Kabar
Dalam Angan
*
Love can cure
heartbreaks, misfortune, or tragedy, it is the eternal companion. –Anonymus.
Surakarta,
24 Juni 2011
Langit malam masih terpampang nyata
dalam pandangan. Aku masih enggan menyeret diri dari Taman dekat rumahku.
Terang lampu temaram tidak sebanding dengan terang bintang yang sedang
berpendar di atas langit, membuatku ingin menatap keindahan itu lebih lama.
Sejak kepergian Ayah di langit senja
bulan lalu, aku semakin mentutup diri. Tidak ada lagi aku yang selalu tertawa, tidak
ada lagi aku yang sedang melucu, bahkan, tidak ada lagi aku yang tersenyum
tanpa beban. Itu semua… terlalu sulit jika kembali di lakukan.
Ayah pergi, menyerah menatap dunia
karena penyakit ganas yang perlahan menggrogoti tubuhnya. Penyakit yang
perlahan membuatku teriris jika mendengarnya. Kanker.
Penyakit itu telah merenggut
kebahagiaan, sukacita, bahkan senyuman. Ayah memang orang baik, mungkin memang
tugasnya di dunia telah selesai, sehingga dia lebih cepat menuju keabadian.
Tetapi dari kebaikan itulah yang membuatku miris ketika mengingatnya.
Ada kalanya saat aku merindukan
senyumnya, senyum yang sangat menawan karena ada lesung pipit di pipi kirinya,
bukan hanya itu, aku juga rindu suara baritonnya, bahkan, harum maskulin yang
menguar dari tubuhnya.
Aku hanya seonggok gadis yang telah
hilang kepercayaan, lagi-lagi sejak kejadian pahit itu… semua berubah. Entah
hanya sebuah perasaan yang terlalu mudah dikecap, atau memang semua benar
adanya.
Adakah saudara yang menganggap
kebaikan sebagai balas budi? Mungkin ada, mungkin juga tidak, tetapi apa
gunanya ikatan itu, jika sebuah kebaikan selalu melahirkan balasan? Aku memang
hanya gadis kecil yang belum pernah tua, tetapi setidaknya, aku mengerti apa
arti sebuah ikatan yang lebih dekat dari apapun. Ikatan darah.
Ikatan itu tidak pernah hilang,
sebelum darah yang mengalir ditubuhmu berhenti mengalir, tetapi apa gunanya
semua itu jika saling menyakiti dan mengandalkan materi?
Semenjak Ayah pergi, konflik-konflik
batin itu masih saja berdatangan, tidak ada damai, tidak ada ketenangan yang
sama seperti dulu, saat detak jantung beliau masih berdenyut teratur.
Lagi-lagi setetes liquid turun dari pelupuk mataku. Aku
tidak mengerti, kenapa aku bisa merasakan luka dari segelintir orang yang
notabennya adalah jiwa-jiwa yang memiliki ikatan darah denganku.
Aku tidak mengerti bagaimana semua
itu bisa terjadi. Yang aku tahu, semenjak saat itu, aku selalu menangis dalam
diam, tidak lagi menangisi dia yang telah pergi di keabadian, tetapi… menangisi
hidupku.
Hei, bukankah balas budi tidak akan
habis? Lalu apa yang mereka harapkan dari seonggok tubuh yang telah kaku dan
hilang nyawa? Apa mereka ingin menuntut balas atas kebaikan mereka di masa
lalu? Apa gunanya ikatan itu eh?
Dan, sejak saat itu, aku adalah Anastasia
Vega yang pendiam dan menutup diri.
Dingin
malam, semakin menusuk tulang, tetapi aku tidak peduli, karena melihat bintang,
seakan memberiku sedativum yang biasa aku dapatkan dari sekapsul Vallerianae Radix.
“Hei.”
Suara berat membuatku menghentikan sejenak
aktivitasku. Takut-takut aku menoleh kearahnya. Hei, ingatkah hari telah malam?
Dan mulai banyak pria hidung belang berkeliaran? Uh, salahku juga tidak segera
pulang tadi.
