It’s Not First Love
*
“Cinta adalah ia yang
memberi kepastian, tidak dengan memberi sebutir harapan.”
*
*
Sebuah
ruangan dengan ukiran kelopak sakura pada setiap dinding yang ada disana, kini
dihuni oleh tujuh orang dari berbagai usia, Salah seorang diantaranya
mengerucut menahan kesal. Tidak mengerti apa yang sedang di tunggu kawanannya
sebelum melakukan tour pertama
mereka.
Dia
tidak tahu, kenapa dia menurut saja, ketika sang Mama menganjurkannya berlibur ke
negeri bunga sakura ini. Padahal sejujurnya, dia tidak suka negara ini, karena
berhubungan dengan seseorang dari masa lalunya. Cinta pertama, yang memberi
luka tanpa sosok itu pernah sadari.
“Sorry! I’m late!” seru seseorang dengan
langkah kaki tidak sabaran.
Vano
tersenyum tipis, menyadari keterlambatannya yang hampir tidak bisa di tolelir.
“Saya minta maaf, saya terlambat bangun tadi.” katanya sekali lagi, dengan
bahasa dari negara asalnya.
Salah
seorang pemuda bermata sipit mengangguk maklum,
kemudian kembali angkat bicara. “Ohayou
minna-san! Karena peserta dari Indonesia sudah siap, kita akan menuju
tempat pertama tour ini. Yoyogi Park, kalian bisa melakukan hanami disana.”
Derap
langkah kaki, mulai meninggalkan hotel yang memamerkan keindahan bunga sakura
itu. Tak terkecuali seorang gadis yang sedari tadi tidak memperlihatkan
ekspresi apapun. Ia tidak peduli, rombongannya telah berada lima langkah jauh
kedepan, yang ia inginkan sekarang adalah pulang ke tanah air.
Vano
memandang heran, seorang gadis yang dari tadi sama sekali tidak terlihat
menikmati perjalanan Tour in Tokyo
ini. dia memelankan langkah besarnya, sehingga menyamai langkah kecil gadis
itu.
“Hai.”
sapanya singkat.
Gadis
itu masih diam, meliriknya tanpa ekspresi.
“Patah
hati?” katanya lagi, hingga sukses mendapat delikan dari gadis itu.
Perempuan memang merepotkan,
ucap batinnya. Beruntunglah kakak sepupunya adalah seorang psikolog, Vano
belajar banyak tentang perubahan raut wajah, dan sepertinya sangat berguna
sekarang.
Vano
kembali berkata, “Saya nggak lagi bicara sama batu.”
“Apa
urusanmu?” kata gadis itu sinis.
Vano
tak memedulikan sentakan kecil dari tangan mungil gadis itu, ketika dia
menariknya. “Kamu mau kita tersesat disini? Rombongan udah jalan jauh tuh!”
Gadis
itu tetap saja tidak peduli, raut mukanya datar, tidak memperlihatkan emosi,
tetapi Vano tahu, gadis itu menyimpan sesuatu dalam hatinya, sehingga ia
berlagak seperti air di belahan bumi utara.
*
Yoyogi
Park, Tokyo, Jepang. Sebuah taman dengan ribuan bunga sakura yang mekar pada
saat musim semi, pada tengah-tengah taman, terdapat sebuah sungai kecil yang
benar-benar di jaga kebersihannya, sehingga taman itu terlihat begitu memikat.
Dan,
disinilah Stella sekarang, sama sekali tidak tertarik pada bunga sakura yang
mencoba menggodanya. Sudah berulang kali dia katakan, dia tidak suka tempat
ini. dan sebuah kesalahan ketika ia menurut perintah Mamanya untuk kali ini.
“Stevano
Ananta. Yoroshiku onegai shimasu.”
Suara
baritone seorang pemuda yang sedari tadi mengganggunya, membuatnya menoleh ke
sumber suara. Ia mendelik, begitu menyadari tangan kanan pemuda itu telah
menggantung di udara.
“Stella
Dandelion. Saya nggak ngerti kamu ngomong apa.” katanya datar, tanpa membalas
uluran tangan dari sang pemuda.
Vano
dongkol setengah mati, ini hati perempuan disampingnya terbuat dari apasih?
