Waiting For You
*
“Sahabatku,
cinta adalah kata kerja. Cinta-perasaannya- merupakan buah dari cinta, kata
kerjanya. Jadi, cintai dia. Layani dia. Berkorban. Dengarkan dia. Berempati.
Hargai. Teguhkan dia. Apakah anda bersedia berbuat begitu?” – The 7 Habits of
Highly Effective People.
*
Shallom
merapikan rambutnya yang terlihat acak-acakan. Baru saja mamanya meneleponnya
untuk segera kembali ke rumah, karena ada hal penting yang akan dibicarakan.
Dia yang baru saja selesai menjalani dua mata kuliah, langsung merasakan panik
tidak terkira, dipacunya motor matik kesayangannya, menuju rumah kecilnya. Jika
Mama menelepon tiba-tiba, pasti ada saja sesuatu yang terdesak.
Mama
adalah prioritasnya, begitu pikirnya. Setelah Papanya meninggal, apa yang akan
dikatakan Mamanya adalah perintah mutlak. Bahkan pilihan perguruan tinggi –pun
Shallom hanya menyetujui perintah Mamanya. Meski itu menanggalkan jauh-jauh
citanya sebagai ahli astronom atau ahli sastra.
Menghela
napas pelan, gadis itu lantas mengrenyitkan dahi ketika satu mobil metallic
yang sama sekali tidak ia kenal, terparkir rapi, di halaman depan rumahnya.
“Aku
pulang!” sapanya dengan riang setelah membuka pintu.
Tiga
pasang mata asing memandangnya dengan heran. Membuatnya menunduk malu, karena
ada tamu asing yang tak dia kenal berada di ruang tamu rumahnya.
“Dia
Shallom, Tante?” ucap suara baritone, yang asing dalam pendengarannya. Pemilik
suara itu, memiliki tubuh tinggi, dan wajah dengan rahang tegas, dan satu lesung pipi, di pipi kanannya. Tatapannya
tajam, seakan mengintimidasi Shallom.
Shallom
melihat Mamanya mengangguk sambil tersenyum, lantas Pemuda itu bangkit, dan
berdiri tepat dihadapannya. Setelah menatap Iris hitam Shallom dengan lembut,
lantas merangkumnya dalam pelukan.
“Setelah
tujuh belas tahun berlalu, akhirnya kita bertemu lagi.” Bisik pemuda itu.
“Kamu… siapa?” gumam Shallom, membuat
laki-laki itu melonggarkan pelukannya.
“Kamu lupa?” tanya Pemuda itu dengan
raut kecewa, lantas dibukanya smartphone miliknya,
dan menunjukannya pada Shallom.
“Aku Moses. Dan ini Kita, dulu Papamu
pernah membawamu berberapa kali di Rumah kami, mungkin saat itu usiamu baru
tiga tahun. Wajar kamu lupa, tidak sepertiku, yang sudah berumur lima tahun,
lebih mudah untuk mengingat.”
Shallom mengrenyit, ia tidak pernah
menyangka ini sebelumnya. Diliriknya wallpaper
yang dijadikan laki-laki itu pada smartphone
miliknya. Foto hasil scanning seorang
anak laki-laki, dan perempuan. Terlihat anak perempuan itu mengecup pelan pipi
kanan si anak laki-laki.
Hey! Apa benar itu dia? Tetapi… lesung
pipi yang nampak pada foto itu membuatnya yakin jika itu dirinya, tetapi apa
benar waktu kecil dia segenit itu? What
the hell?!
“Umm… Maaf Mas, aku tidak mengingatnya
sama sekali.”
“Tidak apa.” Sahut Moses dengan acakan
pelan pada rambut Shallom.
“Sudahlah, kalian bisa saling mengenal
lagi nanti. Dan, bisakah saya bertemu dengan Arsa? Apa dia masih bekerja?”
suara berat laki-laki paruh baya menginterupsi mereka, Tomi. Ayah Moses.
Shallom mengambil langkah sigap
mendekati Mamanya. Keluarga kecilnya memang lebih
sensitive jika membicarakan tentang Papanya.
