RSS

Jumat, 08 Agustus 2014

It's not First Love



It’s Not First Love
*
“Cinta adalah ia yang memberi kepastian, tidak dengan memberi sebutir harapan.”
            *
Sebuah ruangan dengan ukiran kelopak sakura pada setiap dinding yang ada disana, kini dihuni oleh tujuh orang dari berbagai usia, Salah seorang diantaranya mengerucut menahan kesal. Tidak mengerti apa yang sedang di tunggu kawanannya sebelum melakukan tour pertama mereka.
Dia tidak tahu, kenapa dia menurut saja, ketika sang Mama menganjurkannya berlibur ke negeri bunga sakura ini. Padahal sejujurnya, dia tidak suka negara ini, karena berhubungan dengan seseorang dari masa lalunya. Cinta pertama, yang memberi luka tanpa sosok itu pernah sadari.
Sorry! I’m late!” seru seseorang dengan langkah kaki tidak sabaran.
Vano tersenyum tipis, menyadari keterlambatannya yang hampir tidak bisa di tolelir. “Saya minta maaf, saya terlambat bangun tadi.” katanya sekali lagi, dengan bahasa dari negara asalnya.
Salah seorang pemuda bermata sipit mengangguk maklum,  kemudian kembali angkat bicara. “Ohayou minna-san! Karena peserta dari Indonesia sudah siap, kita akan menuju tempat pertama tour ini. Yoyogi Park, kalian bisa melakukan hanami disana.”
Derap langkah kaki, mulai meninggalkan hotel yang memamerkan keindahan bunga sakura itu. Tak terkecuali seorang gadis yang sedari tadi tidak memperlihatkan ekspresi apapun. Ia tidak peduli, rombongannya telah berada lima langkah jauh kedepan, yang ia inginkan sekarang adalah pulang ke tanah air.
Vano memandang heran, seorang gadis yang dari tadi sama sekali tidak terlihat menikmati perjalanan Tour in Tokyo ini. dia memelankan langkah besarnya, sehingga menyamai langkah kecil gadis itu.
“Hai.” sapanya singkat.
Gadis itu masih diam, meliriknya tanpa ekspresi.
“Patah hati?” katanya lagi, hingga sukses mendapat delikan dari gadis itu.
Perempuan memang merepotkan, ucap batinnya. Beruntunglah kakak sepupunya adalah seorang psikolog, Vano belajar banyak tentang perubahan raut wajah, dan sepertinya sangat berguna sekarang.
Vano kembali berkata, “Saya nggak lagi bicara sama batu.”
“Apa urusanmu?” kata gadis itu sinis.
Vano tak memedulikan sentakan kecil dari tangan mungil gadis itu, ketika dia menariknya. “Kamu mau kita tersesat disini? Rombongan udah jalan jauh tuh!”
Gadis itu tetap saja tidak peduli, raut mukanya datar, tidak memperlihatkan emosi, tetapi Vano tahu, gadis itu menyimpan sesuatu dalam hatinya, sehingga ia berlagak seperti air di belahan bumi utara.
*
Yoyogi Park, Tokyo, Jepang. Sebuah taman dengan ribuan bunga sakura yang mekar pada saat musim semi, pada tengah-tengah taman, terdapat sebuah sungai kecil yang benar-benar di jaga kebersihannya, sehingga taman itu terlihat begitu memikat.
Dan, disinilah Stella sekarang, sama sekali tidak tertarik pada bunga sakura yang mencoba menggodanya. Sudah berulang kali dia katakan, dia tidak suka tempat ini. dan sebuah kesalahan ketika ia menurut perintah Mamanya untuk kali ini.
“Stevano Ananta. Yoroshiku onegai shimasu.
Suara baritone seorang pemuda yang sedari tadi mengganggunya, membuatnya menoleh ke sumber suara. Ia mendelik, begitu menyadari tangan kanan pemuda itu telah menggantung di udara.
“Stella Dandelion. Saya nggak ngerti kamu ngomong apa.” katanya datar, tanpa membalas uluran tangan dari sang pemuda.
