RSS

Minggu, 10 Agustus 2014

True Love Wait

True Love Wait


Cinta tidak pernah memihak, pada siapa dia akan bertuan. Dia hadir tanpa bisa di tebak, dia ada dan melambungkan sebuah rasa yang mampu membungkam sebuah kenyataan.”
*
Setahun telah berlalu semenjak saat itu, Stella tidak akan melupakan kejadian yang telah terjadi di kota Tokyo, Jepang. Dirinya memang masih pendiam. Tetapi, bukan berarti dia masih menutup diri.
Stella tahu, pemuda itu telah mengubah sebagian hidupnya. Pemuda yang kebal menyikapi sifat dinginnya yang sudah mendarah daging. Bagaimana kabar pemuda itu sekarang? Mahasiswa Astronomi ya? bintang selalu mengingatkannya pada pemuda itu. Serius!
Disinilah Stella sekarang, di depan gedung Obervatorium Bosscha. Beruntunglah, sang Mama menganjurkan kota Bandung sebagai tempat berliburnya tahun ini. Bandung telah lama menjadi kota impiannya untuk berlibur, alasannya? Tentu saja karena ingin meneropong bintang dari Observatorium ini.
Setelah mengunjungi teropong Zeiss dan telah mendapatkan presentasi tentang astronomi, inilah saat-saat yang dia nantikan, melihat bintang lebih jelas, dengan teropong bintang.
Dia telah mengantri pada teleskop Bamberg, namun seseorang menepuk bahunya, membuatnya terperanjat di tempat.
“Hei,” sapa orang itu. “lama tidak berjumpa.”
Stella menoleh dibalik bahu, ia tersenyum tipis menyadari siapa yang ada dibelakangnya. “Vano?”
Pemuda itu tersenyum hangat padanya. Setahun tidak berjumpa, banyak perubahan fisik yang terjadi pada pemuda itu. Vano mengisyaratkan Stella untuk melihat ke depan, sedikit terkejut, ternyata sekarang adalah giliran Stella.
Stella berdecak kagum, ketika melihat bintang-bintang yang berpijar dengan jelas di depan matanya. Dia tersenyum lebar, kedua netranya berbinar, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan.
Vano tersenyum melihat gadis dihadapannya, tidak menyangka ia akan kembali bertemu dengan gadis ini disini. Ia merasakan takdir sedang bermain-main dengannya sekarang.
*
Stella tersenyum canggung, ketika Vano mengajaknya di salah satu restaurant yang lumayan dekat dengan Observatorium Bosscha. Kunjungannya sangat menarik, karena mahasiswa astronomi disampingnya, menjelaskan dengan sabar, setiap pertanyaan yang ditanyakan Stella.
“Kenapa kamu bisa disini?” tanya Stella, setelah berberapa waktu lalu memesan makanan.
“Saya mahasiswa astronomi tingkat akhir, wajar bila sering kesini. Kamu sendiri ngapain disini?” ucap Vano tanpa mengalihkan pandangan dari Stella.
“Berlibur.” Jawab Stella singkat.
Vano mengusap dagunya, sambil tersenyum jahil. “Biar saya tebak, anjuran berlibur Mama kamu ya?”
Stella memutar bola mata bosan. “Tepat.”
“Kamu apa kabar? Masih jadi anak Mama ya?” tanya Vano, ketika waiters meletakan pesanan mereka di atas meja.
Stella menjawab, “Baik. Seperti yang kamu lihat. Terimakasih, berkat kamu, aku lebih bisa mengungkapkan sekarang. Dan, setelah lulus dari jurusan farmasi nanti, aku akan mengambil jurusan sastra.”
Vano menggeleng, sembari tersenyum tipis. “Oh ya? bagus dong! Kamu kelihatannya masih jadi cewek beku ya?”
Gadis berponi pagar itu menyesap teh hijaunya, sebelum kembali berkata, “This is me.”
Vano tidak tahan untuk mengacak rambut gadis dihadapannya. satu hal, ia merasa nyaman.
“Sampai kapan disini?” Vano bertanya lagi.
“Besok pulang.”
Vano mendesah kecewa. Eh? Kenapa dia bisa kecewa? Pasti otaknya sedang bermasalah sekarang. “Mau aku antar ke bandara?” tawarnya, seperti menutupi rasa kecewa.
