RSS

Rabu, 06 Agustus 2014

Lost in Amsterdam -cerpen collab with nita-








Sebuah ruangan dengan aksen Skotlandia bercat abu-abu tua, kini dihuni oleh tiga orang berbeda usia. Dua diantara mereka  menelusuri pajangan kaca berisi beberapa pasang pakaian pengantin.
Satu lagi, laki-laki berkacamata yang lebih tua dari mereka, mengambil sebuah notepad di meja kerjanya, lalu membubuhkan beberapa kata diatas lembar yang kosong dengan pena.
Laki-laki itu menghentikan gerakan jemarinya lantas melirik salah satu tamu wanitanya,
"Jadi, Dara ingin gaun pengantin bertema Eropa tahun 80han, ya?"
Adara, yang dimaksud laki-laki berkacamata tadi mengangguk dua kali.
"Iya Mas Danar."
Laki-laki berkacamata bernama Danar itu mencatat lagi beberapa kata di notepadnya, lalu ganti melirik seorang pemuda dengan setelan polo t-shirt putih, dibalut sebuah jas hitam yang sangat pas ditubuh jangkungnya.
"Kalau Antares mau yang bagaimana?"
Antares menoleh, "Ares saja, Mas." Kata pemuda itu menyebutkan nama panggilannya.
"Saya sebenarnya... terserah Dara.Wanita biasanya selalu tahu yang terbaik untuk masalah ini." Lanjut Ares seraya melirik Adara, kekasihnya, yang juga tengah melempar senyum.
"Kalau EO nya sudah dapat?" Tanya Mas Danar lagi.
"Sudah." Jawab keduanya serempak.
Ares dan Adara menghampiri sofa yang terletak manis didekat meja kerja Mas Danar, perancang busana menikah mereka.
“Terus kalian ngapain ke Belanda? Pernikahan kalian bukannya dua bulan lagi?"
Ares memilih menjawab, "Untuk sekedar refreshing, Mas.Saya dan Dara tidak ingin terlalu terbebani dengan usia pernikahan kita yang semakin dekat."
Adara tersenyum meng-iyakan ucapan kekasihnya.
"Hati-hati.Pamali calon pengantin pergi jauh-jauh saat pernikahannya sebentar lagi."
Ares yang lahir di kota Bandung mengerti makna pamali yang di ucapkan partner wedding gownnya itu.
Ares mengangguk paham atas kekhawatiran Mas Danar, hal itu juga acapkali diutarakan teman-teman dan keluarganya. Tapi.. Ares menoleh pada Adara, ia yakin bisa menjaga calon istrinya.
Mas Danar selesai merampungkan beberapa point penting di notepadnya lantas melirik lagi dua client muda dihadapannya.
"Jadi kapan kalian ke Belanda?" Tanyanya.
Ares dan Adara saling melempar pandangan.
"Besok." Jawab mereka.
*
Adara sibuk packing perlengkapan travel mereka ke Belanda. Memang tidak lama, mereka berencana menghabiskan waktu selama seminggu, karena ada pekerjaan Ares yang tidak bisa berlama-lama ditinggalkan begitu saja.
 Sementara kekasihnya, Ares, masih sibuk merapikan beberapa paper pekerjaan yang akan dibawanya juga ke Belanda, untuk dirampungkan. Ares berhenti dengan kegiatan packingnya memilih menghampiri Adara.
Ares sempat mengernyit ketika kekasihnya menenggelamkan satu kantong kresek putih beras merah pada koper mereka.
“Dara kita ini mau liburan bukan camp, buat apa kamu bawa-bawa banyak persediaan makanan?” Protes Ares ketika mendapati sekotak buah naga yang juga menghuni koper kekasihnya.
Adara membuang nafas, merasa Ares sangat keterlaluan karena melupakan kebiasaan dirinya satu bulan terakhir ini.
“Kamu lupa, Res? Aku kan nggak makan nasi putih sama makanan berat lainnya. Aku lagi diet. Masa aku kelihatan gendut dihari pernikahan kita?”
Ares menahan senyumnya. Adara itu... selalu saja bisa membuatnya kesal juga membuatnya tidak bisa berhenti tertawa. Kepolosan yang mendarah daging pada diri Adara sejak belia juga menjadi salah satu alasan mengapa Ares sangat mencintai gadisnya, gadis yang tiga tahun menjalin hubungan dengannya, dan sebentar lagi akan menjadi istrinya.
Ares meraih kedua bahu Adara dengan lembut, menatapnya seakan ia tidak pernah ingin kehilangan gadisnya.