Vano dongkol setengah mati, ini hati perempuan disampingnya terbuat dari apasih? Dingin, dan tak tersentuh. Tetapi, pemuda itu menyeringai menyadari satu hal.
“Kamu… penulis yang ceritanya pasti tentang cinta pertama itu kan?” dia bertanya, sambil menaikan sebelah alis.
“Tahu apa kamu tentang saya?” jawab Stella sinis. Hatinya sensitif, mendengar kata ‘cinta pertama’ membuatnya tidak bisa melupakan bayang-bayang masa lalu saja.
“Benar kan? Saya punya buku kamu lho.” pemuda itu berkata sekali lagi, tetapi Stella bergeming tidak menjawab.
Vano mengembuskan napas berat, ia menyapu pemandangan Yoyogi Park, dengan netra hitamnya. Sesekali ia melirik gadis dingin disampingnya yang sedari tadi hanya diam.
“Kamu nggak keliling? Percuma bayar mahal kalau kamu disini aja. Waktu bebas hanya tiga jam.”
Stella membuang muka, mengalihkan pandangan dari netra hitam tajam yang memandangnya dari tadi. “Saya nggak suka tempat ini. lagi pula, kenapa kamu masih disini sama saya?”
Vano mencibir, percuma ada musim semi, kalau gadis disampingnya mengeluarkan aura musim dingin. “Kalau nggak suka, kenapa kamu liburan kesini? Saya nggak mau ada gadis dingin tersesat di tempat seindah ini.”
Stella memicing, memandang Vano seakan dia adalah manusia berbahaya yang harus dimusnahkan. “Mama saya yang suruh saya kesini. Awalnya saya juga nggak tahu kalau saya liburan di Tokyo.”
Pemuda dengan mata tajam itu menahan tawa. Dingin-dingin anak mama juga, dasar tsundere. Dia menarik tangan mungil gadis itu dengan tidak sabaran, membawanya di salah satu bangku yang menghadap pada sungai kecil yang ada disana.
“Apa?” gertak Stella, memandang Vano kesal.
“Duduklah, nikmati saja angin musim seminya.” kata Pemuda itu, kemudian berlalu meninggalkan Stella.
Stella menunduk, merutuk dalam hati, kenapa ada pria menyebalkan seperti itu eh? Harusnya dia di rumah saja, melanjutkan naskah barunya. Ah, dia ingat. Pasti ini cara sang Mama, agar dia bisa menghentikan diri sejenak dari dunia menulisnya. Huh. Menyebalkan!
Sekarang pikirannya beralih pada pria sebayanya, yang bernama Stevano itu. Apa maksudnya sih? tadi pemuda itu berkata tidak mau meninggakannya agar dia tidak tersesat, sekarang dia di tinggal juga. Dasar alibi.
Gadis itu mendongak, ketika mendapati nasi kepal berbentuk segitiga hampir menyentuh hidungnya. Onigiri? Irisnya membulat, mengetahui siapa pemberi nasi kepal itu.
“Makanlah, ini tidak beracun.”
Stella masih tidak memperlihatkan ekspresi apapun. Membuat sang pemberi mendelik kesal. “Ambil, atau mau aku suap hm?”
Tangan kecil Stella akhirnya mengambilnya juga. Dia benar-benar tidak mengerti pemuda yang sekarang duduk disampingnya ini.
“Mahasiswa kan?” Stella mengangguk.
Pemuda itu bertanya lagi. “Jurusan apa?”
“Jurusan yang dianjurkan Mama saya.” Sahut Stella tak acuh.
Vano tidak tahan untuk terkikik. “Universitas mana?”
“Universitas yang buat Mama saya jatuh hati.” Sahut gadis itu lagi.
Sambil melahap onigiri-nya, Vano kembali berkata, “Saya nggak tanya tentang Mama kamu ya! anak Mama.”
Stella meninju pelan, bahu pemuda disampingnya. “Saya mahasiswa kesehatan tahu! dan saya rasa kamu nggak waras.” katanya sambil tersenyum tipis.
Sudut bibir Vano tertarik, melihat senyum samar gadis disampingnya. entah apa yang mendorongnya, dia sedikit penasaran dengan gadis disampingnya. dia ingin tahu lebih jauh sisi dalam gadis itu.