“Mas Arsa… sudah meninggal… delapan
tahun yang lalu.” ucap Mara, Mama Shallom. Dengan nada bergetar.
Setelahnya, yang terdengar hanyalah isak
tangis setiap pribadi yang ada disana.
“Arsa sudah seperti Adik saya sendiri.
Tetapi, kenapa disaat terakhirnya, bahkan saya tidak ada disisinya. Saya sudah
hilang kontak dengannya lima belas tahun lalu. Rasanya, saya seperti orang yang
tidak berguna.” Isak Tomi.
“Om Arsa orang baik. Dia pernah
membelikanku mainan yang aku inginkan, sebelum Ayah membelikannya.” imbuh Moses.
“Arsa selalu membawa buah ketika
berkunjung ke rumah kami. Persahabantannya dengan Mas Tomi bukan persahabatan
biasa. Tetapi saya tidak menyangka akhirnya akan seperti ini.” Sahut Ira,
isteri Tomi.
“Bisakah mengantar kami ke tempat
peristirahatan terakhir Arsa?” tanya Tomi.
Melihat Mamanya yang masih berurai air
mata, Shallom mengusap setitik air mata yang jatuh dari pelupuk matanya, lantas
menjawab “Bisa Om. Mari saya antar.”
Gadis itu menghela napas, ia memang
tidak bisa menangis di depan orang lain. Hanya satu tetes air mata yang jatuh
tadi. Tetapi mungkin tidak untuk malam nanti, persahabatan Papanya bahkan
membuat hatinya teriris. Delapan tahun berlalu, ternyata semua tidak baik-baik
saja.
Gadis itu lantas bangkit setelah
mengusap pelan punggung Ibunya. Tersenyum singkat pada keluarga sahabat Papanya,
mengisyaratkan mereka mengikutinya. Lagi-lagi gadis itu tersentak, setelah
sebuah tangan kokoh melingkari tangan mungilnya.
“Kamu gadis yang kuat.” Bisik pemuda
itu. Pemuda yang sepertinya akan mengambil atensinya sebentar lagi.
Setibanya di pemakaman, sahabat Papanya
itu kembali menangis. Mungkin laki-laki itu merasakan rasa kehilangan yang sama
seperti yang Shallom rasakan. Moses dan Ibunya menepuk pundak sang Ayah
berulangkali berupaya untuk menenangkan. Sedangkan Shallom, hanya memandang
keluarga itu dengan tatapan sendu.
Berapa
banyak orang lagi, yang merasa sebegini dalam merasa kehilangan sosok Papanya?
Shallom terperangah, ketika melihat Moses
tersenyum tulus kepadanya. Pemuda itu… Ah, Shallom tidak bisa
mendefinisikannya, apa yang ada dibenak kalian, ketika Pemuda yang sama sekali
tidak merasa kamu kenal, menrengkuhmu, kemudian berkata, kamu adalah
bagian masa lalunya, lantas memberikan senyuman manis yang membuat darahmu
berdesir tiba-tiba?
Pemuda itu seakan memperlakukan Shallom
secara spesial. Tetapi, apa pemuda
itu bersikap seperti ini hanya pada Shallom? Atau pada semua gadis? Dan Shallom
yakin, sedari tadi dia hanya kaget saja. Tidak mungkin dia jatuh cinta dalam
waktu singkat kan?
“Kamu jangan melamun!” lagi-lagi suara
baritone itu menginterupsi.
Shallom hanya tersenyum canggung.
“Besok… kamu ada pelayanan?” tanya
pemuda itu dengan raut ragu.
Shallom hanya menggeleng pelan,
kebetulan dia besok free.
Moses tersenyum puas. “Setelah ibadah,
aku akan mengajakmu ke suatu tempat.”
“Memang Mas Moses tidak pelayanan?”
gadis itu bertanya.
“Besok free. Makanya aku bisa ikut Ayah ke sini.” Jawab pemuda itu dengan
senyuman tipis.