Siluet seorang pemuda tinggi, dengan wajah tegas
terlihat masih semuran denganku, ia sedang menatapku dengan senyum tipisnya.
Dia memang terlalu kurus untuk ukuran laki-laki, tidak meyakinkan jika dia
berbuat hal buruk kepadaku, yang lumayan jago karate ini.
Aku balas menyipit memandangnya, kemudian membuang
muka, kembali menatap langit.
“Anak gadis tidak baik berkeliaran malam hari.”
“Aku tidak berkeliaran. Rumahku hanya sepuluh meter
dari sini.” Ucapku dengan nada sengit.
Anak laki-laki itu hanya mengangkat bahu, kemudian
tanpa permisi duduk di sebelahku, membuatku bergeser menjauh.
“Begitu ya, sambutan untuk tetangga baru disamping
rumahmu?”
“Aku tidak peduli.” Sahutku, kemudian beranjak dari
sana.
Pemuda itu tersenyum miring, seakan mengerti
kelemahanku, dan siap menghancurkanku kapan saja. entahlah, aku tidak peduli
dengan itu.
Baru dua langkah aku melangkahkan kaki, suara pemuda
jangkung itu terdengar lagi. “Jangan suka menangis diam-diam, itu lebih
menyakitkan dari terkena sebilah pisau.”
*
Malam-malam selanjutnya, anak laki-laki itu selalu
terlihat di taman, membuatku melengos berbalik arah dari sana. Tetapi, dia
mempunyai maksud lain sepertinya. Di malam itu, dengan gerakan cepat, dia
menyusulku, dan mencekal lenganku. Membuatku memberikan deathglare terbaikku untuknya.
“Apa maumu Ayam?” kataku dongkol, apalagi setelah
melihat model rambutnya yang hampir serupa dengan ekor ayam itu.
“No,
Altair. Bukan Ayam.” sahutnya tidak kalah sengit.
“Aku tidak peduli. Lagipula tatanan rambutmu memang
berbentuk seperti Ayam.” Jawabku dengan melipat tangan di depan dada.
Altair, memegang rambutnya terlihat sedikit tidak
terima. “Ini trend. Apa menangis membuatmu tidak mengerti mode?”
Aku berdecak kesal. Membuat Altair memandangku
heran. “Hei, Vega… Ah, aku mengerti namamu dari Ibumu.” Katanya ketika aku
memandangnya heran, “sampai kapan kamu mau membenci jiwa-jiwa yang butuh
pengampunan?”
“Tahu apa kamu tentang aku?”
Altair menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak
gatal. “Semua terlihat dari sorot mata kamu, ada luka yang menganga lebar, dan
aku yakin, itu sorot kebencian.”
Aku hanya memandangnya remeh, namun dia melakukan
hal yang sama sekali tidak aku duga. Menepuk puncak kepalaku, seperti yang
biasa Ayah lakukan dulu. Membuat rasa rindu ini menelasak ke permukaan.
“Kamu mau bercerita? Sebelumnya, aku Bonaventura
Altair. Kita belum berkenalan dengan baik.”
Perlakuan pemuda itu membuatku menunduk, semakin
mendorong cairan yang tidak bisa dinyana ini keluar dari pelupuk mata.
Altair menunduk, mensejajarkan wajahnya, dengan
wajahku. “Kenapa menangis? Apa aku menyakitimu?”
Aku hanya menggeleng, sembari bergumam “Aku rindu
Ayah.” Dengan sangat lirih.
Altair memandangku dengan tatapan khawatir.
Membuatku ingat, aku menangis di depan orang yang baru saja aku kenal. Dengan
gerakan cepat, aku berbalik arah, kemudian pergi meninggalkannya.
*
Malam itu tidak lagi sama, aku menemukan teropong
bintang tidak bertuan di tengah-tengah semak ilalang. Dari kecil, aku selalu
diajarkan untuk tidak mengambil –atau bahkan memegang- barang yang bukan
milikku tanpa ijin si empunya.
Dan, aku pun kembali menatap langit malam dengan
mata telanjang. “Tidak lelah memandang bintang dengan mata telanjang? Jika ada
benda yang membuatnya jelas, kenapa tidak di coba?” Suara berat itu kembali
mengiterupsi.
