True Love
Aku lebih memilih dicintai, karena
dicintai membuatku mengerti berbagai rasa dari kesungguhan.
**
Namanya
Arsa. Pemuda pemilik lesung pipit yang entah mengapa akhir-akhir ini menarik
atensiku, dia memang pernah muncul saat aku mengenakan seragam abu-abu dulu. Dengan
seragam biru tua kebanggaan kantornya, ia yang selalu melempar senyum padaku
entah karena apa.
Yang aku tahu, dia teman Kakak pertamaku yang bekerja di
Perusahaan Listrik Negara. Dia memang pernah menampakan diri berberapa kali
dirumahku, tidak jarang dia menampilkan diri juga di gereja yang sama denganku.
Dan lagi-lagi senyum itu sama,
senyum berbeda yang dia tunjukan kepadaku.
Aku
kembali saat-saat dimana aku masih duduk dibangku sekolah. Aku ingat betul,
ketika Rana, teman sepermainanku, selalu menyenggol lenganku saat ia diam-diam
memandangku.
Saat
itu, aku tidak mau mengambil kesimpulan dari pandangan diam-diamnya. Karena seminggu
setelah itu, dia tidak lagi menampakan batang hidungnya. Hingga aku tahu, dia
dipindah tugaskan. Bukan lagi di Semarang, bukan di kota ini.
Hingga
aku tersadar, empat tahun telah berlalu setelah itu. Aku telah menjadi
mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri. Dan kini, dia kembali
menampakan diri dihadapanku dengan senyum yang sama.
“Hai.”
sapanya sedikit kaku.
Deheman
Ayahku, mengalihkan pandangan kami sejenak. “Kamu masih ingat dia Mara? Teman Mas
Leksa.”
Aku
hanya mengangguk dengan senyuman tipis.
Tiba-tiba
dia menyodorkan se-parcel buah
padaku. “Untukmu.” Katanya dengan senyuman yang masih sama.
“Terimakasih.”
balasku, kemudian berlalu dari hadapannya.
Aku
mengintip dari balik celah gorden. Aku
tidak tahu dia siapa, tetapi dia terlihat sangat dekat dengan Ayah. Bahkan Ayah
seperti kembali bernyawa, setelah seluruh Kakakku, merantau pergi ke luar kota.
Aku sadar, dia berbeda.
“Kamu
lihat apa Mar?” tanya Ibu yang tiba-tiba saja sudah dibelakangku.
Aku
hanya menggeleng kaku, kepalang basah mengintip Ayah dan Pemuda itu berbincang.
“Dia
Arsa. Teman Kakak pertamamu. Usianya tiga tahun diatasmu. Kau tahu? Dia benar-benar
hebat, di usia semuda itu telah menjadi pegawai tetap di perusahaan milik Negara.”
Aku
hanya memutar bola mata bosan, tidak mengerti kenapa kedua orangtuaku antusias
sekali jika membahas dia.
Hari-hari
setelah itu, dia semakin sering ke rumah. Dan aku tahu, buah adalah ciri
khasnya. Dan jangan lupakan, dia selalu berbincang dengan Ayah.
Suatu
ketika, sewaktu aku akan pergi dengan teman laki-lakiku, dia sedang bertamu di
Rumah, dia masih melempar senyum padaku. Senyum yang kali ini berbeda. Aku tidak
merasakan hangat dari senyuman itu, tetapi aku tidak mau ambil pusing.
Menghampiri
Ayah yang ada di sampingnya, aku berpamitan dan mengecup punggung tangan Ayah. “Jangan
pulang malam. Ayah tidak percaya, jika kamu pergi dengan dia.” Ucapnya. Mengerling
pada pemuda yang telah menungguku di luar.
Aku
hanya diam, tidak mengerti harus menanggapi.
Hingga
saat menyedihkan itu tiba, Ibu pergi meninggalkan dunia karena penyakitnya. Dia
ada, menggenggam tanganku, dan menepuk pelan kepalaku. “Jangan menyalahkan
keadaan. Sekarang Ibumu sudah bahagia disana. Aku rasa dia telah bertemu
Ayahku.”