“Sayang, I love you just the way you are. Kamu gak perlu jadi Adara yang sesempurna mungkin untuk tampil cantik diluar sana. Cukup dengan kesederhanaan kamu saja Antares bisa jatuh cinta.”
Adara tersenyum malu. Sepertinya Ares tengah menggombal. Seperti abg labil saja. Pikir Adara. Tapi.. Adara menyukainya. Ia selalu menyukai setiap pujian (maupun celaan yang sebenarnya bahan candaan) yang Ares lontarkan kepadanya. Adara yakin dengan segala perjalanan cinta, dengan segala sikap saling menerima mereka, ia dan Ares akan menyusun cerita bahagia didepan sana.
Adara mencubit lengan lalu meninju pelan dada bidang kekasihnya, “Gombalan kamu, sudah gak mempan ditelinga aku. Jadi lebih baik diam saja!” katanya lalu menjulurkan lidah.
Ares terpaksa harus mengalah, mengizinkan Adara membawa semua barang sesukanya. Dasar wanita, selalu saja keras kepala. Batin Ares.
“Sayang, jangan lupa minyak angin.” Seru Ares. Adara tidak menjawab, hanya mengacungkan sebotol minyak angin lantas menaruhnya pada koper yang sama.
“P3K? Cardigan? Beani hat? Passport? Apalagi ya –“
Ares menimang sebentar, mengingat benda-benda wajib yang harus ia bawa.
“Ah, obat maag kamu. Jangan lupa sayang..” sekotak pil melayang didepan wajah Ares sebagai jawaban.
“Sayang!” seru Ares belum menyerah.
Mata Adara membulat kesal, lalu melirik Ares dengan tampang pongah.
“Apalagi?” katanya.
Ares tersenyum jahil. “Hati aku, jangan lupa.” Yang sukses membuat kedua pipi Adara bersemu merah.
*
Perjalanan Jakarta-Amsterdam, kota yang dipilih Ares dan Adara untuk liburan pra wedding mereka menghabiskan waktu selama 14 jam. Ya, mereka menggunakan penerbangan langsung dengan maskapai Garuda Indonesia tanpa transit terlebih dahulu.
Mereka tiba pukul 10.00 pagi, karena memilih penerbangan  pada dini hari. Bandara Schipol, Amsterdam menyambut dua pasang mata milik Ares dan Adara. Kekaguman gadis disampingnya tak henti-henti bahkan setelah Ares mencoleknya untuk segera bergegas pergi.
Adara bersikeras untuk berfoto dengan latar belakang ikonik timbul Schipol, Amsterdam airport. Katanya, “Kan biar aku bisa posting di instagram, path, terus –“
Sementara Ares berjalan lebih dulu meninggalkan kekasihnya yang mengerucutkan bibir kesal. Dasar udik. Cela Adara dalam hati.
Adara menyamakan langkah kaki besar-besar milik Ares. Ares masih berkutat dengan gadget digenggamannya, juga berusaha menulikan telinganya karena Adara terus saja menyeru manja.
“Ares! Kenapa gak ambil beberapa foto dulu coba? Kan bisa aja ini terakhir kita mengunjungi Amsterdam!” yang lantas dibalas pelototan Ares.
“Kamu.. jangan bicara begitu. Kemanapun kamu mau pergi suatu saat nanti, Amsterdam lagi atau ujung dunia pun selama kamu sama aku itu gak akan berakhir. Jadi jangan bawel.” Ujar Ares.
Adara tidak menjawab lagi. Ia sibuk mencela Ares dengan isyarat yang dibuat-buat.
“Tunggu sebentar disini, ya. Tour guide kita sebentar lagi datang.” Kata Ares. Oh. Adara bergugam, pasti kekasihnya sibuk ber-email ria dengan sitour guide. Awas saja kalau Ares membayar seorang wanita sebagai Jasa traveling mereka.
Excuss! Sir Antares?” seorang lelaki paruh baya menghampiri Ares, sepertinya penduduk lokal Amsterdam karena ia menyapa mereka dengan bahasa Belanda.
Ares mengangguk. Lalu selanjutnya Adara hanya mendengar Ares menggumamkan sepotong nama.
Laki-laki itu membimbing Ares dan Adara untuk mengikutinya.
Follow me.”
Mereka memasuki sebuah mobil, lalu bergegas membelah jalanan Ibukota Amsterdam.
*
Mereka akhirnya memilih hotel Golden Tulip Amsterdam West sebagai tempat beristirahat. Setelah tranksaksi dan semacamnya, mereka mendapat dua kamar berbeda yang bersebelahan di lantai lima.
Ares lebih dulu memasuki kamar Adara, membawakan koper gadisnya. Hotel mereka berada di pusat kota, juga didekat De damDam Square – atau alun-alun kota Amsterdam. Dan setelah ini mereka berencana untuk mengunjungi De Dam sebagai tempat pertama untuk mengisi list wisata mereka.
