RSS

Kamis, 17 Maret 2016

IRISH (무지개) Chapter Three



Chapter three
Rumah Arin berada di distrik Seongnam-gil, Seoul. Ia biasa pulang satu minggu sekali. Ayahnya yang seorang polisi bekerja di distrik Seongnam, dan harus bekerja disana, membuat A rin memutuskan untuk menyewa rumah kos dengan Cho Ha na di sekitar kampus, malas jika harus pulang-pergi dengan waktu tempuh dua jam lamanya. Hari ini, jadwal ia pulang. A rin sudah tidak sabar untuk mencicipi masakan Eomma-nya. Ia sudah hapal betul, Eommanya akan menyiapkan makanan layaknya untuk selusin tamu jika A rin pulang ke rumah.

Wangi sup rumput laut menyeruak lewat indra penciumannya ketika ia memasuki Rumah. Sengaja, A rin tidak memencet bel karena ingin memberi kejutan. A rin melongok ke Dapur, melihat Eomma-nya sedang serius memasak.
A rin berjalan kecil-kecil, berusaha tidak menimbulkan suara. Lalu, dengan cepat, ia memeluk Eomma-nya dari belakang.
“Sore Eomma,”
Eomma-nya reflek menoleh. Lalu mengelus dada pelan. “A rin, buat Eomma kaget saja...” Wanita itu menggantung kalimat sebentar, mengernyit heran. “Sejak kapan kamu berbicara bahasa Indonesia dengan Eomma?”
A rin tersenyum, menampilkan gigi kelincinya. “Sejak aku mulai tertarik dengan orang Indonesia-nya, Ma.” Arin berucap, meski logat Koreanya masih terdengar.
“Asal jangan bicara di depan Appa[1]-mu ya, nanti da memberengut karena bahasa Indonesia-nya buruk sekali…” Eommanya mengingatkan, yang justru membuat A rin terkikik geli.
“Eomma, boleh minta tolong sesuatu tidak?”
Tanpa berbalik dari wajan, Eomma-nya menyahut pelan, “Bantu apa A rin?”
“Masakin makanan Indonesia buat aku bawa pulang ke Gwanak besok.”
 “Tumben? Buat siapa?”
A rin berusaha mencari padanan kata yang tepat untuk diucapkan. “Umm… ada teman Indonesiaku di Kampus. Sepertinya dia sudah lama tidak pulang. Bagaimana kalau dia rindu masakan Indonesia?”
Eomma-nya mengangguk kecil. “Ne, ne[2]. Temannya perempuan apa laki-laki?”
Arin merasakan pipinya yang tiba-tiba panas. Bingung harus berkata jujur atau tidak. Tetapi, dengan kebaikan Eomma yang sudah mau memasakan makanan Indonesia untuknya, A rin tidak mungkin berbohong. “Ada Eomma, dia… laki-laki.”
Eomma sampai menaruh spatula demi mendengar kalimat A rin, lalu melirik putrinya dengan jahil. “Jadi… siapa laki-laki Indonesia yang membuatmu jatuh cinta itu, sayang?”
Arin membelalak, gelagapan. “Umm.. Eomma, tidak seperti yang Eomma bayangkan. Aku hanya berteman dengan Alfa Oppa.”
“Jadi namanya Alfa?”
Arin mengutuk diri sendiri, kenapa lidahnya justru terpeleset hingga spontan menyebutkan nama Alfa di depan Eommanya.
“Pokoknya dia hanya temanku, Eomma. Dan jangan lupa masakan Indonesianya… harus dibuat seenak mungkin,” setelah mengatakan serentetan kalimat itu dengan cepat, A rin melipir pergi menuju kamarnya. Tidak ingin Eomma melihat wajahnya yang seranum tomat.
Sementara itu, wanita bercelemek yang kini kembali berhadadapan dengan wajan dan spatula, tersenyum-senyum kecil, tidak bisa menyembunyikan rasa gelinya melihat putri tunggalnya yang sedang jatuh cinta.
**
Jika bukan karena kewajiban untuk menuntut ilmu dan menghargai jerih payah Appa demi menyekolahkannya, A rin tidak akan rela jika setiap hari harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk sampai Fakultasnya. Namun, ada satu hal lain juga yang akhir-akhir ini membuatnya sedikit senang dan tidak keberatan melewati rute ini. Setidaknya, ia punya semangat baru karena melewati Fakultas Ekonomi terlebih dulu.
Ia mengingat keputusaannya semalam jika kali ini kebetulan bertemu lagi dengan pemuda itu. A rin akan mengajaknya makan siang. Tentu, dengan masakan Indonesia yang sudah Eomma buatkan. Sayur asam, tempe goreng, rendang dan sambal. Ia sempat mencuri-curi pandang ke arah koridor, dan benar saja, ia menemukan orang yang diam-diam dicarinya. A rin yakin sekali, orang seperti Alfa memang satu dari segelintir mahasiswa yang amat sangat mencintai kuliah, hingga tidak heran jika berkeliaran di Kampus di jam berapapun.
