RSS

Kamis, 18 Desember 2014

Dear Altair


Dear Altair.


               Jika ia adalah seorang yang layak kau tunggu, ia tidak akan memberimu hanya sebuah kadang – Bernard Batubara.
               *
               Aku mengeratkan sweteerku dari udara malam yang benar-benar menusuk tulang. Melihat cahaya bintang yang mulai redup, dan bulan yang sama sekali tak nampak, membuatku mengingat akan satu hal. Hal yang terus saja mengusik alam bawah sadarku. Bahwa mulai hari ini, semua akan terasa berbeda.
               Kau, anak laki-laki yang sekarang telah menjadi seorang pemuda, sosok telah tumbuh melebihi batas atas ekpektasiku. Pemuda jangkung, dengan raut datar yang menjadi ciri khasmu. Tetapi, bukan itu yang menggangguku, melainkan… perasaan bagaimana mencintai dan dicintai.
           Bonaventura Altair, sosok yang telah aku kenal selama lebih dari separuh usiaku. Sahabat kecilku, anak laki-laki misterius yang aku jumpai di sudut perpustakaan. Sosok yang akhirnya… membuatku jatuh cinta untuk pertama kali.
               Jatuh cinta itu menyedihkan. Mungkin seperti itulah yang tengah aku pikirkan sekarang. Karena jatuh cinta, membuatku menunggu dalam ketidakpastian. Ketidakpastian untuk mendapatkan hatimu.
             Kau pernah berkata, “Aku tidak ingin jatuh cinta dulu, karena aku ingin meraih mimpiku, untuk sesuatu yang lebih tinggi dari mimpiku sendiri. Cintaku, sosok yang akan menutup hatiku untuk orang lain kelak.”
               Saat itu, aku hanya tersenyum tipis. Tidak mengerti bagaimana harus menanggapi. Tetapi, aku setuju dengan prinsipmu, prinsip yang akhirnya aku pegang erat-erat dalam hatiku.
         Dengan senyuman tipis, kau menatapku dengan teduh. Kemudian berkata lagi, “Aku ingin seorang gadis menungguku dengan tulus, menunggu hinga aku menjadi sosok yang dia banggakan kelak. Menyambutku dengan senyuman lebar, saat aku kembali pulang untuknya.”
              Saat itulah, tekadku telah bulat, menunggumu hingga aku bisa menjadi gadis yang kau idamkan itu. Tanpa aku mengerti. Sesungguhnya, menunggu adalah hal yang sia-sia aku lakukan seumur hidupku.
               Kau tahu? aku mulai merasakan perasaan itu, ketika kau… sosok yang aku kenal dingin, dan misterius, menghiburku disaat aku sedang dilanda keterpurukan. Kau datang bagai angin, yang meniup aku –si dandelion yang rapuh- dan membuatku terbang pada padang subur, sehingga aku dapat hidup menjadi jiwa baru.
            Itu berarti, sudah lebih dari setengah windu, aku memendam perasaan itu. Perasaan yang tiba-tiba hadir, tanpa membuatku mengerti. Jatuh cinta. Jatuh cinta dengan cara menyedihkan.
          Hubungan persahabatan kita, sangat berlangsung baik. Karena upayaku yang selalu ingin mempertahankan persahabatan ini, berupaya menunggumu dalam diam, tanpa mau mengungkapkan bagaimana perasaanku sesungguhnya.
               Hingga suatu malam, di tengah pendar bintang yang membias wajah kita. kau kembali berujar lembut, katamu, “Kau tahu? aku terkadang membayangkan kisah cintaku seperti roman picisan yang baru saja aku baca. Kisah tentang seseorang yang jatuh cinta pada sahabatnya sendiri.”
          Aku memandangmu dengan raut ragu. “Jatuh cinta pada sahabat? Apa kamu tengah merasakannya sekarang?” tanyaku takut-takut.
               Tanganmu terulur, mengacak pelan rambutku. Kau kembali memandang langit malam, sambil berkata. “Aku tidak tahu, tetapi aku berharap seperti itu.”
               Aku memandangmu heran, karena tidak biasanya kau terbuka seperti ini, karena biasanya, kau selalu menyimpan misteri dibalik kata. “Siapa? Dan kenapa kamu menjadi sedikit aneh malam ini? Bonaventura Altair lebih banyak bicara.”