Lagi-lagi Stella menolak, membuat Vano berdecak kesal tanpa alasan. Ya dia sendiri tidak tahu, kenapa dia sedikit kesal ketika Stella menolak tawarannya.
“Kamu mahasiswi semester berapa?” dia bertanya sekali lagi, berupaya menghilangkan rasa kesal yang menyusup tiba-tiba.
“Empat.” Sahut gadis itu singkat.
Vano menyeringai. Sebenarnya dia telah lama sadar, gadis dihadapannya jauh lebih muda darinya. “Harusnya kamu panggil saya Kakak. Saya dua tahun diatas kamu.”
Tidak ada reaksi yang berarti dari Stella. Dia hanya tersenyum tipis sambil kembali menyesap tehnya. “Aku sudah menduga ini sebelumnya, emm… Kak?”
Vano terkekeh, menyadari raut ragu dari wajah gadis itu. “Kita sudah lama kenal, boleh minta pin? Atau nomor ponsel?
Stella mengangguk, kemudian menyerahkan smartphone miliknya kepada Vano. Mengisyaratkan agar pemuda itu menyalinnya.
Thanks.” ucap Pemuda itu dengan senyuman lebar.
Tak lama setelah itu, Stella undur diri, takut Mama dan Adiknya yang sedang menunggu di hotel terlalu lama dia tinggal.
“Saya antar. Tidak baik, anak gadis berjalan malam-malam sendirian. Lagipula, saya penasaran sama Mama kamu.” Tawar Vano lagi, kali ini tidak ada penolakan dari Stella.
Setelah mengantar Stella, dan berbincang sejenak dengan Ibu, dan Adik Stella, Vano undur diri, dengan alasan keluarganya yang telah menantinya di rumah. Meski sebenarnya ia masih ingin disana berlama-lama disana.
Tanpa disadari, Stella dan Vano mengharapkan sesuatu yang sama. Semoga bertemu kembali di lain waktu…
*
Vano merasa otaknya pasti sedang bermasalah. Dia tidak bisa mengalihkan wajah Stella dari pikirannya. Padahal tiga tahun sudah, dia tak bertemu dengan gadis pendiam itu. Meskipun terkadang Vano yang menyapanya dulu lewat jejaring sosial, atau sekedar meneleponnya jika sedang tidak ada tugas.
Pemuda dengan sorot mata tajam itu, tidak mau menyimpulkan ini lebih cepat. Dia-tidak-boleh-jatuh-cinta. Mimpinya belum selesai dia raih, dia belum pantas merasakan perasaan itu lagi. Dia memang telah menyelesaikan S2nya di Harvard, tetapi dia belum tahu akan bekerja dimana.
Dan Perancis adalah negara tujuannya. Entah kenapa dia lebih menginginkan kerja disini daripada di Amerika, atau bahkan di negaranya sendiri. Ia merasa, Prancis akan menemukannya pada calon isterinya. –mungkin-
Ah, sial. Pikirannya kembali kepada gadis dingin yang sering membuatnya tertawa karena tingkah lucunya. Vano menerawang sejenak, pertemuan pertamanya dengan gadis itu. Gadis yang belum bisa melupakan cinta pertamanya, (meskipun sekarang Vano tidak tahu, gadis itu sudah melupakan cinta pertamanya atau belum.)
Vano terperangah, sepertinya ia bodoh, jika jatuh cinta pada seorang gadis yang tidak mungkin melihatnya. Ia menatap langit kamar inapnya untuk berberapa waktu ke depan, ia akan di Paris, sampai ia mendapat kepastian dari lamaran pekerjaannya yang ia kirimkan di Centre National d'études Spatiales. Atau bahasa indonesianya, badan antariksa Prancis.
Dengan perlahan, dibukanya koper yang sedari tadi ada disampingnya. ia mengeluarkan buku kecil setengah lusuh dari sana, kemudian membaca halaman yang paling depan.
Aku ingin seorang isteri yang mencintai Tuhan dengan segenap hatinya, setelahnya baru dia mencintaiku.
Vano membulatkan mata, begitu ia meneruskan tulisan cakar ayamnya ketika ia masih duduk dibangku sekolah putih-merah.





