Secret Memory in Brimingham
Birmingham, England. 1902.
*
Gurat senja masih saja menghias
langit. Namun, tetap saja terasa berbeda. Meski di bawah langit yang sama, aku
merasa kehampaan yang amat sangat hari ini. Birmingham University.
Menjadi pilihanku menuntut ilmu dalam segala keterbatasan.
Aku adalah orang Hindia-Belanda,
sehingga aku memiliki kulit sawo matang, iris hitam tajam, juga rambut sehitam
batu obsidian, membuatku sangat terlihat berbeda disini. Tidak hanya itu, tidak
satupun dari temanku, tidak mengerti dimana negaraku, karena, negaraku masih
saja terjajah.
Ironis,
ketika setiap jiwa yang berada disana, memberikan seluruh yang mereka punya
untuk satu harapan. harapan untuk kebebasan, tetapi aku disini merasakan
ketenangan, yang bahkan mereka belum pernah sedetikpun merasakannya.
Orang
bilang aku keturunan ningrat. Orang terpandang, tidak layak merasakan
penderitaan. Sehingga aku ‘diasingkan’ kemari bersama keluargaku. Namun,
sejatinya, aku sama seperti mereka. Seonggok manusia yang ingin negaranya bebas
dari tawanan.
Aku
kembali berjalan menyusuri tembok bata merah milik Birmingham
University. Berjalan dengan langkah lambat, karena
gaun merah mudaku yang berlapis lima kain, terasa berat di tubuhku. Bahkan, di
saat seperti ini, aku memilih menggunakan kebaya.
“Kemala?
Sudah berkeliling?” ucap seorang gadis berambut pirang, dengan logat inggrisnya
yang kental.
Dia,
Patricia. Teman pertamaku di Negara ini. aku mengangguk, membalas
pertanyaannya.
“Bagaimana
kabar negaramu?”
Seketika
aku menunduk raut wajahku berubah murung. Terakhir yang aku dengar, semakin
banyak korban berjatuhan, juga semakin keruhnya suasana. Fasilitas yang
diberikan para penguasa ditarik, semakin membuat para pribumi terombang-ambing
dalam penderitaan yang tidak menentu.
“Aku
rasa… semakin buruk.” Sahutku.
Patricia
menepuk pelan bahuku. Dia menatapku iba. “Berhentilah berwajah murung. Kamu
disini, juga untuk mereka kan? Mencari lantunan ilmu, agar kelak di negaramu
banyak musisi hebat, setara Mozart
atau Beethoven.”
Aku
tersenyum tipis, sembari mendongakkan wajah, hingga tanpa sengaja iris hitamku
berserobok dengan iris hitam yang serupa denganku. Tersadar, pemilik mata indah
itu berjalan kearahku. Seorang pemuda yang juga memiliki rambut hitam yang sama
dengan milikku. Hanya saja, perawakan tinggi dan hidung yang begitu mancung.
Membuatku ragu dengan hipotesa awalku, bahwa dia, juga orang Asia sama sepertiku.
“Pat,
you know him?” bisikku pada Patricia
yang sibuk dengan buku not balok
miliknya.
“Gabriel?
As far as I know, Ayahnya dari Birmingham, seorang saudagar rempah-rempah,
sedang Ibunya, orang asli Hindia-Belanda. Jangan heran jika kalian memiliki
kesamaan fisik.”
Aku
mengangguk tanda mengerti. Setidaknya, aku sedikit tenang mengetahui aku bukan
satu-satunya pemilik rambut hitam disini.
*
Hari
semakin larut, aku menggiring diri menuju Victoria
Square.Yang pada awalnya bernama Council
House Square, namun sejak 10 Januari tahun lalu, berubah nama menjadi Victoria Square, untuk menghormati Ratu
Victoria.
Aku
mendudukan diri, tepat di depan The River
Fountain, salah satu bagian dari Victoria
Square yang sering digunakan untuk bersantai. Aku kembali membuka catatanku
yang telah berisi karya-karya Mozart yang harus ku pelajari. Hingga seorang
yang duduk di sampingku, membuatku menolehkan kepala.