“Saya kira kamu anak sastra, kamu kan penulis.”
Stella menggeleng pelan. “Sebenarnya, saya lebih tertarik sama sastra, apalagi dengan astronomi, tetapi… kata Mama, jadi anak kesehatan lebih cocok buat saya, lagipula saya punya janji pribadi sama mendiang Papa, mengobati orang-orang yang sakitnya seperti Papa.”
Stella merutuk mulutnya, berbicara begitu banyak pada orang asing. Kenapa dia bisa kelepasan?
Vano kini mengerti, kenapa gadis itu menjadi dingin seperti ini, meski ia tak yakin, hanya kematian sang ayah yang membuat gadis itu seperti ini. “Saya mahasiswa Astronomi, di ITB.”
Stella menaikan alis, tidak menyangka akan bertemu mahasiswa astronomi yang begini menyebalkan. Ah, jurusan keinginannya dulu, yang kini hanya tinggal harapan.
Vano menyadari, sorot mata gadis itu kembali dingin. Sebenarnya gadis ini kenapa sih? bukankah kebanyakan penulis mahir berbicara? Kenapa gadis ini sebaliknya? Bahkan untuk sekedar berbicara dia terlihat enggan. Ada apa dengan masa lalu gadis itu?
“Kamu nyaman dengan pilihan Ibumu?” pemuda itu bertanya dengan hati-hati, takut gadis disampingnya memandangnya tajam.
Stella tersenyum tipis. “Sejak Papa nggak ada, apa yang menjadi pilihan Mama itu saya anggap yang terbaik, suka nggak suka, nyaman ataupun enggak.”
Vano menaikan alis, melihat sebuah figure kosong dari sorot mata gadis itu. Teman berbagi, gadis itu telah banyak memendam semuanya sendiri. “Kamu berhak menentukan jalan hidupmu sendiri, pernah mengutarakan pendapatmu pada Ibumu?”
Gadis berambut sebahu itu menggeleng. “Saya memilih diam.”
“Sampai kapan?” gumam Vano ambigu.
“Sampai kapan kamu memendam semuanya sendiri? Bicaralah apa yang ingin kamu utarakan.” ulang Vano dengan aksen lebih jelas.
Stella hanya diam, pandangannya kosong. Aku juga tidak tahu.
Vano mengembuskan napas berat, menjuput kelopak sakura yang jatuh dipucuk kepala gadis itu. “Saya sekarang teman kamu, kamu bisa cerita apapun sama saya.” Katanya, seiring lembayung senja yang mulai menampakan diri disana.
*
Stella tersenyum, entah kenapa dia merasa hari-hari kemarin tidak begitu buruk, sadar atau tidak, pemuda bernama Stevano itu telah sedikit merubah pandangannya tentang Jepang, meskipun ia belum bisa lupa dari bayang-bayang masa lalu itu.
Tangan mungilnya membuka list perjalanan hari ini, tertera Disneyland Tokyo disana, dia akan bertemu Putri Salju dan Cinderella eh? Dia harap, sosok yang sangat mengagumi negeri ini tidak akan muncul.
Belum sampai ia mengunci pintu kamar, sosok tinggi di belakangnya membuatnya terperanjat. “Kamu mau bikin saya kaget?” hardiknya dengan nada sinis.
Pemuda itu tertawa, mengacak rambut hitam gadis dihadapannya. “Saya kira kamu akan terlambat, semuanya sudah kumpul di lobi.”
Stella mendelik, menyadari kekehan Vano yang dari tadi tidak kunjung berhenti. “Kamu tuh yang kemarin terlambat! Sorry saja, anak kesehatan selalu tepat waktu.”
Vano mencibir, melihat gaya bicara Stella yang mulai dingin. “Ayo, Daichi-kun bilang, kita harus segera bersiap.”
“Daichi siapa?” tanya Stella dengan dahi berkerut.
Udik," cela Vano,  "Dia Tour Guide kita.” jawab Vano, tidak memedulikan Stella yang memandangnya tidak suka.