Setelahnya, Shallom kembali mengantar
mereka kembali ke rumahnya. Tomi, dan Ira terlihat mengenang setiap kenangan
mereka dengan sang Papa. Begitupun dengan Mamanya. Shallom hanya menghela napas
bosan. Adiknya, satu-satunya laki-laki dirumahnya sekarang, belum pulang
sekolah. Membuat Shallom tidak tahu apa yang akan dia lakukan.
“Shallom?” sapa Moses, membuat gadis itu
menoleh kearah sang Pemuda.
“Ya?”
“Kamu… mau aku ceritakan masa kecil
kita?”
Shallom mengangguk sebagai jawaban.
Moses mulai bercerita. “Dulu, Papamu
memang sering berkunjung ke Rumahku. Yang aku tahu, saat itu Papamu dinas di
kota kami selama berberapa bulan. Tetapi pada satu waktu, dia membawa gadis
kecil yang lucu. Gadis kecil ceria, dengan rambut di ikat dua, tidak lupa poni
yang menutupi sebagian jidatnya.”
Moses terkekeh, ketika Shallom dengan
spontan memengang poninya dengan tangan. “Saat itu, gadis kecil itu,
menghampiriku dengan dua lesung pipinya yang membuatku juga tersenyum
melihatnya, setelah itu, kami main bersama.”
“Kenapa… Mas Moses tidak lupa?”
“Mana mungkin aku melupakan gadis kecil
yang mengecup pipiku?” ucap Pemuda itu dengan seringai jahil.
Dengan spontan, Shallom mencubit pelan
lengan laki-laki itu, “Jangan bahas itu, aku bahkan tidak mengingatnya.”
Moses kembali mengacak pelan rambut
Shallom. “Bercanda, aku hanya menjaga perasaan yang memang seharusnya aku
jaga.”
Shallom semakin mengrenyit heran. Ingin
bertanya lebih lanjut, tetapi Tomi dan Ira telah berpamitan pada Mamanya.
“Sampai jumpa besok, adik kecil.” Pamit
Moses dengan senyuman tipis.
Oh
God! Shallom merasa
jantungnya berdetak cepat!
***
Moses tidak dapat menahan senyumnya
disepanjang perjalanan, sang Ayah yang menyetir hanya menggeleng tidak habis
pikir. Dasar anak muda.
“Senang bertemu cinta pertamamu Nak?
Merasa apa yang kamu tunggu selama ini tidak sia-sia?” ujar Sang Ayah.
Moses menggeleng kecil, “Meski dia tidak
ingat… aku yakin dia juga menjaga, apa yang telah aku jaga. Maka dari itu,
semuanya harus aku pastikan.”
“Apa kamu… jatuh cinta dengannya?” imbuh
sang Ibu.
Moses memutar bola matanya bosan,
sekarang dia tahu, kenapa Mas Doni, sang Kakak selalu menasehatinya tentang terbukalah pada Ayah dan Ibu, atau kamu akan
habis dengan pertanyaan mereka.
“Dari dulu aku merasa sesuatu yang
berbeda dengannya. Sekarang dia cantik, dan aku lihat dia adalah perempuan yang
kuat, bagaimana mungkin aku bisa menolak?”
Moses menghela napas, setelah menyadari
Ayah dan Ibunya menyeringai. “Memangnya dia juga merasakan apa yang kamu
rasakan?” tanya Ayahnya dengan mengedipkan sebelah mata.
“Anak Ibu sudah besar. Sosok yang selalu
dingin pada wanita, tiba-tiba saja berubah lembut pada seorang gadis.” Lanjut
Ibunya.
“Ayah, Ibu… berhentilah menggodaku.”
ujar Moses sambil membuang muka kearah jendela mobil. Jika dipikir-pikir, dia
tadi nekat juga memeluk seorang gadis dengan spontan. Tetapi dia hanya
mengikuti nalurinya, tujuh belas tahun menahan rindu itu tidak mudah bukan?
Ayah dan Ibunya hanya tertawa pelan,
menyadari anak bungsunya telah beranjak dewasa.