Gabriel
duduk dengan gagah, dan sedang bersiap meniup saxophone miliknya. Membuatku jantungku berhenti berdetak untuk
sementara. Apa efek kaget separah ini?
“Mahasiswa
Musik kan?”
Suara
baritone laki-laki itu, membuatku lupa cara bernafas. Karena dia mengatakannya
dalam bahasa Indonesia.
“Bagaimana
kamu—“
Belum
sempat aku menyelesaikan perkataanku, laki-laki itu kembali bersuara.
“Rambutmu, warna matamu. Seperti milik Ibu, membuatku yakin, kamu orang
Hindia-Belanda sepertinya.”
Aku
hanya mengangguk tanda mengerti. Tidak mengerti harus bicara bagaimana, aku
memilih bungkam. Hingga Gabriel kembali berkata, “Aku memang bukan orang asli
Hindia-Belanda. Tetapi Ibu selalu bercerita banyak tentang negaranya, mendengar
ceritanya… aku berniat memperjuangkan kebebasan mereka.”
Aku
menolehkan kepala ke kanan, mentap wajah kokoh yang terlihat begitu sempurna
dimataku. Gabriel tersenyum tipis, mulai meniup saxophone-nya, melantunkan Symphoni
in A Major milik musisi legendaris Mozart.
Nada
yang dilantunkannya terdengar begitu sempurna, dia benar-benar membuatku hanyut
dengan alunan saxophone-nya. Dan, aku
kembali tersadar ketika pemuda itu menghentikan permainannya.
“Kita
belum berkenalan. Aku Gabriel Aldrich. Sepertinya, kita satu kelas, tetapi
jarang memperhatikan.”
Malu-malu
aku kembali menatap iris hitam yang terasa memiliki black hole itu. “Kemala Wulandari.”
Sekilas
Gabriel melirik buku yang sedari tadi aku genggam. “Belajar simfoni Mozart
juga?” tanggapnya.
Aku
mengangguk saja.
“Kenapa,
tidak langsung dipraktekan dengan alat musik?” dia kembali bertanya.
“Itu…”
aku memandangnya gugup, tujuan awalku yang sebenarnya hanya mencari udara segar
dan ketenangan alami.
Gabriel
memandangku dengan dahi berkerut, meminta penjelasanku dengan segera. “Biolaku
ketinggalan.”
Pemuda
berawakan tinggi itu menarik sudut bibirnya. “Kamu mahir bermain biola?”
Aku
mengangguk sekenanya. “Ya, meski aku juga bisa alat musik tradisional.”
Gabriel
meletakan saxophone-nya, kemudian
kembali bertukar kata denganku. “Alat tradisional apa?”
“Gamelan.
Kamu tahu?”
Dia
menggeleng. “Tidak,” sahutnya. “Tetapi aku tidak akan menolak jika kamu
mengajariku memainkannya suatu saat.”
Aku
tersenyum tipis. “Tentu saja, tetapi itu membutuhkan waktu yang lama, kamu tahu
kenapa…”
Pemuda
itu bangkit, dengan gerakan lambat, menepuk pelan puncak kepalaku, membuatku
terperangah, dan mengeluarkan semburat merah muda tipis pada kedua pipi
tembamku.
“Jangan
terlalu dipikirkan, yang harusnya kita lakukan disini, adalah memperjuangkan
mereka dengan segala yang kita bisa.” Ucapnya dengan senyum memikat.
Gabriel
yang telah memunggungiku, kembali menghadap kepadaku. “Besok, aku tunggu di
aula, aku ingin mendengarkan gesekan merdu dari biolamu. Sampai jumpa…”
Punggung
Gabriel mulai menjauh, begitupun sedativum
tidak kasat mata yang baru saja aku rasakan. Apa mungkin aku jatuh cinta
hanya dalam kurun waktu sehari?
*
Aku
mempercepat langkah menuju aula belakang, gaun ini benar-benar merepotkan,
terasa berat di bagian pinggul, membuatku berjalan seperti kura-kura saja.
Belum
sempat aku membuka kenop pintu, aku mendengar alunan lembut dari harmonika,
seketika aku yakin, siapa pemilik nada indah itu. Gabriel.