Aku
mendongak, memberanikan diri mendongak menatapnya. Mengerti arti tatapanku, dia
berkata, “Ayahku sudah lama meninggal. Saat aku masih kecil.” ucapnya dengan
senyuman sendu.
Mungkin,
hal ini juga yang membuatnya sangat dekat dengan Ayahku. Dia telah terlalu lama
kehilangan figure itu.
“Jika
kamu benar-benar merindukan sosok Ibu, kamu bisa bermain ke Rumahku. Anggaplah Ibuku
seperti Ibumu sendiri.” katanya lagi.
Aku
hanya tersenyum kecil, hatiku kepalang hancur, ketika rasa kehilangan itu terus
saja membengkak dalam relung diriku.
*
Setelah
kepergian Ibu, Mas Arsa lebih terang-terangan memberikan perhatiannya padaku. Dia
lebih sering ke Rumah untuk sekedar mencariku. Dia pendiam, hingga tak jarang
kami membunuh senja dengan keheningan.
Ketika
satu senja lagi hampir aku bunuh bersama dia, Ia menyodorkanku satu parcel buah. Hingga tanpa sengaja tangan
kami bersentuhan.
“Uhm,
Mara ada yang ingin aku bicarakan.”
“Sebentar,
aku taruh ini di dalam dulu ya.” sahutku.
Dia
menggeleng. “Tidak usah, aku hanya sebentar. Aku dinas malam.”
“Memangnya,
mau berbicara tentang apa? Tenang saja, gereja masih terbuka untukmu, jika itu
yang kamu takutkan.”
“Bukan,
bukan soal itu.” Dia menghela napas berat, menatapku lurus. “Aku mencintaimu. Sejak
melihatmu mengenakan seragam kebanggaanmu saat sekolah dulu. Maukah kamu jadi
kekasihku?”
Iris
hitamku membulat. Tidak menyangka pria pendiam ini, mengatakan perasaannya
segamblang itu. “Aku… aku belum bisa menjawabnya.”
Dia
mengangguk dengan senyuman. “Aku mengerti, tetapi aku selalu menunggu
jawabanmu.” Katanya. Kemudian melangkah menjauhiku.
Aku
belum bisa menjawab, karena aku belum bisa memilih. Bukan hanya dia laki-laki
yang mendekatiku saat ini, aku ini wanita yang cukup peka, bisa membedakan mana
rasa tertarik, dan hanya berteman biasa.
“Mara.”
suara berat Ayah membuatku menoleh.
“Ayah
tahu, gadis kecil Ayah satu-satunya, kini telah beranjak dewasa. Ayah yakin
kamu telah merasakan cinta. Tetapi Ayah harap kamu tidak pernah salah memilih.”
Aku
memandang Ayah dengan tatapan tidak mengerti. Tetapi aku yakin, dia pasti tahu,
Mas Arsa baru saja menyatakan perasaannya padaku tadi.
“Ketahuilah,
di dunia ini ada dua hal tentang cinta. Tentang mencintai dan dicintai. Kamu harus
tahu, mencintai tidak selamanya manis. Karena belum tentu orang yang kamu
cintai merasakan hal yang sama. Berbeda dengan dicintai, dicintai mengajarkanmu
bagaimana arti dari kesungguhan.”
Aku
masih mendengarkan Ayah yang sedang berbagi pengalamannya.
“Sebagai
wanita, seharusnya kamu lebih memilih dicintai, karena wanita ditakdirkan untuk
mengejar, bukan dikejar. Cinta memang tidak salah memilih, tetapi memilih cinta
itu susah. Masih ingat pepatah jawa withing
tresno jalaran soko kulino? Saat kamu dicintai, kamu juga bisa mencintai
dia seiring berjalannya waktu.”
Aku
hanya mengangguk paham.
“Ayah
harap, kamu tidak salah menentukan pilihan.”
*
Setelah
seminggu penuh aku mencari jawaban atas hatiku, akhirnya aku temukan jawaban
itu. Dan entah suatu kebetulan atau tidak, aku berpapasan dengannya, ketika
akan pulang.