Sebenarnya, Adara merasa sesuatu yang tidak baik tengah menjajah kekasihnya. Ares terlihat sedikit pucat. Adara yakin kekasihnya tidak mungkin memiliki paranoid terhadap ketinggian udara.
Setelah meletakkan ranselnya di atas ranjang, Adara berjalan menghampiri Ares yang masih sibuk memindahkan koper didekat lemari. Adara menyentuh lengan Ares, tidak panas.
“Kenapa?” tanya Ares pelan.
Adara menggeleng. Entah karena perasaannya semata, tapi Adara semakin yakin bahwa Ares dalam keadaan tidak baik-baik saja. Suaranya ketika menyahut sikap Adara terdengar lirih. Atau... Ares masih menaruh dendam dengan sikap kekanak-kanakan Adara ketika di Bandara? Pikir Adara.
Ares menoleh, mendapati tatapan kekasihnya yang terlihat... terluka? Ares meraih kedua tangan Adara, lalu membimbing profile cantik milik Adara untuk menatapnya.
“Hey kenapa?” tanya Ares pelan.
Adara menggeleng. Tapi bagi Ares itu bukan jawaban yang ia harapkan. Ares tidak ambil pusing, ia juga tidak ingin memaksa kekasihnya untuk menjawab. Ares sejurus memilih pilihan ampuh untuk kerisauan yang ‘mungkin’ tengah dirasakan Adara. Merengkuhnya. Menenggelamkan wajah cantik itu pada dada bidangnya.
Tapi Adara tetap tidak merasakan aura ketenganan disana. Ia tidak tahu mengapa, sesuatu yang tidak baik tiba-tiba berkelebat dalam pikirannya. Adara menggeleng keras-keras, membuang segala pikiran buruk yang menjadi mozaik di otakknya. Ia memilih membalas rengkuhan kekasihnya.
*
De Dam sangat ramai pagi itu. Beberapa turis dari mancanegara juga terlihat berlalu-lalang dihadapan Ares dan Adara. Adara, yang untuk kesekian kali mengambil alih perjalanan mereka menggenggam tangan Ares, tidak ingin kehilangan.
Mereka menghampiri beberapa seniman jalanan, juga sempat mengunjungi Istana Royal Palace of Amsterdam dan Museum Madame Tussauds yang juga berdiri kokoh mengapit alun-alun De Dam.
Adara tidak merasakan bahwa genggaman tangan Ares melonggar. Gadis itu sibuk memberi makan burung-burung merpati yang berkeliaran disekitarnya.
Adara hanya menyadari ketika seseorang menyerukan namanya. Ares. Yang tiba-tiba sudah berada disebrang berbeda. Ares berdiri disamping badut Micky Mouse, ternyata tidak hanya di Disneyland badut Micky Mouse berkeliaran. Pikir Adara.
Adara melihat Ares hendak menyebrang lagi ke arahnya, sebelumnya sempat berbisik sesuatu pada si badut, mungkin mengatakan bahwa badut itu jangan pergi kemana-mana. Adara juga berjalan pada titik yang sama.
Tapi, tanpa di duga, sebuah prahoto dengan kemudi cepat membelah jalanan tepat ketika Ares berlari untuk menghampiri Adara.
Gadis itu tidak sempat berteriak juga tidak sempat berlari, karena prahoto di jalanan sana telah lebih dulu menghujam tubuh Ares. Kepala pemuda itu sempat terbentur keras pada kap prahoto, hingga Ares kini tergeletak dibibir jalan dengan darah yang tumpah dimana-mana.
Adara mengatup rapat bibirnya. Didetik berikutnya, ia jatuh terduduk. Adara hanya mampu menggumam lirih, “Ares..” dan satu tetes beserta pasukan lainnya luruh berkejaran.
Seorang gadis berambut sebahu yang juga melihat kejadian didepan matanya berlari menghampiri Adara.
Gadis berambut sebahu itu meraih bahu kanan Adara yang bergoncang hebat, “Are you ok?” tanyanya.
Adara tidak menjawab, ia hanya menghambur memeluk gadis yang berjongkok dihadapannya, lalu bergumam, “Please save him.”
Gadis berambut sebahu itu berbisik pelan.
Ik smeek je rustig.”
Saya harap anda tenang. Ulang gadis itu dalam hati.
*
Althea, nama gadis berambut sebahu itu, dia mencoba menenangkan diri dengan mengambil nafas, dan mengembuskannya perlahan. Meskipun bau anyir juga merembes masuk kedalam indra penciumannya.