Ia berniat mampir untuk menyapa, tapi apa yang dilihatnya sekarang mendadak membuat langkahnya berhenti. Tiga orang gadis menghampiri Alfa, menginterupsi pemuda itu yang sedang menerima telepon. Terlihat sekali wajah kesal Alfa dari kerutan didahinya ketika menutup telepon. Gadis-gadis itu menyerahkan tiga kotak berbeda yang A rin yakin sebagai coklat atau kue. Kendati Alfa sungguh kentara menerimanya dengan malas, gadis-gadis tetap menjerit, lalu pergi dengan wajah berbinar.
Alfa melirik lewat bahu, seperti memastikan gadis-gadis itu sudah hilang dibalik koridor. A rin lalu melihat Alfa berjalan menuju.... tong sampah? Arin mengernyit, memastikan penglihatannya. Alfa memang hendak membuang kotak-kotak coklat-kue itu.
Spontan, A rin berteriak dengan nyaring. “Yaaaa!!”
Alfa yakin teriakan itu mengarah kepadanya. Ia reflek mencari sumber suara dan melihat Arin sedang berjalan penuh amarah ke arahnya.
Apa yang Alfa lihat kini Arin yang melotot. Nampak siap mengeluarkan potongan kata-kata pedas.
“Alfa sunbae!”
Alfa mengernyit heran mendengar A rin berbicara kepadanya dalam bahasa Korea formal, bahkan memanggilnya senior.
“Kau..., kau yakin akan membuang pemberian orang lain? Ya! Mi cheo Sseo[3]? Mereka membeli itu pasti dengan uang.”
Afla tersenyum geli, mendengar A rin dengan secepat kilat kembali berbicara dengan bahasa Informal. “Yang penting bukan uangmu, kan? Kenapa berisik sekali.” Alfa mendengus, “Dan kamu lupa aturan. Aku minta kamu berbicara bahasa Indonesia jika sedang berbicara denganku.”
A rin memberengut. “Ya setidaknya, Umm… Kak Alfa tidak barus membuang makanan. Kan bisa dikasih ke orang la—”
Alfa memotong. “Apa itu sebuah kode? Kamu mau diberi coklat juga? Ambil saja yang ini,”
Arin gelagapan menerima kotak yang berpindah dari tangan Alfa ke tangannya. Sementara Alfa tersenyum senang melihatnya kesusahan, lantas melambaikan tangan sambil lalu.
Arin mendadak teringat maksudnya menemui Alfa. “Hei bukan begitu Kak... Yaaa!!! Kenapa kau pergi? Aku masih ada urusan!”
Alfa menahan langkah, berbalik menghadap A rin hingga menyisakan jarak yang cukup sempit diantara mereka. Membuat Arin berdebar-debar.
A rin membuka mulutnya, namun seluruh rangkaian kalimat yang sudah ia susun semalaman untuk senormal mungkin mengajak Alfa makan siang mendadak hilang.
Akhirnya ia hanya bisa menggumam, “Kau… dasar chaebol[4] gila.”
Alfa mendekatkan wajahnya ke wajah A rin, lalu melempar senyum simpul, yang menurut A rin adalah senyum terbaik sepanjang ia mengenal Alfa.
“Apa kalimat itu ungkapan lain dari ‘naega joayo’[5]?”
A rin menjauhkan wajahnya, ketika nafas Alfa terasa menyentuh wajahnya. Dasar chaebol gila. Dia bahkan bisa membaca pikiranku. Arin menarik nafas panjang.
 “Ayo makan siang denganku! Makanan Indonesia!” Ia akhirnya hanya menyemburkan sederet kata yang keluar begitu saja dari bibirnya, lalu melipir pergi, berlari membawa kotak-kotak coklat-kue ditangannya.
**
Arin mendengus mengutuk diri. Taman Falkutas Ekonomi sudah sangat sepi. Seharusnya ia tahu dari awal, Alfa tidak akan datang. Gadis itu menatap kotak makannya dengan pandangan nanar. Sia-sia sudah, ia bangun pagi, rela jari manisnya teriris hanya untuk ketidakpastian yang membuat luka hatinya kembali menganga lebar. Dalam hati, rasa pesimisnya sudah mendominasi. Waktu telah menunjukkan bahwa sekarang sudah satu jam lebih dari jam makan siang. Itu artinya Alfa tidak akan datang.
Dengan perlahan, dibukanya kotak bekal yang tadi dia bawa, lauk makan sederhana kata Eommanya, hanya sup jagung dengan tempe goreng. Sejujurnya, A rin tak begitu suka, karena indera pengecapnya sudah terbiasa dengan masakan-masakan korea. Tetapi, jika dimasak dengan Eomma, ia percaya pasti rasanya menggugah selera.
Di sendoknya kuah sup dengan perlahan, gadis berambut coklat pekat itu mulai makan siang dengan khidmat, daripada tidak jadi dimakan, lebih baik dia habiskan.
“Kenapa kamu melanggar janji yang bahkan kamu buat sendiri?”