                 Kau mengangkat kedua bahumu sekilas, kemudian kembali menatap bulan yang hanya tinggal seperempat. “Aku hanya memiliki satu sahabat perempuan. Dan kau tahu itu siapa.” Katamu.
        Lagi-lagi perkataanmu membuat ribuan kupu-kupu di perutku serasa terbang, rasanya menggelitik, dan membuatku menampilkan senyum lebar. Tetapi aku tidak ingin menarik kesimpulan lebih cepat, takut-takut membuatku terluka pada akhirnya.
               “Altair,” panggilku saat itu. “aku tidak mengerti maksudmu.” ujarku polos.
              Kau hanya tersenyum kecil. “Kau akan tahu suatu saat nanti. Belum saatnya kita membicarakan ini, kau pasti tahu dengan prinsipku. Tetapi… semoga saja perasaan aneh itu tidak berubah, karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi dimasa yang akan datang.” ucapmu, setelah kita dilanda keheningan cukup lama.
         Saat itu aku mengerti, itulah rasanya dihampiri. Tanpa sadar, itulah terakhir kali sosokmu menghampiriku dengan hati.
               *
            Kita pasti sama-sama tahu, berapa malam yang kita bunuh bersama untuk menatap langit, kau tahu? itu kembali mengingatkanku pada malam terakhir yang kita bunuh berdua, membuatku tersadar, bahwa kau… sama sekali tidak pernah mengharapkanku.
             Aku bertanya, “Menurutmu, bagaimana fase jatuh cinta?”
            Kau menjawab tak acuh, “Apa perlu aku jawab? Bukankah aku pernah berkata, bahwa aku tidak ingin jatuh cinta dulu?”
          Aku mengrenyit heran. Memandangmu yang kembali terlihat dingin, seperti es di belahan bumi utara. “Bagaimana dengan kisah cinta yang kau inginkan? Masihkah berharap seperti roman picisan yang kau baca?”
       Kau mendengus, kemudian berdiri memunggungiku. “Bukan urusanmu,” tandasmu. “aku tidak memedulikannya lagi.” lanjutmu kemudian.
      Dan kau ingat apa yang terjadi di malam selanjutnya? Kau datang dengan senyuman tipis dan menawan, mengatakan sesuatu yang membuatku merasakan betapa menyakitkannya jatuh cinta.
         Katamu, “Kau tahu Stella? Aku jatuh cinta, dan menyatakan perasaanku pada seorang gadis. Maaf kemarin aku terkesan berbeda. Karena aku sedang bingung, bagaimana menyatakan perasaan pada seorang gadis. Kau tahu, ini yang pertama kali buatku.”
         Aku tersenyum miris, memberanikan diri untuk bertanya. “Bagaimana dengan prinsipmu? Meraih mimpi untuk sesuatu yang lebih tinggi dari mimpi itu?”
       Kau tersenyum kecil, senyum yang kini bukan untukku. “Aku yakin dia mengerti, sebaiknya kau juga segeralah menyusulku.”
      Hancur sudah, kepastian itu sudah aku dapatkan. Bahwa aku bukanlah yang ada dihatimu. Kau tahu? penantianku ternyata hanyalah sia-sia belaka.
        Seharusnya aku tahu, perkataanmu tempo hari adalah penolakan halus bagiku, harusnya aku telah berhenti berharap sebelum ini. karena faktanya, Angin itu meniup biji dandelion pada tanah gersang. Membuat biji itu akhirnya mati, dan menghilang.
               *
      Setelah malam itu, jarak itu terasa kian ketara. Hingga kau kembali mengatakan hal yang membuatku tersadar, aku tidak pernah ada dihatimu dari awal.
            Sambil memunggungiku kau berkata, “Stella, aku mengerti betapa berat rasanya menunggu. Kau harusnya mengerti. Kebahagiaanmu bukan aku.”
          Kau tahu? aku rasa dinding es yang sedari dulu kau pasang telah meleleh, tetapi malangnya, air itu menimpaku dan menenggelamkanku sekarang. Tetapi aku tidak butuh pelampung. Karena rasanya aku sudah mati.
            Mungkin memang benar, jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri.
            Terimakasih untuk setiap luka, kebohongan yang indah, dan jatuh cinta untuk yang pertama kali dengan cara menyedihkan.
          Dear Altair, terimakasih membuatku mati. Mati untuk merasakan perasaan yang lain. Perasaan yang membuatku takut jatuh cinta lagi.