Hingga
dengan segenap keberanian, aku mulai membuka daun pintu yang berukuran dua kali
lebih besar dari pintu-pintu yang ada di Kerajaan.
“Sudah
lama menunggu?” sapaku.
“Tidak
juga.”
Aku
hanya tersenyum tipis, mengangkat biolaku yang sedari tadi aku genggam,
kemudian meletakannya pada bahu. Mulai melantunkan Concerto 37 yang merupakan milik Mozart.
Selama
berberapa menit, aku merasa Gabriel menatapku nyalang. Membuatku gugup, dan
melakukan sedikit kesalahan, sehingga berberapa nada terdengar fals. Lagi-lagi Gabriel melangkahkan
kaki kearahku, tersenyum tipis, sembari menggenggam tanganku yang sedang
memegang Screw pada Bow, tongkat Biola.
“Lakukan
dengan lebih rileks, pasti akan terdengar lebih indah.” Nasihatnya.
Aku
hanya diam, bagaimana bisa rileks, jika dia sendiri yang membuatku gugup
setengah mati seperti ini?
Kembali
melantunkan nada, aku memilih menutup mata, mengabaikan wajah Gabriel yang
mungkin hanya terpaut lima jengkal dari wajahku. Merasakan keindahan Concerto 37 milik Mozart, yang begitu
mengagumkan.
Hingga
tepukan tangan kembali membuatku terbangun dari alam bawah sadar. “Kamu hebat.”
Gabriel memujiku, dan kembali menepuk pucuk kepalaku. Jika seperti ini, aku telah
benar-benar jatuh dalam pesonanya.
*
Hari-hari
setelah itu, aku dan Gabriel terlihat semakin dekat, dia selalu mendengar keluh
kesahku, mimpiku untuk negaraku, bahkan mengusap tangisku. Dia ada ketika aku
terpuruk.
Kami
berteman bukan hanya untuk sekedar berbagi, tetapi juga saling melengkapi, dan
bertukar pikiran. Sehingga tidak jarang, meskipun kami adalah mahasiswa perantauan, kami selalu mendapatkan
nilai cumclaude disetiap ujian.
Terhitung
ini sudah tahun kelima aku mengenalnya. Tersadar, rasa ini telah tertanam kuat,
bahkan telah tumbuh dan berbuah. Aku mencintainya, mencintainya saat dia
bermain musik, saat dia menyeringai jahil, bahkan saat dia termenung memikirkan
sesuatu yang tidak aku mengerti.
Ingin
aku berteriak, mengutarakan rasa ini, tetapi aku tidak ingin menodai
persahabatan kami, seharusnya, aku mengerti sejak awal, tidak ada satupun
persahabatan yang sempurna, antara laki-laki dan perempuan. Sehingga, aku
memilih memendamnya di sudut hati yang paling dalam hingga sekarang.
“Kemala.”
Dia memanggil namaku, saat kami berada di Victoria
Square. Tempat yang mempertemukan kami pertama kali.
“Ya?”
“Menurutmu,
bagaimana dengan dua orang yang saling mencinta, tetapi tidak bisa bersama?”
dia bertanya dengan raut resah.
“Itu
menyedihkan. Tetapi, mungkin di kehidupan lain, mereka akan bersatu jika sang
pencipta telah mengikat mereka di kehidupan baru. Kenapa bertanya seperti itu?”
Gabriel
hanya menggeleng. Berulang kali dia mengembuskan napas tidak sabaran, membuatku
mengrenyit heran.
“Kamu
kenapa?” tanyaku, sambil menyerahkan kotak makanan pada Gabriel.
“Kenapa
kamu begitu baik kepadaku? Padahal aku tidak sebaik itu.” ucap laki-laki itu
dengan pandangan kosong.
“Aku
tidak mengerti.” Sahutku.
Dia
menatapku nyalang. “Sudah jawab saja.”
Aku
menghela napas. Apa ini saatnya aku mengungkapkan perasaanku? Jika iya, aku
tidak mau kisahku ini berakhir menyedihkan. “Aku menyayangimu.”
Gabriel
terperangah, iris matanya membulat, seakan tidak percaya dengan apa yang aku
ungkapkan. Hingga seorang gadis berambut serupa denganku, menghampiri kami.
