RSS

Senin, 04 April 2016

IRISH (무지개) chapter 4




A rin masih memegangi kedua pipinya yang terasa panas bahkan ketika ia sudah sampai di depan Goshiwon[1] yang disewanya bersama Ha na. Ia yakin tubuhnya masih berada di bumi, namun mengapa jika ia mengingat kejadian tadi siang, seolah raganya dibawa melayang-layang?
A rin menggeleng kecil, menepis bayang-bayang itu. Ia membubuhkan password pintu, lalu masuk.
Ha na yang melihat teman satu atapnya sudah pulang kini menatap heran. Ada apa dengan A rin? Kenapa baru saja masuk lantas tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila?
“Sudah pulang? Aku sedang memasak ramen, kau mau tidak?” Ha na memutuskan menginterupsi daripada melihat A rin menjadi orang gila sungguhan.
Bukannya menjawab pertanyaan sahabatnya, A rin justru berjalan menghampiri dengan langkah ceria, lalu menggenggam tangan Ha na yang bebas.
Mianhae, Ha na.” Ucap A rin.
Sebelah alis Ha na terangkat. “Ne?”
A rin menatap Ha na dengan serius. “Sepertinya aku akan mulai pensiun menjadi fan girl,” Ia menggantung kalimatnya, tersenyum-senyum, lalu melanjutkan, “dan sepertinya kau harus mulai membantuku memilih baju terbaik untuk aku kenakan setiap kencan.”
Ha na tambah bingung dengan ucapan A rin, gadis itu bahkan melupakan ramen yang sudah hampir matang.
“Apa yang sedang kau bicarakan? Kau tidak bergurau tentang berkencan dengan Minho oppa atau sebagainya, bukan?”
A rin mengerucutkan bibirnya. Ia tahu, kadang-kadang, sehabis menonton drama atau menonton grup idol tampil, khayalan tingkat tingginya akan muncul. Namun kali ini ia serius, tapi Ha na tidak menghiraukannya.
“Ha na-ya, menurutmu, apa sebuah sikap itu lebih meyakinkan daripada sebuah ungkapan?” A rin bertanya.
Ha na mengangguk kecil, meski belum mengerti arah pembicaraan A rin yang sebenarnya.
“Kalau begitu, aku yakin sekarang. Tidak percuma aku memutus urat malu demi mengejarnya belakangan ini. Sepertinya perasaanku terbalas.”
Ha na baru sadar kalau teman di sampingnya tidak sedang bergurau.
“Hei, jadi kau sekarang berkencan? Whoa, daebak! Siapa pria tidak beruntung itu?”
A rin melempar pelototan kepada Ha na. Ia sungguh ingin bercerita, namun ia yakin Ha na akan kaget setengah mati jika mendengar ceritanya saat ini. Ia berjanji, akan mengatakanya suatu hari. Lagipula, ia sendiri belum yakin apa yang sudah dialaminya hari ini. Benarkah ia dan Alfa sudah…?
**
Alfa mengetukan kepalanya ke meja perpustakaan berkali-kali. Ia bahkan tidak memedulikan tatapan heran dari mahasiswa-mahasiswa yang duduk disekitarnya. Alfa terus mengingat tindakannya siang tadi. Mendadak, ia merasa sangat bodoh.
Alfa mengangkat wajahnya dari meja, lalu melirik Jo Hyuk yang sibuk dengan laptopnya.
“Hei, aku boleh bertanya sesuatu?” Alfa berbisik-bisik, karena tidak ingin mengganggu.
“Apapun,” Jo Hyuk menjawab tanpa beralih dari laptop.
Alfa tidak pernah bercerita masalah pribadinya kepada siapapun, termasuk Jo Hyuk, yang sudah berteman lama dengannya. Namun, Alfa butuh komentar atau bahkan solusi jika perlu.