Dingin, dan tak tersentuh. Tetapi, pemuda itu menyeringai menyadari satu hal.
“Kamu…
penulis yang ceritanya pasti tentang cinta pertama itu kan?” dia bertanya,
sambil menaikan sebelah alis.
“Tahu
apa kamu tentang saya?” jawab Stella sinis. Hatinya sensitif, mendengar kata
‘cinta pertama’ membuatnya tidak bisa melupakan bayang-bayang masa lalu saja.
“Benar
kan? Saya punya buku kamu lho.” pemuda itu berkata sekali lagi, tetapi Stella
bergeming tidak menjawab.
Vano
mengembuskan napas berat, ia menyapu pemandangan Yoyogi Park, dengan netra
hitamnya. Sesekali ia melirik gadis dingin disampingnya yang sedari tadi hanya
diam.
“Kamu
nggak keliling? Percuma bayar mahal kalau kamu disini aja. Waktu bebas hanya
tiga jam.”
Stella
membuang muka, mengalihkan pandangan dari netra hitam tajam yang memandangnya
dari tadi. “Saya nggak suka tempat ini. lagi pula, kenapa kamu masih disini
sama saya?”
Vano
mencibir, percuma ada musim semi, kalau gadis disampingnya mengeluarkan aura
musim dingin. “Kalau nggak suka, kenapa kamu liburan kesini? Saya nggak mau ada
gadis dingin tersesat di tempat seindah ini.”
Stella
memicing, memandang Vano seakan dia adalah manusia berbahaya yang harus
dimusnahkan. “Mama saya yang suruh saya kesini. Awalnya saya juga nggak tahu
kalau saya liburan di Tokyo.”
Pemuda
dengan mata tajam itu menahan tawa. Dingin-dingin anak mama juga, dasar tsundere. Dia menarik tangan mungil
gadis itu dengan tidak sabaran, membawanya di salah satu bangku yang menghadap
pada sungai kecil yang ada disana.
“Apa?”
gertak Stella, memandang Vano kesal.
“Duduklah,
nikmati saja angin musim seminya.” kata Pemuda itu, kemudian berlalu
meninggalkan Stella.
Stella
menunduk, merutuk dalam hati, kenapa ada pria menyebalkan seperti itu eh? Harusnya
dia di rumah saja, melanjutkan naskah barunya. Ah, dia ingat. Pasti ini cara
sang Mama, agar dia bisa menghentikan diri sejenak dari dunia menulisnya. Huh.
Menyebalkan!
Sekarang
pikirannya beralih pada pria sebayanya, yang bernama Stevano itu. Apa maksudnya
sih? tadi pemuda itu berkata tidak mau meninggakannya agar dia tidak tersesat,
sekarang dia di tinggal juga. Dasar alibi.
Gadis
itu mendongak, ketika mendapati nasi kepal berbentuk segitiga hampir menyentuh
hidungnya. Onigiri? Irisnya membulat,
mengetahui siapa pemberi nasi kepal itu.
“Makanlah,
ini tidak beracun.”
Stella
masih tidak memperlihatkan ekspresi apapun. Membuat sang pemberi mendelik
kesal. “Ambil, atau mau aku suap hm?”
Tangan
kecil Stella akhirnya mengambilnya juga. Dia benar-benar tidak mengerti pemuda
yang sekarang duduk disampingnya ini.
“Mahasiswa
kan?” Stella mengangguk.
Pemuda
itu bertanya lagi. “Jurusan apa?”
“Jurusan
yang dianjurkan Mama saya.” Sahut Stella tak acuh.
Vano
tidak tahan untuk terkikik. “Universitas mana?”
“Universitas
yang buat Mama saya jatuh hati.” Sahut gadis itu lagi.
Sambil
melahap onigiri-nya, Vano kembali
berkata, “Saya nggak tanya tentang Mama kamu ya! anak Mama.”
Stella
meninju pelan, bahu pemuda disampingnya. “Saya mahasiswa kesehatan tahu! dan
saya rasa kamu nggak waras.” katanya sambil tersenyum tipis.
Sudut
bibir Vano tertarik, melihat senyum samar gadis disampingnya. entah apa yang
mendorongnya, dia sedikit penasaran dengan gadis disampingnya. dia ingin tahu
lebih jauh sisi dalam gadis itu.