Tersenyum manis kearah Gabriel, lalu memeluk lengan kokoh itu.
Gadis
itu tersenyum juga kearahku. Tetapi entah kenapa itu terasa begitu menyakitkan.
“Hai, aku Gayatri, tunangan Gabriel.”
Gabriel
menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Dengan langkah teratur, aku
berjalan mundur. Sembari berucap lirih. “Ada sesuatu yang harus aku kerjakan.
Semoga kalian selalu bahagia, sampai jumpa.”
Hidupku,
selalu tidak bisa ditebak, setelah kehadiran tunangan Gabriel, kami seakan
semakin menjauh. Tetapi dengan begitu, tetap saja aku tidak bisa menghapus
bayangnya dari benakku.
Ironis,
aku berkata, bahwa aku menyayanginya, tetapi aku tidak pernah mengerti
perasaannya. Tidak mengerti segala kebaikan yang dia lakukan, dan kenapa tangan
kokoh itu selalu mengusap tetesan air yang mengalir di pipiku.
Aku
mengenalnya, tetapi aku tidak mengerti dirinya. Jika dianalogikan, Gabriel
seperti lukisan, terlihat indah, tetapi hanya dapat dilihat dengan satu sisi,
tidak mengerti dibelakang bingkai menguntai misteri.
Hingga
kelulusanku dari Universitas Birmingham.
Kami berdua bahkan terlihat tidak pernah saling mengenal. Dan, surat terakhir dari
Ibu membuatku semakin yakin, bahwa dia bukan takdirku.
Keluargaku
telah kembali sejak tiga tahun lalu, dan sejak saat itu, Gabriel yang selalu
mengisi hariku. Sungguh menyedihkan, aku telah berjanji, akan mengajarinya,
cara bermain gamelan, tetapi sekarang, kudapati dia, tidak melirik sedikitpun
ke arahku.
Kepulanganku,
ke negeri penuh gejolak itu tinggal menghitung hari. Aku akan dinikahkan dengan
pemuda keturunan ningrat dari kerajaan lain. Aku bahkan belum pernah sekalipun
bertemu dengan calon suamiku. Tetapi apa yang bisa aku lalukan? Menjadi seorang
putri kerajaan, selalu terikat dengan peraturan. Seharusnya aku juga tahu,
seorang putri… tidak boleh sedikitpun mengenal cinta, karena pada akhirnya,
jalan hidupnya telah ditentukan.
Percuma,
ketika cinta itu ada, tetapi terasa hambar. Sia-sia saja, ketika cinta itu bisa
dirasa, tetapi tidak sanggup mengutarakan kepastian. Hidup penuh gejolak, dan
Kemala Wulandari, harus mengerti konsekuensinya.
Gabriel
mungkin bukan takdirku di kehidupan ini, tetapi… jika sebenarnya sang pencipta
telah mengikat kami, mungkin, di kehidupan yang lain, kami akan kembali
bersama.
*
And the life has just began again..
London Marylebone Station, 2014.
Gadis
dengan sepatu converse berwarna
coklat itu mengencangkan pacuan larinya di
antara ramai stasiun Marylebone,
tidak ingin ketinggalan kereta
tujuan Birmingham, kota yang sudah menahun tak ia
kunjungi.
Setelah membeli satu tiket Chiltern Railways, gadis itu
berjalan kecil-kecil menuju antrian yang mulai padat ditiap-tiap pintu masuk
kereta. Sesuatu
beraroma wangi perlahan menyeruak masuk melalui indra penciumannya. Kemala,
gadis itu menoleh sekilas dibalik bahu, ia mendapati seseorang lain berdiri
dibelakangnya juga dengan
selembar tiket yang sama, dan aroma wangi itu berasal dari
makanan yang sepertinya sedang berusaha dihabiskan. Apa itu? Scones?
Yokshire atau? Bagaimana bisa dia mendapatkan camilan seperti
itu di stasiun? Eh? Kenapa pula Kemala
harus bersikeras mengeja aroma wangi itu.. perutnya sudah tidak bisa di
toleransi ternyata.