 end-

*
huaa akhirnya bisa post.. :'D yuhuu saya kembali^^ setelah merenung, akhirnya saya memutuskan ini cerpen terakhir saya dengan tema chldhood! maaf tante mar dan tante2 yang lain, uthe nggak bisa tepatin wish 18thbornday, dan coretantintanirmala telah berubah menjadi giardanila. meski nama itu telah memiliki banyak kenangan karena saya banyak kode lupakan* intinya saya tidak mau terjebak dalam masa lalu. fict ini terinsipirasi dari novel teranyar Benard Batubara. "Jatuh Cinta adalah Cara
 Terbaik untuk Bunuh Diri." itu kata-katanya dalemmm banget, dan saya berniat mau membelinya suatu saat nanti haruss! intinya hits banget kata2 menunggunya, dan lagi-lagi cerpen ini ---- *sudalah teteh agen yang tahu* 2015 saya mau buka buku baruu, lembaran aja udah mainstream wkwk

dan yang masih mengingat Stella, ini adalah cerpen penghubung antara It's Not First Love dan Kabar Dalam Angan, yang pengen baca bisa ubek-ubek hehe, makasih! salam bintang dandelion^^

Rabu, 19 November 2014

Akhirnya, First Meet.

Disini, uthe mau sedikit ngluarin unek-unek uthe,banyak banget temen-temen uthe yang tanya, "Rio itu siapa sih the?" dalam hati sebenernya gue jawab, kalau nggak ngerti berarti masa kecil kalian kurang bahagia :D
dengan sabar gue jelasin Rio itu dulu runner up idola cilik 3 blablabla, dan akhirnya berberapa dari mereka ngerti juga.
"The kok betah aja ngefans sama Rio? kenapa nggak idola remaja lain, yg sekarang lagi digandrungin?"
haha, uthe udah stuck sama dia. sejak jaman dia masih di IC, sampai sekarang dia jadi pemuda yang tumbuh diluar perkiraan uthe, (gimana enggak, dia makin ganteng brohh)
iyaa uthe betah kok jadi RiSE, karena dari situ uthe punya banyak teman, satu lagi pelajaran penting, bahwa jarak bukan halangan buat bersahabat.
yakali, uthe selalu heboh kalau cerita tentang Rio :') dulu sih jaman masih di SMF banyak temen, cerita langsung pada nyaut2 rebutan Rio :p
sekarang waktu kuliah uthe nggak punya bolo dikampus :( dulu pas dibales mentions barengan, pasti paginya pada heboh, sekarang, uthe dibales mentions teriak gaje, yang lain pada bingung ada apa sama uthe. -_-v
Tapi nggak papa kok, kan masih tetanggaan juga sama adek kelas yang RISE, tapi cuma ngrasa suwung aja, :3
flashback on kelas 12 awal, uthe denger ada MnG Rio Jogja, gamau ketinggalaan kan, akhirnya uthe daftar. dan berusaha nbung biar bisa ketemu doi :') hari berlalu, dan tiba hari saat meetup, setelah berangkat desek2an naik kereta bareng Rise Solo, akhirnya berhenti juga LDRan selama kurang lebih 4th. uthe ketemu juga sama idola uthe,
Mario Stevano Aditya Haling. (Rio Idola Cilik)
tanggal 26 Oktober 2014 itu bener2 nggak akan dilupain seumur hidup deh pokoknya :')
doa 4th lalu akhirnya terjawab, Tuhan Yesus baik ;)
aslinyaa gantengg banget dia, pas liat dia pertama kali inner uthe udah teriak-teriak tuh... serasa mimpi.. apalagi pas game, Rio bilang ke uthe, "Aduh lesung pipitnya, dibagi boleh enggak?"
itu cuma bisa senyum, demi apaaa... pengen berhentiin waktu deh saat itu :D
dan pas pulangnya, ada kejutan lagi nih buat RISE Solo, sehari ketemu banyak cowok cakep -_- ada Gabriel kw super juga di kereta, wkwk
sumpah tengilnya Rio tuh bkin kangen :3 semoga besok juli/agustus bisa ketemu lagi. aminn dalam nama Tuhan Yesus.