“Itu bukan milikku.”
Altair mendekat ke arah teleskop, “Ini milikku.”
katanya.
“Kamu suka bintang ya? sehingga memiliki benda
seperti itu?” tanyaku sedikit penasaran.
“Aku Agen dari rasi bintang Aquila.” katanya sambil
terkekeh.
Aku hanya menaikan sebelah alis tidak mengerti.
“Bercanda. Kamu nggak punya selera humor ya.” Katanya lagi, membuatku
mengerucutkan bibir, menahan kesal. “Aku mahasiswa astronomi. Wajar jika
memiliki benda-benda seperti ini. kamu mau coba?” tawarnya.
Aku hanya terdiam di tempat. Hingga tangan kokoh itu
terulur, dan menuntunku tepat di depan teleskop itu. “Lihatlah.”
Aku menurut, mencoba melihat apa yang disuguhkan
dengan benda itu, dan benar saja, bintang berpendar lebih terang dari yang
biasa aku lihat.
“Aku tidak sepenuhnya berbohong. I’m agent from Aquila. Altair. Bintang
tercerah di rasi itu.”
Tanpa sadar, sudut bibirku tertarik. Dengan
perlahan, Altair membuat semua yang dulu aku tidak lagi aku lakukan, menjadi
kembali ada.
“Dan kamu harusnya mengerti. Agen Vega?”
Aku memandangnya bosan, tidak mengerti apa
maksudnya. Seakan mengerti keterlambatanku memahami apa yang diungkapnya,
Altair, kembali menjelaskan. “Vega adalah bintang tercerah pada rasi bintang
Lyra, jadi kamu adalah Agen Vega.”
Aku hanya tersenyum tipis. Tidak mengerti bagaimana
harus menanggapi. Di malam yang sedingin ini, bahkan aku merasakan kehangatan
tak kasat mata, yang mencoba merekatkan kembali hatiku yang telah hancur
sebelumnya.
Altair kembali melempar senyum kepadaku. Hingga dia
mulai menceritakan masa lalunya, masa-masa dimana dia membenci Kakak
laki-lakinya hanya karena kesalahpahaman.
Kakaknya bertahun-tahun pergi tanpa kabar, membuat
kebencian berdiam dari diri laki-laki itu, tetapi sesungguhnya, sang Kakak
sedang banting tulang untuk mengambil kembali asset perusahaan Ayahnya, yang
terancam bangkrut.
“Membenci atau dibenci itu tidak enak, jangan
menyesal dilain hari,seperti yang aku alami. Kamu tidak berniat bercerita?
Anastasia Vega?”
Aku menggeleng. Aku belum siap menangis dihadapan
orang lain. Lagi, kata-kata Altair membuka mata hatiku, untuk apa membenci jika
ada kasih yang tulus untuk diberikan kepada mereka?
“Jika belum mau cerita, menangislah.” Ucapan Altair
membuatku terkesiap. “tidak apa, menangislah tidak usah dipendam sendiri.”
Tanpa dikomando lagi, air mata itu luruh, isakan
kecil dariku mulai berbaur dengan bunyi jangkrik di malam itu. Entah berapa
menit aku menangis. Altair masih saja memandangku teduh. Sesekali dia menepukan
tangannya pada pucuk kepalaku.
Hingga dia menyodorkan sapu tangan berwarna biru
kepadaku. “Untuk menghapus air matamu.” katanya. “apa sudah lega?”
Dengan perlahan aku mengangguk.
“Akan lebih lega, jika kamu mau menceritakan
semuanya.”
Bibir dan hatiku, tidak bisa kompak malam ini,
dengan lancar, aku menceritakan segala pergumulanku, luka batinku, kerinduanku,
dan segala yang mengganggu di pikiranku pada Bonaventura Altair.
“Aku ingin menjadi tenaga tehnik farmasi, agar dapat
melihat wajah-wajah para penderita kanker berbinar, jika sorot mata mereka
kembali redup, aku akan memberi mereka semangat. Aku ingin mereka seperti Ayah.
Selalu bersemangat, bahkan di detik terakhirnya.” ucapku parau.