Giliran
Kemala yang melakukan check in, ia
sempat mengernyit bingung ketika petugas di depannya justru mengalihkan
pandangan pada deretan lain dibelakang Kemala. Dan yang Kemala lihat petugas
itu menudingkan telunjuknya sambil berkata tegas namun tetap berusaha sopan, “Just take off your food, Sir.”
Kemala
akhirnya tidak tahan untuk menoleh, ternyata
pemilik makanan beraroma wangi itu seorang pemuda yang... sepertinya sebaya
dengan dirinya. Pemuda itu mengenakan polo shirt putih, sebuah jacket kulit berwarna
hitam, celana jeans dan sebuah sneakers putih. Kemala tidak menemukan ekspresi
matanya karena
tertutupi sebuah eyeglassess hitam.
Mungkin kalau Kemala tebak, pemuda itu tengah melempar pelototan pada si
petugas karena mengganggu kegiatan makannya.
Tidak
berselang lama, pemuda itu kembali dengan tangan kosong, dan kini giliran ia
yang melakukan check in tiket, sementara Kemala segera bergegas
pergi. Meninggalkan sebuah kebetulan yang sebenarnya akan menjadi sebuah permulaan.
*
Kereta yang ditumpangi Kemala akhirnya menempi di
Birmingham New Street Station,
setelah menempuh perjalanan hampir dua jam dari London– Birmingham.
Gadis itu hanya membawa sebuah ransel kecil, dan sebuah
buklet di tangannya. Cover buklet
tersebut bertuliskan, University of
Birmingham. Senyumnya mengembang ketika bangunan berwarna merah bata itu
terpampang nyata di kedua matanya.
Tidak berselang lama, seorang gadis bule sebaya dengannya
berlari menghampiri Kemala yang masih mematung di depan gedung utama, gadis itu
Alice, cucu salah satu dosen senior di universitas ini, sekaligus teman Kemala
selama ia tinggal di Birmingham.
“Hi Kemala, long time no see! Look at yourself, how
beautiful you are. Oh Damn! I really miss you!”
Kemala hanya membalas seruan Alice dengan pelukkan. Iya,
Kemala memang pernah tinggal beberapa tahun di kota ini, dan Alice adalah teman
pertama yang ia miliki ketika beranjak remaja. Sayang, karena faktor keluarga,
Kemala harus melanjutkan sekolah tingkat atas di negara keluarganya, Indonesia.
“I’m so glad to see
you again, Alice.” Kemala mengucapkan itu ketika pelukkan mereka mengendur.
“Jadi bagaimana perjalanmu dari Indonesia ke Inggris?”
tanya Alice.
“Not bad.
Meskipun aku masih memiliki paranoid terhadap ketinggian. Kamu tahu, aku lebih
baik melakukan perjalanan menggunakan kereta selama ratusan jam dibandingkan
harus naik pesawat. But, yea I enjoy the
trip.”
Alice hanya tertawa mendengar celotehan Kemala.
“Jadi bagaimana dengan Profesor?” Kemala akhirnya ingat
tujuan utamanya mengunjungi Birmingham, Profesor John Wayne, guru besar
University of Birmingham, tibat-tiba mengundangnya melalui Alice.
Alice mengedikkan bahu sekali, “Tidak tahu. Aku sudah
menghubungi kakek tua itu beberapa jam lalu. Tapi sepertinya dia masih sibuk
dengan kelas musiknya. Kamu tahu, akhir semester ini akan ada drama musikal
tahunan yang diselenggarakan oleh kampus, dan kakek terlihat sibuk sekali.”
Kemala sempat tertawa geli ketika mendengar Alice mencela
kakeknya sendiri, “Kalau beliau sedang sibuk, lantas mengapa mengundangku
kemari?”
“Kemala, wait a
minute. He call me.” Alice menudingkan ponselnya, lantas berjalan menjauh.
Kemala mengangguk kecil, hanya memperhatikan Alice yang
sepertinya sedang mengobrol serius dengan Profesor John.
“Kemala!” lagi, Alice berseru.
“Get a litle trip.
I’ll meet you at Victoria
Square. I’m sorry, he told me to meet him now.”