Vano terperangah melihat tulisannya di masa lampau. Dia menulis ini? benarkah? Bahkan dia sudah lupa, kapan ia menulis ini! atas dasar apa anak SD menulis seperti ini eh?
Pemuda itu ingat! Kakak sepupu kesayangannya yang meracuninya membuat list seperti ini, bahkan melarang keras Vano untuk mengenal cinta. Saat itu, kakak sepupunya memaksa untuk menulis list ini, Vano yang dulu hanya anak sekolah dasar, hanya mengikuti alur permainan yang disuguhkan kakak sepupunya, meniru hampir semua list yang sama, seperti yang ditulis kakak sepupunya.
Meskipun saat SMA Vano sempat mengenal cinta, tetapi tidak berlangsung lama, karena setelah itu dia membuat komitmen baru, bahwa dia tidak akan mengenal cinta sebelum sukses.
Kenapa semua yang dia tuliskan merupakan penggambaran dari Stella? Semua, bahkan ciri yang utama. Mencintai Tuhan dengan segenap hatinya.  Jika seperti ini Vano bisa gila. Apa Stella memang jodohnya?
*
Ke esokan harinya, di Museum Louvre, yang merupakan bekas istana kerajaan Prancis, yang sekarang menjadi museum yang paling banyak dikunjungi di dunia. dan, disinilah Vano sekarang, menatap figure Piramida Louvre, dan Piramida terbalik. Dua icon yang menjadi setting novel dan film The Da Vinci Code.
Dia berjalan menuju karya-karya lain yang tidak kalah elok. Lukisan Monalisa, karya Leonardo da Vinci. Dan ia tersentak, setelah mengetahui siapa sosok gadis yang sedang menatap kagum lukisan itu.
Stella.
Takdir mempertemukan mereka secara tidak sengaja untuk yang kesekian kali. Dia tersenyum, sambil mencoba menjinakan deburan halus yang menyerang jantungnya. Sial. Dia benar-benar jatuh cinta. Dan, gadis itulah yang berhasil menggenggam hatinya.
Bonjour.” Sapanya dalam bahasa prancis.
Stella tersentak, menyadari suara baritone yang familiar berberapa tahun terakhir ini. apa Tuhan mempertemukannya lagi dengan pemuda itu? Dia menoleh dibalik bahu, menyadari pemuda tinggi yang sedang tersenyum ke arahnya.
“Lama tidak berjumpa. Liburan lagi?” Vano bertanya dengan menaikan sebelah alis.
Stella hanya mengangguk.
Vano mengulurkan tangan. “Mau berkeliling bersama? Saya takut gadis kutub utara tersesat disini.”
Stella mengerucutkan bibir, enggan menyambut uluran tangan pemuda didepannya.
“Ngambek nih? Saya bercanda. Senyum lagi dong! Saya suka senyum kamu.” Kata Vano, sambil menarik tangan kanan Stella yang belum bergerak.
Stella merutuk dalam hati, pemuda yang dua tahun lebih tua darinya ini kenapa tengil banget sih! mati-matian ia mempertahankan mukanya agar tidak memerah.
*
Vano bosan setengah mati, memandangi gadis disampingnya yang sedari tadi membaca novel fantasi cukup tebal, karya Percy Jackson. Dia dianggap ada nggak sih disini?
“Kamu betah banget baca ya?”
Stella menoleh ke arah Vano. “Namanya juga hobi, memang Kakak nggak suka baca? Kenapa punya buku aku?”
Vano memandang pemandangan indah di depan mereka. “Memang nggak suka, saya tertarik aja di novel kamu, kamu mengangkat dunia saya. Saya suka.”
Stella tersenyum tipis, dengan senang hati ia pasti menerima komentar dari pembacanya, itu membuatnya lebih maju untuk berkarya lebih baik lagi. Gadis itu menghentikan aksi membacanya sejanak, memandang Bois de Boulogne di pagi hari, paru-paru di kota prancis, yang sungguh nyaman untuk di kunjungi.
Merci.” Sahutnya dalam bahasa prancis.
“Kamu sudah bisa melupakan cinta pertama kamu?” tanya Vano hati-hati. Batinnya was-was, takut hatinya hancur sebentar lagi.
“Sudah,” Sahut gadis itu, “Bahkan aku lupa rasanya jatuh cinta.” Lanjutnya kemudian.