dia itu, narkotika golongan 1, meet up sekali aja bikin candu ;)

Jumat, 10 Oktober 2014

Kabar Dalam Angan *cerpen*


Kabar Dalam Angan


*
Love can cure heartbreaks, misfortune, or tragedy, it is the eternal companion. –Anonymus.
Surakarta, 24 Juni 2011
            Langit malam masih terpampang nyata dalam pandangan. Aku masih enggan menyeret diri dari Taman dekat rumahku. Terang lampu temaram tidak sebanding dengan terang bintang yang sedang berpendar di atas langit, membuatku ingin menatap keindahan itu lebih lama.
            Sejak kepergian Ayah di langit senja bulan lalu, aku semakin mentutup diri. Tidak ada lagi aku yang selalu tertawa, tidak ada lagi aku yang sedang melucu, bahkan, tidak ada lagi aku yang tersenyum tanpa beban. Itu semua… terlalu sulit jika kembali di lakukan.
            Ayah pergi, menyerah menatap dunia karena penyakit ganas yang perlahan menggrogoti tubuhnya. Penyakit yang perlahan membuatku teriris jika mendengarnya. Kanker.
            Penyakit itu telah merenggut kebahagiaan, sukacita, bahkan senyuman. Ayah memang orang baik, mungkin memang tugasnya di dunia telah selesai, sehingga dia lebih cepat menuju keabadian. Tetapi dari kebaikan itulah yang membuatku miris ketika mengingatnya.
            Ada kalanya saat aku merindukan senyumnya, senyum yang sangat menawan karena ada lesung pipit di pipi kirinya, bukan hanya itu, aku juga rindu suara baritonnya, bahkan, harum maskulin yang menguar dari tubuhnya.
            Aku hanya seonggok gadis yang telah hilang kepercayaan, lagi-lagi sejak kejadian pahit itu… semua berubah. Entah hanya sebuah perasaan yang terlalu mudah dikecap, atau memang semua benar adanya.
            Adakah saudara yang menganggap kebaikan sebagai balas budi? Mungkin ada, mungkin juga tidak, tetapi apa gunanya ikatan itu, jika sebuah kebaikan selalu melahirkan balasan? Aku memang hanya gadis kecil yang belum pernah tua, tetapi setidaknya, aku mengerti apa arti sebuah ikatan yang lebih dekat dari apapun. Ikatan darah.
            Ikatan itu tidak pernah hilang, sebelum darah yang mengalir ditubuhmu berhenti mengalir, tetapi apa gunanya semua itu jika saling menyakiti dan mengandalkan materi?
            Semenjak Ayah pergi, konflik-konflik batin itu masih saja berdatangan, tidak ada damai, tidak ada ketenangan yang sama seperti dulu, saat detak jantung beliau masih berdenyut teratur.
            Lagi-lagi setetes liquid turun dari pelupuk mataku. Aku tidak mengerti, kenapa aku bisa merasakan luka dari segelintir orang yang notabennya adalah jiwa-jiwa yang memiliki ikatan darah denganku.
            Aku tidak mengerti bagaimana semua itu bisa terjadi. Yang aku tahu, semenjak saat itu, aku selalu menangis dalam diam, tidak lagi menangisi dia yang telah pergi di keabadian, tetapi… menangisi hidupku.
            Hei, bukankah balas budi tidak akan habis? Lalu apa yang mereka harapkan dari seonggok tubuh yang telah kaku dan hilang nyawa? Apa mereka ingin menuntut balas atas kebaikan mereka di masa lalu? Apa gunanya ikatan itu eh?
            Dan, sejak saat itu, aku adalah Anastasia Vega yang pendiam dan menutup diri.
            Dingin malam, semakin menusuk tulang, tetapi aku tidak peduli, karena melihat bintang, seakan memberiku sedativum yang biasa aku dapatkan dari sekapsul Vallerianae Radix.