Sebelah tangannya masih merengkuh perempuan asing yang tadi merengkuhnya secara tiba-tiba, dia tahu, perempuan ini pasti berhubungan dengan korban yang sedang berlumuran darah dihadapannya sekarang.
Orang ini harus segera ditolong, teriak batinnya.
Alstublieft!” teriaknya, hingga mencuri perhatian orang-orang yang berlalu-lalang disana. Tidak membutuhkan waktu lama, ambulance segera datang, membawa tubuh Ares yang tergeletak tak berdaya.
*
Rumah Sakit Sint Lucas Andreas, Amsterdam. Menjadi tempat pertolongan pertama Ares saat ini.
Adara, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi dengan kekasihnya. Apa memang pamali itu ada? dia hanya bisa berdoa sekarang, berharap kekasihnya baik-baik saja.
Dia memandang gadis yang duduk disampingnya yang memandangnya dengan tatapan cemas. “Is jy okay?” tanya gadis itu dengan aksen belandanya.
Meskipun Adara masih panik setengah mati, dia masih sempat mengingat kosa kata belanda yang diberikan tour guide mereka, saat di hotel kemarin, “Het spijt me, ik spreek gen Hollands.Saya tidak bisa bahasa Belanda, ulangnya dalam hati.
Gadis itu mengangguk tanda mengerti, “Are you okay?” dia mengulang pertanyaannya dalam bahasa Inggris.
Adara hanya mengangkat bahu, kemudian bergumam. “Tuhan, apa salah kami berdua?”
Althea tidak sengaja mendengar gumaman gadis disampingnya ternyata orang Indonesia, pantas saja. “Anda orang Indonesia?”
Adara mengangguk. Lidahnya sudah terlalu kelu untuk berbicara.
Sekali lagi, Althea merengkuh gadis disampingnya.“Saya juga orang Indonesia. Tenang saja, orang itu pasti akan selamat, Ayah saya yang menanganinya. Dia dokter disini.”
Tak lama setelah itu, sosok pria paruh baya dengan tubuh sedikit tambun, datang menghampiri mereka berdua.“Thea? Pemuda itu temanmu?”
Althea tidak tahu harus menjawab apa, toh dia juga tidak mengenalnya kan? “Bagaimana keadaannya Dad?”
Dokter John, mengembuskan napas dengan tidak sabaran, membuat Adara yang sedari tadi diam, gelisah setengah mati.
“Benturan di kepalanya sangat serius. Mengenai otak bagian memory-nya. Sejauh ini, diagnose saya mengatakan, dia akan mengalami amnesia retrograde. Dimana dia tidak bisa mengingat masa lalunya dengan baik.”
Setitik air mata lagi, jatuh dari pelupuk mata Adara, dengan sigap, Althea merengkuh gadis yang terlihat rapuh itu sekali lagi.
“Bagaimana dia dapat sembuh Dad?” Althea bertanya sekali lagi.
Dokter John, memandang anak semata wayangnya yang terlihat panik. “Semoga saja dia dapat mengingat ingatannya kembali, sebelum satu bulan.Dia tidak sepenuhnya lupa. Tenang saja.”
Dank u Dad.”
Dokter John mengangguk. “Masuklah ke dalam, sebentar lagi dia akan sadar.”
*
Althea dan Adara, memandang Antares yang sedang berbaring tak sadarkan diri. “Dia itu, calon suamiku. Tujuan kami kesini adalah berlibur sebelum hari pernikahan kami, tetapi yang terjadi malah seperti ini.”
Althea menepuk pundak gadis yang ada disampingnya. “Tidak ada yang bisa menebak apa yang terjadi setelah ini. Emm— kita belum berkenalan. Saya Althea, dua puluh dua tahun.” Katanya sambil mengulurkan tangan.
“Saya Adara. Dua puluh empat tahun.”Ucapnya, sambil menjabat tangan mungil Althea.
“Kakak sebaiknya membasuh wajah Kakak terlebih dahulu, menyegarkan diri, jangan terlalu banyak pikiran. Percayalah, semua akan baik-baik saja.”
Adara memandang Thea ragu. “Tetapi Antares?”
“Saya akan menjaganya selagi Kakak membasuh muka.” ujar Althea tulus.
Dara mengangguk, berlalu dan memasuki toilet yang berada di dalam sana. Dia merasa, sesuatu yang buruk akan terjadi setelah ini.
*
Antares merasakan pening menjalari kepalanya.Rasanya seperti mau meledak. Dia mengerjapkan mata, hingga sosok nyata hadir di dalam pandangannya. Cantik.
Dia tidak menghiraukan bau antiseptic yang membuatnya mual, bahkan dia tidak sadar berada diruangan serba putih macam kamar rumah sakit. Dia, memandangi wajah cantik itu, dengan jantung berdebum halus.