“Saya
kira kamu anak sastra, kamu kan penulis.”
Stella
menggeleng pelan. “Sebenarnya, saya lebih tertarik sama sastra, apalagi dengan
astronomi, tetapi… kata Mama, jadi anak kesehatan lebih cocok buat saya,
lagipula saya punya janji pribadi sama mendiang Papa, mengobati orang-orang
yang sakitnya seperti Papa.”
Stella
merutuk mulutnya, berbicara begitu banyak pada orang asing. Kenapa dia bisa
kelepasan?
Vano
kini mengerti, kenapa gadis itu menjadi dingin seperti ini, meski ia tak yakin,
hanya kematian sang ayah yang membuat gadis itu seperti ini. “Saya mahasiswa Astronomi,
di ITB.”
Stella
menaikan alis, tidak menyangka akan bertemu mahasiswa astronomi yang begini
menyebalkan. Ah, jurusan keinginannya dulu, yang kini hanya tinggal harapan.
Vano
menyadari, sorot mata gadis itu kembali dingin. Sebenarnya gadis ini kenapa
sih? bukankah kebanyakan penulis mahir berbicara? Kenapa gadis ini sebaliknya?
Bahkan untuk sekedar berbicara dia terlihat enggan. Ada apa dengan masa lalu
gadis itu?
“Kamu
nyaman dengan pilihan Ibumu?” pemuda itu bertanya dengan hati-hati, takut gadis
disampingnya memandangnya tajam.
Stella
tersenyum tipis. “Sejak Papa nggak ada, apa yang menjadi pilihan Mama itu saya
anggap yang terbaik, suka nggak suka, nyaman ataupun enggak.”
Vano
menaikan alis, melihat sebuah figure kosong dari sorot mata gadis itu. Teman
berbagi, gadis itu telah banyak memendam semuanya sendiri. “Kamu berhak
menentukan jalan hidupmu sendiri, pernah mengutarakan pendapatmu pada Ibumu?”
Gadis
berambut sebahu itu menggeleng. “Saya memilih diam.”
“Sampai
kapan?” gumam Vano ambigu.
“Sampai
kapan kamu memendam semuanya sendiri? Bicaralah apa yang ingin kamu utarakan.”
ulang Vano dengan aksen lebih jelas.
Stella
hanya diam, pandangannya kosong. Aku juga
tidak tahu.
Vano
mengembuskan napas berat, menjuput kelopak sakura yang jatuh dipucuk kepala
gadis itu. “Saya sekarang teman kamu, kamu bisa cerita apapun sama saya.”
Katanya, seiring lembayung senja yang mulai menampakan diri disana.
*
Stella
tersenyum, entah kenapa dia merasa hari-hari kemarin tidak begitu buruk, sadar
atau tidak, pemuda bernama Stevano itu telah sedikit merubah pandangannya
tentang Jepang, meskipun ia belum bisa lupa dari bayang-bayang masa lalu itu.
Tangan
mungilnya membuka list perjalanan
hari ini, tertera Disneyland Tokyo
disana, dia akan bertemu Putri Salju dan Cinderella eh? Dia harap, sosok yang
sangat mengagumi negeri ini tidak akan muncul.
Belum
sampai ia mengunci pintu kamar, sosok tinggi di belakangnya membuatnya
terperanjat. “Kamu mau bikin saya kaget?” hardiknya dengan nada sinis.
Pemuda
itu tertawa, mengacak rambut hitam gadis dihadapannya. “Saya kira kamu akan
terlambat, semuanya sudah kumpul di lobi.”
Stella
mendelik, menyadari kekehan Vano yang dari tadi tidak kunjung berhenti. “Kamu
tuh yang kemarin terlambat! Sorry saja, anak kesehatan selalu tepat waktu.”
Vano
mencibir, melihat gaya bicara Stella yang mulai dingin. “Ayo, Daichi-kun bilang, kita harus segera bersiap.”
“Daichi
siapa?” tanya Stella dengan dahi berkerut.
“Udik," cela Vano, "Dia Tour Guide kita.” jawab Vano, tidak memedulikan Stella yang
memandangnya tidak suka.