“Hei.”
Suara berat membuatku menghentikan sejenak aktivitasku. Takut-takut aku menoleh kearahnya. Hei, ingatkah hari telah malam? Dan mulai banyak pria hidung belang berkeliaran? Uh, salahku juga tidak segera pulang tadi.
Siluet seorang pemuda tinggi, dengan wajah tegas terlihat masih semuran denganku, ia sedang menatapku dengan senyum tipisnya. Dia memang terlalu kurus untuk ukuran laki-laki, tidak meyakinkan jika dia berbuat hal buruk kepadaku, yang lumayan jago karate ini.
Aku balas menyipit memandangnya, kemudian membuang muka, kembali menatap langit.
“Anak gadis tidak baik berkeliaran malam hari.”
“Aku tidak berkeliaran. Rumahku hanya sepuluh meter dari sini.” Ucapku dengan nada sengit.
Anak laki-laki itu hanya mengangkat bahu, kemudian tanpa permisi duduk di sebelahku, membuatku bergeser menjauh.
“Begitu ya, sambutan untuk tetangga baru disamping rumahmu?”
“Aku tidak peduli.” Sahutku, kemudian beranjak dari sana.
Pemuda itu tersenyum miring, seakan mengerti kelemahanku, dan siap menghancurkanku kapan saja. entahlah, aku tidak peduli dengan itu.
Baru dua langkah aku melangkahkan kaki, suara pemuda jangkung itu terdengar lagi. “Jangan suka menangis diam-diam, itu lebih menyakitkan dari terkena sebilah pisau.”
*
Malam-malam selanjutnya, anak laki-laki itu selalu terlihat di taman, membuatku melengos berbalik arah dari sana. Tetapi, dia mempunyai maksud lain sepertinya. Di malam itu, dengan gerakan cepat, dia menyusulku, dan mencekal lenganku. Membuatku memberikan deathglare terbaikku untuknya.
“Apa maumu Ayam?” kataku dongkol, apalagi setelah melihat model rambutnya yang hampir serupa dengan ekor ayam itu.
No, Altair. Bukan Ayam.” sahutnya tidak kalah sengit.
“Aku tidak peduli. Lagipula tatanan rambutmu memang berbentuk seperti Ayam.” Jawabku dengan melipat tangan di depan dada.
Altair, memegang rambutnya terlihat sedikit tidak terima. “Ini trend. Apa menangis membuatmu tidak mengerti mode?
Aku berdecak kesal. Membuat Altair memandangku heran. “Hei, Vega… Ah, aku mengerti namamu dari Ibumu.” Katanya ketika aku memandangnya heran, “sampai kapan kamu mau membenci jiwa-jiwa yang butuh pengampunan?”
“Tahu apa kamu tentang aku?”
Altair menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. “Semua terlihat dari sorot mata kamu, ada luka yang menganga lebar, dan aku yakin, itu sorot kebencian.”
Aku hanya memandangnya remeh, namun dia melakukan hal yang sama sekali tidak aku duga. Menepuk puncak kepalaku, seperti yang biasa Ayah lakukan dulu. Membuat rasa rindu ini menelasak ke permukaan.
“Kamu mau bercerita? Sebelumnya, aku Bonaventura Altair. Kita belum berkenalan dengan baik.”
Perlakuan pemuda itu membuatku menunduk, semakin mendorong cairan yang tidak bisa dinyana ini keluar dari pelupuk mata.
Altair menunduk, mensejajarkan wajahnya, dengan wajahku. “Kenapa menangis? Apa aku menyakitimu?”
Aku hanya menggeleng, sembari bergumam “Aku rindu Ayah.” Dengan sangat lirih.
Altair memandangku dengan tatapan khawatir. Membuatku ingat, aku menangis di depan orang yang baru saja aku kenal. Dengan gerakan cepat, aku berbalik arah, kemudian pergi meninggalkannya.
*
Malam itu tidak lagi sama, aku menemukan teropong bintang tidak bertuan di tengah-tengah semak ilalang. Dari kecil, aku selalu diajarkan untuk tidak mengambil –atau bahkan memegang- barang yang bukan milikku tanpa ijin si empunya.