Bayangan hitam kembali menghantui pikirannya, rengkuhan, juga canda tawa yang dia lakukan bersama sebuah sosok, berambut sebahu dengan wajah oriental, apa itu orang yang ada dihadapannya kini?
Entah apa yang mendorongnya, dia merengkuh gadis di hadapannya.
“Eh?” adalah reaksi alamiah yang dilakukan oleh Althea, kenapa pemuda ini merengkuhnya? Bahkan memberikan kenyamanan tak kasat mata.
Adara yang sedari tadi mematung di depan pintu, mengerjap tidak percaya dengan apa yang terjadi dihadapannya. Antares-memeluk-gadis-lain.
“Kamu siapa?” tanya Antares setelah melonggarkan pelukannya, pandangannya beralih pada sosok yang ada dibelakang Althea.
Antares memandang dua gadis dihadapannya dengan lekat. Mereka mirip, tetapi yang mana sosok itu? Dia menjambak surai hitamnya dengan tidak sabaran. Sakit, rasanya sakit jika mencoba mengingat.
Tak lama setelah itu, Dokter John datang, dan menyuntikan sedativum pada tubuh Antares, membuatnya sedikit tenang, lalu kembali terlelap.
“Saya harus memeriksanya lagi, ada yang salah dengan diagnose saya. Kalian bisa tunggu di luar.” Putus Dokter John.
*
Althea tidak pernah merasakan ini sebelumnya, jantungnya berdetak abnormal ketika pemuda itu merengkuhnya. Tidak. Pasti tadi dia hanya kaget saja.
“Kak, maaf tadi itu… saya nggak tahu, kenapa Kak Antares peluk saya tiba-tiba. Saya nggak maksud bikin Kakak sakit hati.”
Adara tersenyum miris, tidak menyangka dilupakan secepat itu oleh orang yang ia cintai. “Tidak apa-apa.” Ucapnya mencoba tegar.
Tidak lama setelah itu, Dokter John keluar dengan tatapan mendung.“Ini buruk.” ucapnya.
Kedua gadis dihadapannya memandangnya heran.
“Antares, dia menderita kanker otak stadium akhir. Dan, amnesia tadi sebenarnya akan terjadi cepat atau lambat. Tetapi, kecelakaan itu membuat kondisinya semakin buruk, dan ya, dia lupa ingatan. Jangan paksa dia untuk mengingat.” Jeda sejenak, Dokter John mengembuskan napas. “Harapan hidupnya tinggal sebentar, saya harap dia dapat memperoleh kenangan terindah, sebelum dia pergi dari dunia ini.”
Adara kembali menintikan air mata, ini buruk, sangat buruk bagi dirinya, tidak apa-apa dia dilupakan, tetapi kehilangan? Dia tidak mau kehilangan Ares, tidak mau.
*
Antares sedikit mual, mungkin karena bau antiseptic yang terus-terusan terbau oleh hidungnya. Kepalanya masih pening. Entah karena apa. Yang dia tahu, namanya Antares, selebihnya dia tidak ingat. Aneh, gumamnya miris.
“Halo Ares, aku Adara, dan dia adalah Althea, kami temanmu.” Ucap seorang gadis dengan sedikit gemetar.
Althea memandang Adara heran, kenapa gadis itu menyembunyikan hubungan aslinya dengan si pemuda?
“Kenapa mengingat rasanya sakit?” gumam pemuda itu ambigu.
“Jangan dipaksa. Jangan dipaksa untuk mengingat.”Kata Adara lagi, menahan air matanya yang siap jatuh.
“Kalian yang menungguku disini?” tanya pemuda itu.
Kedua gadis dihadapannya mengangguk.
“Kamu, pulang saja, wajahmu pucat. Biar dia yang menjagaku disini.” Kata Ares pada Dara, membuat Thea membulatkan mata.
“Tapi—“ belum sempat Thea mengutarakan pendapatnya, Dara menyahut. “Tidak apa-apa, aku mau ke panginapan dulu. Titip Ares ya.”
Jika begini caranya, Thea ingin tubuhnya menghilang saja. Dia seperti pengganggu hubungan orang. Gadis itu memilih diam, duduk di sofa paling ujung. Tak berani menatap Antares yang dari tadi memandangnya nyalang.
“Kenapa menghindar?” tanya suara baritone itu.
Thea masih bergeming.
“Kalau kamu temanku kenapa kamu menghindar?” Pemuda itu bertanya sekali lagi, kali ini dengan penuh penekanan.
“Tidak.”Sahut gadis itu singkat.