Altair tersenyum lembut. “Kamu pasti bisa.” Ujarnya
memberi semangat.
“Altair.” Panggilku untuk yang pertama kali. “Kenapa
kamu begitu ingin aku membagi kisahku?”
Pemuda itu mengalihkan pandangan pada langit.
“Mungkin, radar antara Altair, dan Vega.” katanya sambil terkekeh. Melihatku
menaikan sebelah alis, dia terlihat gugup, buru-buru kembali berkata, “Karena
kamu terlihat seperti manusia tidak bernyawa. Aku yakin kamu butuh tempat
berbagi, tanpa kamu sendiri sadari.”
Dan, malam itu, pandanganku tentang Bonaventura
Altair berubah seratus delapan puluh derajat.
*
Malam ini, aku membiarkan rambut sebahuku aku gerai.
Menyebabkan angin-angin nakal sekuat tenaga menerbangkan helaian rambutku. Aku
kembali melihat siluet laki-laki jangkung, sedang berkutat dengan teleskopnya.
“Sudah lama menunggu?” sapaku kemudian.
Dia menggeleng sambil tersenyum tipis. “Kamu
cantik.”
Dua kata itu membuat pipiku memanas. “Gombal.”
Kataku sambil mencubit lengannya.
Dia hanya terkekeh. “Bagaimana, sudah bisa
mengampuni?”
Aku mengangguk. “Ya, rasanya lebih lega, beban yang
aku simpan seperti hilang perlahan.”
“Bagus jika begitu, aku tidak perlu ceramah lagi.” Sahut Altair, yang sepontan
membuatku menggembungkan pipi. “Vega, kamu tahu? malam ini akan ada segitiga
musim panas di langit, dimana bintang Altair, Vega, dan Deneb akan muncul.”
Aku hanya mengangguk tanda mengerti.
“Kamu jangan bersedih lagi, jadilah seperti bintang
Vega yang kuat, selalu menunggu bintang Altair untuk kembali bertemu.”
Aku yang tidak paham dengan kata-katanya hanya kembali
mengangguk.
“Ini sudah tiga bulan ya? kita selalu menghabiskan
seperdelapan malam disini?” tanya Altair tiba-tiba.
“Iya.” sahutku singkat, tersadar telah banyak malam
yang aku bunuh bersama dengannya.
Altair mendekat kepadaku, tangannya kembali terulur
mengacak puncak kepalaku. Kebiasaan barunya jika aku membuatnya sedikit kesal.
Pemuda itu memang berbeda dari teman laki-lakiku yang lain, ada rasa yang
menyeruak dari rongga hatiku yang membuatku terkadang mati rasa, jika dia telah
berada didekatku, padahal Altair bukan diazepam yang biasa digunakan untuk obat
bius.
Rasa itu, yang menjadi analgesic alami dihatiku, sehingga nyeri itu tidak lagi ada, jika
aku mengurai kenangan pahit. Apa ini… cinta?
“Vega.” Dia kembali memanggilku.
Altair terlihat gelisah, berulangkali mengembuskan
napas tidak sabaran. “Aku sayang kamu.” Katanya cepat. Nyaris tidak ada jeda,
tetapi membuatku terperangah.
“Tunggulah saat itu tiba, dan aku akan kembali,
untukmu di seluruh sisa hidupku.”
Tubuh tegap itu berbaik memunggungiku, kemudian
dengan langkah teratur, berjalan menjauh, tanpa menoleh sedetikpun kepadaku.
*
Esoknya, aku kembali ketempat biasa dimana kami
selalu bertemu, tetapi taman itu sepi. Tidak ada sosok itu, sosok yang aku
nantikan untuk aku berikan jawaban.
Aku kembali terduduk di bangku, tempat kami berbagi
cerita. Hingga dua jam berlalu setelahnya. Tetapi dia tidak kunjung datang.
Dengan langkah gontai, aku kembali menggiring diri menuju rumahku.
Hari-hari setelahnya, masih saja sama, dia tidak
datang. Ironis, dia berkata menyayangiku, dan setelahnya, tidak lagi menampakan
diri dihadapanku. Bahkan Rumahnya sepi. Membuatku yakin, dia kembali pindah.