*
Stella merutuk dalam hati, kenapa harus Vano yang ada disampingnya? pemuda itu terlihat berbincang akrab dengan pemuda paruh baya yang duduk di depannya. Gadis itu memilih membuang pandangan ke arah jendela. Melihat bunga sakura yang perlahan jatuh di tiup angin.
“Hei, kamu nggak kenal sama rombongan kita ini selain saya?” bisik Vano, membuat Stella bergidik.
“Saya nggak peduli.” Sahut gadis itu tak acuh.
Vano mencibir, menyadari sikap dingin Stella yang sudah mendarah daging. “Kamu kenapa bersikap dingin seperti ini?”
“Apa pedulimu? Kamu mau, saya bersikap seperti anak kecil yang habis mendapatkan permen?” balas Stella sengit.
“Saya peduli sama kamu.” Tegas Vano, kemudian tangannya menarik tangan mungil gadis itu agar bangkit dari tempatnya duduk. “Sudah sampai ayo turun.” Ia membimbing gadis menuju gerbang Disneyland Tokyo. Tidak peduli, gadis itu meronta ingin di lepaskan.
Tidak menunggu banyak waktu, Vano menyeret gadis disampingnya menuju berberapa wahana yang menurutnya menarik, seperti Pirates of Caribbiean yang merupakan perahu berkapasitas dua puluh orang, yang mengajaknya mengelilingi area Adventureland, dan melihat live action  dari Captain Jack Sparrow.
Sesekali Vano melirik gadis disampingnya yang terlihat biasa saja, dia mengacak rambutnya dengan tidak sabaran, ayolah, mereka sudah menaiki semua wahana di Adventureland! Dan tidak ada wajah berbinar dari gadis itu.
Tidak menyerah, ia kembali menarik tangan gadis itu menuju Fantasyland. Dan, benar saja, sudut bibir gadis itu tertarik, ketika menaiki mini car pada wahana Snow White’s Adventure.
Gadis itu terlihat begitu hidup ketika memasuki wahana Cinderella’s Fairy Tale Hall. Vano menyeringai. “Ingin berdansa dengan pangeran?”
Membuat bibir gadis itu melengkung ke atas.
Vano terkekeh. “Bercanda. Kamu nggak punya selera humor sih.”
Tanpa permisi, Vano kembali menarik tangan gadis itu, untuk mengistirahatkan diri sejenak pada salah satu bangku kosong yang ada disana. “Kamu kapan nggak bertingkah nyebelin sih?” rutuk Stella.
“Kamu kapan nggak bersikap dingin?” ujar Vano, membuat gadis itu kembali bungkam.
Vano kembali melirik gadis disampingnya yang sedari tadi menunduk. “Kamu bisa cerita sama saya. Saya tahu, kamu itu lagi patah hati, juga… kamu kesepian.”
Stella mendelik. “Tahu dari mana kamu?”
Vano mengetukkan telunjuknya pada pelipis. “Think.” Jeda sejenak, sebelum ia kembali angkat bicara. “Semua terlihat dari sorot mata kamu.”
Stella menghela napas sejenak. “Oke, aku menyerah. Aku akan cerita.”
Vano tersenyum, menyadari usahanya berhasil.
“Aku nggak suka Jepang, Jepang mengingatkanku pada seseorang.” kata Stella, memecah keheningan yang tercipta siang itu.
Vano menaikan sebelah alis. “Your love?
Stella mengangkat bahu, “Aku menyebutnya cinta pertama, orang bilang cinta pertama nggak bisa dilupakan, dan mungkin benar adanya. Aku nggak bisa lupa sama dia, padahal dia tanpa sadar buat aku sakit hati. Dia suka sekali dengan negeri ini. maka dari itu, aku nggak suka berada di Jepang. Jepang buat aku ingat lagi sama dia.”
Vano tersenyum tipis. “Jadi itu alasan kamu nggak suka sama negara ini? jangan membenci negara ini, sebenarnya orang itu nggak ada kaitannya sedikitpun sama negara ini. kalau kamu sayang kenapa putus?”