“Bawa aku melihat bunga tulip.” Pinta pemuda itu. Mau tidak mau, Thea menurut saja, membawa Ares dengan bantuan kursi roda, dengan sebelah tangan membawa infus pemuda itu.
Sedari tadi, Thea tidak berani memandang Ares, takut jatuh dengan pesona pemuda itu, dia tahu, pemuda itu bukan miliknya, hampir beristri. Dia tidak berhak untuk jatuh cinta padanya.
Dan, disinilah mereka. Taman belakang Rumah Sakit Sint Lucas Andreas, tidak begitu luas, namun dipenuhi berbagai macam warna dari bunga tulip, bunga khas Negara Belanda.
Ares memandang takjub, tidak menyangka ada tempat seindah ini di rumah sakit, entah kenapa dia yakin, sosok itu adalah gadis ini.
“Boleh aku bertanya?” suara Ares membuat Thea melirik pemuda itu sekilas.
“Boleh.”
“Apa bahasa Belanda aku cinta kamu?” tanya pemuda itu, tanpa mengalihkan pandangan dari gadis disampingnya, sosok ayu yang sedang menikmati semilir angin berembus.
Ik hou van jou. Jawabnya, sambil menatap langit biru cerah dihadapan mereka.
“Sama aku juga.” Kata Ares sambil terkekeh. Mengambil tangan kanan Althea, dan meletakannya pada dadanya.
“Dengar detak jantung ini kan? Aku percaya sosok yang muncul di tiap pikiranku itu kamu.”
Sebuah rasa nyata yang seharusnya tidak pernah hadir pada tiap keping hati yang ada disana, akhirnya datang. Ada rasa nyata, yang kembali membungkam perasaan.
Ini salah. Teriak batin Thea dalam hati, gadis itu, mati-matian menyangkal hatinya, dia tidak boleh jatuh cinta pada pria yang ada dihadapannya.
Dengan sedikit kepayahan, Ares berdiri, merengkuh sosok mungil dihadapannya untuk yang kedua kali, di sekeliling bunga tulip, dibawah langit yang sama, dengan detak jantung bertempo sama, tanpa mereka sadari. Perasaan itu harusnya tak pernah ada.
Di balik koridor Rumah Sakit, seorang gadis memandang penuh luka dua insan yang baru saja dipanah oleh eros,  mencoba meyakinkan dirinya, bahwa dia akan merelakan, merelakan pria-nya dengan gadis yang baru ia kenal.
*
“Tolong bahagiakan Ares.” Kata Dara, ketika Thea menutup pintu kamar Ares.
“Maksud Kakak?” tanya Thea dengan menaikan sebelah alisnya.
“Aku tahu, Ares mencintaimu sekarang. Kamu yang tergambar nyata dimata dan pikirannya, Althea. Aku tidak akan memaksa Ares untuk mengingatku jika bersama kamu dia bahagia. Dan aku akan bahagia jika melihat orang yang aku cintai bahagia. Tolong, jadilah sosok Adara baginya. Tolong wujudkan keinginanku ini.”
Thea tidak tahu harus berkata apa. Dia tahu, dia tahu hatinya sekarang, dia telah jatuh oleh pesona Antares, sejak pemuda itu merengkuhnya saat membuka mata pertama kali.
Berkali-kali dia menyangkal, tetapi hatinya tidak bisa berbohong, dia telah jatuh cinta. Dan hatinya terus ingin membuat Ares bahagia, bahkan jauh sebelum Adara meminta.
“Tetapi, aku tidak mau menyakiti hati Kakak.” Ujar Thea, ketika dia menyadari setitik air mata jatuh dari pelupuk Dara.
“Aku, tidak apa-apa Thea. Aku bahagia, jika kamu membuat Ares bahagia.” Thea menghambur memeluk Dara, tidak menyangka ada perempuan berhati malaikat seperti gadis dihadapannya ini.
“Aku tidak bisa Kak, aku hanya ingin membantu kesembuhannya. Sampai kapanpun dia akan tetap menjadi milikmu.” Kata Althea lirih, kembali menyangkal hatinya.
*
Hari-hari setelah itu, terasa pahit bagi Dara, ketika melihat tawa Ares, senyuman Ares, rengkuhan hangat itu… bukan lagi untuknya.
Rasanya sudah sangat jauh baginya, untuk kembali bersama pemuda itu, bukan jarak nyata yang memisahkan mereka, tetapi jarak hati mereka. Seperti berada dibelahan bumi berbeda.
Dia tahu, ini konsekuensi yang dia ambil, dia harusnya tahu merelakan ternyata sesakit ini. Dia menatap miris, kemoterapi yang baru saja dijalani Ares, bukan dia yang mendapinginya, tetapi Althea. Bukan tangannya yang di genggam oleh Ares, tetapi Althea, keadaanya berubah. Dan dia harus sadar itu.
