RSS

Jumat, 10 Oktober 2014

Kabar Dalam Angan *cerpen*


Kabar Dalam Angan


*
Love can cure heartbreaks, misfortune, or tragedy, it is the eternal companion. –Anonymus.
Surakarta, 24 Juni 2011
            Langit malam masih terpampang nyata dalam pandangan. Aku masih enggan menyeret diri dari Taman dekat rumahku. Terang lampu temaram tidak sebanding dengan terang bintang yang sedang berpendar di atas langit, membuatku ingin menatap keindahan itu lebih lama.
            Sejak kepergian Ayah di langit senja bulan lalu, aku semakin mentutup diri. Tidak ada lagi aku yang selalu tertawa, tidak ada lagi aku yang sedang melucu, bahkan, tidak ada lagi aku yang tersenyum tanpa beban. Itu semua… terlalu sulit jika kembali di lakukan.
            Ayah pergi, menyerah menatap dunia karena penyakit ganas yang perlahan menggrogoti tubuhnya. Penyakit yang perlahan membuatku teriris jika mendengarnya. Kanker.
            Penyakit itu telah merenggut kebahagiaan, sukacita, bahkan senyuman. Ayah memang orang baik, mungkin memang tugasnya di dunia telah selesai, sehingga dia lebih cepat menuju keabadian. Tetapi dari kebaikan itulah yang membuatku miris ketika mengingatnya.
            Ada kalanya saat aku merindukan senyumnya, senyum yang sangat menawan karena ada lesung pipit di pipi kirinya, bukan hanya itu, aku juga rindu suara baritonnya, bahkan, harum maskulin yang menguar dari tubuhnya.
            Aku hanya seonggok gadis yang telah hilang kepercayaan, lagi-lagi sejak kejadian pahit itu… semua berubah. Entah hanya sebuah perasaan yang terlalu mudah dikecap, atau memang semua benar adanya.
            Adakah saudara yang menganggap kebaikan sebagai balas budi? Mungkin ada, mungkin juga tidak, tetapi apa gunanya ikatan itu, jika sebuah kebaikan selalu melahirkan balasan? Aku memang hanya gadis kecil yang belum pernah tua, tetapi setidaknya, aku mengerti apa arti sebuah ikatan yang lebih dekat dari apapun. Ikatan darah.
            Ikatan itu tidak pernah hilang, sebelum darah yang mengalir ditubuhmu berhenti mengalir, tetapi apa gunanya semua itu jika saling menyakiti dan mengandalkan materi?
            Semenjak Ayah pergi, konflik-konflik batin itu masih saja berdatangan, tidak ada damai, tidak ada ketenangan yang sama seperti dulu, saat detak jantung beliau masih berdenyut teratur.
            Lagi-lagi setetes liquid turun dari pelupuk mataku. Aku tidak mengerti, kenapa aku bisa merasakan luka dari segelintir orang yang notabennya adalah jiwa-jiwa yang memiliki ikatan darah denganku.
            Aku tidak mengerti bagaimana semua itu bisa terjadi. Yang aku tahu, semenjak saat itu, aku selalu menangis dalam diam, tidak lagi menangisi dia yang telah pergi di keabadian, tetapi… menangisi hidupku.
            Hei, bukankah balas budi tidak akan habis? Lalu apa yang mereka harapkan dari seonggok tubuh yang telah kaku dan hilang nyawa? Apa mereka ingin menuntut balas atas kebaikan mereka di masa lalu? Apa gunanya ikatan itu eh?
            Dan, sejak saat itu, aku adalah Anastasia Vega yang pendiam dan menutup diri.
            Dingin malam, semakin menusuk tulang, tetapi aku tidak peduli, karena melihat bintang, seakan memberiku sedativum yang biasa aku dapatkan dari sekapsul Vallerianae Radix.
“Hei.”
Suara berat membuatku menghentikan sejenak aktivitasku. Takut-takut aku menoleh kearahnya. Hei, ingatkah hari telah malam? Dan mulai banyak pria hidung belang berkeliaran? Uh, salahku juga tidak segera pulang tadi.