*
Stella
merutuk dalam hati, kenapa harus Vano yang ada disampingnya? pemuda itu
terlihat berbincang akrab dengan pemuda paruh baya yang duduk di depannya.
Gadis itu memilih membuang pandangan ke arah jendela. Melihat bunga sakura yang
perlahan jatuh di tiup angin.
“Hei,
kamu nggak kenal sama rombongan kita ini selain saya?” bisik Vano, membuat
Stella bergidik.
“Saya
nggak peduli.” Sahut gadis itu tak acuh.
Vano
mencibir, menyadari sikap dingin Stella yang sudah mendarah daging. “Kamu
kenapa bersikap dingin seperti ini?”
“Apa
pedulimu? Kamu mau, saya bersikap seperti anak kecil yang habis mendapatkan
permen?” balas Stella sengit.
“Saya
peduli sama kamu.” Tegas Vano, kemudian tangannya menarik tangan mungil gadis
itu agar bangkit dari tempatnya duduk. “Sudah sampai ayo turun.” Ia membimbing
gadis menuju gerbang Disneyland Tokyo.
Tidak peduli, gadis itu meronta ingin di lepaskan.
Tidak
menunggu banyak waktu, Vano menyeret gadis disampingnya menuju berberapa wahana yang menurutnya
menarik, seperti Pirates of Caribbiean yang
merupakan perahu berkapasitas dua puluh orang, yang mengajaknya mengelilingi
area Adventureland, dan melihat live action dari Captain
Jack Sparrow.
Sesekali
Vano melirik gadis disampingnya yang terlihat biasa saja, dia mengacak
rambutnya dengan tidak sabaran, ayolah, mereka sudah menaiki semua wahana di Adventureland! Dan tidak ada wajah
berbinar dari gadis itu.
Tidak
menyerah, ia kembali menarik tangan gadis itu menuju Fantasyland. Dan, benar saja, sudut bibir gadis itu tertarik,
ketika menaiki mini car pada wahana Snow White’s Adventure.
Gadis
itu terlihat begitu hidup ketika memasuki wahana Cinderella’s Fairy Tale Hall. Vano menyeringai. “Ingin berdansa
dengan pangeran?”
Membuat
bibir gadis itu melengkung ke atas.
Vano
terkekeh. “Bercanda. Kamu nggak punya selera humor sih.”
Tanpa
permisi, Vano kembali menarik tangan gadis itu, untuk mengistirahatkan diri
sejenak pada salah satu bangku kosong yang ada disana. “Kamu kapan nggak
bertingkah nyebelin sih?” rutuk Stella.
“Kamu
kapan nggak bersikap dingin?” ujar Vano, membuat gadis itu kembali bungkam.
Vano
kembali melirik gadis disampingnya yang sedari tadi menunduk. “Kamu bisa cerita
sama saya. Saya tahu, kamu itu lagi patah hati, juga… kamu kesepian.”
Stella
mendelik. “Tahu dari mana kamu?”
Vano
mengetukkan telunjuknya pada pelipis. “Think.”
Jeda sejenak, sebelum ia kembali angkat bicara. “Semua terlihat dari sorot mata
kamu.”
Stella
menghela napas sejenak. “Oke, aku menyerah. Aku akan cerita.”
Vano
tersenyum, menyadari usahanya berhasil.
“Aku
nggak suka Jepang, Jepang mengingatkanku pada seseorang.” kata Stella, memecah
keheningan yang tercipta siang itu.
Vano
menaikan sebelah alis. “Your love?”
Stella
mengangkat bahu, “Aku menyebutnya cinta pertama, orang bilang cinta pertama
nggak bisa dilupakan, dan mungkin benar adanya. Aku nggak bisa lupa sama dia,
padahal dia tanpa sadar buat aku sakit hati. Dia suka sekali dengan negeri ini.
maka dari itu, aku nggak suka berada di Jepang. Jepang buat aku ingat lagi sama
dia.”
Vano
tersenyum tipis. “Jadi itu alasan kamu nggak suka sama negara ini? jangan
membenci negara ini, sebenarnya orang itu nggak ada kaitannya sedikitpun
sama negara ini. kalau kamu sayang kenapa putus?”