“Mas
Arsa!” panggilku padanya.
Dia
tersenyum padaku. Senyum yang sama saat kami pertama kali bertemu.
“Aku
ingin mendengar lagi pernyataanmu saat senja waktu itu. Dan aku akan
menjawabnya.”
Aku
terkikik, ketika menyadari ada guratan merah di kedua pipinya.
“Aku…
aku mencintaimu, sejak kamu mengenakan seragam kebanggaanmu ketika sekolah
dulu. Maukah kamu… jadi kekasihku?”
Aku
menatapnya, dan mengangguk penuh semangat. Dan dia tersenyum lebih hangat dari
biasanya.
*
Hubungan
kami, selalu berjalan baik. Sikap pendiamnya yang berkebalikan dengan sikap
cerewetku ini, membuat kami jarang memiliki konflik. Dia selalu mempunyai cara
untuk membuatku luluh. Hingga tanpa terasa hubungan kami berada pada jenjang
yang lebih serius. Ikatan pertunangan.
Pada
suatu malam, diantara bintang-bintang, aku memberanikan diri bertanya
kepadanya, “Apa yang membuat Mas Arsa jatuh cinta kepadaku?”
Dia
tersenyum, kemudian menjawab. “Pada awalnya, rambut panjangmu membuatku
tertarik, kemudian sikapmu, membuatku jatuh cinta.”
Aku
memandangnya heran, “Jika kamu jatuh cinta sejak aku di bersekolah di masa
putih abu-abu, kenapa kamu tidak pernah mendekatiku?”
Dia
menepuk puncak kepalaku. Kemudian berkata, “Aku tidak mau mengganggu mimpi
seorang gadis. Saat itu, aku juga masih pegawai baru, belum ada yang bisa aku
banggakan dari diriku. Aku berani mendekatimu setelahnya, karena aku tahu, kamu
hampir wisuda.”
Entah
kenapa, hatiku menghangat setelahnya. Aku mulai paham arti dicintai, seperti
yang Ayah katakan. Aku mulai memahami arti kesungguhan.
Dia
memandang jam tangannya. Kemudian kembali menatapku. “Sudah malam sekali, aku
harus pulang, aku tidak mau ketinggalan Bus.”
Aku
mengrenyitkan alis heran.
“Aku
pulang ke Delanggu malam ini. aku sudah tidak kost.” Sahutnya, begitu paham arti dari tatapanku.
Setelah
berpamitan dengan Ayah, dan Kakak-kakakku, ia undur diri.
“Tidak
menginap saja? Kamu tunangannya, Bapak rasa tidak masalah.” tanya Ayah ketika
dia berpamitan.
Dia
menggeleng. “Tidak Pak. Belum saatnya.”
Hatiku
kembali menghangat setelah aku menyadari, dia benar-benar menghargaiku sebagai wanita,
dan dia juga menjujung etika. Membuatku yakin, bahwa aku tidak salah memilih.
Karena
malam benar benar larut, Aku memaksa adik bungsuku untuk turut serta
mengantarnya bersamaku.
Setelah
menunggu hampir dua jam, dan merasa malam semakin larut, ia menyuruh kami
pulang. Tetapi aku tentu saja menolak.
“Kamu
jangan keras kepala. Alan masih banyak tugas kuliah, dia harus segera pulang
juga. Aku tidak papa. Mungkin ada pengalihan jalan, jadi Bus tidak lewat sini. Aku
rasa aku harus berjalan ke lain tempat.” katanya sambil menatapku.
Pandangannya
beralih pada Alan. “Alan, pulanglah bersama Kakak perempuanmu yang cerewet ini.
Tolong jaga dia.”
“Tapi
Mas…” Alan juga tampak tidak setuju, tetapi dia telah berjalan menjauhi kami,
hingga punggungnya hilang, ditelan kegelapan malam.
*
Berberapa
hari setelah itu, barusan aku tahu, Mas Arsa pulang ke Delanggu menggunakan
Truk angkutan barang. Dia tidak mendapat Bus malam itu, maka daripada tidak
bisa pulang, dia memilih menumpang truk yang kebetulan melintas dihadapannya.