Meninggalkan kota Solo beserta semua kenangan yang terukir di dalamnya.
Aku tidak pernah lelah menunggunya, menunggu
kabarnya, meski semua itu seakan hanya angan. Sekarang aku mengerti setiap
ucapannya, nama kami terikat, Altair, dan Vega, bahkan kisahnya pun hampir
mirip dengan apa yang terjadi sekarang. Pasangan yang diharuskan menunggu dalam
ketidakpastian.
Dingin itu masih menusuk tulang, tidak seperti
malam-malam hangat yang aku bunuh bersamanya, tubuhku menggigil, tetapi aku
tidak peduli, karena aku tidak akan pernah lelah memberikan jawaban itu
kepadanya.
“Vega, wajahmu pucat, sampai kapan kamu menghabiskan
waktu disini?” suara lembut itu menginterupsiku. Itu Keyla, sahabatku.
Aku hanya menggeleng lemah. Tanda tidak mengerti.
“Ayo pulang. Bukankah besok responsi resep?”
Aku berdiri dengan gontai, lagi-lagi dia tidak
muncul. Sampai kapan aku harus menunggunya?
*
Terhitung telah lima tahun berlalu semenjak hari
itu, aku telah mencapai impianku, sebagai tenaga tehnik kefarmasian. Dan, masih
saja menghabiskan seperdelapan malamku hanya untuk melihat bintang, dan
berharap menemukan bintang altair disana.
Tidak ada kabar, aku masih saja bertahan. Aku hanya
gadis penunggu kabar, menunggu terang itu, untuk kembali pulang. Tidak mengerti
kapan dia akan datang, tidak mengerti dia memiliki perasaan yang masih sama
atau tidak.
Yang jelas, aku menunggunya.
Dingin malam benar-benar menusuk kulitku, aku terus
mengusap lenganku berupaya mencari kehangatan, hingga aku merasa sesuatu
melingkupi bahu mungilku.
“Altair…” aku bergetar saat mengucap namanya. “kamu
kembali.”
Mengabaikan blazer
Altair yang telah jatuh dari bahuku, aku berjalan menuju Altair yang berdiri di
belakang bangku.
“Maaf tidak pernah mengabarimu.” ucapnya ketika
melihatku terisak.
Tangannya terulur, menghapus butiran air yang
menetes dari pelupuk mataku. “Aku kembali untuk menepati janjiku. Menikahlah
denganku.”
Aku menatapnya tidak percaya. Bibirku terkatup
membiarkannya menjelaskan apa yang telah terjadi sebenarnya. “Mungkin aku
terlihat pengecut, meninggalkanmu setelah mengungkapkan perasaan, setelah malam
itu, aku kembali melanjutkan kuliah, dan mengambil S2 di Birmingham.
Semata-mata agar aku layak menjadi pendampingmu kelak.”
Kepastian itu, akhirnya datang, melambungkan
perasaan, dan memberi secercak kebahagiaan. Penantian ini, tidak berakhir
sia-sia. Karena ketulusan itu terus melingkupi kepingan hati yang siap
disatukan.
-end-
HAHAHA ini sama sekali bukan cerpen antimainstream, tetapi sangat-sangat mainstream, dimana saya kembali menghadirkan karya out of the box, dengan genre biasa, menunggu dan menggunakan anak farmasi dan astronomi di pairingnya.
ini sama sekali bukan curhat. jika first reader saya bilang ini mirip sama karya saya yang masih didalam sangkar, memang saya bikin mirip, karena......... ini sudah empat bulan, istilahnya kangeen nya saya bikin cerita yg mirip2 dengan itu.
ahh this, saya nggak ngerti harus gimana, yang jelas saya sedang menunggu sesuatu yang menurut saya, ini lebih pentin -dimasa sekarang ini- dari pada menunggu sosok Altair, sebuah mimpi yang saya sendiri nggak ngerti kapan terwujudnya.
sekian, saya nggak mau banyak omong, hehe.. semoga kalian sukaaa
salam bintang dandelion~
0 komentar:
Posting Komentar