Stella
kembali menghela napas, sambil memainkan botol kemasan yang berisi ocha. “Aku nggak pernah tahu perasaan
dia. You know, aku nggak pernah
berani mengungkapkan sesuatu. Sejauh apapun melupakan tapi nggak bisa, rasanya
seperti terikat.”
Vano
terkekeh. Ia kembali memandang langit biru dihadapannya. “Cinta pertama itu
nggak ada, yang ada hanya mereka yang ingin mengikatkan diri pada seseorang.
Bukan terikat, tapi mengikatkan diri.”
Stella
mencibir, memandang Vano heran. “Kamu nggak pernah pacaran?”
Tawa
Vano meledak, tidak tahan mengacak surai hitam gadis disampingnya. “Memang kamu
pernah pacaran? Saya belum pernah pacaran, tetapi saya pernah jatuh cinta,
meskipun saya lupa, bagaimana rasanya jatuh cinta.”
Stella
mendengus, merapikan rambutnya yang sudah teracak tidak beraturan. “Pantes,
kamu lupa bagaimana rasanya sih. kamu harus jatuh cinta dulu, baru bisa kasih
nasehat ke aku.”
Vano
tersenyum tipis, melihat tingkah lucu gadis disampingnya. “Saya nggak akan
jatuh cinta, selama cinta yang dikasih Tuhan, dan keluarga saya, masih cukup
buat saya.”
Stella
masih diam, menunggu Vano kembali berbicara, “Cinta pertama itu nggak ada, yang
ada adalah cinta sejati. Coba saja kamu bayangkan, suami kamu tahu, kalau kamu
nggak bisa melupakan cinta pertama kamu? Bukankah dia akan sakit hati? Bagus,
jika cinta pertama kamu akan jadi yang sejati. Tapi sayangnya, nggak
semua orang, memiliki kisah sama seperti kisah fiksi yang kamu buat.”
Gadis
berambut sebahu itu kembali bertanya. “Emang kamu tahu cinta itu apa?”
Vano
mendelik, menyadari gadis disampingnya sedikit terbuka. “Cinta itu tulus,
memberi kepastian, bukan memberi harapan, dia selalu membawa kebaikan.”
Stella
membuka keripik kentang yang ia bawa dari hotel. “Lalu bagaimana dengan
perasaan terikat dan tidak bisa melupakan?”
Vano
memutar bola mata bosan. “Itu bukan cinta. Kalian yang terikat, atau kamu yang
mengikatkan diri?”
Stella
mendelik, “Aku nggak tahu perasaan dia.”
Pria
bermata tajam itu kembali memandang gadis disampingnya. “Kenapa kamu mau
menunggu dalam ketidakpastian?”
Stella
mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. kamu sendiri kenapa nggak mau jatuh cinta?”
Vano
menaikan sebelah alis. “Saya menunggu cinta sejati. Berusaha memberikan yang
terbaik untuknya. Saya mau hati saya bersih, bukan yang berbekas. Saya mau
meraih semua mimpi saya, agar layak untuk orang yang saya cinta nanti.”
Mata
hati Stella terketuk, sial. Bagaimana jika pasangan masa depannya bukan cinta
pertamanya? Bukankah membuat hati orang itu –entah siapa nanti- sakit?
“Kamu
tahu caranya melupakan?” tanya gadis itu ambigu.
Vano
terkekeh, melihat Stella memainkan tali jaketnya. “Minta sama Tuhan dong, di
kuduskan hatinya.”
Stella
melahap keripik kentangnya, kemudian bertanya, “Bagaimana jika ada perempuan
yang menyatakan perasaan ke kamu? Secara ada emansipasi sekarang.”
Lagi-lagi
Vano tertawa, mendengar pertanyaan lucu yang terlontar dari mulut gadis itu.
“Kamu mau nembak saya?” jawabnya, sukses mendapat delikan dari Stella.
“Nggak
lah, aku pilih jual mahal.” Sahut Stella kesal.
“Jadi
kamu maunya saya yang nembak kamu? Boleh tuh! Tapi tunggu ya, lupakan dulu
cinta pertama kamu.” Kata Vano lagi, sukses mendapat hantaman sebotol ocha dari
tas gadis itu.