Vano mendesah lega, dia tersenyum sambil mengacak rambut gadis disampingnya. “Saya kira kamu nggak bakal move on.
Stella terkikik. “Ngapain aku nunggu yang nggak pasti? Bukannya kata Kakak cinta pertama itu nggak ada? Kakak sendiri belum cari pacar?”
Vano yang sedari tadi bosan, mengambil buku lusuhnya dari balik saku jaket, menulis abstrak, di lembaran kosong yang ada disana. “Saya kira, kamu bakal lupa sama omongan saya. Saya nggak nyari pacar. Saya nyari isteri.”
Iris hitam Stella membulat mendengar pernyataan pemuda disampingnya. Vano pemuda yang memberi kepastian, bukan harapan. Memberi kejelasan hubungan, bukan memberi permainan. Pemuda ini, memilih hubungan yang tidak akan bisa dilepaskan dengan mudah. Dia tahu kemana arah pembicaraan pemuda disampingnya.
“Kamu nggak berminat cari cinta yang baru? Yang mungkin seorang penulis yang seprofesi sama kamu? Atau tenaga medis?” tanya Vano lagi, dalam hati dia merutuki kata-katanya yang menurutnya benar-benar nista.
Stella mengangkat bahu. “Bukankah yang lama itu nggak termasuk cinta? Kakak bilang cinta pertama nggak pernah ada, yang ada hanya mereka yang ingin mengikatkan diri, bukan terikat. Jadi, aku ralat pertanyaan kakak, bukan cinta yang baru, tetapi cinta sejati.”
“Terserah kamu saja.” sahut Vano kemudian.
Gadis berponi pagar itu menghela napas. “Sepertinya belum. Mimpiku masih banyak yang belum tercapai. Memang sih, sudah sarjana sastra bulan depan, tetapi novel baru, kerja di Rumah Sakit, dan yang terpenting, belum semua yang aku lakukan, seiring sama detak jantung Tuhan. Aku mau seirama dulu sama detak jantung Tuhan, baru aku menunggu cinta sejatiku, menunggu Kak. Bukan mencari, Ah iya, aku nggak berminat sama penulis. Aku nggak suka sama laki-laki yang obral kata-kata manis. Aku juga nggak berminat sama anak kesehatan.”
Vano yakin, ia tidak salah memilih sekarang. Gadis idamannya sejak masa putih-merah berdiri dihadapannya sekarang! Sial, jantungnya berdetak lima kali lebih cepat ketika melihat senyuman manis dari gadis itu! Ternyata list yang ia buat benar-benar terwujud, dan terpampang nyata dihadapannya.
“Menurutmu, bagaimana dengan cinta satu sisi?” tanya Vano lagi, sukses mendapat tatapan heran dari Stella.
“Bertepuk sebelah tangan maksudnya?” tanya Stella sambil menaikan sebelah alis. Dibalas anggukan dari Vano.
Stella kembali angkat bicara. “Setiap orang merasa dirinya disakiti, padahal tanpa sadar mereka yang menyakiti dirinya sendiri. Seperti cinta satu sisi. Belum tentu orang yang menolak mereka berniat menyakiti mereka, mereka terkadang mengganggap kebaikan orang yang menolak mereka menjadi sebuah harapan. padahal, sesungguhnya harapan itu nggak pernah ada. dan lagi, yang namanya harapan, itu nggak akan pasti.”
Stella mengembuskan napas sejenak, sambil menatap langit biru yang ada diatas mereka. “Padahal cinta tidak akan menyakiti.”
Vano masih belum mengalihkan pandangan dari paras ayu gadis disampingnya, hingga tanpa sadar, buku yang dia pegang jatuh di sela-sela rumput yang mereka pijak.
Dengan cekatan, Stella mengambil buku kecil yang telah lusuh itu, tanpa sengaja Stella membacanya. Bagian yang menjadi aib hidup seorang Stevano Ananta.
Ciri-ciri Pasangan Masa Depan Vano. Membuatnya tertawa terpingkal-pingkal, meskipun otaknya kembali mengingat surat yang dulu sempat ia tulis untuk pasangan masa depannya, yang dia sendiri tidak tahu siapa. Jelasnya, surat itu akan ia berikan pada pasangan masa depannya kelak.