Siluet seorang pemuda tinggi, dengan wajah tegas terlihat masih semuran denganku, ia sedang menatapku dengan senyum tipisnya. Dia memang terlalu kurus untuk ukuran laki-laki, tidak meyakinkan jika dia berbuat hal buruk kepadaku, yang lumayan jago karate ini.
Aku balas menyipit memandangnya, kemudian membuang muka, kembali menatap langit.
“Anak gadis tidak baik berkeliaran malam hari.”
“Aku tidak berkeliaran. Rumahku hanya sepuluh meter dari sini.” Ucapku dengan nada sengit.
Anak laki-laki itu hanya mengangkat bahu, kemudian tanpa permisi duduk di sebelahku, membuatku bergeser menjauh.
“Begitu ya, sambutan untuk tetangga baru disamping rumahmu?”
“Aku tidak peduli.” Sahutku, kemudian beranjak dari sana.
Pemuda itu tersenyum miring, seakan mengerti kelemahanku, dan siap menghancurkanku kapan saja. entahlah, aku tidak peduli dengan itu.
Baru dua langkah aku melangkahkan kaki, suara pemuda jangkung itu terdengar lagi. “Jangan suka menangis diam-diam, itu lebih menyakitkan dari terkena sebilah pisau.”
*
Malam-malam selanjutnya, anak laki-laki itu selalu terlihat di taman, membuatku melengos berbalik arah dari sana. Tetapi, dia mempunyai maksud lain sepertinya. Di malam itu, dengan gerakan cepat, dia menyusulku, dan mencekal lenganku. Membuatku memberikan deathglare terbaikku untuknya.
“Apa maumu Ayam?” kataku dongkol, apalagi setelah melihat model rambutnya yang hampir serupa dengan ekor ayam itu.
No, Altair. Bukan Ayam.” sahutnya tidak kalah sengit.
“Aku tidak peduli. Lagipula tatanan rambutmu memang berbentuk seperti Ayam.” Jawabku dengan melipat tangan di depan dada.
Altair, memegang rambutnya terlihat sedikit tidak terima. “Ini trend. Apa menangis membuatmu tidak mengerti mode?
Aku berdecak kesal. Membuat Altair memandangku heran. “Hei, Vega… Ah, aku mengerti namamu dari Ibumu.” Katanya ketika aku memandangnya heran, “sampai kapan kamu mau membenci jiwa-jiwa yang butuh pengampunan?”
“Tahu apa kamu tentang aku?”
Altair menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. “Semua terlihat dari sorot mata kamu, ada luka yang menganga lebar, dan aku yakin, itu sorot kebencian.”
Aku hanya memandangnya remeh, namun dia melakukan hal yang sama sekali tidak aku duga. Menepuk puncak kepalaku, seperti yang biasa Ayah lakukan dulu. Membuat rasa rindu ini menelasak ke permukaan.
“Kamu mau bercerita? Sebelumnya, aku Bonaventura Altair. Kita belum berkenalan dengan baik.”
Perlakuan pemuda itu membuatku menunduk, semakin mendorong cairan yang tidak bisa dinyana ini keluar dari pelupuk mata.
Altair menunduk, mensejajarkan wajahnya, dengan wajahku. “Kenapa menangis? Apa aku menyakitimu?”
Aku hanya menggeleng, sembari bergumam “Aku rindu Ayah.” Dengan sangat lirih.
Altair memandangku dengan tatapan khawatir. Membuatku ingat, aku menangis di depan orang yang baru saja aku kenal. Dengan gerakan cepat, aku berbalik arah, kemudian pergi meninggalkannya.
*
Malam itu tidak lagi sama, aku menemukan teropong bintang tidak bertuan di tengah-tengah semak ilalang. Dari kecil, aku selalu diajarkan untuk tidak mengambil –atau bahkan memegang- barang yang bukan milikku tanpa ijin si empunya.
Dan, aku pun kembali menatap langit malam dengan mata telanjang. “Tidak lelah memandang bintang dengan mata telanjang? Jika ada benda yang membuatnya jelas, kenapa tidak di coba?” Suara berat itu kembali mengiterupsi.