Dan, aku pun kembali menatap langit malam dengan mata telanjang. “Tidak lelah memandang bintang dengan mata telanjang? Jika ada benda yang membuatnya jelas, kenapa tidak di coba?” Suara berat itu kembali mengiterupsi.
“Itu bukan milikku.”
Altair mendekat ke arah teleskop, “Ini milikku.” katanya.
“Kamu suka bintang ya? sehingga memiliki benda seperti itu?” tanyaku sedikit penasaran.
“Aku Agen dari rasi bintang Aquila.” katanya sambil terkekeh.
Aku hanya menaikan sebelah alis tidak mengerti. “Bercanda. Kamu nggak punya selera humor ya.” Katanya lagi, membuatku mengerucutkan bibir, menahan kesal. “Aku mahasiswa astronomi. Wajar jika memiliki benda-benda seperti ini. kamu mau coba?” tawarnya.
Aku hanya terdiam di tempat. Hingga tangan kokoh itu terulur, dan menuntunku tepat di depan teleskop itu. “Lihatlah.”
Aku menurut, mencoba melihat apa yang disuguhkan dengan benda itu, dan benar saja, bintang berpendar lebih terang dari yang biasa aku lihat.
“Aku tidak sepenuhnya berbohong. I’m agent from Aquila. Altair. Bintang tercerah di rasi itu.”
Tanpa sadar, sudut bibirku tertarik. Dengan perlahan, Altair membuat semua yang dulu aku tidak lagi aku lakukan, menjadi kembali ada.
“Dan kamu harusnya mengerti. Agen Vega?”
Aku memandangnya bosan, tidak mengerti apa maksudnya. Seakan mengerti keterlambatanku memahami apa yang diungkapnya, Altair, kembali menjelaskan. “Vega adalah bintang tercerah pada rasi bintang Lyra, jadi kamu adalah Agen Vega.”
Aku hanya tersenyum tipis. Tidak mengerti bagaimana harus menanggapi. Di malam yang sedingin ini, bahkan aku merasakan kehangatan tak kasat mata, yang mencoba merekatkan kembali hatiku yang telah hancur sebelumnya.
Altair kembali melempar senyum kepadaku. Hingga dia mulai menceritakan masa lalunya, masa-masa dimana dia membenci Kakak laki-lakinya hanya karena kesalahpahaman.
Kakaknya bertahun-tahun pergi tanpa kabar, membuat kebencian berdiam dari diri laki-laki itu, tetapi sesungguhnya, sang Kakak sedang banting tulang untuk mengambil kembali asset perusahaan Ayahnya, yang terancam bangkrut.
“Membenci atau dibenci itu tidak enak, jangan menyesal dilain hari,seperti yang aku alami. Kamu tidak berniat bercerita? Anastasia Vega?”
Aku menggeleng. Aku belum siap menangis dihadapan orang lain. Lagi, kata-kata Altair membuka mata hatiku, untuk apa membenci jika ada kasih yang tulus untuk diberikan kepada mereka?
“Jika belum mau cerita, menangislah.” Ucapan Altair membuatku terkesiap. “tidak apa, menangislah tidak usah dipendam sendiri.”
Tanpa dikomando lagi, air mata itu luruh, isakan kecil dariku mulai berbaur dengan bunyi jangkrik di malam itu. Entah berapa menit aku menangis. Altair masih saja memandangku teduh. Sesekali dia menepukan tangannya pada pucuk kepalaku.
Hingga dia menyodorkan sapu tangan berwarna biru kepadaku. “Untuk menghapus air matamu.” katanya. “apa sudah lega?”
Dengan perlahan aku mengangguk.
“Akan lebih lega, jika kamu mau menceritakan semuanya.”
Bibir dan hatiku, tidak bisa kompak malam ini, dengan lancar, aku menceritakan segala pergumulanku, luka batinku, kerinduanku, dan segala yang mengganggu di pikiranku pada Bonaventura Altair.