Dan
dicintai membuatku mengerti, apa arti menghargai.
Berberapa
minggu setelah dia mengajakku berkenalan dengan keluarganya, aku melihatnya
lagi. Dia telihat berbeda karena pakaian yang dikenakannya lebih rapih dari
biasanya. Dan kali ini, dia membawa satu parcel
buah lagi. Berbeda dari yang biasa dia bawa, kali ini lebih banyak variasi
entah karena apa.
Dia
mengajakku duduk pada teras Rumah. Entah kenapa aku melihat ada yang mengganjal
dalam pikirannya. Dia lebih sering menghela napas kali ini.
“Ada
sesuatu yang mengganggumu?”
Dia
menggeleng kecil, lantas mengenggam tanganku. “Setelah apa yang terjadi selama
ini denganmu, aku sadar, aku tidak lagi dalam proses jatuh cinta padamu seperti
saat pertama kali kita bertemu, tidak juga dalam proses mencintaimu, karena
kamu sudah jadi kekasihku. Aku yang sekarang… ingin membangun cinta denganmu. Memupuk
cinta yang ada, agar selalu tumbuh dan berkembang. Menikahlah denganku, dan
hiduplah bersamaku.”
Mataku
mulai berkristal, ketika menyadari dia melamarku Malam ini. Dan aku bersumpah,
barusan adalah kata terpanjang yang dia ucapkan untukku. Melihatnya yang sudah
menanti jawabanku, lantas aku mengangguk. Kemudian berbisik lirih. “Aku mau,
karena aku juga ingin membangun cinta denganmu.”
Aku
kini mengerti, apa yang dikatakan Ayah. Dicintai membuatku mengerti berbagai
rasa dari kesungguhan, dan dicintai membuatku mengerti, betapa bahagianya
mencintai.
-END-
-----------------------------------------------------------------------------------------------
wohooo :D akhirnya saya bener-bener nggarap cerita based on true story lagi. ini kisah cinta papa dan mama saya :D betapa papa sayang bgt sma mamaa :* aku nggak bisa berhenti membayangkan kisah cinta mereka setelah mama bercerita, uthe juga dapet wejangan move on secara nggak langsung
but Papa keren, dia nggak nembak pakek bunga, pakek buah broo =))
kata salah satu sodara gue, gue nggak normal krn 18th blm pacaran, minta digorok kali ya, untung sodara, kalau nggak udah gue piting -_- gue normal kalesssss
nih, gue jawab secara logis, dan dengan hati. aku true love waits. komitmen dari awal masuk SMK. dan puji Tuhan sekarang masih bertahan.
dan cerita diatas benar-benar menginspirasiku, Papa adalah sosok laki-laki yang aku idamkan di masa depan. maka dengan lantang aku menjawab, aku sedang menunggu seseorang yang seperti Papa. entah kapan datangnya. Tuhan pasti sediakan, cuma belum waktunya, kan emang uthe masih kecil, mimpi masih banyak yg harus uthe raih untuk masa depan uthe sendiri. pada rempong amat ngurusin hidup -.-?
lagi pula aku belum berpikiran menjalin hubungan dengan seseorang. nanti kalau uthe punya pacar, pacarnya cemburu, soalnya uthe bakal lebih sayang sama Mario & L oppa haahaha :D krn aku tidak akan bebas lagi ngefans sama orang. dan aku belum siap jika dilarang-larang. koe sopo -_-
intinya, saya belum mau mikir pacaran. sibuk. nggak ada waktu buat mikir begituan. aktivitas saya padat, kuliah, nulis, pelayanan, jurnalistik, komparem, kmf, dan MnGriosolo. dan tentu saja karena hati saya tidak kosong. because, Jesus in here. *nunjuk hati*
yah malah curhat,
kunjungi juga catatan kecilku disini Let You Go
tentang melepaskan seseorang.
enjoy, salam bintang dandelion.
warm regards, @ruthenirmalaa
0 komentar:
Posting Komentar