***
Shallom tidak bisa memejamkan mata,
meski kantuk telah menguasainya sekarang. Pikirannya teralih pada Pemuda yang
tadi siang memeluk, dan menggenggam erat tangannya. Itu kontak pertamanya
dengan laki-laki selain Ayah dan Adiknya –tentu saja-
Dia memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat
sosok kecil yang sempat ia lihat di wallpaper
smartphone milik laki-laki itu. Namun, semakin dia ingin mengingat,
bayangan itu tidak ada.
Dia menelungkupkan dirinya dibawah
gundukan selimut. Benarkah apa yang dikatakan laki-laki itu tadi?
***
Moses mencium punggung tangan Mara,
sebelum memasuki Rumah yang kini telah terasa familiar sejak kemarin. Entah kenapa, dia merasa gugup jika
berhadapan lagi dengan Shallom. Ah, perasaannya tidak sekalipun berubah.
Pemuda itu kembali terperangah, ketika
melihat Shallom menggunakan Rok lipit berbahan jeans dengan kemeja putih sederhana yang nampak pas pada tubuhnya.
Rambut gadis itu dibiarkan terurai. Moses yakin, Shallom benar-benar manis
siang ini.
“Sudah? Ayo.” Ajaknya kemudian.
Shallom hanya mengangguk malu-malu.
“Tante, saya pinjam Shallom sebentar
ya.” Pamit Moses pada Mara.
Mara tersenyum, lantas mengangguk. Putri
kecilnya sudah dewasa… Andai, Arsa disini bersamanya, pasti dia tertawa
menyaksikan kencan pertama anak gadisnya, dengan anak sahabatnya sendiri.
***
Moses membawa Shallom pada sebuah Taman
yang tidak jauh berada dari Rumah Shallom. Duduk bersama pada satu bangku, dan
membelikan gadis itu satu cup ice cream.
“Mas Moses kuliah di jurusan apa?” tanya
Shallom mengawali percakapan.
“Tehnik, aku ingin seperti Ayahku. Juga
Papamu.” Terang pemuda itu.
Shallom mengangguk tanda mengerti.
“Kenapa Mas Moses seakan menjaga kenangan masa lalu kita dengan baik? Bahkan
aku sama sekali tidak mengingatnya. Maaf, semalaman aku mencoba mengingat masa
kecilku. Tetapi aku… tetap saja tidak ingat.”
Moses tersenyum singkat. “Because… You’re special.”
Gadis itu kembali bertanya. “Memang
pacar Mas Moses nggak marah?” dia bertanya dengan raut polos, membuat Moses
geli melihatnya.
“Aku hanya menjaga perasaanku pada satu
gadis. Gadis kecil yang selama tujuh belas tahun menarik atensiku, gadis yang
membuatku tidak kenal lelah menunggunya, gadis yang membuatku nyaris putus asa,
karena kedua orang tua kami hilang kontak, dia… gadis kuat yang duduk
disampingku sekarang.” Jelas Moses, tanpa mengalihkan pandangannya pada
Shallom.
Mengetahui arah pembicaraan Moses,
Shallom hanya menunduk. Dia belum siap mengikat suatu komitmen baru dengan
siapapun. Dia juga… menganggap semuanya terlalu cepat.
“Aku belum pernah mengikat komitmen
apapun pada seorang Pria. Dan, aku tahu kemana arah pembicaraan Mas Moses
sekarang. Tidak kah ini terlalu cepat? Kita baru saja kembali bertemu. Dan aku
bahkan tidak mengingat apapun yang terjadi antara kita sebelumnya, aku childish. Aku cengeng, aku ini fans fanatik
berberapa idola. Aku bukan gadis anggun, malah terkesan urakan, walau aku ini
cenderung pendiam jika belum mengenal seseorang dengan baik. Apa Mas Moses
masih akan mempertahankan perasaan itu?”
Moses tersenyum, lantas menjawab. “Aku
tidak semudah itu, melepas apa yang telah aku tunggu selama belasan tahun. Aku,
tidak memaksamu merasakan apa yang juga aku rasakan sekarang. Karena akupun
juga perlu waktu untuk mengokohkan apa yang aku rasakan, setelah ini… bagaimana
jika kita mencoba bersahabat?”