“Itu bukan milikku.”
Altair mendekat ke arah teleskop, “Ini milikku.” katanya.
“Kamu suka bintang ya? sehingga memiliki benda seperti itu?” tanyaku sedikit penasaran.
“Aku Agen dari rasi bintang Aquila.” katanya sambil terkekeh.
Aku hanya menaikan sebelah alis tidak mengerti. “Bercanda. Kamu nggak punya selera humor ya.” Katanya lagi, membuatku mengerucutkan bibir, menahan kesal. “Aku mahasiswa astronomi. Wajar jika memiliki benda-benda seperti ini. kamu mau coba?” tawarnya.
Aku hanya terdiam di tempat. Hingga tangan kokoh itu terulur, dan menuntunku tepat di depan teleskop itu. “Lihatlah.”
Aku menurut, mencoba melihat apa yang disuguhkan dengan benda itu, dan benar saja, bintang berpendar lebih terang dari yang biasa aku lihat.
“Aku tidak sepenuhnya berbohong. I’m agent from Aquila. Altair. Bintang tercerah di rasi itu.”
Tanpa sadar, sudut bibirku tertarik. Dengan perlahan, Altair membuat semua yang dulu aku tidak lagi aku lakukan, menjadi kembali ada.
“Dan kamu harusnya mengerti. Agen Vega?”
Aku memandangnya bosan, tidak mengerti apa maksudnya. Seakan mengerti keterlambatanku memahami apa yang diungkapnya, Altair, kembali menjelaskan. “Vega adalah bintang tercerah pada rasi bintang Lyra, jadi kamu adalah Agen Vega.”
Aku hanya tersenyum tipis. Tidak mengerti bagaimana harus menanggapi. Di malam yang sedingin ini, bahkan aku merasakan kehangatan tak kasat mata, yang mencoba merekatkan kembali hatiku yang telah hancur sebelumnya.
Altair kembali melempar senyum kepadaku. Hingga dia mulai menceritakan masa lalunya, masa-masa dimana dia membenci Kakak laki-lakinya hanya karena kesalahpahaman.
Kakaknya bertahun-tahun pergi tanpa kabar, membuat kebencian berdiam dari diri laki-laki itu, tetapi sesungguhnya, sang Kakak sedang banting tulang untuk mengambil kembali asset perusahaan Ayahnya, yang terancam bangkrut.
“Membenci atau dibenci itu tidak enak, jangan menyesal dilain hari,seperti yang aku alami. Kamu tidak berniat bercerita? Anastasia Vega?”
Aku menggeleng. Aku belum siap menangis dihadapan orang lain. Lagi, kata-kata Altair membuka mata hatiku, untuk apa membenci jika ada kasih yang tulus untuk diberikan kepada mereka?
“Jika belum mau cerita, menangislah.” Ucapan Altair membuatku terkesiap. “tidak apa, menangislah tidak usah dipendam sendiri.”
Tanpa dikomando lagi, air mata itu luruh, isakan kecil dariku mulai berbaur dengan bunyi jangkrik di malam itu. Entah berapa menit aku menangis. Altair masih saja memandangku teduh. Sesekali dia menepukan tangannya pada pucuk kepalaku.
Hingga dia menyodorkan sapu tangan berwarna biru kepadaku. “Untuk menghapus air matamu.” katanya. “apa sudah lega?”
Dengan perlahan aku mengangguk.
“Akan lebih lega, jika kamu mau menceritakan semuanya.”
Bibir dan hatiku, tidak bisa kompak malam ini, dengan lancar, aku menceritakan segala pergumulanku, luka batinku, kerinduanku, dan segala yang mengganggu di pikiranku pada Bonaventura Altair.
“Aku ingin menjadi tenaga tehnik farmasi, agar dapat melihat wajah-wajah para penderita kanker berbinar, jika sorot mata mereka kembali redup, aku akan memberi mereka semangat. Aku ingin mereka seperti Ayah. Selalu bersemangat, bahkan di detik terakhirnya.” ucapku parau.