Hampir serupa, namun tentu saja maknanya berbeda, surat miliknya jauh lebih anggun daripada list  Vano ini! tetapi, jika dipikir-pikir, kenapa list ini menuju padanya ya?
Muka Vano pucat pasi, menyadari kenapa Stella terpingkal-pingkal membaca buku lusuhnya itu, salahnya tidak meninggalkannya di hotel. Sial, image coolnya hilang.
“Jangan tertawa. Itu tulisan absurd-ku waktu Sekolah Dasar.”
Stella masih tidak menghiraukan rutukan Vano, sampai pemuda itu berkata, “Tertawa saja terus. Nggak papa, asal kamu tertawa seperti ini, saya suka kamu tertawa.”
Gadis berambut sebahu itu mulai salah tingkah. Pemuda ini mempunyai sesuatu yang tidak Stella temukan dari pemuda lain.
*
Stella menatap secarik kertas yang ada di genggamannya. Surat yang ia selipkan di buku hariannya, surat untuk pasangan masa depannya. Surat yang dia tulis saat berada di tingkat dua, sekolah menengah umum.
Sejak dulu dia memang tidak pernah berniat pacaran sebelum meraih semua mimpinya, tetapi salahkan cinta yang memang hadir tak diduga, hingga dia sempat ingin melanggar komitmennya, beruntung dia bertemu dengan Vano, yang membuatnya membuka mata hatinya.
Dia mendesah, kenapa pemuda bermata tajam itu menjadi pusat gravitasinya sekarang? Dia teringat list pemuda itu yang tidak sengaja ia baca. Anak farmasi? Mengobati bukan menyakiti? Boleh juga. Kenapa dia merasa sosok yang tergambar disana adalah dirinya?
Stella akui, pemuda itu semakin menawan. Tubuhnya yang tinggi, tidak sekurus dulu saat pertama kali bertemu, alis hitam lebat dan sorot mata tajam, tidak lupa wajah tirus, rahang tegas, hidung tidak begitu mancung, juga bibir tipis pemuda itu, yang memberikan kesan maskulin.
Dia tahu, cepat atau lambat, dia pasti akan jatuh dalam pesona pemuda itu. Pemuda yang memberikan warna baru dalam hidupnya.
Segera mungkin, ia memasukan ponsel dan dompetnya pada tas jinjing yang ia bawa nanti, hari ini, hari terakhir ia di Paris. Dan Vano, mengajaknya mengunjungi Menara Eiffel di malam hari.
*
Ditempat lain, Vano mendadak gelisah. Bahagianya karena diterima di Centre National d'études Spatiales, mendadak menguap, hilang entah kemana berganti rasa gelisah yang berlipat-lipat.
Hari ini, di Menara Eiffel Paris. Ia akan menyatakan perasaannya pada gadis yang telah menyedot perhatiannya berberapa tahun terakhir. Lewat pertemuan-pertemuan tak terduga, tanpa sadar memupuk benih-benih cinta dihatinya.
Masa bodoh ia mau ditolak atau di terima, umurnya sudah tidak muda. Dua puluh enam tahun. Berberapa temannya bahkan sudah menikah. Dan ia rasa, ini gilirannya.
Ia menatap kotak beludru berwarna merah yang telah ada di genggamannya. Cincin yang ia beli di Paris, berberapa waktu yang lalu. Yang akan dia berikan pada pujaan hatinya malam ini.
Merasa semuanya telah baik, ia mengambil teleskopnya yang berada di sudut ruangan. Dia akan menyatakan perasaannya, lewat rahasia sebuah rasi bintang.
*
Dan, disinilah mereka, pada tingkat tiga Menara Eiffel, melihat keindahan kota Paris di malam hari, dari atas gedung. Vano membiarkan gadis disampingnya berdecak kagum. Dia memang tahu sejak lama, bahwa kota Paris memang indah.
Setelah puas berkeliling, Vano menggandeng tangan Stella menuju taman Camp de Mars, taman yang menjadi tempat Menara Eiffel menjulang tinggi. Pemuda itu menarik sang gadis dari pusat keramaian.
Setelah menemukan tempat yang ia anggap sepi, Vano memasang teleskop yang sedari tadi ia bawa. Sedangkan Stella mulai memandang heran. Vano melirik Stella, hingga akhirnya kedua mata mereka berserobok.