Shallom mengangguk yakin. Meski sebagian
hatinya merasa bersalah, dia tidak pernah mengikat komitmen pada siapapun, dia
pasti juga pernah jatuh cinta kan? Padahal sebenarnya ada pemuda yang
menunggunya tanpa merasakan lelah. Andaikan dia mengingat Moses juga sampai
sekarang, apa perasaannya sama dengan pemuda ini?
***
Setelah hari itu, rasanya kehidupan
Shallom berubah. Selalu ada pesan berisi selamat pagi di pagi hari, dan ucapan
sebelum tidur di malam hari. Bahkan, pemuda itu sering datang disaat yang tidak
terduga. Menyusup di kampus Shallom, atau bahkan mengantarnya kemanapun Shallom
melaksanakan kegiatan organisasinya. Entahlah, padahal jarak tempuh dari kota
Pemuda itu, dan kotanya lumayan jauh, dan Shallom berulangkali mengomeli Pemuda
itu agar tidak bersikap seperti ini.
Pemuda itu paham dengan diri Shallom
terlalu cepat, pemuda itu tahu, saat dia ingin menangis ketika merindukan
Ayahnya. Pemuda itu tahu, saat ia sedang kesal dengan rekan satu timnya, pemuda
itu tahu, dia belum menyantap sesuap nasi, karena mengerjakan laporan, dan
naskahnya yang terus tertunda. Pemuda itu… terlalu baik.
Gadis itu terkesiap, ketika melihat
lembaran kertas berwarna kuning, jatuh dari alkitab yang baru saja dia baca. True love… waiting. Dia tersenyum,
membaca coretan tangannya saat berada di tingkat putih abu-abu. Lantas,
dibacanya list yang telah dia hapal
di luar kepala. List yang selalu dia doakan tiap malam. Dia rasa… dia sudah
menemukan jawaban hatinya. Meski dia harus menunggu untuk berberapa tahun
kedepan. Karena dia tidak akan mengingkari komitmennya sendiri.
Hari ini, Shallom bertemu Moses. Pemuda
itu tiba-tiba saja muncul di depan rumahnya. Mengajaknya makan siang bersama,
dengan dalih perutnya lapar. Meski Shallom menolak halus dengan menyuruh pemuda
itu makan di rumahnya saja. Tetapi, pemuda itu terlanjur menariknya menuju
mobil putih kesayangannya.
Setelah menyantap makanannya, Moses
mengrenyit, menyadari raut muka Shallom yang dari tadi murung. “Hei, kenapa?
Rindu Papa?”
Shalom mengangkat bahu. “Sedikit.”
Tangan Moses terulur, mengacak pelan
rambut Shallom, kebiasaan yang tidak bisa ia hilangkan sejak pertama kali
bertemu. “Papamu tidak akan kemana-mana, dia selalu berada, tepat dimana hatimu
berada. Jangan murung, nanti Om Arsa sedih.”
Shallom tersenyum tipis. Bahkan, pemuda
ini yang selalu mengertinya kan? Dan entah kali berapa dia menangis di depan
Moses karena merindukan Ayahnya, atau kesal karena suatu hal. Bagaimana
mungkin, dia tidak jatuh cinta pada pemuda ini?
“Shallom, setelah semua yang terjadi…
sudah adakah perasaan itu?” tanya Moses.
Shallom tersenyum menggenggam erat
tangan kokoh yang ada didepannya, “Ajari aku… ajari aku menunggu Mas Moses, dan
jangan berhenti menungguku. Aku masih punya banyak mimpi yang ingin aku raih
dengan tanganku, agar aku menjadi layak, untuk yang aku cinta kelak.”
Moses menarik sudut bibirnya, ketika
memandang wajah ayu yang ada dihadapannya. “Doakan aku.”
“Doakan aku
juga.”
**
Setelahnya, Moses memang tidak bisa
sesering mungkin bertemu dengan Shallom, atau gadis itu akan mengancamnya tidak
akan mau menemuinya lagi. Memang merepotkan baginya, tetapi dia sudah berjanji,
menggapai dulu semua mimpinya, baru cintanya. Dia tidak pernah menyesal untuk
menunggu sebelumnya.