“Menurutmu, apa mencium seorang perempuan adalah tindakan yang buruk? Maksudku, kau bahkan baru mengenalnya,” Alfa terdengar gugup.
Jo Hyuk melirik temannya itu dengan ringan. “For God’s sake, Alfa, bukankah hal seperti itu lumrah? Bagimu yang bahkan pernah tinggal di Amerika. Menurutku, kau tidak perlu bertanya hal-hal seperti itu di Korea,”
Masalahnya aku belum pernah mencium dan dicium perempuan lain selain Mami, Eyang dan sanak keluarga. Alfa membatin. Jo Hyuk mungkin tidak tahu, betapa dirinya dulu sangat sulit beradaptasi dengan pergaulan Amerika, dan untungnya ia cukup kuat menganut adat negara asalnya. Jadi, ia bisa menahan diri selama tinggal disana.
“Ini seperti… kau merasa bersalah kepadanya. Perasaan seperti itu.” Alfa teringat siang tadi, sehabis mencium pipi A rin dengan secepat kilat, mereka jadi saling membisu. Bahkan, rasa enak masakan Indonesia yang dibawakan A rin mendadak jadi hambar. Alfa baru berbicara lagi dengan A rin ketika gadis itu meminta izin untuk pulang lebih dulu.
Jo Hyuk terlihat geram. “Man, look at yourself. You’re so damn good looking, smart, from a rich family, and many more. Everybody loves you.” Jo Hyuk berbicara bahasa Inggris dengan aksen Korea, yang membuat Alfa justru meragukan keseriusan ucapan temannya itu.
 Jo Hyuk menambahkan, “Jika aku jadi kau, aku tidak akan menyia-nyiakan kelebihanku. Menurutku, sudah saatnya kau berkencan. Kurangi beban pikiranmu dengan tugas-tugas kampus, kau bahkan belum lulus tapi sudah terlibat urusan bisnis disana-sini. Aku yakin Ayahmu terlalu pusing mengurus kekayaannya, jadi beliau membagi bebannya denganmu.”
Alfa terkekeh pelan mendengar ucapan Jo Hyuk yang mulai tidak nyambung. “Look, Dude. Tidak seserius itu. Begini saja, jika kau merasa bersalah karena sudah bersikap lancang kepada seorang perempuan, apa yang akan kau lakukan? Mmm, minta maaf tapi tidak secara langsung?”
Alfa menunggu jawaban temannya itu. Terlihat, Jo Hyuk sibuk memikirkan sebuah jawaban.
“Kau cukup ajak dia dinner atau… menonton film?”
Alfa kurang setuju dengan solusi itu. “Ada yang lain?”
“Kau mau meminta maaf atau bagaimana sih? Ya sudah, begitu saja. Perempuan akan melupakan hal yang dianggap menyebalkan jika dia diajak bersenang-senang.” Jo Hyuk memantapkan sarannya.
Alfa menyisir rambutnya dengan kelima jari. Kenapa terdengar seperti mengajak berkencan? Ia berpikir keras. Ah terserah! Hanya perlu mengajak makan malam atau menonton film, bukan? Ia merogoh saku jinsnya, berniat mengirim pesan kepada A rin. Namun ia teringat sesuatu, bahkan ia tidak menyimpan nomor ponsel gadis itu. Jadi… apa ia harus mengajak A rin secara langsung? Kemana harga diri Alfa yang selama ini berusaha dijaganya mati-matian? Ia menolak banyak ajakan kencan dari teman-teman perempuannya di Kampus dan justru akan menawarkan ajakan berkencan kepada perempuan lain? Ia merasa sedikit tidak rela, tapi ia juga tidak berpikir untuk membatalkan saran Jo Hyuk.
Alfa memijit pelipisnya. Ia memang sudah gila. Dan A rin adalah penyebabnya.