Vano tersenyum tipis, menyadari Stella yang begitu menawan malam ini, ia mengenakan dress biru laut berenda, rambut hitam sebahunya di biarkan terurai, wajah gadis itu tidak menggunakan banyak make up. Membuat kecantikan alami gadis itu semakin terpancar.
Pemuda itu memutuskan kontak matanya. Ia kembali berkutat dengan teleskopnya. Tangan kokohnya mengarahkan teleskop ke belahan bumi selatan. Setelah mencari perbesaran yang sesuai, ia tersenyum puas.
Stella memandang langit. “Aku memang seperti langit.” Katanya tiba-tiba.
Vano mengrenyit heran. “Terlalu mustahil untuk digapai?”
Gadis itu menggeleng. “Kelihatannya perkasa, tetapi sebenarnya dia butuh sesuatu untuk membuatnya indah, seperti langit siang yang indah karena ada awan, juga langit malam, yang membuatnya indah karena ada bintang.”
Vano menyadari, arah pembicaraan gadis disampingnya. gadis itu masih butuh tempat berbagi sepertinya, dan ia tahu. ia pasti bisa melengkapi gadis itu.
“Lihatlah.” Katanya pada Stella yang masih mematung.
“Indah.” gumam gadis itu.
Vano tersenyum. Kemudian kembali bertanya, “Itu rasi bintang Scorpio yang berada di belahan bumi selatan. Menurut kamu bagaimana bentuknya?”
Stella menggigit bibir bawahnya. Nampak berpikir. “Seperti huruf ‘J’?” jawabnya ragu.
Tepat, seperti jawaban yang di harapkan Vano. Pemuda itu berjalan menekati Stella, kemudian menggenggam kedua tangannya. “Kamu tahu? rasi bintang itu menggambarkan kata yang ingin aku sampaikan malam ini, meski perasaanku lebih dalam dari kata itu sendiri.”
Stella memandang tidak mengerti. Meskipun jantungnya serasa meledak saat ini. ia memandang pemuda dihadapannya. hingga tanpa sadar, ia terjerat dalam black hole yang tercipta dari kedua mata pemuda itu.
“Huruf ‘J’ untuk Je t'aime.”
Tubuh Stella menegang, setelah mendengar pernyataan pemuda itu. Sebuah rasa, yang membungkam kenyataan sekarang. Kenyataan bahwa dia belum boleh jatuh cinta.
“Maaf untuk perasaan yang lebih dari sekedar persahabatan ini. ijinkan saya menjadi awan dan bintang yang menghias kamu.”
Stella menghela napas. Dia tidak boleh melanggar komitmennya lagi. Mimpinya belum selesai dia raih. “Tunggulah.”
Vano mengrenyit, mendengar kata ambigu yang terucap pada mulut gadis itu. Dia belum selesai berkata, bahkan kalimat menikahlah denganku, se marier avec moi… sama sekali belum dia ucapkan.
“Satu tahun lagi. Aku akan memberikan jawabanku, saat musim semi, di tempat bunga sakura banyak berguguran, tetapi di waktu malam. Kita harus sama-sama saling mendoakan, sebelum membuat keputusan.”
Vano tersenyum miris. Dia harus menunggu satu tahun ya? tidak masalah. Ke Jepang tahun depan? Bukan hal buruk. Dia akan tetap menunggu gadis itu.
J'attendrai.” Ucapnya lirih. Ternyata, rasi bintang scorpio masih menyimpan maksud lain.  J untuk J'attendrai yang berarti ia akan menunggu Stella sampai kapanpun.
*
Satu tahun berlalu. Ueno Park, Tempat sepuluh ribu pohon sakura memamerkan keindahan mereka, terletak di dekat Stasiun Ueno, yang merupakan pusat kota Tokyo, dulunya merupakan bagian kuil Edi Kaneiji, Vano siap menerima keputusan yang di berikan Stella.
Pemuda itu memandang bintang-bintang yang dari tadi terlihat mengejeknya. Padahal dia belum tentu ditolak. Jika dia diterima, dia rasa, dia harus berterimakasih pada kakak sepupunya yang mengajarkan membuat list itu padanya, Stella benar-benar orang yang diberikan Tuhan untuk mendapinginya. Karena, gadis itu menepati semua list yang tertulis disana. Ah semoga saja!