Kemala hanya menganga kecil, tidak terlalu paham dengan
ucapan Alice yang terburu-buru. Otaknya hanya menangkap segurat pesan, “Aku
akan segera menemuimu di Victoria Square.” Dan Kemala tidak akan ambil pusing,
memilih menuju tempat yang diperintahkan Alice.
*
Victoria
Square siang ini cukup
ramai dengan beberapa penduduk lokal, tak sedikit mahasiswa yang mengenakan sweater baseball bertuliskan Birmingham University yang
berlalu-lalang disekitar Kemala. Gadis itu memilih duduk santai di depan The River Fountain, memasang earphone
dan memilih menshuffle salah satu instrument
legendaris dari Mozart, Symphoni
in A Major.
“How could you hear
an old song like Mozart’s?”
Sebuah suara membuat Kemala terperanjat dari kegiatannya.
Suara bariton itu berasal dari pemuda disamping kirinya, yang entah datang dari
antah berantah mana.
Kemala menohok kedua mata pemuda itu dengan tatapan
tajam. Seolah menginterogasi. “Excuse,
what which you said with and old song, Sir?”
“I said, how could
you hear and old song like—”
“Is there funny
thing?” potong Kemala kesal. Ia lantas menjelajahi
pemuda itu dengan ekor mata. Tidak salah lagi, pemuda itu sepertinya orang
Asia, sama seperti dirinya.
“Aku tidak berkata bahwa lagu yang kamu dengar lucu.”
Balas pemuda itu.
“Oh God. Kamu orang Indonesia?”
Pemuda itu melirik Kemala sedikit kaget. Sempat mengumpat
dirinya sendiri karena berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Matanya sedikit
tertegun ketika bersamaan dengan itu terjadi eye contact diantara mereka. Ada sebersit rasa yang tiba-tiba
membuat hatinya bergetar diantara heningnya gelombang udara. Pemuda itu seakan
pernah menemukan mata yang serupa, meski entah dimana.
“What now?”
Kemala masih berucap sedikit kesal, karena pemuda disampingnya beberapa menit
lalu secara tidak langsung mencibir selera musiknya.
“Nope. Sorry for
asked that. Aku Gabriel.” Pemuda itu tidak lantas melanjutkan perdebatan
kecil dengan Kemala, ia hanya menyodorkan tangan kanannya.
Kemala bungkam. Ditatapnya tangan pemuda bernama Gabriel
itu dengan ragu. Ada rasa aneh yang kemudian menyelinap, entah kenapa ia takut
dengan jabatan itu, seakan ia pernah terluka, ketika menyambut uluran tangan
yang bahkan belum pernah terjadi sebelumnya.
“Kamu keberatan berkenalan denganku?”
Kemala reflek menggeleng kecil, lantas menjabat tangan
Gabriel dan
dengan cepat menyebutkan namanya. Meski ia adalah
keturunan ningrat, tetapi keluarganya tidak pernah mengajarkan Kemala untuk
memandang seseorang secara berbeda-beda.
“Terimakasih. Maaf jika perkataanku sebelumnya
menyinggung kamu.”
Kemala menggeleng pelan, “Tidak apa-apa. Tidak perlu
dibahas.”
“Selain Symphony in
A Major, instrument apalagi yang kamu suka dari Mozart?” tanya Gabriel
antusias, meski didetik berikutnya Kemala melempar tatapan seribu tanya.
“Maaf aku tidak sengaja melihat judulnya di layar
ponselmu. Jangan curiga seperti itu.”
Kemala hanya menghela nafas. Ia kembali melirik layar
ponselnya, lantas melepas satu pasang lain dari earphone yang menjutai dari
telinga kirinya.
Gabriel yang melirik Kemala menyerahkan satu pasang lain
dari earphonenya lantas tidak berlama-lama, ia meraihnya.
“Can guess the song?”
Gabriel terlihat menimang sebentar lantas mengukir
senyumnya, “Turkish March?” yang
kemudian dijawab anggukan penuh dari Kemala.
Senyum itu terukir, membuat Gabriel merasa dejavu untuk
yang kesekiankali. Demi Tuhan, ia merasa gadis disampingnya seolah adalah gadis
di masa lama yang pernah dikenalnya. Tapi di masa kapan? Usianya bahkan baru
genap 18 tahun. Dan ia yakin tidak pernah bertemu perempuan seperti Kemala.