“Aku ingin menjadi tenaga tehnik farmasi, agar dapat melihat wajah-wajah para penderita kanker berbinar, jika sorot mata mereka kembali redup, aku akan memberi mereka semangat. Aku ingin mereka seperti Ayah. Selalu bersemangat, bahkan di detik terakhirnya.” ucapku parau.
Altair tersenyum lembut. “Kamu pasti bisa.” Ujarnya memberi semangat.
“Altair.” Panggilku untuk yang pertama kali. “Kenapa kamu begitu ingin aku membagi kisahku?”
Pemuda itu mengalihkan pandangan pada langit. “Mungkin, radar antara Altair, dan Vega.” katanya sambil terkekeh. Melihatku menaikan sebelah alis, dia terlihat gugup, buru-buru kembali berkata, “Karena kamu terlihat seperti manusia tidak bernyawa. Aku yakin kamu butuh tempat berbagi, tanpa kamu sendiri sadari.”
Dan, malam itu, pandanganku tentang Bonaventura Altair berubah seratus delapan puluh derajat.
*
Malam ini, aku membiarkan rambut sebahuku aku gerai. Menyebabkan angin-angin nakal sekuat tenaga menerbangkan helaian rambutku. Aku kembali melihat siluet laki-laki jangkung, sedang berkutat dengan teleskopnya.
“Sudah lama menunggu?” sapaku kemudian.
Dia menggeleng sambil tersenyum tipis. “Kamu cantik.”
Dua kata itu membuat pipiku memanas. “Gombal.” Kataku sambil mencubit lengannya.
Dia hanya terkekeh. “Bagaimana, sudah bisa mengampuni?”
Aku mengangguk. “Ya, rasanya lebih lega, beban yang aku simpan seperti hilang perlahan.”
“Bagus jika begitu, aku tidak  perlu ceramah lagi.” Sahut Altair, yang sepontan membuatku menggembungkan pipi. “Vega, kamu tahu? malam ini akan ada segitiga musim panas di langit, dimana bintang Altair, Vega, dan Deneb akan muncul.”
Aku hanya mengangguk tanda mengerti.
“Kamu jangan bersedih lagi, jadilah seperti bintang Vega yang kuat, selalu menunggu bintang Altair untuk kembali bertemu.”
Aku yang tidak paham dengan kata-katanya hanya kembali mengangguk.
“Ini sudah tiga bulan ya? kita selalu menghabiskan seperdelapan malam disini?” tanya Altair tiba-tiba.
“Iya.” sahutku singkat, tersadar telah banyak malam yang aku bunuh bersama dengannya.
Altair mendekat kepadaku, tangannya kembali terulur mengacak puncak kepalaku. Kebiasaan barunya jika aku membuatnya sedikit kesal. Pemuda itu memang berbeda dari teman laki-lakiku yang lain, ada rasa yang menyeruak dari rongga hatiku yang membuatku terkadang mati rasa, jika dia telah berada didekatku, padahal Altair bukan diazepam yang biasa digunakan untuk obat bius.
Rasa itu, yang menjadi analgesic alami dihatiku, sehingga nyeri itu tidak lagi ada, jika aku mengurai kenangan pahit. Apa ini… cinta?
“Vega.” Dia kembali memanggilku.
Altair terlihat gelisah, berulangkali mengembuskan napas tidak sabaran. “Aku sayang kamu.” Katanya cepat. Nyaris tidak ada jeda, tetapi membuatku terperangah.
“Tunggulah saat itu tiba, dan aku akan kembali, untukmu di seluruh sisa hidupku.”
Tubuh tegap itu berbaik memunggungiku, kemudian dengan langkah teratur, berjalan menjauh, tanpa menoleh sedetikpun kepadaku.
*
Esoknya, aku kembali ketempat biasa dimana kami selalu bertemu, tetapi taman itu sepi. Tidak ada sosok itu, sosok yang aku nantikan untuk aku berikan jawaban.
Aku kembali terduduk di bangku, tempat kami berbagi cerita. Hingga dua jam berlalu setelahnya. Tetapi dia tidak kunjung datang. Dengan langkah gontai, aku kembali menggiring diri menuju rumahku.