“Siapa
yang mau sama kamu!” ujar Stella sambil membuang muka, tidak tahan kedua mukanya
memerah. Nyebelin banget jadi orang, rutuk
batinnya kesal. Apanya yang bukan tipe eh Stella? Wajah sedikit tirus, sorot
mata tajam, hidung sedikit mancung, tubuh tinggi tegap, meskipun sedikit kurus
untuk ukuran laki-laki, tetapi punya pesona maskulin yang tidak bisa ditolak,
apanya yang bukan tipe?
“Bercanda.
Lagian siapa yang mau sama gadis dingin seperti kamu?” sahut Vano, sambil
memutar bola mata bosan, sesekali ia melirik gadis disampingnya yang sedang
membuang muka.
Ia
kembali angkat bicara. “Kalau saya juga cinta sama dia, ya saya suruh nunggu,
sampai saya berhasil meraih semua mimpi saya. Kalau enggak, ya saya tolak.”
ujar Vano, kembali mengacak rambut gadis disampingnya.
“Apasih?!”
sungut gadis itu, kesal setengah mati.
Tanpa
sadar, Vano memandang lekat gadis yang sedang bersungut-sungut disampingnya,
wajah oriental, rambut hitam lebat dengan poni pagar yang menutupi dahinya,
kedua lesung pipit yang nampak jika dia berbicara, sikapnya yang dingin,
berkebalikan dengan sikapnya, seperti jadi pelengkap dalam hidupnya, tunggu!
Apa yang Vano pikirkan? Sial. Dia harus meralat dirinya yang mendeklarasikan
Stella bukan tipenya! Apanya yang bukan tipe?
Vano
berdeham, mencairkan suasana yang mendadak canggung. “Kamu… kenapa bersikap
dingin sama semua orang? Bagaimana kamu menghadapi pasienmu nanti? Juga seperti
ini?”
Gadis
itu kembali menoleh ke arah Vano. “Asal kamu tahu, sebelum Papa meninggal, aku
bukanlah sosok yang seperti ini, ada sesuatu hal yang membuatku terlanjur
tumbuh seperti ini.”
Vano
kembali menaikan alis, kenapa banyak hal yang dipendam gadis ini sendiri? Entah
kenapa, dia jadi ingin selalu ada disamping gadis ini. “Kenapa?”
Sorot
mata gadis itu kembali terlihat hampa. “Dulu, aku pernah membenci berberapa
orang setelah kematian beliau, meskipun aku telah memaafkan mereka semua,
tetapi kebencian itu telah berbuah dengan sikapku yang sekarang. Aku susah
bersosialisasi, aku punya duniaku sendiri, dan aku tidak memperbolehkan
siapapun memasukinya.”
“Biar
aku tebak, liburan ke Tokyo ini, adalah salah satu usaha Mama-mu, agar kamu
tidak hanyut dalam duniamu?” tanya Vano dengan dahi berkerut.
Stella
meringis. “Ya mungkin seperti itu. Seperti namaku kan? Dandelion, aku memang
rapuh.”
Tangan
Vano terulur, menggenggam kedua tangan gadis itu. “Bukan itu maksudnya, orang
tuamu ingin kamu mempunyai keajaiban seperti dandelion.”
“Dandelion
itu nggak berguna, dia pasrah aja ditiup angin.” Sahut gadis itu, memalingkan
muka, tak berani memandang mata tajam pemuda dihadapannya.
“Siapa
bilang dandelion nggak berguna? Kamu anak kesehatan bukan sih? dandelion itu
tanaman obat. Dia juga berguna, dan asal kamu tahu, angin yang buat dandelion
menjadi lebih hidup.” Jelas Vano, mencoba mencairkan dinding es yang dipasang
gadis itu.
Hening,
manusia berbeda gender itu merasakan
keheningan di tempat yang penuh sesak dengan ribuan orang disana, Vano melirik
jam tangannya yang menunjukan pukul tiga belas waktu setempat, ia segera
menarik tangan gadis yang ada disampingnya. mereka pasti telah ditunggu
rombongan mereka.
Vano
dan Stella tidak menyadari, kardiotonik alami,
dan sedativum alami, telah menyerang
tubuh alam bawah sadar mereka. Mereka tidak tahu, ada benang merah tak kasat
mata yang akan mengikat mereka di masa yang akan datang.