“Kemala?”
Alice tiba-tiba muncul dengan raut wajah bingung. Ia
menatap Kemala dan laki-laki asing disamping Kemala secara bergantian. Merasa
Alice kebingungan, Kemala dengan gerak cepat berdiri, meraih sebelah kabel
earphone yang masih menjuntai ditelinga kiri Gabriel.
“Sorry, Gab. I have
to go. C’mon, Alice.”
Alice mengangguk kecil, ia terpaksa memutar balik
tubuhnya karena Kemala dengan tidak keruan mendorong bahunya hingga mereka
berdua berjalan seperti anak TK sedang bermain kereta-keretaan. Meski di benak
Kemala, ada perasaan sedikit tidak rela meninggalkan Gabriel begitu saja.
“Wait Kemala. Is he
your friend?” tanya Alice akhirnya. Menghentikan perjalanan mereka.
Kemala reflek mengangkat bahu. Ia sebenarnya tidak tahu harus
menyebut Gabriel sebagai teman atau tidak.
“How could you
leave him?”
“Kemala!” belum menjawab pertanyaan Alice, sebuah suara
menyerukan nama Kemala, dan Kemala tahu siapa pelakunya.
Pemilik suara itu, Gabriel, berlari menghampiri Kemala
dan Alice. Dan Alice, yang tidak mengerti duduk perkara diantara sahabatnya dan
lelaki asing itu memilih bergegas pergi, sebelumnya menitipkan pesan bahwa ia
akan menunggu Kemala ditempat lain.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“What?” adalah
spontan yang keluar dari bibir Kemala.
“Apa yang sedang kamu bicarakan, Gab?”
Gabriel seperti membaca seribu pertanyaan dari tatapan
mata
Kemala, ia meraih bahu gadis
itu, “Apa kita pernah bertemu
sebelumnya? Aku merasa tidak asing denganmu.”
Kemala berpikir keras, “Errr, aku juga
seperti tidak asing dengan outfit kamu hari ini.
Jangan-jangan, kamu pemuda di stasiun Marylebone yang ditegur kondektur karena
membawa makanan itu ya?”
Gabriel mengernyit. Itu memang dirinya. Tapi bukan itu,
ia seolah yakin bahwa itu bukan alasan ia merasa tidak asing dengan Kemala.
Gabriel memijat
pelipisnya, “Bukan! Aku yakin bukan itu. Aku tahu ini terdengar gila. Tapi—”
“Kemala! Profesor John sudah menunggu. Bisa tolong di percepat?” Alice berseru dari jauh, meski
dari raut wajahnya terlihat tidak enak dengan Gabriel.
“Gabriel, I have to
go. Sorry if you find no answer.
Aku sebenarnya tidak mengerti apa yang kamu bicarakan, tapi aku senang bertemu
denganmu disini. Semoga kita berjumpa lagi.”
*
Kemala berdiri disamping Alice disebuah ruangan indoor
cukup luas. Ruang musik menyerupai panggung ampitheater dengan kursi yang berjejer rapi ke atas
mengelilinginya. Di setiap dinding tua yang masih kokoh, tertempel beberapa
papan putih dengan not balok instrument-instrument klasik, juga beberapa
lukisan musisi legendaris berukuran cukup besar.
Tidak lama, Profesor John kembali dengan buklet tebal
ditangannya.
“He is 80. Jadi jangan kaget kalau bicaranya sedikit aneh
nanti.” Ingat Alice.
“Hi Kemala!”
Prof. John yang umurnya sudah hampir satu abad, masih berjalan tegap
menghampiri Kemala, lantas menjabat tangan gadis itu.
“I have waiting for
a long time to see you. Thank you for coming here.” Ucapnya.
Kemala cepat-cepat mengangguk pelan.
“Sebenarnya ada satu lagi tamu saya. Dan kamu akan
mengerti jika sudah lengkap dengan dia disini.”
Kemala dan Alice saling beradu pandang.
“And he is here.
Gabriel, please come.”
