A
rin masih memegangi kedua pipinya yang terasa panas bahkan ketika ia sudah
sampai di depan Goshiwon[1] yang disewanya bersama Ha na. Ia yakin
tubuhnya masih berada di bumi, namun mengapa jika ia mengingat kejadian tadi
siang, seolah raganya dibawa melayang-layang?
A
rin menggeleng kecil, menepis bayang-bayang itu. Ia membubuhkan password pintu, lalu masuk.
Ha
na yang melihat teman satu atapnya sudah pulang kini menatap heran. Ada apa
dengan A rin? Kenapa baru saja masuk lantas tersenyum-senyum sendiri seperti
orang gila?
“Sudah
pulang? Aku sedang memasak ramen, kau mau tidak?” Ha na memutuskan
menginterupsi daripada melihat A rin menjadi orang gila sungguhan.
Bukannya
menjawab pertanyaan sahabatnya, A rin justru berjalan menghampiri dengan
langkah ceria, lalu menggenggam tangan Ha na yang bebas.
“Mianhae, Ha na.” Ucap A rin.
Sebelah
alis Ha na terangkat. “Ne?”
A
rin menatap Ha na dengan serius. “Sepertinya aku akan mulai pensiun menjadi fan girl,” Ia menggantung kalimatnya,
tersenyum-senyum, lalu melanjutkan, “dan sepertinya kau harus mulai membantuku
memilih baju terbaik untuk aku kenakan setiap kencan.”
Ha
na tambah bingung dengan ucapan A rin, gadis itu bahkan melupakan ramen yang
sudah hampir matang.
“Apa
yang sedang kau bicarakan? Kau tidak bergurau tentang berkencan dengan Minho
oppa atau sebagainya, bukan?”
A
rin mengerucutkan bibirnya. Ia tahu, kadang-kadang, sehabis menonton drama atau
menonton grup idol tampil, khayalan
tingkat tingginya akan muncul. Namun kali ini ia serius, tapi Ha na tidak
menghiraukannya.
“Ha
na-ya, menurutmu, apa sebuah sikap itu lebih meyakinkan daripada sebuah
ungkapan?” A rin bertanya.
Ha
na mengangguk kecil, meski belum mengerti arah pembicaraan A rin yang
sebenarnya.
“Kalau
begitu, aku yakin sekarang. Tidak percuma aku memutus urat malu demi
mengejarnya belakangan ini. Sepertinya perasaanku terbalas.”
Ha
na baru sadar kalau teman di sampingnya tidak sedang bergurau.
“Hei,
jadi kau sekarang berkencan? Whoa, daebak!
Siapa pria tidak beruntung itu?”
A
rin melempar pelototan kepada Ha na. Ia sungguh ingin bercerita, namun ia yakin
Ha na akan kaget setengah mati jika mendengar ceritanya saat ini. Ia berjanji,
akan mengatakanya suatu hari. Lagipula, ia sendiri belum yakin apa yang sudah
dialaminya hari ini. Benarkah ia dan Alfa sudah…?
**
Alfa
mengetukan kepalanya ke meja perpustakaan berkali-kali. Ia bahkan tidak
memedulikan tatapan heran dari mahasiswa-mahasiswa yang duduk disekitarnya.
Alfa terus mengingat tindakannya siang tadi. Mendadak, ia merasa sangat bodoh.
Alfa
mengangkat wajahnya dari meja, lalu melirik Jo Hyuk yang sibuk dengan
laptopnya.
“Hei,
aku boleh bertanya sesuatu?” Alfa berbisik-bisik, karena tidak ingin
mengganggu.
“Apapun,”
Jo Hyuk menjawab tanpa beralih dari laptop.
Alfa
tidak pernah bercerita masalah pribadinya kepada siapapun, termasuk Jo Hyuk,
yang sudah berteman lama dengannya. Namun, Alfa butuh komentar atau bahkan
solusi jika perlu.