*
Hari-hari
setelah itu, dirasa menyenangkan bagi Stella, entah kenapa, pandangannya
tentang Jepang, telah berubah drastis, ia nyaman berada di negeri sakura ini,
melihat bunga sakura yang berguguran di sepanjang jalan setapak, membuat
hatinya tenang.
Ada
sesuatu yang telah lama bergejolak panas dihatinya, semua yang dia pendam kini
hilang. Berganti dengan deburan-deburan halus, yang menghujam tiap inchi
peredaran darahnya.
Tidak
terasa, seminggu telah berlalu. Stella enggan meninggalkan Tokyo, dia suka
tempat ini, dan segala keramahan penduduknya. Bahkan, Stella berminat
memperlajari bahasa jepang.
“Ohayou Gozaimasu.” suara baritone yang
akhir-akhir ini begitu familiar di telinganya, membuatnya tersenyum lebar.
“Ohayou Gozaimasu.” sahutnya, dengan
senyuman manis.
Vano
terperangah menyadari senyuman tak biasa dari Stella, sudut bibirnya ikut
tertarik, entah perasaannya atau bukan, gadis itu terlihat lebih terbuka
sekarang, sorot matanya menjadi lebih hidup, jika dibanding dengan yang dulu.
“Sebentar
lagi sudah kembali ke Indonesia kan?” dia bertanya.
Stella
mengangguk. “Kalau kita ketemu lagi, kamu harus ajak aku lihat bintang.”
Vano
tersenyum canggung. “Tentu.”
Daichi,
tour guide mereka selama di jepang
tersenyum tipis, “Vano-kun dan
Stella-chan mau foto berdua di bawah
pohon sakura? Di Indonesia nggak ada loh. Sayang kalau dilewatkan.
Keduanya
mengangguk ragu, dan memasang senyum canggung.
Klik.
Satu gambar tercipta.
Tak
memerlukan waktu berberapa lama, Daichi telah kembali dengan berberapa lembar
foto, dan dibagikannya pada peserta tour-nya
yang sedang menunggu mobil jemputan menuju bandara.
*
Bandara
Sukarno-Hatta sore itu terlihat sangat ramai, Stella tidak menyangka perjalanan
pulang terasa cepat, dia telah berpisah dari kota Tokyo, dan Jepang. Dan itu
berarti, sebentar lagi dia akan berpisah dengan… Vano. Pemuda yang telah
mengubah pandangannya dari bayang-bayang masa lalunya. Pemuda itu membuatnya
mengeluarkan semua yang ia pendam selama ini, pemuda itu, menjadi sosok baru
yang menerangi gelap hatinya.
Ia
harus berterimakasih, sebelum siluet pemuda itu menghilang.
“Vano!”
teriaknya pada pemuda yang sedang menjijing koper.
Vano
berbalik, memandang Stella heran.
“Arigatō gozaimasu.” Ucap Stella dengan
senyuman lebar. Senyuman yang lebih indah dari senyuman yang biasa Vano lihat.
Belum sempat Vano menjawab, Stella telah
melangkah menjauhinya, dan hilang dibalik keramaian bandara sore itu. Semoga kita bertemu lagi.
-TBC -> it’s True Love
*
HEHEHE ini cerpen saya paling mainstream, saya nggak mau terjebak di genre yang itu-itu aja, dan ini, cerpen pertama saya tanpa bayang-bayang cinta pertama, wkwk jangan bosen sama analogi saya yang always tentang dandelion, saya udah jatuh cinta sama bunga itu, wkwk ini Vano idaman banget yakk {} tengil tapi bisa ngubah orang HEHEHE :")) dan saya akan ngangkat astronomi dan farmasi untuk yang kesekian kali, dua dunia itu manisss banget buat sayaa~
semoga suka! salam bintang dan dandelion dari peri nirmalaa~
2 komentar:
Selalu baguuuus! Masih stuck sama dandelion dan astronomi ya? :b hehe sequelnya cepet-cepet yakk penasaran sm Vano bakal jatuh cinta sama Stella gak. Ditunggu karya-karya out of the box lo lagi! hakunanitama^^
makasih teteh agen {} tunggu sesuatu di paris nanti yaakk~
Posting Komentar