, dia hanya merasakan rasa jatuh yang begitu menyenangkan, maka sekarang, dengan kedewasaan yang makin matang, ia kembali mengungkapkan perasaannya, ingin membangun cinta bersama gadis itu, selamanya. Di seluruh sisa hidupnya.
Shallom terlihat cantik dengan dress biru mudanya yang sebatas lutut. Tetapi ada yang aneh dengan gadis itu, kantung matanya membesar, dan wajahnya terlihat pucat.
“Shallom, berapa jam kamu tidur semalam?”
Gadis itu hanya menaikan bahu, membuat Moses semakin khawatir.
“Kamu ini tenaga medis, tetapi menjaga kesehatan diri sendiri saja susah. Sudahlah, aku tidak mau membuang banyak waktu. Marry me. Supaya aku bisa leluasa menjagamu.”
Shallom mendongakkan kepalanya, lantas memukul pelan bahu pemuda dihadapannya. “Kenapa tidak romantis? Moses no baka!
Moses menaikan sebelah alisnya, “Memangnya, apa yang kamu harapkan? Ending romantis seperti kisah picisan yang kamu buat?” dilemparnya kotak beludru berwarna merah itu pada gadis yang ada dihadapannya.
“Kita harus bergegas pulang, aku tidak mau calon isteriku sakit.”
“Aku hanya kurang tidur karena menyelesaikan pekerjaanku, bahkan aku belum menerima lamaranmu!” Sahut Shallom.
Dengan seringai kecil, Moses menjawab. “Kamu tidak mungkin menolakku. Ah, idolamu ke Indonesia, kamu tidak membeli tiketnya?”
“Percaya diri sekali. Mas Moses tahu, aku sudah lama pensiun.” Kata Shallom sambil mengerucut menahan kesal.
“Begitukah? Shallom… ingatkan aku melamarmu ulang di depan Om Arsa, setelah kupastikan kamu tidur nyenyak nanti malam.”
Shallom terdiam, tidak bisa menahan senyumnya kali ini. Pemuda ini, memang mengerti dirinya.
Moses melihat smartphone-nya kemudian berbalik memandang Shallom yang masih terdiam memegang kotak merahnya. “Kenapa malah diam? Kita harus bergegas pulang.”
Pemuda itu menghela napas, diambilnya kotak beludru berwarna merah dari tangan Shallom, kemudian diambilnya tangan gadis itu, dan dipasangnya pada jari manisnya. “Aku ingin membangun cinta dengan kamu, Marry me?
Gadis itu mengangguk lantas terkikik pelan, pemuda itu peka rupanya. Melihat tawa kecil yang menurut Moses menyebalkan itu, dikecupnya pelan pipi gadis itu singkat, lalu berjalan menjauh mendahuluinya. “Aku kembalikan, yang 22 tahun lalu kamu berikan.” Katanya dengan seringai kemenangan.

-END-

yuhuuu one shoot kilat setelah berapa bulan ga nulis. but, saya menulis apa yang ingin saya tulis. dan lewat banyak mimpi aneh dan berandai-andai jadilah seperti ini. dimana suatu ketika saya membayangkan, saya terjebak pada fiksi yang saya buat senndiri.
(aslinya cerita ini akan sangat panjang, tetapi karena saya lelah nulisnya yaudah)
maaf untuk typo, kata quotes yg hilang banyak -_- dan seluruh kekurangan lain! maklum lama ga nulis *ditabok*
ah iya, quotes pertama itu dari buku saven habits yang baru saya baca, buku non fiksi favorit sayaa... (terimakasih pak lukas buat rekomendasinya :D) kata-katanya bagus banget, saya sukaa.. nggak heran buku itu jadi favorit.
ini hadiah pemula buat Gratia, happy anniv 3tahun, hadiah sesungguhnya menyusul. (ssssssstttttttt kirim nama ******* yaa, biar kesannya nyata wqwq. clue : ingatlah percakapan di kost gloria dua tahun yang lalu.)
terimakasih sudah mampir, enjoy reading!
salam bintang dandelion!
_giardanila_

2 komentar:

Nita Julianti Sukandar Putri mengatakan...

Moses♥♥

Ruth Nirmala Giardani mengatakan...

Agen masa depan ♡ amin.

Posting Komentar