“Menurutmu,
apa mencium seorang perempuan adalah tindakan yang buruk? Maksudku, kau bahkan
baru mengenalnya,” Alfa terdengar gugup.
Jo
Hyuk melirik temannya itu dengan ringan. “For
God’s sake, Alfa, bukankah hal seperti itu lumrah? Bagimu yang bahkan
pernah tinggal di Amerika. Menurutku, kau tidak perlu bertanya hal-hal seperti
itu di Korea,”
Masalahnya aku belum
pernah mencium dan dicium perempuan lain selain Mami, Eyang dan sanak keluarga.
Alfa membatin. Jo Hyuk mungkin tidak tahu, betapa dirinya dulu sangat sulit
beradaptasi dengan pergaulan Amerika, dan untungnya ia cukup kuat menganut adat
negara asalnya. Jadi, ia bisa menahan diri selama tinggal disana.
“Ini
seperti… kau merasa bersalah kepadanya. Perasaan seperti itu.” Alfa teringat
siang tadi, sehabis mencium pipi A rin dengan secepat kilat, mereka jadi saling
membisu. Bahkan, rasa enak masakan Indonesia yang dibawakan A rin mendadak jadi
hambar. Alfa baru berbicara lagi dengan A rin ketika gadis itu meminta izin
untuk pulang lebih dulu.
Jo
Hyuk terlihat geram. “Man, look at
yourself. You’re so damn good looking, smart, from a rich family, and many
more. Everybody loves you.” Jo Hyuk berbicara bahasa Inggris dengan aksen
Korea, yang membuat Alfa justru meragukan keseriusan ucapan temannya itu.
Jo Hyuk menambahkan, “Jika aku jadi kau, aku
tidak akan menyia-nyiakan kelebihanku. Menurutku, sudah saatnya kau berkencan.
Kurangi beban pikiranmu dengan tugas-tugas kampus, kau bahkan belum lulus tapi
sudah terlibat urusan bisnis disana-sini. Aku yakin Ayahmu terlalu pusing
mengurus kekayaannya, jadi beliau membagi bebannya denganmu.”
Alfa
terkekeh pelan mendengar ucapan Jo Hyuk yang mulai tidak nyambung. “Look, Dude. Tidak seserius itu. Begini
saja, jika kau merasa bersalah karena sudah bersikap lancang kepada seorang
perempuan, apa yang akan kau lakukan? Mmm, minta maaf tapi tidak secara
langsung?”
Alfa
menunggu jawaban temannya itu. Terlihat, Jo Hyuk sibuk memikirkan sebuah
jawaban.
“Kau
cukup ajak dia dinner atau… menonton
film?”
Alfa
kurang setuju dengan solusi itu. “Ada yang lain?”
“Kau
mau meminta maaf atau bagaimana sih? Ya sudah, begitu saja. Perempuan akan
melupakan hal yang dianggap menyebalkan jika dia diajak bersenang-senang.” Jo
Hyuk memantapkan sarannya.
Alfa
menyisir rambutnya dengan kelima jari. Kenapa terdengar seperti mengajak
berkencan? Ia berpikir keras. Ah terserah! Hanya perlu mengajak makan malam
atau menonton film, bukan? Ia merogoh saku jinsnya, berniat mengirim pesan
kepada A rin. Namun ia teringat sesuatu, bahkan ia tidak menyimpan nomor ponsel
gadis itu. Jadi… apa ia harus mengajak A rin secara langsung? Kemana harga diri
Alfa yang selama ini berusaha dijaganya mati-matian? Ia menolak banyak ajakan
kencan dari teman-teman perempuannya di Kampus dan justru akan menawarkan
ajakan berkencan kepada perempuan lain? Ia merasa sedikit tidak rela, tapi ia
juga tidak berpikir untuk membatalkan saran Jo Hyuk.
Alfa
memijit pelipisnya. Ia memang sudah gila. Dan A rin adalah penyebabnya.