Stella kembali menghela napas, sambil memainkan botol kemasan yang berisi ocha. “Aku nggak pernah tahu perasaan dia. You know, aku nggak pernah berani mengungkapkan sesuatu. Sejauh apapun melupakan tapi nggak bisa, rasanya seperti terikat.”
Vano terkekeh. Ia kembali memandang langit biru dihadapannya. “Cinta pertama itu nggak ada, yang ada hanya mereka yang ingin mengikatkan diri pada seseorang. Bukan terikat, tapi mengikatkan diri.”
Stella mencibir, memandang Vano heran. “Kamu nggak pernah pacaran?”
Tawa Vano meledak, tidak tahan mengacak surai hitam gadis disampingnya. “Memang kamu pernah pacaran? Saya belum pernah pacaran, tetapi saya pernah jatuh cinta, meskipun saya lupa, bagaimana rasanya jatuh cinta.”
Stella mendengus, merapikan rambutnya yang sudah teracak tidak beraturan. “Pantes, kamu lupa bagaimana rasanya sih. kamu harus jatuh cinta dulu, baru bisa kasih nasehat ke aku.”
Vano tersenyum tipis, melihat tingkah lucu gadis disampingnya. “Saya nggak akan jatuh cinta, selama cinta yang dikasih Tuhan, dan keluarga saya, masih cukup buat saya.”
Stella masih diam, menunggu Vano kembali berbicara, “Cinta pertama itu nggak ada, yang ada adalah cinta sejati. Coba saja kamu bayangkan, suami kamu tahu, kalau kamu nggak bisa melupakan cinta pertama kamu? Bukankah dia akan sakit hati? Bagus, jika cinta pertama kamu akan jadi yang sejati. Tapi sayangnya, nggak semua orang, memiliki kisah  sama seperti kisah fiksi yang kamu buat.”
Gadis berambut sebahu itu kembali bertanya. “Emang kamu tahu cinta itu apa?”
Vano mendelik, menyadari gadis disampingnya sedikit terbuka. “Cinta itu tulus, memberi kepastian, bukan memberi harapan, dia selalu membawa kebaikan.”
Stella membuka keripik kentang yang ia bawa dari hotel. “Lalu bagaimana dengan perasaan terikat dan tidak bisa melupakan?”
Vano memutar bola mata bosan. “Itu bukan cinta. Kalian yang terikat, atau kamu yang mengikatkan diri?”
Stella mendelik, “Aku nggak tahu perasaan dia.”
Pria bermata tajam itu kembali memandang gadis disampingnya. “Kenapa kamu mau menunggu dalam ketidakpastian?”
Stella mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. kamu sendiri kenapa nggak mau jatuh cinta?”
Vano menaikan sebelah alis. “Saya menunggu cinta sejati. Berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Saya mau hati saya bersih, bukan yang berbekas. Saya mau meraih semua mimpi saya, agar layak untuk orang yang saya cinta nanti.”
Mata hati Stella terketuk, sial. Bagaimana jika pasangan masa depannya bukan cinta pertamanya? Bukankah membuat hati orang itu –entah siapa nanti- sakit?
“Kamu tahu caranya melupakan?” tanya gadis itu ambigu.
Vano terkekeh, melihat Stella memainkan tali jaketnya. “Minta sama Tuhan dong, di kuduskan hatinya.”
Stella melahap keripik kentangnya, kemudian bertanya, “Bagaimana jika ada perempuan yang menyatakan perasaan ke kamu? Secara ada emansipasi sekarang.”
Lagi-lagi Vano tertawa, mendengar pertanyaan lucu yang terlontar dari mulut gadis itu. “Kamu mau nembak saya?” jawabnya, sukses mendapat delikan dari Stella.
“Nggak lah, aku pilih jual mahal.” Sahut Stella kesal.
“Jadi kamu maunya saya yang nembak kamu? Boleh tuh! Tapi tunggu ya, lupakan dulu cinta pertama kamu.” Kata Vano lagi, sukses mendapat hantaman sebotol ocha dari tas gadis itu.