Hari-hari setelahnya, masih saja sama, dia tidak datang. Ironis, dia berkata menyayangiku, dan setelahnya, tidak lagi menampakan diri dihadapanku. Bahkan Rumahnya sepi. Membuatku yakin, dia kembali pindah. Meninggalkan kota Solo beserta semua kenangan yang terukir di dalamnya.
Aku tidak pernah lelah menunggunya, menunggu kabarnya, meski semua itu seakan hanya angan. Sekarang aku mengerti setiap ucapannya, nama kami terikat, Altair, dan Vega, bahkan kisahnya pun hampir mirip dengan apa yang terjadi sekarang. Pasangan yang diharuskan menunggu dalam ketidakpastian.
Dingin itu masih menusuk tulang, tidak seperti malam-malam hangat yang aku bunuh bersamanya, tubuhku menggigil, tetapi aku tidak peduli, karena aku tidak akan pernah lelah memberikan jawaban itu kepadanya.
“Vega, wajahmu pucat, sampai kapan kamu menghabiskan waktu disini?” suara lembut itu menginterupsiku. Itu Keyla, sahabatku.
Aku hanya menggeleng lemah. Tanda tidak mengerti.
“Ayo pulang. Bukankah besok responsi resep?”
Aku berdiri dengan gontai, lagi-lagi dia tidak muncul. Sampai kapan aku harus menunggunya?
*
Terhitung telah lima tahun berlalu semenjak hari itu, aku telah mencapai impianku, sebagai tenaga tehnik kefarmasian. Dan, masih saja menghabiskan seperdelapan malamku hanya untuk melihat bintang, dan berharap menemukan bintang altair disana.
Tidak ada kabar, aku masih saja bertahan. Aku hanya gadis penunggu kabar, menunggu terang itu, untuk kembali pulang. Tidak mengerti kapan dia akan datang, tidak mengerti dia memiliki perasaan yang masih sama atau tidak.
Yang jelas, aku menunggunya.
Dingin malam benar-benar menusuk kulitku, aku terus mengusap lenganku berupaya mencari kehangatan, hingga aku merasa sesuatu melingkupi bahu mungilku.
“Altair…” aku bergetar saat mengucap namanya. “kamu kembali.”
Mengabaikan blazer Altair yang telah jatuh dari bahuku, aku berjalan menuju Altair yang berdiri di belakang bangku.
“Maaf tidak pernah mengabarimu.” ucapnya ketika melihatku terisak.
Tangannya terulur, menghapus butiran air yang menetes dari pelupuk mataku. “Aku kembali untuk menepati janjiku. Menikahlah denganku.”
Aku menatapnya tidak percaya. Bibirku terkatup membiarkannya menjelaskan apa yang telah terjadi sebenarnya. “Mungkin aku terlihat pengecut, meninggalkanmu setelah mengungkapkan perasaan, setelah malam itu, aku kembali melanjutkan kuliah, dan mengambil S2 di Birmingham. Semata-mata agar aku layak menjadi pendampingmu kelak.”
Kepastian itu, akhirnya datang, melambungkan perasaan, dan memberi secercak kebahagiaan. Penantian ini, tidak berakhir sia-sia. Karena ketulusan itu terus melingkupi kepingan hati yang siap disatukan.
-end-

HAHAHA ini sama sekali bukan cerpen antimainstream, tetapi sangat-sangat mainstream, dimana saya kembali menghadirkan karya out of the box, dengan genre biasa, menunggu dan menggunakan anak farmasi dan astronomi di pairingnya.
ini sama sekali bukan curhat. jika first reader saya bilang ini mirip sama karya saya yang masih didalam sangkar, memang saya bikin mirip, karena......... ini sudah empat bulan, istilahnya kangeen nya saya bikin cerita yg mirip2 dengan itu.
ahh this, saya nggak ngerti harus gimana, yang jelas saya sedang menunggu sesuatu yang menurut saya, ini lebih pentin -dimasa sekarang ini- dari pada menunggu sosok Altair, sebuah mimpi yang saya sendiri nggak ngerti kapan terwujudnya.
sekian, saya nggak mau banyak omong, hehe.. semoga kalian sukaaa 
salam bintang dandelion~