**
Alfa terseyum jika mengingat apa yang akan dia lakukan hari ini. Pemuda itu berpikir bahwa dia sudah tidak waras. Hari ini ia akan mengajak A rin untuk pergi ke suatu tempat sebagai tanda permintaan maafnya.
Sejujurnya, Alfa masih ragu dengan apa yang sedang ia rasakan. Perasaan itu nyaris sama, dengan suatu rasa yang sudah sejak lama ia tinggalkan. Sekarang yang ia lakukan hanya mengikuti alur, kemana takdir akan pergi.
Sesungguhnya Alfa benci menunggu. Tapi, A rin sama sekali tidak menampakan diri hari ini. Meski fakultas  farmasi  cukup  ramai, tetapi penglihatan Alfa masih jeli. A rin tidak dapat ia temukan di sudut manapun.
Menghela napas resah, pemuda itu mendudukan diri disalah satu bangku. Membunuh bosan, ia mengeluarkan buku. Selang berberapa menit setelah itu, pandangan Alfa memburam, ia merasakan tangan mungil melingkupi kedua matanya. Pemuda itu bersumpah, jika itu salah satu fansgirlnya ia akan memaki gadis itu, tidak peduli bahwa ia akan mempermalukan dirinya sendiri di fakultas tetangga.
"Nugu? Aku tidak peduli jika kamu wanita. Kamu perlu belajar sopan santun."
Tangan itu tak kunjung melepas kedua netranya. Membuat Alfa kesal setengah mati, lantas dilepasnya secara paksa kemudian menoleh.
"A rin?"
Dan sang gadis hanya menampilkan cengiran lucu. "Kak Alfa lagi pms? Galak sekali."
Alfa mendengus kesal. Tetapi diam-diam hatinya menyimpan lega. A rin sudah  disini, ia tak perlu menunggu lagi.
"Ayo!" Ajaknya sambil menarik lengan A rin untuk keluar dari kampus.
A rin hanya melongo. "Kemana? Alfa Sunbae tidak akan menculikku kan?"
Alfa menyeringai, "Kalau kau anggap aku sedang menculikku boleh saja."
Sontak Arin melepaskan genggaman  erat pemuda itu. "Yaa! Jangan  seenaknya! Ayahku adalah seorang polisi. Jika ia tahu anak gadisnya diculik oleh sunbae pintar berotak psiko, ia pasti akan membunuhmu!"
Alfa menahan tawanya. "Aku hanya bercanda bodoh! Kenapa kau begitu mudah percaya?"
A rin mendengus kesal, merasa dia sedang dibodohi. Sedangkan Alfa hanya menggeleng pelan, sembari menuntun gadis itu memasuki mobilnya.
Satu jam berlalu. Yang terdengar hanya gumaman A rin menyanyikan lagu yang Alfa sendiri tak yakin pernah mendengar itu.
"Neomu areumdaun-daun-daun-daun View, neomu areumdaun-daun-daun-daun View."
"Lagu siapa?"
A rin terkikik. Oppa seperti tidak kenal aku saja, tentu saja lagu Shinee! Minho Oppa selalu terlihat begitu tampan!"
"Apa bagusnya dia?"
Alfa mendengus, mengalihkan  pandangan pada badan jalan. Sepertinya gadis itu tidak merasa sakit hati atau hal-hal lain yang Alfa khawatirkan setelah insiden itu. Mendadak ia badmood. Tahu begitu tidak usah mengajak A rin jalan-jalan.
A rin ciut dibangkunya. Sepertinya ia salah bicara. Mendadak ia mengingat  perkataan Ha Na. Bahwa laki-laki yang mencintaimu tidak akan suka jika kau mengatakan  tentang kebaikan laki-laki lain dihadapannya. Gadis itu ingin minta maaf. Tetapi ia terlanjur tidak punya nyali.
"Sebentar lagi sampai. Bersiaplah."
Arin mengangguk. Takut-takut ia melirik Alfa. "Apa ini adalah bagian dari kencan?"
"Terserah kau anggap apa."
**