Ares menggenggam erat tangan Althea yang terasa hangat. Kemoterapi membuatnya ingin lenyap saja, injeksinya memang tidak seberapa, tetapi efeknya bisa membuatnya gila.
“Tetaplah disini.” gumamnya
Membuat Althea menahan detak jantung yang telah berdetak menyalahi aturan, mungkin kata sang ayah, ini kardiotonik alami. Yang tidak dia dapatkan dari laki-laki manapun.
Sesaat setelah kemoterapi selesai, tangannya masih saja digenggam oleh Ares, dia tidak tahu harus bersikap bagaimana pada pemuda dihadapannya. “Aku cinta kamu.”
Lagi, pemuda itu membawa perasaan yang seharusnya tidak boleh ada, perasaan yang sama yang dimiliki Althea sekarang. Gadis itu bungkam, mengalihkan pandangan pada jendela kamar Ares.
“Kenapa diam?senyum dong! Jelek tahu.” ucap Ares, tidak tahan mencubit pipi tembam Thea dengan tangan kanannya.
Thea hanya mengerucut kesal, menahan gejolak yang seharusnya tidak ada disana, dia tahu, posisinya salah.
“Tersenyumlah, kamu cantik jika tersenyum.” Kata Ares lagi.
Membuat Althea tersenyum tipis, tidak tahan kedua pipinya merona.
Adara memandang miris. Kini, dihadapannya Thea dan Ares sedang bercanda, Ares tersenyum lebar, sambil mengacak rambut Thea penuh sayang. Bahkan tatapannya lebih hidup jika dibandingkan dengannya dulu. Membuat langkahnya tertahan di depan pintu.
Ares memandang aneh, gadis yang dari tadi mematung di depan pintu, dia menghentikan acakan rambutnya pada Thea yang sudah mengerucut menahan kesal.
Neutron otaknya kembali terhubung tiba-tiba, bayangan hitam itu memudar, berganti sebuah adegan durasi pendek dengan menampilkan wajah yang jelas, tidak lagi kabur, seperti waktu itu, Adara. Adara gadisnya.
Demi apapun, kepalanya sangat sakit. Dia merintih, membuat dua gadis disekitarnya panik. Dia menjambak rambutnya dengan kasar. Berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan. Rasanya sangat sakit, asal kau tahu itu.
Dokter John kembali datang, menyuntikan diazepam pada lengan kanan pemuda itu, membuat pemuda bernama Antares itu memejamkan mata tiba-tiba.
“Kondisinya memburuk, sel kanker membelah dengan sangat cepat, harapan hidupnya semakin menipis.” Kata Dokter John, setelah memeriksa kondisi Antares.
Kedua gadis yang sama-sama mencintai Antares menangis bersamaan, tidak menyangka pemuda tampan itu sedang berada diambang hidup dan mati.
*
Adara memandang nanar langkah tergesa-gesa dari kaki-kaki manusia yang mulai mendekat ke arahnya. Keluarganya dan keluarga Antares kini telah berdiri sempurna didepan matanya.
Adara tidak sanggup menahan segala beban yang kini dialami hidupnya. Bayang-bayang sosok tinggi Ares memakai jas pengantin, menyematkan cincin dijari manisnya, kini telah hilang dalam sekejap mata.
Adara menghambur pada pelukkan sang Mama, membiarkan tangis penuh luka itu berkejaran dengan pilu.
Sepotong adegan mengharukan itu berhenti ketika kenop pintu kamar rawat Ares terbuka, menampilkan sosok gadis berbeda dengan mata sembab serupa dengan Adara. Gadis itu Althea.
Althea tersenyum lirih tatkala dua keluarga itu sama-sama menatapnya penuh dengan tanda tanya, ia bahkan sempat mendengar ucapan menyiratkan luka yang keluar dari bibir orangtua Adara.
“Kamu itu calon istrinya! Kenapa membiarkan wanita lain mengambil hati Ares dengan Cuma-Cuma?”
Lalu Althea benar-benar ingin bergegas pergi darisana. Enggan mendengar kenyataan lain tentangnya. Althea tahu, ia telah jatuh pada kisah cinta yang tidak pernah ia duga. Apa ia salah mencintai Antares? Jika segalanya salah kenapa ia sulit untuk tidak membiarkan rasa itu menghilang saja? Jika rasa cinta bisa diatur kehendaknya oleh dia, tentu Althea tidak akan mencintai Antares. Mencintai Antares milik Adara.
*
Antares merasakan pandangannya mengabur, meskipun dia masih bisa menebak, siapa yang menunggunya saat terpuruk seperti ini, Adara dan Althea. Dua gadis yang memberi warna berbeda dalam hidupnya.