Dia tumbuh menjadi laki-laki tidak
peduli. Menjadi anak bungsu membuatnya lebih diperhatikan keluarganya, dan
entah mengapa dari sakian banyak gadis yang dia lihat, tidak ada yang bisa
menarik perhatiannya seperti Shallom, yang lain hanya ketertarikan sesaat. Atau
hanya sekedar jatuh cinta, dan tidak berminat menjadikannya kekasih. Ia hanya menganggap semuanya
seperti angin lalu. Mungkin itu yang dimaksud Doni, menemukan radar yang dijanjikan Tuhan itu.
Mengenal Shallom selama dua tahun ini,
membuatnya tahu, gadis itu mempunyai asam lambung yang bisa kambuh tiba-tiba, gadis
itu menyukai bintang, dan mukanya terlihat sangat bahagia ketika melihat
dandelion, gadis itu selalu histeris ketika melihat artis-artis idola luar negerinya dikabarkan akan ke
Indonesia. Moses tahu, semua tentang gadis itu, dan baru kali ini, dia memerhatikan
seorang gadis dengan sangat detail.
“Dek, lagi seneng ya? Senyum-senyum
sendiri, mentang-mentang udah punya gebetan.”
Ujar Kakaknya, yang sedang menggendong anak semata wayangnya.
“Apa sih Mas?” ucapnya sambil memutar
bola mata bosan.
“Pesan Mas, kalau jika memang ingin
hatimu terikat dengan dia, jagalah dia dengan tulus. Cinta bukan tentang jatuh,
tetapi tentang bangun. jika kamu serius, bangunlah cinta dengan dia, karena
membangun cinta… butuh waktu seumur hidup.”
“Apa itu yang Mas Doni rasakan terhadap
Mbak Nessa?”
Doni mengangguk. “Nah, adikku tentu
sudah dewasa, pasti dapat membedakan, mana radar yang dari Tuhan.” Katanya
sambil terkekeh.
*
Shallom tersenyum, mengingat apa yang
dilontarkan Moses dua tahun lalu, semua mimpinya, sudah selesai dia raih, dan
hatinya sudah mantap sekarang. dia berharap dia tidak akan salah memilih. Gadis
itu memang pernah jatuh cinta, satu kali. Dan parahnya terlalu dalam, hingga
sosok Moses hadir dan bisa menguburnya.
Dulu dia jatuh cinta, dan orang itu
tidak pernah tahu, hingga dia sadar, dia telah jatuh cinta pada orang yang
salah. Sejak itu, Shallom tidak mau lagi berurusan dengan cinta, terlebih dia
telah mengikat komitmen, menjaga hatinya, sampai waktunya tiba..
Cinta itu perlu waktu, cinta tidak
memaksa, dan tulus untuk menunggu. -True
love wait
“Moses anak yang baik, perjuangannya
hingga detik ini, mengingatkan perjuangan Papamu dulu untuk mendapatkan Mama.”
Kata Mara, yang tiba-tiba telah berada di belakang Shallom.
Shallom hanya tersenyum, Mamanya memang
pernah bercerita tentang kisahnya dengan Papanya. Tahun berlalu begitu cepat,
hingga dia sendiri yang memutuskan bagaimana kisahnya nanti.
“Dia sepertinya dewasa ya. Buktinya,
bisa sabar menghadapi sikapmu yang terkadang childish dan keras kepala ini. Mama harap, jika dia pilihan kamu,
dia bisa menjaga kamu.”
Shallom berusaha menahan tangisnya, jika
Mamanya bicara seperti itu, rasanya seperti dia akan diambil oleh orang saja.
***
Hari yang ditunggu Moses tiba, dengan
kemeja kotak-kotak berwarna biru, dan celana jeans hitam, dia siap menyatakan perasaannya sekali lagi. Jika pada
saat pertama mengutarakan perasaannya dia hanya tertarik, dan pada kedua
kalinya, dia hanya merasakan rasa jatuh yang begitu menyenangkan, maka
sekarang, dengan kedewasaan yang makin matang, ia kembali mengungkapkan
perasaannya, ingin membangun cinta bersama gadis itu, selamanya. Di seluruh sisa hidupnya.