Altair tersenyum lembut. “Kamu pasti bisa.” Ujarnya memberi semangat.
“Altair.” Panggilku untuk yang pertama kali. “Kenapa kamu begitu ingin aku membagi kisahku?”
Pemuda itu mengalihkan pandangan pada langit. “Mungkin, radar antara Altair, dan Vega.” katanya sambil terkekeh. Melihatku menaikan sebelah alis, dia terlihat gugup, buru-buru kembali berkata, “Karena kamu terlihat seperti manusia tidak bernyawa. Aku yakin kamu butuh tempat berbagi, tanpa kamu sendiri sadari.”
Dan, malam itu, pandanganku tentang Bonaventura Altair berubah seratus delapan puluh derajat.
*
Malam ini, aku membiarkan rambut sebahuku aku gerai. Menyebabkan angin-angin nakal sekuat tenaga menerbangkan helaian rambutku. Aku kembali melihat siluet laki-laki jangkung, sedang berkutat dengan teleskopnya.
“Sudah lama menunggu?” sapaku kemudian.
Dia menggeleng sambil tersenyum tipis. “Kamu cantik.”
Dua kata itu membuat pipiku memanas. “Gombal.” Kataku sambil mencubit lengannya.
Dia hanya terkekeh. “Bagaimana, sudah bisa mengampuni?”
Aku mengangguk. “Ya, rasanya lebih lega, beban yang aku simpan seperti hilang perlahan.”
“Bagus jika begitu, aku tidak  perlu ceramah lagi.” Sahut Altair, yang sepontan membuatku menggembungkan pipi. “Vega, kamu tahu? malam ini akan ada segitiga musim panas di langit, dimana bintang Altair, Vega, dan Deneb akan muncul.”
Aku hanya mengangguk tanda mengerti.
“Kamu jangan bersedih lagi, jadilah seperti bintang Vega yang kuat, selalu menunggu bintang Altair untuk kembali bertemu.”
Aku yang tidak paham dengan kata-katanya hanya kembali mengangguk.
“Ini sudah tiga bulan ya? kita selalu menghabiskan seperdelapan malam disini?” tanya Altair tiba-tiba.
“Iya.” sahutku singkat, tersadar telah banyak malam yang aku bunuh bersama dengannya.
Altair mendekat kepadaku, tangannya kembali terulur mengacak puncak kepalaku. Kebiasaan barunya jika aku membuatnya sedikit kesal. Pemuda itu memang berbeda dari teman laki-lakiku yang lain, ada rasa yang menyeruak dari rongga hatiku yang membuatku terkadang mati rasa, jika dia telah berada didekatku, padahal Altair bukan diazepam yang biasa digunakan untuk obat bius.
Rasa itu, yang menjadi analgesic alami dihatiku, sehingga nyeri itu tidak lagi ada, jika aku mengurai kenangan pahit. Apa ini… cinta?
“Vega.” Dia kembali memanggilku.
Altair terlihat gelisah, berulangkali mengembuskan napas tidak sabaran. “Aku sayang kamu.” Katanya cepat. Nyaris tidak ada jeda, tetapi membuatku terperangah.
“Tunggulah saat itu tiba, dan aku akan kembali, untukmu di seluruh sisa hidupku.”
Tubuh tegap itu berbaik memunggungiku, kemudian dengan langkah teratur, berjalan menjauh, tanpa menoleh sedetikpun kepadaku.
*
Esoknya, aku kembali ketempat biasa dimana kami selalu bertemu, tetapi taman itu sepi. Tidak ada sosok itu, sosok yang aku nantikan untuk aku berikan jawaban.
Aku kembali terduduk di bangku, tempat kami berbagi cerita. Hingga dua jam berlalu setelahnya. Tetapi dia tidak kunjung datang. Dengan langkah gontai, aku kembali menggiring diri menuju rumahku.
Hari-hari setelahnya, masih saja sama, dia tidak datang. Ironis, dia berkata menyayangiku, dan setelahnya, tidak lagi menampakan diri dihadapanku. Bahkan Rumahnya sepi. Membuatku yakin, dia kembali pindah. Meninggalkan kota Solo beserta semua kenangan yang terukir di dalamnya.