Setahun tidak berjumpa, membuatnya benar-benar rindu gadis sedingin kutub utara itu. Rindu senyumnya, rindu tingkah lucunya, semuanya. Vano memegang dada kirinya, ada sesuatu disana, yang bergejolak keras.
“Sudah lama menunggu?” suara lembut seorang gadis membuatnya menoleh, obat penenangnya datang.
Stella tahu, semua mimpi telah selesai ia raih. Dia tahu, awan, sekaligus bintangnya. Telah lama membuat hatinya bertaut. Stella tahu, ia sudah lama jatuh hati pada semua yang ada pada diri pemuda itu. Pemuda yang mempunyai caranya sendiri untuk membuat Stella menjadi manusia teristimewa.
Vano hanya tersenyum canggung. Menatap Stella was-was. Meskipun tidak dipungkiri, kardiotonik masih menyerang jantungnya hingga kini, sehingga ia begitu menyadari, Stella begitu cantik malam ini.
“Kakak bisa carikan rasi bintang Andromeda? Rasi bintang itu akan memberikan Kakak jawaban.” Kata gadis itu dengan senyuman andalannya.
Vano menunjuk langit belahan bumi utara, menghubungkan tiap titik bintang yang ada disana. “Ini, rasi bintang Andromeda, yang membentuk huruf ‘A’.” terang pemuda itu.
Stella tersenyum malu-malu. “Rasi bintang itu jawabannya Kak. ‘A’ untuk Aishiteru.
Vano terperangah. Penantiannya terbalas manis. “Arigatou.” Dia kembali mengulang pernyataannya saat di Prancis. “Je t'aime” katanya, sambil menjumput kelopak sakura, yang terselip di helaian rambut gadisnya.
Stella tersenyum. “Je t'aime aussi.” gadis itu kembali menatap langit malam. “Jadi kita pacaran nih Kak?” ucapnya kemudian menunduk malu.
Vano yang kembali melihat tingkah lucu Stella menyeringai, kemudian mengeluarkan kotak beludru berwarna merah yang sejak setahun lalu ia simpan. “Siapa bilang?”
Stella mendongak, ia terkejut melihat kotak beludru berwarna merah yang ada di depannya.
“Dari awal, saya kan sudah pernah bilang. Saya nggak berniat cari pacar. Saya cari isteri. So… would you marry me?”
Stella merasakan lidahnya terlalu kelu untuk menjawab, sebagai gantinya, ia mengangguk. Hatinya menghangat ketika Vano menyematkan cincin pada jari manisnya. Tidak lama setelah itu, pemuda itu membawanya dalam dekapan panjang.
-END-

*
cuap-cuap uthe : VANOOO ILYSM ({})  HAHAHAA, ini adalah karya saya paling mainstream, dimana saya nggak bisa berhenti senyum-senyum sendiri waktu bikin scane ini, emang alurnya cepet karena mereka nggak ketemu dalam kurun waktu lama, HEHE, aduhh Vano </3 ahli astronomi, sorot mata tajem, tengil, tapi baikkkk~ idaman sekaleehhh--- hehehe, saya nggak mau bohong, Vano ini karakter favorit saya, selama saya menulis, -meskipun Titan juga- semoga karakter Vano bakal hadir dihidup saya lima tahun yang akan datang yaa~ aminnn* *apasih* dan untuk ciri2 pasangan masa depan yang anak farmasi itu, saya terinspirasi karena angkatan 53 berberapa waktu lalu pasang dp kek gitu bareng2 (tapi saya nggak ikutan karena dp saya promo cerpen ;D ) wkwk terimakasih sudah membaca karya yang jauh dari kata sempurna ini! *kasih sakura satu-satu*  
especially buat temen2 GRATIA, anggap aja ini hadiah dari saya untuk 2thnan ktbk kita yang udah lewat lama banget, saya kangen kalian *peyukk*
juga buat sahabat-sahabat saya di pulau-pulau berbeda, teteh agen, Kch, dan semuanyaa~ juga teman2 rempongs yang belum muvon dari jaman kapan itu -_-
salam bintang dan dandelion dari peri nirmala!
regards, @ruthenirmalaa :)

0 komentar:

Posting Komentar