Dia salah, mengumbar rasa cinta pada dua gadis yang berbeda. Dan dia tidak bisa memilih salah satu dari mereka. Mereka sama-sama berarti, dan sama-sama dia cintai.
Dia tahu, penyakit ganas itu akan menghabisinya sebentar lagi, dia juga sudah tidak tahan berbagai sediaan obat merajai setiap tubuhnya. Dia menyerah. Dia ingin menuju keabadian sekarang.
Tetapi, sebelum itu, dia ingin meminta maaf kepada dua gadis yang sedang memandangnya lega.
“Adara.” Katanya lirih. “Mendekatlah.”Sambungnya.
“Aku mencintaimu, aku telah mencoba  mengingat semuanya. Maaf aku membuatmu sakit hati akhir-akhir ini. Maaf aku sempat melupakanmu. Itu bukan kesengajaanku. Antares bangkit dari tempatnya berbaring, merengkuh gadis dihadapannya, tak menghiraukan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya, dengan senyuman lebar di wajah pucatnya.
Antares melonggarkan dekapannya, kemudian memandang Althea dengan sayu. “Aku juga menyayangimu, Althea. Perasaanku bukan pura-pura. Semua memang benar adanya, ketika pertama kali melihatmu saat tersadar. Terimakasih telah memberikan warna baru dalam hidupku.
Ares menggenggam kedua tangan Althea, tanpa menghilangkan senyumnya. Setelah melepas genggaman tangannya pada kedua tangan Althea, Antares kembali berkata, “Aku salah. Aku tidak bisa memilih salah satu dari kalian. Aku tidak pantas. Aku bahkan tidak pantas hidup pada dimensi yang sama dengan kalian.”
Kedua gadis dihadapannya menangis pilu. “Carilah laki-laki yang lebih baik dari aku.” Katanya, kemudian melirik Elektrokardiogram  yang ada disampingnya. “Aku sudah tidak butuh alat itu.”Gumamnya lirih.
“Aku lelah. Aku ingin tidur, Ik hou van jou, Tot ziens, Hartelijk dank. Setelah itu, mata Ares tertutup rapat, dia menghembuskan nafas untuk yang terakhir kali, seiring Elektrokardiogram yang kini telah menujukan garis lurus. Pertanda, jiwa Ares telah menuju Sang Pencipta.
“Semoga kamu bahagia disana Ares, aku selalu mencintaimu.” gumam Adara lirih. Setidaknya, dia tahu, Ares masih mencintainya. Dan mengingatnya disaat terakhir.
Goede reis, Ik hou ook van jou.” gumam Althea. Dia tidak menyangka akhir cintanya akan secepat ini, singkat, tetapi tidak akan terlupa. Selamat jalan, aku juga mencintaimu. Ulangnya dalam hati.
Adara melirik Althea yang tidak sanggup menahan air matanya, lalu berkata pelan, “Apa ada yang lebih terluka dari seorang gadis yang kehilangan calon suaminya?”
Adara menyentuh bahu Althea, “Saya tahu, kamu juga terluka. Tapi saya berharap, jadilah Althea dengan senyum yang sama ketika mata Ares pertamakali terbuka. Jangan pernah berpikir takdir mempermainkan kita. Kita, mungkin cinta terakhir bagi Ares. Tapi jangan jadikan Ares cinta terakhir buat kita. Kamu adalah bagian dari diri saya. Jadilah wanita yang tegar.”
Adara, sekali lagi memandangi seonggok manusia yang terbujur kaku didepan matanya. Lalu bergegas pergi, membimbing tangan Althea bersamanya.
Kematian adalah hal yang tidak bisa dilepas pada kehidupan manusia, bagaimanapun cara mengelak, dan sejauh apapun berlari menentang takdir, ia akan tetap menemukan, dan terus menjadi pemenang, seperti takdir Antares sekarang.
-End-

*
voilaaa ini collab paling mainstream.. wkwk saya sangat berterimakasih sama teteh agen yang memoles ending yang saya buat sehingga menjadi begitu apik seperti ini =)) saya nggak bakat bikin sad end, ini jagonya teteh nita, oh iya, kita berdua sedang berusaha jauh dari bayang2 genre yang itu-itu ajaa, *lirik penantian dan cinta pertama* HEHEHE, kita mau mencoba hal-hal baru, dan nggak mau stuck di genre itu, terimakasih sudah membaca, salam hakuananitama  dari teteh agen, dan salam bintang dandelion dari peri nirmalaa~

1 komentar:

Nita Julianti Sukandar Putri mengatakan...

ASIKKKKKKK :3333

Posting Komentar