Aku tidak pernah lelah menunggunya, menunggu kabarnya, meski semua itu seakan hanya angan. Sekarang aku mengerti setiap ucapannya, nama kami terikat, Altair, dan Vega, bahkan kisahnya pun hampir mirip dengan apa yang terjadi sekarang. Pasangan yang diharuskan menunggu dalam ketidakpastian.
Dingin itu masih menusuk tulang, tidak seperti malam-malam hangat yang aku bunuh bersamanya, tubuhku menggigil, tetapi aku tidak peduli, karena aku tidak akan pernah lelah memberikan jawaban itu kepadanya.
“Vega, wajahmu pucat, sampai kapan kamu menghabiskan waktu disini?” suara lembut itu menginterupsiku. Itu Keyla, sahabatku.
Aku hanya menggeleng lemah. Tanda tidak mengerti.
“Ayo pulang. Bukankah besok responsi resep?”
Aku berdiri dengan gontai, lagi-lagi dia tidak muncul. Sampai kapan aku harus menunggunya?
*
Terhitung telah lima tahun berlalu semenjak hari itu, aku telah mencapai impianku, sebagai tenaga tehnik kefarmasian. Dan, masih saja menghabiskan seperdelapan malamku hanya untuk melihat bintang, dan berharap menemukan bintang altair disana.
Tidak ada kabar, aku masih saja bertahan. Aku hanya gadis penunggu kabar, menunggu terang itu, untuk kembali pulang. Tidak mengerti kapan dia akan datang, tidak mengerti dia memiliki perasaan yang masih sama atau tidak.
Yang jelas, aku menunggunya.
Dingin malam benar-benar menusuk kulitku, aku terus mengusap lenganku berupaya mencari kehangatan, hingga aku merasa sesuatu melingkupi bahu mungilku.
“Altair…” aku bergetar saat mengucap namanya. “kamu kembali.”
Mengabaikan blazer Altair yang telah jatuh dari bahuku, aku berjalan menuju Altair yang berdiri di belakang bangku.
“Maaf tidak pernah mengabarimu.” ucapnya ketika melihatku terisak.
Tangannya terulur, menghapus butiran air yang menetes dari pelupuk mataku. “Aku kembali untuk menepati janjiku. Menikahlah denganku.”
Aku menatapnya tidak percaya. Bibirku terkatup membiarkannya menjelaskan apa yang telah terjadi sebenarnya. “Mungkin aku terlihat pengecut, meninggalkanmu setelah mengungkapkan perasaan, setelah malam itu, aku kembali melanjutkan kuliah, dan mengambil S2 di Birmingham. Semata-mata agar aku layak menjadi pendampingmu kelak.”
Kepastian itu, akhirnya datang, melambungkan perasaan, dan memberi secercak kebahagiaan. Penantian ini, tidak berakhir sia-sia. Karena ketulusan itu terus melingkupi kepingan hati yang siap disatukan.
-end-

HAHAHA ini sama sekali bukan cerpen antimainstream, tetapi sangat-sangat mainstream, dimana saya kembali menghadirkan karya out of the box, dengan genre biasa, menunggu dan menggunakan anak farmasi dan astronomi di pairingnya.
ini sama sekali bukan curhat. jika first reader saya bilang ini mirip sama karya saya yang masih didalam sangkar, memang saya bikin mirip, karena......... ini sudah empat bulan, istilahnya kangeen nya saya bikin cerita yg mirip2 dengan itu.
ahh this, saya nggak ngerti harus gimana, yang jelas saya sedang menunggu sesuatu yang menurut saya, ini lebih pentin -dimasa sekarang ini- dari pada menunggu sosok Altair, sebuah mimpi yang saya sendiri nggak ngerti kapan terwujudnya.
sekian, saya nggak mau banyak omong, hehe.. semoga kalian sukaaa 
salam bintang dandelion~

0 komentar:

Posting Komentar