Shallom terlihat cantik dengan dress biru mudanya yang sebatas lutut.
Tetapi ada yang aneh dengan gadis itu, kantung matanya membesar, dan wajahnya
terlihat pucat.
“Shallom, berapa jam kamu tidur semalam?”
Gadis itu hanya menaikan bahu, membuat
Moses semakin khawatir.
“Kamu ini tenaga medis, tetapi menjaga
kesehatan diri sendiri saja susah. Sudahlah, aku tidak mau membuang banyak
waktu. Marry me. Supaya aku bisa
leluasa menjagamu.”
Shallom mendongakkan kepalanya, lantas
memukul pelan bahu pemuda dihadapannya. “Kenapa tidak romantis? Moses no baka!”
Moses menaikan sebelah alisnya,
“Memangnya, apa yang kamu harapkan? Ending
romantis seperti kisah picisan yang kamu buat?” dilemparnya kotak beludru
berwarna merah itu pada gadis yang ada dihadapannya.
“Kita harus bergegas pulang, aku tidak
mau calon isteriku sakit.”
“Aku hanya kurang tidur karena
menyelesaikan pekerjaanku, bahkan aku belum menerima lamaranmu!” Sahut Shallom.
Dengan seringai kecil, Moses menjawab.
“Kamu tidak mungkin menolakku. Ah, idolamu ke Indonesia, kamu tidak membeli
tiketnya?”
“Percaya diri sekali. Mas Moses tahu,
aku sudah lama pensiun.” Kata Shallom sambil mengerucut menahan kesal.
“Begitukah? Shallom… ingatkan aku
melamarmu ulang di depan Om Arsa, setelah kupastikan kamu tidur nyenyak nanti
malam.”
Shallom terdiam, tidak bisa menahan
senyumnya kali ini. Pemuda ini, memang mengerti dirinya.
Moses melihat smartphone-nya kemudian berbalik memandang Shallom yang masih
terdiam memegang kotak merahnya. “Kenapa malah diam? Kita harus bergegas
pulang.”
Pemuda itu menghela napas, diambilnya
kotak beludru berwarna merah dari tangan Shallom, kemudian diambilnya tangan
gadis itu, dan dipasangnya pada jari manisnya. “Aku ingin membangun cinta
dengan kamu, Marry me?”
Gadis itu mengangguk lantas terkikik
pelan, pemuda itu peka rupanya. Melihat tawa kecil yang menurut Moses
menyebalkan itu, dikecupnya pelan pipi gadis itu singkat, lalu berjalan menjauh
mendahuluinya. “Aku kembalikan, yang 22 tahun lalu kamu berikan.” Katanya dengan
seringai kemenangan.
yuhuuu one shoot kilat setelah berapa bulan ga nulis. but, saya menulis apa yang ingin saya tulis. dan lewat banyak mimpi aneh dan berandai-andai jadilah seperti ini. dimana suatu ketika saya membayangkan, saya terjebak pada fiksi yang saya buat senndiri.
(aslinya cerita ini akan sangat panjang, tetapi karena saya lelah nulisnya yaudah)
maaf untuk typo, kata quotes yg hilang banyak -_- dan seluruh kekurangan lain! maklum lama ga nulis *ditabok*
ah iya, quotes pertama itu dari buku saven habits yang baru saya baca, buku non fiksi favorit sayaa... (terimakasih pak lukas buat rekomendasinya :D) kata-katanya bagus banget, saya sukaa.. nggak heran buku itu jadi favorit.
ini hadiah pemula buat Gratia, happy anniv 3tahun, hadiah sesungguhnya menyusul. (ssssssstttttttt kirim nama ******* yaa, biar kesannya nyata wqwq. clue : ingatlah percakapan di kost gloria dua tahun yang lalu.)
terimakasih sudah mampir, enjoy reading!
salam bintang dandelion!
_giardanila_
2 komentar:
Moses♥♥
Agen masa depan ♡ amin.
Posting Komentar