**
Alfa
terseyum jika mengingat apa yang akan dia lakukan hari ini. Pemuda itu berpikir
bahwa dia sudah tidak waras. Hari ini ia akan mengajak A rin untuk pergi ke
suatu tempat sebagai tanda permintaan maafnya.
Sejujurnya,
Alfa masih ragu dengan apa yang sedang ia rasakan. Perasaan itu nyaris sama,
dengan suatu rasa yang sudah sejak lama ia tinggalkan. Sekarang yang ia lakukan
hanya mengikuti alur, kemana takdir akan pergi.
Sesungguhnya
Alfa benci menunggu. Tapi, A rin sama sekali tidak menampakan diri hari ini.
Meski fakultas farmasi cukup ramai, tetapi penglihatan Alfa masih jeli. A
rin tidak dapat ia temukan di sudut manapun.
Menghela
napas resah, pemuda itu mendudukan diri disalah satu bangku. Membunuh bosan, ia
mengeluarkan buku. Selang berberapa menit setelah itu, pandangan Alfa memburam,
ia merasakan tangan mungil melingkupi kedua matanya. Pemuda itu bersumpah, jika
itu salah satu fansgirlnya ia akan memaki gadis itu, tidak peduli bahwa ia akan
mempermalukan dirinya sendiri di fakultas tetangga.
"Nugu?
Aku tidak peduli jika kamu wanita. Kamu perlu belajar sopan santun."
Tangan
itu tak kunjung melepas kedua netranya. Membuat Alfa kesal setengah mati,
lantas dilepasnya secara paksa kemudian menoleh.
"A
rin?"
Dan
sang gadis hanya menampilkan cengiran lucu. "Kak Alfa lagi pms? Galak
sekali."
Alfa
mendengus kesal. Tetapi diam-diam hatinya menyimpan lega. A rin sudah disini, ia tak perlu menunggu lagi.
"Ayo!"
Ajaknya sambil menarik lengan A rin untuk keluar dari kampus.
A
rin hanya melongo. "Kemana? Alfa Sunbae tidak akan menculikku kan?"
Alfa
menyeringai, "Kalau kau anggap aku sedang menculikku boleh saja."
Sontak
Arin melepaskan genggaman erat pemuda
itu. "Yaa! Jangan seenaknya! Ayahku
adalah seorang polisi. Jika ia tahu anak gadisnya diculik oleh sunbae pintar
berotak psiko, ia pasti akan membunuhmu!"
Alfa
menahan tawanya. "Aku hanya bercanda bodoh! Kenapa kau begitu mudah
percaya?"
A
rin mendengus kesal, merasa dia sedang dibodohi. Sedangkan Alfa hanya
menggeleng pelan, sembari menuntun gadis itu memasuki mobilnya.
Satu
jam berlalu. Yang terdengar hanya gumaman A rin menyanyikan lagu yang Alfa
sendiri tak yakin pernah mendengar itu.
"Neomu
areumdaun-daun-daun-daun View, neomu areumdaun-daun-daun-daun View."
"Lagu
siapa?"
A
rin terkikik. Oppa seperti tidak kenal aku saja, tentu saja lagu Shinee! Minho
Oppa selalu terlihat begitu tampan!"
"Apa
bagusnya dia?"
Alfa
mendengus, mengalihkan pandangan pada
badan jalan. Sepertinya gadis itu tidak merasa sakit hati atau hal-hal lain
yang Alfa khawatirkan setelah insiden itu. Mendadak ia badmood. Tahu begitu
tidak usah mengajak A rin jalan-jalan.
A
rin ciut dibangkunya. Sepertinya ia salah bicara. Mendadak ia mengingat perkataan Ha Na. Bahwa laki-laki yang
mencintaimu tidak akan suka jika kau mengatakan
tentang kebaikan laki-laki lain dihadapannya. Gadis itu ingin minta
maaf. Tetapi ia terlanjur tidak punya nyali.
"Sebentar
lagi sampai. Bersiaplah."
Arin
mengangguk. Takut-takut ia melirik Alfa. "Apa ini adalah bagian dari
kencan?"