“Siapa yang mau sama kamu!” ujar Stella sambil membuang muka, tidak tahan kedua mukanya memerah. Nyebelin banget jadi orang, rutuk batinnya kesal. Apanya yang bukan tipe eh Stella? Wajah sedikit tirus, sorot mata tajam, hidung sedikit mancung, tubuh tinggi tegap, meskipun sedikit kurus untuk ukuran laki-laki, tetapi punya pesona maskulin yang tidak bisa ditolak, apanya yang bukan tipe?
“Bercanda. Lagian siapa yang mau sama gadis dingin seperti kamu?” sahut Vano, sambil memutar bola mata bosan, sesekali ia melirik gadis disampingnya yang sedang membuang muka.
Ia kembali angkat bicara. “Kalau saya juga cinta sama dia, ya saya suruh nunggu, sampai saya berhasil meraih semua mimpi saya. Kalau enggak, ya saya tolak.” ujar Vano, kembali mengacak rambut gadis disampingnya.
“Apasih?!” sungut gadis itu, kesal setengah mati.
Tanpa sadar, Vano memandang lekat gadis yang sedang bersungut-sungut disampingnya, wajah oriental, rambut hitam lebat dengan poni pagar yang menutupi dahinya, kedua lesung pipit yang nampak jika dia berbicara, sikapnya yang dingin, berkebalikan dengan sikapnya, seperti jadi pelengkap dalam hidupnya, tunggu! Apa yang Vano pikirkan? Sial. Dia harus meralat dirinya yang mendeklarasikan Stella bukan tipenya! Apanya yang bukan tipe?
Vano berdeham, mencairkan suasana yang mendadak canggung. “Kamu… kenapa bersikap dingin sama semua orang? Bagaimana kamu menghadapi pasienmu nanti? Juga seperti ini?”
Gadis itu kembali menoleh ke arah Vano. “Asal kamu tahu, sebelum Papa meninggal, aku bukanlah sosok yang seperti ini, ada sesuatu hal yang membuatku terlanjur tumbuh seperti ini.”
Vano kembali menaikan alis, kenapa banyak hal yang dipendam gadis ini sendiri? Entah kenapa, dia jadi ingin selalu ada disamping gadis ini. “Kenapa?”
Sorot mata gadis itu kembali terlihat hampa. “Dulu, aku pernah membenci berberapa orang setelah kematian beliau, meskipun aku telah memaafkan mereka semua, tetapi kebencian itu telah berbuah dengan sikapku yang sekarang. Aku susah bersosialisasi, aku punya duniaku sendiri, dan aku tidak memperbolehkan siapapun memasukinya.”
“Biar aku tebak, liburan ke Tokyo ini, adalah salah satu usaha Mama-mu, agar kamu tidak hanyut dalam duniamu?” tanya Vano dengan dahi berkerut.
Stella meringis. “Ya mungkin seperti itu. Seperti namaku kan? Dandelion, aku memang rapuh.”
Tangan Vano terulur, menggenggam kedua tangan gadis itu. “Bukan itu maksudnya, orang tuamu ingin kamu mempunyai keajaiban seperti dandelion.”
“Dandelion itu nggak berguna, dia pasrah aja ditiup angin.” Sahut gadis itu, memalingkan muka, tak berani memandang mata tajam pemuda dihadapannya.
“Siapa bilang dandelion nggak berguna? Kamu anak kesehatan bukan sih? dandelion itu tanaman obat. Dia juga berguna, dan asal kamu tahu, angin yang buat dandelion menjadi lebih hidup.” Jelas Vano, mencoba mencairkan dinding es yang dipasang gadis itu.
Hening, manusia berbeda gender itu merasakan keheningan di tempat yang penuh sesak dengan ribuan orang disana, Vano melirik jam tangannya yang menunjukan pukul tiga belas waktu setempat, ia segera menarik tangan gadis yang ada disampingnya. mereka pasti telah ditunggu rombongan mereka.
Vano dan Stella tidak menyadari, kardiotonik alami, dan sedativum alami, telah menyerang tubuh alam bawah sadar mereka. Mereka tidak tahu, ada benang merah tak kasat mata yang akan mengikat mereka di masa yang akan datang.