Pantai Eurwangni. Pantai yang lumayan berdekatan dengan Seoul menjadi pilihan Alfa. Ia memang sedikit mengabaikan usulan Jo Hyuk. Entah, apa yang membuatnya memilih pantai dari pada dinner atau nonton film. Pemuda itu tidak bisa menahan senyum ketika melihat wajah berbinar gadis disampingnya.
"Kenapa tidak bilang membawaku ke pantai?"
"Kau tidak tanya."
Gadis itu mendengus. Meninggalkan  Alfa seorang diri, mulai bermain pasir dsn ombak yang menggulung kakinya. Terlihat seperti anak kecil yang baru pertama kali ke pantai.
Alfa hanya duduk di tepi pantai, tanpa berniat menghampiri A rin. Membunuh bosan, ia kembali mengeluarkan buku.
"Hujan bulan juni?"
Suara nyaring itu membuatnya mendongak. "Sejak kapan kamu disampingku?"
"Kau terlalu asik dengan duniamu. Memang bukunya bagus ya? Menyebalkan, mengajakku ke pantai, tetapi aku yang bersenang-senang sendiri."
Alfa tidak tahan untuk mengacak rambut  A rin. "Kau harus membaca ini. Karya sastrawan senior di indonesia."

"Akan aku baca, setelah Kak Alfa mengajariku bahasa indonesia dengan sangat lengkap. Eomma hanya memberitahuku beberapa kata. Bacanya nanti lagi saja, sekarang temani aku bersenang-senang!"
"Aku disini saja."
A rin mendengus mendengar jawaban Alfa. Diambilnya buku itu dari genggaman Alfa. "Ayolah sunbae, menyebalkan sekali membiarkanku bersenang-senang sendiri."
Alfa menyerah, sedangkan A rin bersorak girang. Pemuda itu kembali memasukan bukunya dalam tas, lantas mengikuti langkah A rin. "Tetapi aku tidak mau terkena air. Meskipun hanya dikaki."
A rin mengerucutkan bibir. "Tidak asik."
Selintas ide jahil kembali A rin dapatkan. Ia menggulung celana panjang berbahan jeans yang ia kenakan, sedikit lebih ke tengah pantai, lantas ia menyipakkan air, hingga membuat Alfa sedikit basah.
"Hei!"
Kemeja Alfa sudah basah di beberapa bagian. Percuma saja ia berlindung dibibir pantai. Tanpa peduli seberapa basah ia nanti, pemuda itu mendekati Arin, lantas menyusupkan tangan dibawah kaki gadis itu. Mengangkatnya, bertepatan  dengan ombak yang lumayan besar mengguyur  tubuh  mereka.
"Bajuku basah semua, gara-gara Kak Alfa mengangkatku tadi! Aku tidak sempat menghindar dari ombak yang datang."
"Kau pikir siapa yang mulai? membuat kemejaku terkena air diberberapa bagian?"
A rin hanya diam. Giginya bergemeletuk menahan dingin. Alfa yang menyadari itu, lantas meninggalkan A rin. Membuat gadis itu semakin kesal tidak tahu apa yang dilakukan seniornya itu.
Kekesalan A rin berkurang ketika melihat sunset yang begitu indah dimatanya. Bertepatan dengan itu, ia menyadari tubuhnya sedikit hangat,  ketika jaket dengan aroma mint yang akhir - akhir ini familiar baginya, sedang melingkupi tubuhnya.
"Daebak! Indah sekali!" Katanya, meski ia merasa bibirnya masih bergetar karena menahan dingin.
"Tentu saja, semua ciptaan Tuhan selalu indah."
Dan setelah itu, kehangatan tak kasat mata kembali A rin rasakan ketika sebuah tangan, menggenggam tangannya dengan begitu erat.


[1] Istilah yang ditujukan sebagai rumas kos.

next to be chp 5 :))

0 komentar:

Posting Komentar