"Terserah
kau anggap apa."
**
Pantai
Eurwangni. Pantai yang lumayan berdekatan dengan Seoul menjadi pilihan Alfa. Ia
memang sedikit mengabaikan usulan Jo Hyuk. Entah, apa yang membuatnya memilih
pantai dari pada dinner atau nonton film. Pemuda itu tidak bisa menahan senyum
ketika melihat wajah berbinar gadis disampingnya.
"Kenapa
tidak bilang membawaku ke pantai?"
"Kau
tidak tanya."
Gadis
itu mendengus. Meninggalkan Alfa seorang
diri, mulai bermain pasir dsn ombak yang menggulung kakinya. Terlihat seperti
anak kecil yang baru pertama kali ke pantai.
Alfa
hanya duduk di tepi pantai, tanpa berniat menghampiri A rin. Membunuh bosan, ia
kembali mengeluarkan buku.
"Hujan
bulan juni?"
Suara
nyaring itu membuatnya mendongak. "Sejak kapan kamu disampingku?"
"Kau
terlalu asik dengan duniamu. Memang bukunya bagus ya? Menyebalkan, mengajakku
ke pantai, tetapi aku yang bersenang-senang sendiri."
Alfa
tidak tahan untuk mengacak rambut A rin.
"Kau harus membaca ini. Karya sastrawan senior di indonesia."
"Akan
aku baca, setelah Kak Alfa mengajariku bahasa indonesia dengan sangat lengkap. Eomma
hanya memberitahuku beberapa kata. Bacanya nanti lagi saja, sekarang temani aku
bersenang-senang!"
"Aku
disini saja."
A
rin mendengus mendengar jawaban Alfa. Diambilnya buku itu dari genggaman Alfa.
"Ayolah sunbae, menyebalkan sekali membiarkanku bersenang-senang
sendiri."
Alfa
menyerah, sedangkan A rin bersorak girang. Pemuda itu kembali memasukan bukunya
dalam tas, lantas mengikuti langkah A rin. "Tetapi aku tidak mau terkena
air. Meskipun hanya dikaki."
A
rin mengerucutkan bibir. "Tidak asik."
Selintas
ide jahil kembali A rin dapatkan. Ia menggulung celana panjang berbahan jeans
yang ia kenakan, sedikit lebih ke tengah pantai, lantas ia menyipakkan air,
hingga membuat Alfa sedikit basah.
"Hei!"
Kemeja
Alfa sudah basah di beberapa bagian. Percuma saja ia berlindung dibibir pantai.
Tanpa peduli seberapa basah ia nanti, pemuda itu mendekati Arin, lantas
menyusupkan tangan dibawah kaki gadis itu. Mengangkatnya, bertepatan dengan ombak yang lumayan besar mengguyur tubuh
mereka.
"Bajuku
basah semua, gara-gara Kak Alfa mengangkatku tadi! Aku tidak sempat menghindar
dari ombak yang datang."
"Kau
pikir siapa yang mulai? membuat kemejaku terkena air diberberapa bagian?"
A
rin hanya diam. Giginya bergemeletuk menahan dingin. Alfa yang menyadari itu,
lantas meninggalkan A rin. Membuat gadis itu semakin kesal tidak tahu apa yang
dilakukan seniornya itu.
Kekesalan
A rin berkurang ketika melihat sunset yang begitu indah dimatanya. Bertepatan
dengan itu, ia menyadari tubuhnya sedikit hangat, ketika jaket dengan aroma mint yang akhir -
akhir ini familiar baginya, sedang melingkupi tubuhnya.
"Daebak!
Indah sekali!" Katanya, meski ia merasa bibirnya masih bergetar karena
menahan dingin.
"Tentu
saja, semua ciptaan Tuhan selalu indah."
Dan
setelah itu, kehangatan tak kasat mata kembali A rin rasakan ketika sebuah
tangan, menggenggam tangannya dengan begitu erat.
0 komentar:
Posting Komentar