*
Hari-hari setelah itu, dirasa menyenangkan bagi Stella, entah kenapa, pandangannya tentang Jepang, telah berubah drastis, ia nyaman berada di negeri sakura ini, melihat bunga sakura yang berguguran di sepanjang jalan setapak, membuat hatinya tenang.
Ada sesuatu yang telah lama bergejolak panas dihatinya, semua yang dia pendam kini hilang. Berganti dengan deburan-deburan halus, yang menghujam tiap inchi peredaran darahnya.
Tidak terasa, seminggu telah berlalu. Stella enggan meninggalkan Tokyo, dia suka tempat ini, dan segala keramahan penduduknya. Bahkan, Stella berminat memperlajari bahasa jepang.
Ohayou Gozaimasu.” suara baritone yang akhir-akhir ini begitu familiar di telinganya, membuatnya tersenyum lebar.
Ohayou Gozaimasu.” sahutnya, dengan senyuman manis.
Vano terperangah menyadari senyuman tak biasa dari Stella, sudut bibirnya ikut tertarik, entah perasaannya atau bukan, gadis itu terlihat lebih terbuka sekarang, sorot matanya menjadi lebih hidup, jika dibanding dengan yang dulu.
“Sebentar lagi sudah kembali ke Indonesia kan?” dia bertanya.
Stella mengangguk. “Kalau kita ketemu lagi, kamu harus ajak aku lihat bintang.”
Vano tersenyum canggung. “Tentu.”
Daichi, tour guide mereka selama di jepang tersenyum tipis, “Vano-kun dan Stella-chan mau foto berdua di bawah pohon sakura? Di Indonesia nggak ada loh. Sayang kalau dilewatkan.
Keduanya mengangguk ragu, dan memasang senyum canggung.
Klik. Satu gambar tercipta.
Tak memerlukan waktu berberapa lama, Daichi telah kembali dengan berberapa lembar foto, dan dibagikannya pada peserta tour-nya yang sedang menunggu mobil jemputan menuju bandara.
*
Bandara Sukarno-Hatta sore itu terlihat sangat ramai, Stella tidak menyangka perjalanan pulang terasa cepat, dia telah berpisah dari kota Tokyo, dan Jepang. Dan itu berarti, sebentar lagi dia akan berpisah dengan… Vano. Pemuda yang telah mengubah pandangannya dari bayang-bayang masa lalunya. Pemuda itu membuatnya mengeluarkan semua yang ia pendam selama ini, pemuda itu, menjadi sosok baru yang menerangi gelap hatinya.
Ia harus berterimakasih, sebelum siluet pemuda itu menghilang.
“Vano!” teriaknya pada pemuda yang sedang menjijing koper.
Vano berbalik, memandang Stella heran.
Arigatō gozaimasu.” Ucap Stella dengan senyuman lebar. Senyuman yang lebih indah dari senyuman yang biasa Vano lihat.
 Belum sempat Vano menjawab, Stella telah melangkah menjauhinya, dan hilang dibalik keramaian bandara sore itu. Semoga kita bertemu lagi.
-TBC -> it’s True Love

*
HEHEHE ini cerpen saya paling mainstream, saya nggak mau terjebak di genre yang itu-itu aja, dan ini, cerpen pertama saya tanpa bayang-bayang cinta pertama, wkwk jangan bosen sama analogi saya yang always tentang dandelion, saya udah jatuh cinta sama bunga itu, wkwk ini Vano idaman banget yakk {} tengil tapi bisa ngubah orang HEHEHE :")) dan saya akan ngangkat astronomi dan farmasi untuk yang kesekian kali, dua dunia itu manisss banget buat sayaa~
semoga suka! salam bintang dan dandelion dari peri nirmalaa~

2 komentar:

Nita Julianti Sukandar Putri mengatakan...

Selalu baguuuus! Masih stuck sama dandelion dan astronomi ya? :b hehe sequelnya cepet-cepet yakk penasaran sm Vano bakal jatuh cinta sama Stella gak. Ditunggu karya-karya out of the box lo lagi! hakunanitama^^

Ruth Nirmala Giardani mengatakan...

makasih teteh agen {} tunggu sesuatu di paris nanti yaakk~

Posting Komentar