A rin menoleh, suara baritone itu… benar saja.
“Oppa? Oppa datang?”
Gadis itu mengerjapkan matanya, terlihat berbinar. Lucu. Hanya itu yang ada dibenak Alfa. Sendok yang belum sempat A rin masukkan dalam mulut, masih mengambang di udara. Membuat Alfa menyeringai tipis.
Tanpa pernah A rin duga sebelumnya, tangan kokoh itu terulur, melingkupi jemarinya yang masih dengan erat memegang sendok, lantas mengarahkannya tepat ke mulut Alfa.
Pipi A rin terasa panas, Alfa barusan memakan sup jagung yang ia buat bersama Eomma. Lagi-lagi dadanya bergemuruh memikirkan itu.
“Mana jatah makan siangku?”
Gadis itu kembali mengerjap. Yang dia makan barusan adalah bekal yang harusnya ia berikan pada Alfa. Ia tadinya hanya berniat melihat Alfa makan, karena ia tidak terlalu suka masakan indonesia. Tetapi, sekarang ia berada dalam posisi serba salah.
“Um, Mianhae Oppa. Sebenarnya yang ku makan ini adalah milik Oppa, tadi aku kira Oppa tidak akan datang, jadi aku makan saja.”
Alfa menahan tawa ketika melihat raut wajah A rin yang begitu lucu. “Kalau begitu aku ambil jatahku lagi.” Ujarnya sambil mengambi sendok, dan kotak bekal yang A rin bawa.
A rin merasakan pipinya semakin memerah. Alfa tanpa sungkan memakan bekal yang baru saja di makan olehnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa, jadi ia hanya diam dan sesekali melirik Alfa yang sedang menyantap makan siangnya.
“Kau tidak makan?” tanya Alfa sambil mengacungkan sendok tepat di depan mulut A rin.
Gadis itu menggeleng pelan. “Untuk Oppa saja, sepertinya Oppa rindu masakan indonesia.”
Alfa mendengus. “Aku tidak terima penolakan.”
Hingga setelahnya, A rin menyadari, rasa gurih sup jagung yang ia buat bersama Eommanya telah berada dalam mulutnya. Barusan… Alfa menyuapinya?
“Maaf Oppa, Oppa pasti masih terasa lapar karena berbagi denganku.”
Alfa masih menahan senyumnya. Kenapa gadis disampingnya begitu polos? “Berhenti memanggilku Oppa. Tadi pagi kau sudah menyebutku Kakak. Kau harus terbiasa.”
A rin menunduk malu. “Maaf.”
Alfa sudah tidak bisa menahan senyumnya. “Berhenti minta maaf, aku sudah bosan mendengarnya. A rin, apa kau yang membuat masakan ini?”
“O, aku tidak membuat sepenuhnya, Eomma yang lebih banyak ambil bagian. Aku tidak terlalu mahir memasak.”
“Dari mana Ibumu mendapat bahan makanan untuk membuat ini semua?”
A rin menggeleng pelan, “Tidak tahu, tapi Eomma selalu mendapat bahan makanan yang ia mau.”
Tanpa sadar, tangan kokoh Alfa kembali terulur mengacak pelan rambut A rin. “Terimakasih. Ini sedikit mengobati rinduku. Aku tidak akan menolak, jika kau membawakan makanan seperti ini setiap hari.”
A rin tidak dapat menahan senyum tulusnya, senyum yang diam-diam membuat hati Alfa berdesir, tanpa pemuda itu menyadarinya. Tangan Alfa perlahan turun, membingkai paras ayu yang ada dihadapannya. Lantas diusapnya perlahan pipi sedikit tembam milik gadis itu. Tanpa mereka sadari, kedua jantung mereka berdetak seirama.
Alfa tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya, rasanya begitu betah melihat wajah A rin dari jarak yang sangat dekat. Ia tahu, ia semakin mendekatkan diri pada sang gadis. Bahkan, ia sudah dapat merasakan embusan napas teratur dari gadis dihadapannya. Alfa tahu, gadis itu telah menutup mata, hingga ia pun juga mengikuti nalurinya, menutup mata, dan memiringkan wajah. Mengecup pelan pipi kanan gadis itu dengan singkat. Tersadar apa yang baru saja ia lakukan, dan sejak detik kembali mengambil jiwa Alfa, Alfa yakin, gadis ini telah mengembalikan sebuah rasa yang ia tinggal sejak lama.


[1] Ayah.
[2] Ya, ya.
[3] Hei! Apa kau sudah gila?
[4] Sebutan untuk anak seorang konglomerat; pewaris.
[5] Aku menyukaimu.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Finallyy! chapiee 3rd posted! wdtyt? Alfaa bakal php nggak yaaa hmm--
crita serupa akan diposting juga di Irish Nita ^^ enjoy reading :$

1 komentar:

Nita Julianti Sukandar Putri mengatakan...

Alfa nyosor ajaaaaa-_- HAHAHAHHHA

Posting Komentar