Seorang pemuda yang tidak asing dipenglihatan Kemala
mulai menyembul masuk dari balik pintu gigantis ruang musik yang kini ia pijak.
“Oh my God. Its not
wrong. You both are really reborn!” seru Prof. John tiba-tiba.
“Saya tidak salah lagi, kalian benar-benar lahir kembali
di kehidupan yang berbeda.” Lanjutnya.
Kemala dan Gabriel memandang Prof. John heran, sementara
Alice hanya menatap Kemala iba, menyiratkan pesan serupa, he is 80, jangan
kaget kalau dia berbicara aneh.
Prof. John lantas membuka buklet tebal digenggamannya,
menelusuri halaman demi halaman.
“It is you both.
Kalian sekarang mengerti mengapa saya mengundang kalian kemari?”
“Tahun 1902, di Universitas ini pernah ada dua mahasiswa
musik yang jenius. Kalian bisa lihat..”
“Itu seperti aku!” potong Kemala, melihat sepotong gambar dari salah
satu lembar profile mahasiswa dalam
buklet tersebut.
“Dan ini kamu. Gabriel..” Prof. John ganti menyerahkan
buklet tersebut pada Gabriel.
“Selain berwajah sama, mereka juga bernama sama seperti kalian. Kemala Wulandari
dan Gabriel Aldrich. Ayah saya, dulu adalah sahabat mereka di Birmingham
University.”
“Saya tidak percaya ini. Tapi, kalian benar-benar
bereinkarnasi di kehidupan lain. Dulu, ayah saya pernah bercerita bahwa Kemala
dan Gabriel sangat dekat, sampai suatu hari Kemala kembali ke negaranya,
sedangkan Gabriel menikah dengan tunangannya, Gayatri. Ayah saya sangat
menyayangkan karena pada akhirnya mereka tidak bersama. Padahal, ayah saya
yakin kalau mereka benar-benar saling mencintai.”
“Gabriel Aldrich adalah ayah dari Kakek saya dan Gayatri
adalah istrinya.” Jawab Gabriel.
Kemala dan Prof. John menoleh bersamaan.
“Kemala Wulandari juga sebenarnya Ibu dari nenek saya.”
Muda
mudi itu saling berpandangan, kembali merasakan getar halus yang lagi-lagi
tidak mereka mengerti. Alice memandang kumpulan manusia di hadapannya
heran, Sedangkan Profesor John tersenyum
tipis, berdoa dalam hati, semoga kejadian pahit, tidak menimpa sosok-sosok
serupa dengan sahabat-sahabat mendiang Ayahnya.
"Kamu
percaya reinkarnasi?" tanya Kemala ragu.
Gabriel
memandang potret serupa Kemala dan dirinya di buklet tersebut, lantas ganti
memandang nyalang profile cantik dihadapannya.
"Aku
tidak percaya sebenarnya. Hanya.. setelah bertemu kamu dengan segala rasa yang
seolah tidak pernah asing di benakku. Aku entah kenapa perlahan yakin, kita
dipertemukan untuk merajut kisah mereka yang sempat terhenti."
Kemala
merasakan hatinya berdesir hangat seiring dengan senyumnya yang perlahan
terukir.
"Kisah
mereka yang mana?" Tanya Kemala pelan.
Perlahan,
Gabriel melangkahkan kaki jangkungnya, dan dengan gerak cepat, seolah pernah
terlatih sebelummya, ia menepuk puncak kepala Kemala, lalu menjawab.
"Tentang
hati."
*
-Do you believe reincarnation?
-FIN-haha mbak agen telat banget publish :3 disini seret wifi sih :(
voilaa ini collab ketiga kami, dan akan ada lagi karya2 kami yang lain...
jadi jangan bosen bosen bacaa...
kalau lihat chat bbm sama teteh agen itu kadang ketawa sendiri,
gimana kita mencoba menjadi satu pikiran, padahal raga kami sama sekali nggak ketemu!
atau lebih tepatnya kami belum pernah ketemu, padahal kami sama-sama tahu luar dalam :')
meskipun cerpen ini nggak jauh dari genre yang itu (lirik secret admirer) kami harap kalian sukaa..
salam bintang dandelion~
0 komentar:
Posting Komentar